Cinta Seorang Cowok Miskin: Perjalanan Berat Menuju Harapan dan Kebahagiaan

Posted on

Jadi, pernah nggak sih kamu merasa hidup itu nggak adil? Kayak semua orang di sekitar kamu punya segala yang mereka butuhin, sementara kamu cuma bisa bertahan dengan apa yang ada.

Ini cerita tentang Riyan, seorang cowok yang hidupnya penuh perjuangan dan kehilangan, tapi ada satu hal yang nggak bisa diambil sama siapapun dari dirinya—harapan. Buat kamu yang lagi ngerasa terpuruk dan nggak tahu harus gimana, cerpen ini mungkin bisa kasih sedikit cahaya buat kamu.

 

Cinta Seorang Cowok Miskin

Mimpi yang Terpaut di Ujung Jalan

Riyan duduk di bangku kayu tua di ujung taman kampus, menatap langit yang mulai gelap. Angin sore berhembus pelan, menggerakkan daun-daun yang berserakan di tanah. Kampusnya tak terlalu besar, tapi cukup untuk membuat dia merasa kecil. Sambil memandang langit, pikirannya mengembara jauh, kembali ke hari pertama dia melihat Vania.

Vania—gadis itu—selalu menjadi pusat perhatian, entah di mana dia berada. Rambut panjangnya yang tergerai, senyum cerianya yang selalu tampak alami, dan cara dia berbicara yang membuat orang merasa seperti berada di dunia yang lebih baik. Semua orang menyukainya. Semua orang ingin berada di dekatnya. Riyan tahu betul itu. Tetapi dia, dengan segala kesederhanaannya, tak pernah memiliki keberanian untuk mendekatkan diri. Tak pernah punya cukup alasan selain satu: dia bukan siapa-siapa bagi Vania.

Hari itu seperti biasa. Riyan berjalan menuju kelas, buku di tangan kiri, dan tas hitam yang hampir robek di bahu kanannya. Ketika dia melintas di depan perpustakaan, pandangannya tanpa sengaja bertemu dengan sosok yang sudah berhari-hari mengganggu pikirannya. Vania. Dia duduk di salah satu meja, membaca buku tebal dengan sepenuh hati. Satu hal yang selalu menarik bagi Riyan adalah bagaimana Vania bisa begitu tenggelam dalam dunianya sendiri, meskipun banyak orang di sekitarnya.

Riyan berhenti sejenak, memandangi Vania dengan canggung. Tidak tahu apa yang harus dia lakukan—apakah harus terus berjalan atau sekadar menyapa. Tapi sebelum dia bisa membuat keputusan, suara halus dari Vania memecah kesunyian.

“Hai, Riyan,” kata Vania, mengangkat pandangannya dari buku. Suaranya begitu lembut, begitu hangat.

Riyan terkejut, seolah seluruh tubuhnya terkunci sejenak. “H-hi, Vania,” jawabnya pelan, hampir tak terdengar.

Vania tersenyum, dan itu membuat Riyan merasa seakan dunia berhenti berputar. “Kamu lagi baca buku yang sama ya?” tanya Vania sambil menunjuk ke buku di tangan Riyan, yang kebetulan memang sama dengan bukunya.

Riyan mengangguk, mencoba mengatasi rasa gugupnya. “Iya, ini tentang teori psikologi. Cukup menarik.” Suaranya terdengar agak kaku, tapi dia berharap bisa lebih santai.

Vania memiringkan kepala, seolah tertarik dengan jawaban Riyan. “Aku juga baru mulai baca buku itu. Banyak hal baru yang aku temui,” katanya sambil mengusap buku itu dengan telapak tangan. “Kamu sering ke perpustakaan sini?”

Riyan mengangguk, meskipun sebenarnya dia lebih sering datang ke sini karena kesendirian dan ketenangan yang didapatkan. “Iya, aku lebih suka tempat yang tenang,” jawabnya, berusaha mengalihkan perhatian dari dirinya yang canggung.

Vania mengangguk, kemudian menutup bukunya perlahan. “Kalau gitu, mungkin kita bisa saling berbagi opini tentang buku ini nanti. Aku suka diskusi buku,” katanya dengan senyum yang tak bisa disembunyikan.

Riyan merasa seperti ada yang melompat dalam dadanya. Hatinya berdebar begitu kencang. “Tentu,” jawabnya, meskipun dia tidak yakin bagaimana dia bisa berdiskusi tentang hal yang sama sekali tak pernah dia bicarakan dengan orang lain.

Vania tersenyum lagi, lalu bangkit dari kursinya. “Aku pergi dulu ya, Riyan. Sampai nanti.”

Riyan hanya bisa mengangguk, mulutnya terasa kering. Seperti baru saja melihat sesuatu yang luar biasa, namun tak tahu harus merespons bagaimana. Vania berjalan pergi, meninggalkan Riyan yang masih berdiri di tempatnya, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.

Sejak hari itu, segala sesuatunya berubah. Perasaan Riyan mulai tumbuh. Setiap kali dia melihat Vania, dia merasa ada harapan baru, meskipun sadar itu mungkin hanya harapan kosong. Dalam setiap percakapan singkat mereka, Riyan merasa seperti dunia bisa sedikit lebih cerah. Tetapi di balik perasaan itu, ada kesadaran yang terus mengingatkan dirinya—Vania bukan untuknya.

Hari demi hari berlalu, dan setiap kali dia melihat Vania tertawa dengan teman-temannya, atau berdiskusi tentang kehidupan dengan orang-orang yang lebih cocok untuknya, hatinya terasa lebih berat. Riyan sering kali duduk sendirian di sudut kelas, memandang Vania dari kejauhan. Dia tahu dia tak bisa memberikan apa-apa yang Vania butuhkan. Dia tak punya segalanya yang bisa membuat gadis itu berhenti dan menoleh.

Suatu sore, saat Riyan sedang duduk di bangku taman dekat kantin, matanya kembali tertuju pada Vania. Kali ini, dia duduk bersama teman-teman dekatnya, tertawa dengan lepas. Di antara mereka ada seorang pria—lebih tinggi, lebih percaya diri, dan jauh lebih populer dari Riyan. Vania tampak sangat menikmati kebersamaan mereka. Mereka berbicara dan tertawa, dan Riyan merasa seperti menjadi bayangan di sudut yang gelap.

Itulah saat pertama kali dia merasakan kekecewaan yang luar biasa. Sesuatu yang selalu mengganggu pikirannya—bahwa mungkin, dia hanya akan menjadi penonton dalam kisah hidup Vania. Dan di saat yang sama, Riyan mulai merasakan betapa beratnya perasaan itu.

Di tengah keramaian itu, dia merasa seperti kehilangan arah. Dunia Vania terlalu besar, dan Riyan hanyalah seorang yang tidak punya tempat di sana. Namun, meski begitu, dia tetap berharap—meski sangat sadar bahwa harapan itu mungkin hanya akan berakhir dengan patah hati.

Hari-hari berjalan seperti biasa, namun bagi Riyan, semuanya terasa semakin menjauh. Vania, dengan dunia penuh warna dan gemerlap, dan dia, yang hanya bisa menyaksikan dari kejauhan. Tidak ada yang berubah—kecuali perasaan yang semakin dalam dan semakin tak terjangkau.

 

Percakapan di Antara Hujan dan Buku

Langit mendung saat Riyan berjalan keluar dari kelas. Hujan rintik mulai turun perlahan, membasahi aspal kampus yang sudah cukup ramai. Dia menatap langit yang kelabu, merasakan tetes-tetes air yang menyentuh kulitnya. Tidak ada yang istimewa tentang sore ini. Hanya hujan, kampus yang sibuk dengan mahasiswa, dan dirinya yang kembali merasa terasing.

Riyan menghela napas, mencoba mengusir rasa kecewa yang selalu mengikutinya. Sejak beberapa hari yang lalu, perasaan itu semakin menguasainya. Setiap kali dia melihat Vania, ada perasaan hangat yang muncul, tetapi juga rasa sakit yang mulai membekas. Perasaan yang semakin sulit untuk disembunyikan.

Namun, hari itu, Riyan tidak bisa menghindar dari kenyataan. Dia kembali melangkah ke perpustakaan—tempat yang selalu memberinya ketenangan. Dulu, itu hanya tempat untuk belajar, untuk mencari buku-buku tebal yang kadang-kadang dia butuhkan. Tapi sekarang, tempat itu terasa seperti ruang pertemuan tak terduga antara harapan dan kenyataan.

Di sana, di meja pojok yang biasa, dia melihat Vania lagi. Tapi kali ini, sesuatu berbeda. Vania tidak sendirian. Di hadapannya duduk seorang pria yang tampaknya lebih dekat dengan Vania. Riyan mengenali wajah itu—pria itu adalah Andra, teman sekelas Vania yang sudah dikenal banyak orang di kampus. Seorang pria dengan senyum yang selalu memikat, dengan kepercayaan diri yang tinggi. Riyan tahu betul siapa Andra—dan tahu juga bahwa Vania selalu ada di dekatnya.

Riyan berhenti sejenak di pintu perpustakaan, ragu apakah akan masuk atau pergi. Tetapi, sepertinya sudah terlambat. Vania melihatnya.

“Hai, Riyan!” suara Vania menyapa, dan tanpa sadar, Riyan merasakan jantungnya berdebar lebih cepat.

Riyan membalas dengan senyum tipis, meskipun dalam hatinya ada rasa tidak nyaman. “Hei, Vania,” jawabnya, sedikit gugup. “Lagi baca buku juga?”

Vania mengangguk, senyum hangat yang selalu ada di wajahnya. “Iya, baru selesai ujian, jadi aku mau nyari sesuatu yang ringan. Kamu sendiri, lagi sibuk?” tanyanya, matanya mencuri pandang ke Andra yang kini mulai ikut tersenyum.

Riyan merasa seperti ada batu besar yang menekan dadanya. Andra menatapnya sejenak, lalu menyapa dengan sikap biasa. “Oh, kamu juga di sini ya, Riyan?” Suaranya terdengar ramah, tapi Riyan bisa merasakan ada sedikit kesan sombong yang tersembunyi. Andra bukan tipe orang yang butuh banyak usaha untuk menjadi pusat perhatian.

“Ya, aku… sekadar cari buku,” jawab Riyan, sedikit canggung. Dia merasa aneh berada di antara mereka, merasa dirinya semakin kecil.

Vania tersenyum lagi. “Kenapa nggak gabung sama kita, Riyan? Andra juga lagi cari referensi buat tugas. Mungkin bisa saling bantu,” katanya. Tawaran itu terdengar ramah, tetapi ada sesuatu yang terasa tidak sesuai. Riyan tahu bahwa dia tidak akan pernah bisa bersaing dengan Andra—dengan segala kelebihan yang dimilikinya.

Riyan menghela napas dalam hati. Dia tahu dia hanya mengganggu. “Makasih, tapi aku… ada urusan lain,” jawabnya dengan suara yang hampir terdengar ragu. Dia berharap bisa keluar dari situasi ini dengan cara yang lebih baik, tapi justru semakin merasa terperangkap.

Vania tampak sedikit bingung. “Oh, ya sudah kalau gitu,” katanya, dan senyum itu perlahan hilang dari wajahnya. Riyan bisa merasakan betapa cepatnya segalanya berubah. Mungkin dia tidak terlalu berarti bagi Vania. Mungkin dia hanya salah satu dari banyak orang yang lewat di hidupnya, tak lebih.

Riyan mulai mundur perlahan, berbalik menuju pintu perpustakaan. Tapi sebelum dia benar-benar melangkah keluar, Vania memanggilnya. “Riyan!”

Dia menoleh, merasa sedikit gugup. Vania berdiri dari tempat duduknya, matanya menyiratkan kekhawatiran. “Maaf kalau aku… bikin kamu merasa nggak nyaman tadi. Aku cuma pengen ngobrol lebih banyak,” kata Vania dengan suara lembut.

Riyan merasa ada getaran aneh dalam dadanya. Setiap kali Vania berbicara padanya, kata-katanya selalu membuatnya terperangkap antara harapan dan kenyataan. Dia ingin berterima kasih, tapi mulutnya terasa tertutup rapat. Semua yang ingin dia katakan terhenti sebelum keluar.

“Nggak apa-apa,” jawabnya pelan. “Aku cuma… perlu waktu sendiri.” Riyan berbalik dan berjalan keluar dari perpustakaan, meninggalkan Vania dan Andra di belakangnya.

Di luar hujan semakin deras. Riyan tidak peduli lagi. Dia berjalan dengan langkah cepat, tak peduli dengan basah yang mulai merembes ke bajunya. Setiap tetes hujan yang jatuh terasa seperti pukulan yang lebih dalam. Semua yang dia rasakan—semua yang dia harapkan—terasa semakin jauh, semakin tak terjangkau.

“Kenapa aku merasa begini?” pikirnya dalam hati. “Kenapa aku harus berharap pada sesuatu yang nggak akan pernah jadi milikku?”

Langkahnya semakin cepat, tapi di dalam dirinya, ada perasaan kosong yang semakin dalam. Mungkin inilah kenyataan yang harus dia terima. Mungkin cinta itu memang tak pernah dimaksudkan untuknya.

Namun, di balik semua itu, dia tak bisa berhenti berharap, meskipun tahu harapan itu mungkin hanya akan berakhir dengan lebih banyak luka.

 

Saat Semua Tertutup oleh Kabut

Riyan tidak tahu sudah berapa lama dia berjalan tanpa arah. Hujan yang turun semakin lebat, menyapu setiap jejak langkahnya, membasahi rambut dan bajunya. Dia merasakan kedinginan yang menusuk, namun lebih dari itu, hatinya terasa jauh lebih dingin. Setiap langkahnya seperti sebuah beban yang semakin berat. Kepalanya terasa berat, penuh dengan berbagai macam perasaan yang tak bisa dia ungkapkan. Dia merasa seperti terjebak dalam kabut yang tak bisa dia tembus, terperangkap dalam situasi yang seolah tidak pernah ada jalan keluarnya.

Setelah beberapa waktu berjalan, tanpa sadar dia sudah sampai di taman belakang kampus. Tempat itu sepi, dengan hanya sedikit cahaya lampu yang menembus di antara pepohonan rindang. Tidak ada suara selain desiran angin yang menggerakkan daun-daun. Riyan berdiri di sana, menatap langit yang kini hanya dipenuhi oleh awan gelap, seakan mencerminkan pikirannya yang kacau.

“Apa yang salah sama aku?” gumamnya pelan, menatap telapak tangannya yang basah. “Kenapa aku nggak bisa jadi seperti Andra?”

Riyan mengangkat kepalanya, menatap bintang yang hampir tak tampak. Hujan yang terus turun seolah menenggelamkan semuanya. Seakan langit juga ikut menangis bersamanya. Tapi di saat itu, Riyan merasa kosong. Tidak ada yang peduli. Tidak ada yang tahu apa yang dia rasakan. Bahkan dirinya sendiri seolah tidak bisa mengenali siapa dia lagi.

Langkahnya terhenti saat sebuah suara mengalihkan perhatiannya. “Riyan?”

Vania berdiri di ujung jalan setapak, memandangnya dengan mata penuh kekhawatiran. Hujan tampaknya tidak menghalanginya untuk datang. Riyan melihatnya, dan untuk sesaat, dia merasa ada semacam benteng yang runtuh di dalam dirinya. Dia tidak ingin melihat Vania. Tidak sekarang. Tidak ketika rasa sakit itu begitu menggerogoti hatinya.

Vania mendekat, langkahnya hati-hati. “Riyan, kamu kenapa? Kenapa nggak bicara sama aku? Aku… aku cuma pengen ngertiin kamu.”

Riyan menatapnya, tidak tahu harus berkata apa. Ada rasa kesal yang bercampur dengan perasaan aneh yang terus menghantui dirinya. “Kenapa kamu peduli, Vania?” tanyanya dengan nada yang sedikit keras, suara bergetar. “Kenapa kamu peduli dengan aku? Aku cuma cowok biasa yang nggak bisa ngasih apa-apa buat kamu. Aku nggak bisa jadi seperti Andra. Aku nggak punya apa-apa. Kamu harusnya cari yang lebih baik daripada aku.”

Vania terdiam sesaat, matanya tampak menyelidik, seolah berusaha memahami setiap kata yang keluar dari mulut Riyan. “Aku nggak peduli soal itu, Riyan. Aku peduli sama kamu. Aku nggak butuh seseorang yang sempurna. Aku cuma butuh kamu jadi diri kamu sendiri.”

Riyan merasakan rasa panas di dadanya. Kata-kata itu terasa seperti sebuah pukulan yang menyentuh hatinya, namun juga membuatnya semakin bingung. “Kamu nggak paham, Vania. Kamu nggak tahu betapa sulitnya hidup kayak aku. Kamu nggak tahu apa yang aku rasain setiap kali aku melihat kamu sama Andra.”

Vania mendekat lebih dekat, hampir sejajar dengan Riyan. “Aku tahu itu, Riyan,” katanya dengan suara lembut, tetapi penuh ketegasan. “Aku tahu kamu merasa nggak cukup. Tapi kamu nggak pernah sendirian. Aku ada di sini. Kamu nggak perlu jadi orang lain buat aku.”

Riyan menunduk, matanya mulai terasa panas. “Aku… nggak bisa, Vania. Aku nggak bisa terus begini. Kamu punya semuanya, sementara aku nggak punya apa-apa. Aku cuma cowok miskin yang nggak punya apa-apa untuk kamu.”

Vania menarik napas panjang. “Aku nggak pernah peduli soal itu, Riyan. Aku… aku peduli sama siapa kamu. Cuma itu. Kenapa kamu harus merasa terkucilkan? Kenapa kamu harus merasa nggak cukup hanya karena kamu nggak seperti orang lain?”

Tetesan air hujan yang jatuh ke pipi Riyan terasa seperti air mata yang selama ini dia tahan. Vania mendekat, meraih tangannya, memberi sentuhan yang hangat di tengah hujan yang semakin deras.

Riyan merasa ada kehangatan yang menyusup ke dalam dirinya, meredakan sebagian rasa sakit yang selama ini menggerogoti hatinya. “Vania…” suaranya serak, seolah sulit untuk melanjutkan kalimat. “Aku takut kehilangan kamu. Aku takut kamu akan pergi dan akhirnya menyesal…”

Vania mengusap punggung tangannya dengan lembut. “Aku nggak akan pergi, Riyan,” katanya dengan penuh keyakinan. “Aku ada di sini. Jangan pernah takut kehilangan sesuatu yang bahkan belum kamu miliki sepenuhnya.”

Tapi Riyan tahu, meskipun Vania ada di sana, perasaannya tetap rumit. Ada keraguan yang terus menggerogoti dirinya. Sebuah bagian dari dirinya yang merasa bahwa semua ini hanyalah sementara—seperti hujan yang akan berhenti begitu saja, meninggalkan tanah yang basah dan dingin.

“Vania,” suara Riyan hampir hilang, “Kamu nggak harus seperti ini. Kamu nggak harus membantu aku.”

Vania menatapnya dengan mata yang penuh keteguhan. “Aku ingin bantu kamu, Riyan. Aku ingin ada untuk kamu, bukan karena kamu butuh aku, tapi karena aku juga butuh kamu di sini.”

Ada keheningan beberapa detik di antara mereka. Hujan masih turun, tetapi kali ini, Riyan merasa sedikit lebih ringan. Walau masih ada banyak keraguan dalam hatinya, ia tahu bahwa perasaan itu—cinta yang tumbuh di antara mereka—mungkin lebih rumit daripada yang bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Namun, untuk pertama kalinya, Riyan merasa ada sedikit cahaya dalam kegelapan hatinya. Dan mungkin, hanya mungkin, itu sudah cukup untuk membuatnya bertahan lebih lama lagi.

 

Matahari yang Tiba Setelah Hujan

Pagi datang dengan perlahan, membawa cahaya yang hangat setelah hujan semalam. Riyan terbangun di kamarnya yang sempit, matanya masih terasa berat, dan perasaan semalam masih menggantung di dalam dirinya. Namun, ada satu hal yang berbeda pagi ini. Dia merasa sedikit lebih ringan, sedikit lebih mampu menghadapinya—meskipun masih banyak yang harus dia pertanyakan.

Dia duduk di pinggir tempat tidur, menatap jendela yang terbuka lebar, membiarkan udara pagi yang segar masuk. Hujan yang semalam meninggalkan jejak di bumi, dan di dalam dirinya, jejak itu mulai membentuk sesuatu yang baru. Sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata, tetapi lebih kepada perasaan yang tumbuh di dalam dirinya, perlahan, namun pasti.

Riyan menatap ke luar jendela, ke arah langit yang biru. Tidak ada awan gelap yang menghalangi cahaya matahari. Semuanya tampak lebih jelas sekarang. Semua yang sempat terasa gelap, kini mulai terlihat dengan lebih terang.

Langkah Riyan menuju meja belajarnya terasa lebih ringan dari biasanya. Dia menatap buku yang berserakan, namun kali ini, pikirannya tidak hanya berputar di sekitar masalah yang selalu menghantuinya. Ada ruang di pikirannya yang lebih terbuka, ada ruang untuk berharap, untuk percaya bahwa mungkin, hidup tidak sepenuhnya tentang ketidakmampuan.

Ponselnya bergetar di atas meja, dan Riyan melihat nama yang muncul di layar. Vania.

Tangan Riyan terulur tanpa berpikir, dan dia menerima panggilan itu.

“Riyan?” suara Vania terdengar di ujung telepon, dan Riyan bisa merasakan kekhawatiran di sana. “Kamu baik-baik aja kan? Aku kemarin sempat khawatir banget.”

Riyan menutup matanya sebentar, menarik napas dalam-dalam. “Aku baik, Vania. Lebih baik dari sebelumnya.”

Ada keheningan beberapa detik, seolah Vania sedang menunggu lebih banyak kata dari Riyan. Tapi akhirnya, suara Vania terdengar kembali, kali ini lebih lembut. “Kamu nggak perlu berjuang sendirian, Riyan. Aku ada di sini. Aku nggak akan pergi.”

Kata-kata itu terdengar berbeda kali ini. Tidak ada lagi keraguan di dalamnya. Hanya ada keteguhan, dan Riyan merasakannya di setiap kata yang keluar dari bibir Vania.

“Aku tahu,” jawab Riyan dengan suara yang sedikit lebih yakin. “Aku tahu. Aku cuma butuh waktu buat ngerasa semuanya nggak terlalu berat.”

“Dan aku akan memberimu waktu itu, Riyan. Aku nggak akan buru-buru, tapi aku ada di sini. Kamu nggak sendirian.”

Suara Vania memberi sedikit kedamaian di hatinya. Riyan menatap ke luar jendela, menyadari betapa besar dunia ini, dan betapa kecil dirinya dibandingkan semuanya. Namun, di saat yang sama, dia merasa bahwa mungkin, dia tidak perlu merasa terkucilkan lagi. Mungkin, ada ruang baginya untuk diterima—untuk menjadi siapa dirinya sendiri tanpa harus merasa minder atau takut.

Setelah menutup telepon, Riyan mendalamkan napasnya, merasakan perubahan yang mulai terasa di dalam dirinya. Dia mungkin bukan orang yang sempurna. Mungkin dia bukan orang yang kaya atau terkenal, atau bahkan orang yang selalu tampil hebat di depan orang lain. Tapi dia tahu satu hal: dia berharga.

Vania benar—dia tidak perlu jadi orang lain. Cinta itu tidak pernah memandang seberapa banyak yang kamu miliki atau seberapa sempurna kamu tampil. Cinta itu datang ketika kamu bisa jadi dirimu sendiri, tanpa takut akan penolakan.

Pagi itu, Riyan pergi ke kampus dengan langkah yang lebih mantap. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya, tapi untuk pertama kalinya dalam waktu lama, dia merasa ada harapan. Ada kemungkinan untuk sebuah masa depan yang lebih baik, masa depan yang mungkin tidak sempurna, tapi cukup untuk membuatnya merasa hidup.

Di antara kerumunan mahasiswa yang berlalu lalang, Riyan melihat Vania dari kejauhan, berdiri di bawah pohon dengan senyum yang familiar. Wajahnya memancarkan cahaya yang sama seperti pagi ini—hangat dan penuh harapan.

Riyan tersenyum, langkahnya terhenti sejenak saat matanya bertemu dengan mata Vania. Tidak ada kata-kata yang diperlukan. Hanya ada tatapan yang saling mengerti. Sesuatu yang lebih dari sekedar kebetulan. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Riyan tahu bahwa ini baru permulaan. Perjalanan yang panjang dan penuh tantangan, tetapi dengan Vania di sisinya, dia merasa lebih siap untuk menghadapinya.

Dan mungkin, setelah semua hujan dan badai, ada matahari yang menanti untuk muncul.

 

Jadi, pernah nggak sih kamu merasa hidup itu nggak adil? Kayak semua orang di sekitar kamu punya segala yang mereka butuhin, sementara kamu cuma bisa bertahan dengan apa yang ada.

Ini cerita tentang Riyan, seorang cowok yang hidupnya penuh perjuangan dan kehilangan, tapi ada satu hal yang nggak bisa diambil sama siapapun dari dirinya—harapan. Buat kamu yang lagi ngerasa terpuruk dan nggak tahu harus gimana, cerpen ini mungkin bisa kasih sedikit cahaya buat kamu.

Leave a Reply