Daftar Isi
Oke, siap-siap ya, ini bukan cerita cinta yang ending-nya bikin senyum-senyum sendiri. Ini kisah buat kamu yang pernah jatuh cinta, tapi nggak punya hak buat nuntut apa-apa. Kadang, kita cuma jadi penumpang sementara di hati orang yang nggak pernah benar-benar bisa kita miliki.
Jadi kalau kamu pernah ngerasa cinta sama seseorang tapi dia kayak hantu—dekat, tapi nggak bisa diraih, ini cerita pas buat kamu. Cinta Tak Bertuan: yang bukan cuma soal harapan, tapi juga keberanian buat ngelepas, meski hati nggak pernah siap.
Cinta Tak Bertuan
Di Sudut Toko Buku
Hujan selalu membawa nostalgia yang aneh. Bukan hanya karena dinginnya yang menusuk kulit, tetapi juga karena suara gemericiknya yang jatuh ke atap kaca. Suara itu seperti membelai kesunyian, membasahi ruang-ruang kosong yang ada dalam hatiku. Hari ini, hujan datang lebih deras dari biasanya. Langit mendung, dan angin membawa aroma tanah basah yang khas. Di dalam toko buku kecil yang berada di sudut jalan ini, aku menemukan kenyamanan dalam kesendirian.
Toko buku ini bukan tempat yang ramai. Setiap hari hanya ada beberapa orang yang datang. Ada yang sekadar ingin melihat-lihat, ada juga yang benar-benar mencari buku. Tapi jarang sekali ada yang benar-benar datang hanya untuk menghabiskan waktu seperti aku. Aku duduk di belakang meja kasir, merapikan beberapa buku yang tersusun acak, sambil sesekali menatap keluar jendela. Mungkin, karena hujan ini, banyak orang memilih untuk tetap berada di rumah.
Lalu, pintu toko terbuka. Aku tidak menoleh langsung, karena aku sudah terbiasa mendengar suara pintu kayu yang berderit. Dia datang lagi. Althea. Gadis itu selalu datang setiap sore, tak peduli hujan atau panas, seolah-olah ada alasan khusus baginya untuk duduk di sini. Di pojok toko, di tempat yang selalu sama. Tidak ada kata sapaan, tidak ada pertanyaan. Hanya kesunyian dan kehadirannya.
Tapi hari ini berbeda. Ada sesuatu yang terasa aneh dari cara dia melangkah. Ada semacam kelelahan di wajahnya, sesuatu yang tidak bisa aku pahami, meski aku sudah cukup lama mengenalnya.
Aku melanjutkan pekerjaanku dengan setengah hati. Mataku sesekali melirik ke arahnya, berharap dia akan memulai percakapan, seperti biasanya. Tapi dia hanya duduk, menatap buku-buku di depannya tanpa benar-benar membacanya. Aku menghela napas, lalu beranjak dari kursi dan mendekat.
“Althea,” kataku, suaraku terdengar pelan di tengah ruang yang sunyi.
Dia mengangkat kepalanya, matanya yang biasanya cerah kini tampak jauh. Seperti ada awan kelabu yang melintas di sana. Dia tersenyum tipis, tetapi senyuman itu bukan senyuman yang aku kenal.
“Ada yang bisa aku bantu?” tanyaku, berusaha memecah keheningan.
Dia mengangguk pelan, tapi tetap tidak mengucapkan kata-kata. Aku tahu dia ingin bicara, tapi sepertinya ada sesuatu yang menghalangi.
“Apa kamu butuh sesuatu?” tanyaku lagi, kali ini sedikit lebih tegas. Aku berharap jawabannya kali ini lebih jelas.
Dia menggelengkan kepala, tetapi matanya tetap tak lepas dari buku yang ada di depannya. Beberapa detik berlalu, dan aku merasa semakin tidak nyaman dengan suasana yang mengental di antara kami. Ada sesuatu yang tidak beres, aku bisa merasakannya, meski aku tidak tahu apa itu.
Aku duduk di kursi di hadapannya, menunggu dia untuk membuka mulut. Aku sudah terlalu lama mengenal caranya berdiam diri, tetapi kali ini rasanya berbeda. Seolah-olah, kata-kata yang ingin dia ucapkan terhenti di tenggorokannya.
“Ada yang ingin kamu bicarakan?” tanyaku, akhirnya memutuskan untuk menggali lebih dalam.
Dia menatapku sejenak, dan aku bisa melihat pergulatan di dalam matanya. Aku ingin tahu, aku ingin memahami. Tetapi dia tidak menjawab, hanya menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan sesuatu yang begitu berat.
“Vian,” katanya akhirnya, suaranya terdengar begitu rendah dan penuh kepedihan. “Aku merasa… aku harus pergi.”
Aku tertegun, kata-katanya menghantamku seperti batu besar. Pergi? Kenapa? Aku mencoba untuk menahan diri agar tidak bertanya terlalu banyak, tapi hatiku sudah mulai gelisah.
“Ke mana?” tanyaku, walaupun aku sudah bisa menebak jawabannya. Tapi aku ingin mendengarnya langsung darinya.
Dia menarik napas panjang, dan akhirnya mengangkat wajahnya. Ada kerutan di dahinya, dan matanya yang biasanya tajam kini tampak jauh, seperti sedang berjuang untuk tetap tenang.
“Ke tempat yang lebih baik,” jawabnya pelan. “Ke tempat yang tidak ada kenangan ini. Aku tidak bisa lagi berada di sini, Vian.”
Aku merasa ada yang pecah dalam diriku mendengar kata-katanya. Sebuah rasa kosong yang datang begitu cepat, begitu mendalam. Aku tidak tahu harus berkata apa, hanya menatapnya, berusaha mencerna setiap kata yang keluar dari mulutnya.
“Apa maksud kamu?” tanyaku, meski aku sudah tahu jawabannya, meski aku tak ingin mendengarnya. “Kenapa kamu ingin pergi?”
Dia mengusap matanya, lalu menunduk. “Karena aku tidak bisa terus bertahan di sini, dengan semua harapan yang tak pernah terwujud. Kamu baik, Vian. Terlalu baik untuk seseorang sepertiku. Tapi aku… aku tidak bisa.”
Kata-katanya semakin membuat dadaku terasa sesak. Althea adalah segalanya bagiku. Dia adalah segala hal yang aku harapkan, yang aku impikan. Tapi aku tahu, di dalam dirinya ada sesuatu yang tak bisa aku pahami, sesuatu yang membuatnya merasa harus pergi. Aku tidak bisa menahannya.
“Jadi, kamu akan pergi?” tanyaku dengan suara yang hampir tak terdengar. Aku merasa seperti ditinggalkan oleh sesuatu yang begitu berarti, dan aku tidak tahu bagaimana cara menghadapinya.
Althea mengangguk pelan, senyumnya kembali muncul, meskipun kali ini sangat tipis dan penuh kesedihan. “Aku harus, Vian. Kamu akan baik-baik saja. Aku yakin itu.”
Aku ingin mengatakan sesuatu, ingin memintanya untuk tetap tinggal, untuk memberi kita kesempatan. Tapi kata-kata itu terhenti begitu saja di tenggorokanku. Aku tahu, dia sudah membuat keputusan.
Dia berdiri perlahan, mengambil tas kecil di samping kursinya, dan berjalan menuju pintu. Aku hanya bisa berdiri di sana, terdiam, melihatnya melangkah pergi. Tak ada kata pamit, tak ada pelukan, hanya langkah-langkahnya yang semakin menjauh.
Ketika pintu toko tertutup, aku tetap berdiri di tempatku. Hujan di luar semakin deras, dan aku merasa, untuk pertama kalinya, kesendirian ini begitu nyata. Cinta yang tidak pernah terucapkan, harapan yang hilang begitu saja. Aku merasa kehilangan.
Namun, aku juga tahu, ini bukan akhir. Karena meski dia pergi, Althea tetap akan ada di sini—di setiap sudut toko ini, di setiap ingatan yang tak akan pernah pudar.
Percakapan yang Tertunda
Beberapa hari berlalu sejak Althea meninggalkan toko buku ini, meninggalkan aku dengan segala rasa yang tak terungkapkan. Pagi-pagi aku masih membuka pintu toko dengan kebiasaan lama—mencium aroma buku dan secangkir kopi yang selalu menemani. Tapi, sepertinya segala sesuatunya sudah berbeda. Rasanya ruang ini lebih sepi, lebih kosong, meski aku tahu secara fisik tidak ada yang berubah.
Aku mencoba untuk mengalihkan perhatian pada buku-buku yang harus diurus, memindahkan beberapa rak, merapikan koleksi novel lama, dan menyusun katalog. Tapi tidak ada yang bisa membuat aku merasa lebih baik. Di setiap sudut toko ini, ada kenangan tentang Althea. Setiap buku yang aku pegang, setiap halaman yang aku baca, semuanya terasa lebih berat, seolah-olah tak lagi ada makna tanpa dia di sini.
Aku duduk di belakang meja kasir, menggenggam cangkir kopi yang sudah dingin. Pikiranku masih terjebak pada kata-kata terakhir Althea. “Aku harus pergi.” Kalimat itu terus berputar-putar di kepalaku, mengganggu, mengusik. Kenapa? Kenapa dia merasa seperti itu? Aku tahu dia tak pernah mudah mengungkapkan perasaan, tapi tak bisakah dia memberi aku satu kesempatan lagi? Untuk menjelaskan, untuk memperbaiki yang sudah terlambat?
Tiba-tiba, pintu toko berderit lagi. Aku menoleh tanpa berharap apa-apa, tapi hatiku berdebar lebih cepat. Tidak mungkin. Tapi suara langkahnya—aku mengenalnya dengan baik. Langkah itu pasti milik Althea.
Dia masuk dengan wajah yang tampak lelah, matanya sedikit sembab. Aku bisa melihat dia berusaha tersenyum, tapi senyum itu hanya setengah hati. Seperti ada sesuatu yang dipendam begitu dalam. Dia berhenti di depan meja kasir, berdiri sebentar sebelum akhirnya mengangkat kepala dan bertemu pandanganku.
“Vian,” suaranya terdengar lebih kecil dari biasanya, lebih rapuh. “Aku… aku ingin bicara.”
Aku tak bisa menyembunyikan kebingunganku. Althea? Setelah semua yang terjadi? Setelah aku melihatnya pergi tanpa kata? Hati kecilku berkata, ini kesempatan untuk menjelaskan, untuk menyelesaikan semuanya, tetapi aku juga takut. Takut kalau dia hanya akan pergi lagi.
“Silakan,” jawabku, berusaha terdengar tenang meski jantungku berdetak keras.
Dia duduk perlahan di kursi sebelah meja, seolah-olah dia sedang mencari keberanian untuk berkata-kata. Aku menatapnya, tak ingin mengganggu, memberi ruang untuknya mengungkapkan apa yang dia rasakan. Tapi dia hanya diam, seperti kata-kata yang ada dalam kepalanya terperangkap.
Aku menghela napas, mencoba untuk memulai percakapan. “Kenapa kamu pergi, Althea? Kenapa sekarang? Apa yang berubah?”
Dia menatapku, ada rasa sakit yang tampak di matanya. Rasa yang aku kenal, rasa yang selalu ada di balik senyum manisnya. Tapi kali ini, ada lebih banyak kesedihan. “Aku… aku harus pergi, Vian,” katanya pelan. “Aku tahu aku tidak bisa terus seperti ini. Aku merasa… aku tidak pantas mendapatkan kamu. Kamu terlalu baik untuk seseorang seperti aku.”
Aku merasa mataku mengerjap, dan dada aku terasa sesak mendengar itu. “Apa maksudmu? Kenapa kamu bilang begitu?” Suaraku terdengar lebih tegas dari yang aku inginkan. “Kamu selalu bilang kamu tidak ingin merasa tergantung, tapi apakah itu alasan untuk menghindar dari kita?”
Althea menunduk, tangannya meremas ujung tasnya yang ada di pangkuannya. “Aku takut, Vian. Aku takut kalau aku semakin dekat, semakin banyak harapan yang akan aku buat, semakin banyak perasaan yang akan aku bangun, tapi akhirnya aku akan menyakiti kamu. Aku… aku tidak tahu bagaimana cara untuk tidak melukai orang yang aku sayangi.”
Aku merasa seperti terhantam. Ada sesuatu dalam kata-katanya yang membuat aku terdiam. Aku bisa merasakan betapa dalam perasaan itu mengalir dalam dirinya. Aku bisa merasakan ketakutannya, rasa takut yang aku tak pernah benar-benar bisa pahami. Tapi satu hal yang aku tahu, aku tidak ingin melepaskannya.
“Jangan berpikir begitu,” kataku, mencoba untuk menenangkan diri dan menenangkan Althea. “Kita semua punya ketakutan, Althea. Tapi bukan berarti kita harus lari dari itu. Kenapa kita harus menyerah begitu saja, kalau belum benar-benar mencoba?”
Dia mengangkat wajahnya, mata kami bertemu. Matanya tampak lebih lelah dari sebelumnya, dan aku bisa melihat dia berjuang untuk menahan air mata yang hampir tumpah.
“Aku tidak ingin kamu terluka,” jawabnya dengan suara yang bergetar. “Aku tidak tahu apakah aku bisa menjadi orang yang kamu harapkan. Aku tidak ingin jadi bebanmu.”
Aku menggelengkan kepala, mendekatkan diriku sedikit kepadanya. “Kamu bukan beban, Althea. Kamu hanya takut. Dan itu hal yang manusiawi. Tapi kamu harus tahu, aku lebih takut kalau kita tidak pernah mencoba sama sekali.”
Dia terdiam lama, seakan memikirkan setiap kata yang aku ucapkan. Suasana menjadi semakin intens, setiap detik terasa seperti beban berat yang tak bisa dilepaskan. Kami berdua tenggelam dalam ketegangan yang tak terucapkan, dan aku bisa merasakan betapa dekatnya jarak di antara kami. Tak ada yang bergerak, hanya suara hujan di luar yang mengisi kekosongan ini.
Akhirnya, dia menghela napas panjang. “Aku… aku butuh waktu, Vian. Aku butuh waktu untuk memikirkan semuanya.”
Aku mengangguk pelan, meskipun dalam hatiku terasa ada rasa kecewa yang mengganjal. Tapi aku mengerti. Althea bukan seseorang yang bisa dipaksa. Dia perlu waktu, dan aku harus memberinya waktu itu. Aku tidak bisa memaksakan perasaanku.
“Kalau begitu,” kataku pelan, “Aku akan menunggu.”
Dia menatapku sejenak, kemudian berdiri perlahan. “Terima kasih, Vian,” katanya, suara penuh kehangatan meskipun ada rasa ragu yang masih jelas terlihat di matanya. “Aku akan pergi sekarang.”
Aku hanya bisa mengangguk, meskipun hati ini ingin memeluknya dan meminta dia untuk tetap tinggal. Tetapi aku tahu, kadang kita harus memberi ruang bagi orang yang kita cintai untuk menemukan jalan mereka sendiri.
Ketika pintu toko kembali tertutup, aku merasa lebih ringan, meskipun masih ada kekosongan yang tak bisa aku hilangkan. Namun, aku tahu satu hal. Ini belum berakhir. Percakapan ini masih tertunda.
Langkah-Langkah Tanpa Jejak
Waktu terus berjalan. Hari-hari berlarut dalam rutinitas yang biasa, tapi ada satu hal yang tak biasa: aku semakin terbiasa dengan kekosongan ini. Setiap pagi, aku membuka toko dengan harapan samar bahwa mungkin saja Althea akan datang lagi. Mungkin dia akan muncul di ambang pintu seperti dulu, tersenyum dengan tatapan penuh rahasia. Tapi hari demi hari, tidak ada yang berubah. Hanya ada aku, toko, dan kesunyian yang semakin nyata.
Malam ini, hujan turun lagi—seperti malam terakhir kami berbicara. Hujan seolah membawa kenangan yang tak pernah bisa kulupakan. Aku duduk di pojok toko, dengan lampu yang remang-remang, ditemani buku-buku yang mengelilingi seolah mencoba memberikan pelukan yang tenang. Tapi hati ini masih terasa kosong.
Setiap kali mengingat tatapan Althea malam itu, rasa perih kembali menghantui. Meskipun dia tidak pernah berkata secara langsung, ada sesuatu dalam dirinya yang berteriak meminta pertolongan. Sesuatu yang belum aku pahami. Keputusannya untuk menjauh adalah bentuk perlindungan baginya, namun rasa sakitnya juga adalah bukti betapa rapuhnya hati itu.
Tanpa sadar, aku meraih ponsel yang tergeletak di meja. Ada nomor Althea yang sudah aku simpan sekian lama. Jari-jariku mulai bergerak, menekan beberapa huruf, membentuk pesan yang sudah lama ingin kukirim tapi tak pernah berani:
“Althea, aku hanya ingin tahu, apa kamu baik-baik saja? Aku tidak ingin menekanmu, tapi tolong, setidaknya beri tahu aku kalau kamu masih di sini, masih di dunia yang sama denganku.”
Aku membaca ulang pesan itu. Di dalam hati, aku tahu pesan ini terlalu berlebihan. Tapi sebelum logika menghentikanku, aku menekan tombol kirim. Layar berubah, pesan terkirim. Ada jeda singkat di mana aku merasa seperti sudah membuka diri sepenuhnya, membuatku merasa lemah. Aku membiarkan ponsel tergeletak di atas meja, berusaha menahan diri dari harapan yang mungkin tidak pernah terpenuhi.
Berjam-jam berlalu, tapi tak ada jawaban. Matahari pagi mulai menyusup dari celah-celah jendela toko. Dan aku tahu, Althea mungkin tak akan membalas pesan ini. Mungkin, pesanku hanya akan menjadi pesan yang tak terbaca—seperti perasaanku padanya.
Ketika aku sedang merapikan rak-rak buku yang berantakan, pintu toko terbuka. Aku menoleh dengan refleks, tapi ternyata hanya seorang pelanggan biasa yang masuk. Sekilas aku merasa kecewa, tapi aku segera mengabaikannya, kembali sibuk dengan pekerjaanku. Namun, saat dia meninggalkan toko, pintu kembali terbuka. Langkah-langkah itu terdengar, dan ada sesuatu yang membuat aku menoleh lagi. Kali ini, langkah itu bukan milik pelanggan biasa.
Althea berdiri di sana. Dia tampak lebih tenang, meski ada ketegangan yang terlihat di wajahnya. Dengan ragu, dia melangkah mendekat, berhenti beberapa meter di depanku. Kami saling menatap, tak ada kata-kata yang terucap untuk beberapa detik yang terasa sangat panjang.
“Althea,” aku memanggil namanya perlahan, setengah takut bahwa ini hanya khayalan.
Dia mengangguk kecil. “Vian, aku… aku baca pesannya.”
Suara itu langsung memecahkan dinding kebekuan di antara kami. Seolah-olah segala rasa takut dan ragu yang menahan kami berdua tiba-tiba runtuh. Tapi aku tak ingin terburu-buru, tak ingin menakutinya. Aku hanya menunggu, memberi dia ruang untuk melanjutkan.
Dia menunduk sejenak, kemudian mengangkat pandangannya lagi. “Maaf kalau aku membuat kamu menunggu tanpa kepastian. Ada banyak hal yang… yang aku sembunyikan darimu.”
Aku menelan ludah, berusaha menenangkan diri. “Aku di sini, Althea. Kamu bisa cerita kalau kamu merasa siap.”
Dia menghela napas panjang, seolah sedang berusaha keras menemukan kata-kata yang tepat. “Aku punya masa lalu yang… sulit, Vian. Hal-hal yang belum aku selesaikan dengan diriku sendiri. Dan aku takut kalau hal-hal itu akan menyakiti kamu.”
Aku merasa beban yang berat di dadaku berangsur-angsur terangkat. Althea tidak menjauh karena dia tidak peduli, tapi karena dia terlalu takut pada bayangannya sendiri. Tapi tetap saja, kata-katanya belum benar-benar memberiku kejelasan.
“Aku bisa mengerti kalau ada hal-hal yang sulit,” kataku pelan. “Tapi kenapa kamu merasa harus menghadapinya sendiri?”
Dia tersenyum kecil, pahit. “Karena aku tidak ingin menyeretmu ke dalam luka yang belum sembuh ini. Aku takut kalau kamu akan berubah pikiran, kalau kamu akan pergi seperti orang lain yang pernah aku coba percayai.”
Aku merasa dunia berhenti sejenak saat dia mengatakannya. Ada rasa sakit dalam suaranya, yang membuat aku ingin merangkulnya, memastikan dia bahwa aku tak akan pergi. Tapi aku hanya bisa menatapnya, berusaha memberinya ketenangan.
“Aku bukan mereka, Althea,” jawabku, mencoba terdengar tegas meskipun suaraku nyaris bergetar. “Aku di sini karena aku peduli. Bukan karena aku ingin kamu jadi sempurna, atau tanpa luka. Aku ingin ada di sini untukmu, apapun yang terjadi.”
Dia tersentak sejenak, seolah kata-kataku memecahkan sesuatu yang rapuh di dalam dirinya. Air matanya menggenang di sudut matanya, tapi dia tetap mencoba mempertahankan senyumnya. “Kamu selalu bisa mengatakan hal-hal yang membuatku merasa seperti manusia lagi,” katanya dengan suara bergetar.
Aku hanya tersenyum. “Itu karena aku tahu siapa kamu sebenarnya.”
Suasana hening kembali menyelimuti kami, tetapi kali ini hening yang nyaman. Aku bisa merasakan beban yang dia bawa, dan untuk pertama kalinya, dia membiarkanku melihatnya. Meskipun masih banyak pertanyaan yang belum terjawab, aku merasa bahwa kehadiran ini, percakapan ini, adalah awal dari sesuatu yang lebih dalam.
Akhirnya, Althea mengusap air matanya, tersenyum kecil. “Vian, aku tidak tahu bagaimana harus membalas semua kebaikanmu. Tapi aku ingin mencoba. Aku ingin mencoba menjadi seseorang yang bisa menerima ini, yang bisa menerima kamu.”
Aku mengangguk, meskipun hatiku dipenuhi perasaan yang sulit diungkapkan. “Itu sudah cukup bagiku, Althea.”
Dia menghela napas panjang, dan kami kembali terdiam, larut dalam kesunyian yang kali ini tidak menyakitkan. Aku tahu bahwa perjalanan ini belum berakhir, bahwa luka yang dia bawa masih membutuhkan waktu untuk sembuh. Tapi setidaknya, untuk pertama kalinya, kami melangkah bersama. Aku tak tahu apa yang akan terjadi esok hari, namun satu hal yang aku tahu pasti: aku tidak akan melepaskan tangannya begitu saja.
Dan di tengah heningnya toko buku ini, di bawah sinar matahari yang mulai tenggelam, kami duduk berdua, menjalani momen yang mungkin sederhana bagi orang lain, tapi begitu berarti bagi kami berdua.
Titik Tanpa Kembali
Beberapa minggu berlalu sejak percakapan malam itu di toko. Hubunganku dengan Althea perlahan mulai terasa lebih nyata, lebih jujur, meski masih penuh ketidaksempurnaan. Ada hari-hari di mana aku merasa Althea sudah semakin percaya, membiarkan aku masuk lebih jauh ke dunianya. Namun ada juga saat-saat dia masih tergelincir ke dalam kesendirian yang begitu dalam, di mana aku hanya bisa berdiri di tepi, berusaha sabar menantinya kembali.
Pagi ini, aku duduk di kursi favoritku di toko, memandang ponselku. Setiap kali mengirim pesan pada Althea, selalu ada sedikit kegelisahan yang bersembunyi, takut dia menghilang lagi. Tapi sejauh ini, dia terus merespon—balasannya pelan-pelan menjadi cermin dari perasaannya yang kian tulus.
Hingga hari itu tiba.
Althea tiba-tiba datang ke toko dengan raut wajah yang sulit diartikan. Ada kegelisahan dan kepastian yang aneh di sana, seperti seseorang yang sudah memutuskan sesuatu yang besar.
“Vian…” katanya pelan, suaranya hampir tenggelam di antara rak-rak buku. “Aku harus bicara sesuatu yang penting.”
Aku menatapnya, mencoba membaca sesuatu di balik mata cokelatnya yang lelah. Tapi kali ini, mereka menyimpan rahasia yang tak bisa kutebak. “Ada apa?”
Dia menghela napas, dan untuk beberapa saat, hanya ada keheningan yang melingkupi kami.
“Aku akan pergi dari kota ini,” ucapnya akhirnya.
Kata-katanya menggantung di udara, menghantamku dengan rasa sakit yang tak terduga. Aku menatapnya, berharap bahwa ini hanya kesalahpahaman atau lelucon buruk. Tapi dia hanya menundukkan pandangan, menghindari tatapanku, seolah-olah tahu bahwa aku tidak akan siap mendengarnya.
“Kenapa?” tanyaku, suaraku terdengar lebih bergetar dari yang aku inginkan.
“Ada banyak alasan, Vian. Pekerjaan yang lebih baik, kehidupan baru… dan mungkin juga karena aku ingin memberi jarak dengan semua hal yang masih mengingatkanku pada masa lalu.” Dia menatapku lagi, dengan mata yang dipenuhi kesedihan dan ketegaran. “Ini bukan karena kamu, tapi karena aku.”
Aku merasakan seakan ada sesuatu yang remuk di dalam dadaku, tapi aku berusaha menahan diri. Dia punya hak atas keputusannya. Dia punya hak untuk memilih jalannya, bahkan jika itu berarti meninggalkanku.
“Kamu yakin ini keputusan yang kamu mau?” tanyaku, meski aku tahu jawabannya.
Dia mengangguk perlahan. “Aku harus mencoba, Vian. Aku harus tahu apakah aku bisa berdamai dengan masa laluku. Aku tak bisa terus bergantung padamu untuk merasakan diri ini utuh. Aku… aku perlu menemukan diriku sendiri.”
Kata-katanya seakan menutup seluruh kemungkinan yang aku coba cari. Ini bukan tentang aku, tapi tentang perjalanan Althea. Sebuah perjalanan yang mungkin tak pernah bisa kulalui bersamanya.
“Aku mengerti,” kataku pelan. Ada perih yang dalam di sana, tapi aku berusaha tersenyum, memberinya keyakinan meski hatiku sendiri terasa hancur.
Dia mendekat, memegang tanganku untuk pertama kalinya dengan lembut, hangat yang begitu akrab namun akan segera menjadi kenangan. “Terima kasih sudah menjadi pelipur saat aku hampir tenggelam. Terima kasih sudah mau menerima aku apa adanya.”
Aku tak mampu berkata-kata lagi, hanya menatap tangannya yang menggenggamku, berharap bisa mengabadikan setiap detik. “Aku akan selalu ada untukmu, Althea. Meskipun kita tak lagi berjalan beriringan.”
Dia mengangguk, menahan air mata yang hampir jatuh. “Itu yang membuatku merasa kuat, Vian. Terima kasih sudah memberiku kebebasan untuk memilih ini.”
Kami berdiri di sana, dalam keheningan yang seolah-olah adalah perpisahan abadi. Dan sebelum semuanya selesai, aku menariknya dalam pelukan terakhir. Aku tak tahu apakah aku akan bertemu lagi dengannya, atau jika dia akan menemukan kedamaian yang dia cari. Tapi aku tahu, seberapa besar pun luka yang dia bawa, dia telah menjadi bagian dari hidupku yang takkan pernah hilang.
Akhirnya, dia menarik diri, menatapku dengan senyum yang getir. “Jaga dirimu, Vian. Jangan berhenti percaya pada cinta, bahkan jika cinta itu tak bertuan.”
Dengan langkah perlahan, dia meninggalkanku, meninggalkan toko yang sunyi, meninggalkan ruang kosong yang dulu selalu terisi oleh harapanku. Aku berdiri di sana, menyaksikan kepergiannya, menyadari bahwa perjalananku kini juga berubah tanpa kehadirannya.
Aku tak tahu bagaimana rasanya melanjutkan hidup tanpa Althea. Tapi satu hal yang aku pelajari dari cinta ini adalah, terkadang yang terpenting bukanlah akhir cerita, melainkan keberanian untuk menjalani setiap detiknya, meskipun tak selalu bahagia.
Dan dengan perasaan yang tak menentu, aku melangkah ke depan, membawa kenangan itu bersama harapan yang tak bertuan.
Kadang, cinta itu emang nggak punya alamat tetap—datang, bikin kita nyaman, terus pergi ninggalin tanda tanya besar. Tapi di balik semua luka dan kenangan yang nggak selesai, kita belajar satu hal: cinta yang tak bertuan itu nggak selalu harus dimiliki buat bikin kita lebih kuat. Karena mungkin, yang paling penting adalah gimana kita bangkit lagi setelahnya, meski dia nggak pernah benar-benar jadi milik kita.