Daftar Isi
Eh, kamu pernah nggak sih ngerasain cinta yang bikin hati kamu berdebar-debar, tapi sekaligus bikin kamu mau nangis? Nah, cerpen ini bakal bawa kamu ke dunia di mana cinta dan kehilangan beradu, dengan segala drama dan rasa yang nggak akan bisa kamu lupain. Siap-siap baper, karena kisah Raiden dan Kanya ini bakal bikin kamu mewek, tapi juga bikin kamu mikir tentang arti cinta yang sebenarnya!
Cinta Sejati dan Kesedihan
Cinta di Bawah Langit Bintang
Langit sore itu menghiasi kota kecil dengan nuansa jingga kemerahan. Raiden duduk di tepi danau, menatap riak air yang berkilau tertimpa cahaya matahari yang hampir tenggelam. Ia menghirup udara segar, merasakan angin yang membelai wajahnya. Di tempat inilah, ia sering melupakan sejenak kesibukan menulis yang kadang membuatnya jenuh. Namun, hari itu ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang menggelisahkan dalam hatinya.
“Raiden!” suara ceria Kanya menyentak konsentrasinya. Ia menoleh dan melihat Kanya berlari menuju tempatnya, rambutnya yang panjang tergerai indah tertiup angin. Senyumnya yang menawan selalu membuatnya merasa hangat di dalam. Kanya adalah bagian dari hidupnya, seperti bintang yang selalu bersinar di malam kelam.
“Hey, Kanya! Kenapa datang sendirian? Kamu biasanya datang sama teman-temanmu,” tanya Raiden sambil berdiri dan menyambutnya dengan pelukan ringan.
“Aku butuh waktu untuk diri sendiri. Rasanya pengen kabur dari keramaian. Lagipula, aku tahu kamu ada di sini,” jawab Kanya, dengan mata berbinar penuh semangat.
“Mau kita pergi ke tempat rahasia kita?” Raiden mengajak, mengisyaratkan ke arah hutan kecil di dekat danau. Di sana, mereka sering berbagi mimpi dan rahasia, menjadikan tempat itu sakral bagi mereka berdua.
“Ya! Ayo!” Kanya setuju, dan mereka berjalan beriringan, langkah kaki mereka seirama dengan detak jantung yang penuh harapan.
Sesampainya di tempat rahasia itu, suasana tenang. Pepohonan rimbun menutupi mereka dari sinar matahari, menciptakan bayang-bayang lembut yang melindungi kedekatan mereka. Raiden duduk di bawah pohon besar, sedangkan Kanya berbaring di rumput, menatap langit yang mulai gelap, bintang-bintang perlahan muncul satu per satu.
“Raiden, kamu pernah berpikir tentang masa depan?” tanya Kanya, masih memandang langit.
“Masa depan? Tentu saja. Aku pengen jadi penulis terkenal. Menyebarkan cerita-cerita kita ke seluruh dunia,” jawab Raiden, sambil mengedarkan pandangannya pada Kanya. “Tapi lebih dari itu, aku pengen kita selalu ada satu sama lain.”
Kanya menoleh dan tersenyum, namun senyumnya kali ini tampak berbeda, seolah menyimpan sesuatu yang tidak ia katakan. “Kamu tahu, Raiden, aku selalu percaya kalau cinta kita bisa mengatasi segalanya. Seperti bintang-bintang yang selalu ada di malam hari.”
Raiden mengangguk, merasakan kehangatan yang mengalir di antara mereka. “Iya, Kanya. Aku merasa begitu. Tidak ada yang bisa memisahkan kita.”
Beberapa saat berlalu, mereka berbagi tawa dan cerita, tetapi Raiden merasa ada beban di dalam diri Kanya. Sesekali, Kanya mengalihkan pandangannya, seolah menahan sesuatu yang sulit untuk diungkapkan.
“Kanya, ada yang ingin kamu katakan?” Raiden bertanya, merasakan gelisah yang menyelimuti suasana.
Kanya duduk, menggenggam tangan Raiden. “Raiden, kadang aku merasa hidup ini tidak adil. Kita sudah merencanakan segalanya, tetapi tidak semua rencana berjalan mulus, kan?”
Raiden mengerutkan dahi. “Apa maksudmu? Kenapa kamu berkata seperti itu?”
Kanya menunduk, dan Raiden bisa melihat gelombang emosi di wajahnya. “Aku menjalani serangkaian tes kesehatan akhir-akhir ini… dan hasilnya… mungkin tidak baik. Aku—”
“Kanya! Apa maksudmu?” Raiden memotong dengan suara yang sedikit meninggi, hatinya bergetar penuh ketakutan.
Dia melihat Kanya mengangguk pelan, dan saat itu, dunia di sekeliling Raiden seolah membeku. “Dokter bilang aku mungkin mengidap penyakit serius. Mungkin tidak ada banyak waktu tersisa untukku, Raiden.”
Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Raiden. “Tidak! Tidak mungkin. Kita akan berjuang bersama. Kamu tidak boleh pergi, Kanya. Aku tidak bisa kehilanganmu!”
Kanya menggenggam tangan Raiden semakin erat, mencoba menenangkan keduanya. “Raiden, aku ingin kamu tahu, apapun yang terjadi, kamu adalah bintang di hidupku. Kita punya banyak kenangan indah, dan aku ingin kamu ingat itu.”
Raiden berusaha menahan tangis. “Kanya, kita bisa mencari pengobatan, kita bisa melakukan apapun. Jangan bilang kita sudah menyerah.”
Kanya menggeleng pelan. “Aku tidak menyerah. Tapi aku juga tidak ingin kamu merasakan beban ini. Aku ingin kamu bahagia, bahkan setelah aku tidak ada.”
Pernyataan itu membuat Raiden merasa hancur. “Bagaimana bisa kamu berpikir begitu? Cintaku padamu tidak akan pernah pudar. Kita akan melawan ini bersama.”
Di tengah kesedihan yang melanda, mereka berpelukan, merasakan hangatnya satu sama lain. Waktu seakan berhenti, mengingatkan mereka bahwa cinta bisa bertahan, bahkan dalam kegelapan yang paling dalam.
“Ayo kita buat daftar hal-hal yang ingin kita lakukan,” kata Kanya, berusaha tersenyum. “Sebelum waktu kita habis.”
Raiden mengangguk, berusaha menciptakan semangat di antara mereka meski hatinya terasa berat. Mereka mulai membuat rencana, membayangkan tempat-tempat yang ingin dikunjungi, hal-hal yang ingin mereka lakukan. Namun, dalam benak Raiden, yang terlintas hanyalah satu harapan—agar waktu tidak pernah berakhir.
Daftar Impian di Langit Malam
Keesokan harinya, Raiden dan Kanya kembali ke tempat rahasia mereka. Semangat mereka tampak membara meski bayang-bayang ketidakpastian terus mengintai. Kanya membawa selembar kertas dan pulpen, duduk di rumput dengan mata berbinar. Raiden tidak bisa tidak tersenyum melihatnya. Meskipun ada beban di hati mereka, harapan akan impian yang belum terwujud memberi kekuatan.
“Jadi, mau mulai dari mana?” tanya Raiden, duduk di samping Kanya.
“Gampang! Kita mulai dengan hal yang paling menyenangkan. Aku pengen lihat bintang jatuh!” Kanya berkata, dengan senyum lebar. “Kita bisa bikin permohonan.”
Raiden mengangguk setuju. “Iya! Tapi kita harus nunggu malam. Saat bintang-bintang bersinar terang.”
“Bagus! Selain itu, kita juga harus pergi ke pantai. Aku pengen melihat matahari terbenam dari sana, kamu tahu kan?” Kanya melanjutkan, matanya bersinar penuh harapan.
“Jadi, dua hal pertama: lihat bintang jatuh dan nonton matahari terbenam di pantai. Apa lagi?” Raiden menuliskan dengan cepat.
Kanya berpikir sejenak. “Kita harus bikin kenangan yang tak terlupakan. Bagaimana kalau kita pergi ke taman hiburan dan naik roller coaster? Itu seru banget!”
“Setuju! Tapi kamu janji tidak akan teriak lebih keras dari aku, ya?” Raiden tertawa, membayangkan Kanya berteriak kencang saat menaiki wahana.
“Ah, itu tidak mungkin! Aku sudah pernah buktikan!” Kanya menggoda, matanya menyipit sambil tertawa.
Kedua sahabat itu tertawa, merasakan kehangatan yang mengalir di antara mereka. Raiden menyadari, meskipun ada kepedihan yang mengintai, saat-saat seperti ini membuat hidupnya terasa lebih berarti. Mereka terus menuliskan berbagai keinginan, mulai dari yang sederhana hingga yang penuh petualangan, hingga tak terasa waktu berlalu.
Setelah membuat daftar panjang, mereka duduk bersebelahan, menatap langit yang kini mulai gelap. Kanya memecah keheningan. “Raiden, saat kita sudah menyelesaikan semua ini, kita harus membuat cerita tentangnya. Kita bisa menuliskan semua petualangan kita.”
“Bisa jadi novel! Kita bisa jadi penulis terkenal bersama,” Raiden menjawab, semangat menyala di matanya.
“Ya! Aku ingin agar orang-orang tahu tentang cinta kita, tentang bagaimana kita mengatasi segala hal. Bukan hanya sekadar cerita, tapi pelajaran tentang arti cinta sejati,” Kanya menambahkan, terinspirasi dengan gagasan itu.
Raiden merasa terharu mendengar kata-kata Kanya. “Kanya, kamu benar. Cinta kita adalah cerita yang layak untuk diceritakan.”
Malam itu, mereka saling berbagi impian dan harapan, terbenam dalam kebahagiaan meski ada rasa takut yang mengintai. Dalam kegelapan malam, Kanya menyandarkan kepalanya di bahu Raiden, merasakan kenyamanan yang hanya bisa didapat dari kehadiran satu sama lain.
Tak lama, langit mulai dipenuhi bintang. Kanya mendongak, matanya bersinar melihat bintang-bintang berkelip. “Lihat, Raiden! Kita harus membuat permohonan sekarang!”
“Ya, ayo!” Raiden menjawab, ikut mendongak ke langit. Mereka berdua memejamkan mata dan mengangkat tangan, berharap agar semua impian mereka bisa terwujud.
“Kita berharap agar waktu ini tidak berakhir,” Kanya berbisik, dan Raiden mengangguk setuju, hatinya penuh dengan harapan.
Setelah beberapa saat, Kanya menarik napas dalam-dalam. “Raiden, ada satu hal yang ingin aku lakukan di daftar ini. Sesuatu yang sangat berarti bagiku.”
“Apaan?” Raiden bertanya penasaran.
“Bisa tidak kita pergi ke tempat kita bertemu untuk pertama kali? Tempat di mana semua ini dimulai,” jawab Kanya dengan nada lembut.
“Tempat di taman kota?” Raiden mengingat kembali tempat itu, di mana mereka berdua kecil bermain dan bercanda. “Itu ide bagus!”
Mereka pun merencanakan perjalanan ke taman kota pada sore hari berikutnya. Raiden bisa merasakan kegembiraan Kanya, dan itu membuat hatinya sedikit lebih tenang.
Namun, saat malam menjelang, Raiden terbangun dari tidurnya. Mimpi buruk datang menghantuinya, menggambarkan bagaimana hidupnya tanpa Kanya. Dalam mimpi itu, Kanya berusaha tersenyum, tetapi di balik senyumnya, ada kesedihan yang mendalam.
“Tidak, Kanya. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi,” gumamnya, menghapus air mata yang mulai mengalir di pipinya.
Keesokan harinya, Raiden bangun dengan semangat baru. Meskipun rasa takut terus menghantui pikirannya, ia bertekad untuk membuat hari ini berharga. Ia bersiap-siap dan menuju rumah Kanya dengan harapan bisa membuat momen-momen indah bersama.
Setibanya di rumah Kanya, Raiden melihat Kanya sedang duduk di teras, tersenyum padanya. “Hey, pagi! Sudah siap untuk petualangan hari ini?”
Raiden tersenyum, merasakan ketegangan yang menghilang sejenak. “Siap! Yuk kita buat hari ini tidak terlupakan.”
Mereka berangkat menuju taman kota, dengan Kanya memimpin jalan, penuh semangat. Raiden mengikutinya, mengingatkan diri untuk menikmati setiap detik yang mereka miliki bersama, karena cinta mereka adalah hal terindah yang harus dijaga, meskipun dalam keadaan yang sulit.
Di dalam hatinya, Raiden berdoa agar hari ini menjadi momen yang indah, sebuah cerita yang akan mereka kenang selamanya.
Kenangan di Taman Kota
Taman kota itu selalu menjadi tempat istimewa bagi Raiden dan Kanya. Saat mereka tiba, suasana sejuk menyambut kedatangan mereka, dan aroma bunga-bunga yang mekar membuat hati mereka bergetar. Kanya berlari menuju area bermain, matanya berbinar melihat ayunan yang berderak lembut.
“Raiden, ayo! Kita harus mencoba ini!” Kanya berteriak, gelak tawanya memecah keheningan pagi.
Raiden mengikuti Kanya, merasakan kegembiraan yang mengalir dalam dirinya. Mereka berdua menaiki ayunan, dan saat ayunan mereka mulai bergerak, Raiden dapat melihat kebahagiaan terpancar dari wajah Kanya. Ia merasa seolah semua beban di dunia ini menghilang.
“Kamu tahu, aku selalu menganggap tempat ini adalah surga kecil kita,” Kanya berujar sambil tersenyum. “Setiap kali aku merasa sedih, aku datang ke sini dan mengingat semua kenangan kita.”
Raiden mengangguk, merasakan kehangatan yang mendalam di dalam hatinya. “Aku juga. Banyak hal yang telah kita lewati di sini, Kanya. Setiap tawa, setiap cerita, semuanya berharga.”
Kanya mengayunkan kakinya lebih tinggi, seolah ingin menjangkau awan. “Bisa tidak kita membuat kenangan baru di sini? Mari kita berpose seperti anak-anak lagi!”
Tanpa ragu, Raiden mengikutinya. Mereka berpose dengan berbagai gaya, tertawa hingga perut mereka terasa sakit. Kanya memutar-mutar rambutnya sambil melompat-lompat, dan Raiden mengikutinya dengan pose-pose konyol. Dalam sekejap, suasana ceria itu menghapus rasa cemas yang sempat menggelayuti hati mereka.
Setelah puas berpose, mereka berbaring di rumput, menatap langit yang mulai cerah. Kanya mengulurkan tangannya, menunjukkan awan-awan yang berarak. “Lihat! Itu seperti kucing, dan itu mirip ikan!” katanya, menunjuk awan yang melayang.
Raiden menahan tawa, melihat imajinasi Kanya yang tak terbatas. “Kamu memang tidak pernah kehabisan ide. Awan-awan ini seperti cerita yang kita buat bersama, selalu bisa dilihat dengan cara berbeda.”
Kanya menoleh, mendalami tatapan Raiden. “Raiden, terima kasih sudah selalu ada untukku. Meski semua ini terasa sulit, aku merasa kuat saat bersamamu.”
Sebuah kepedihan melintas di hati Raiden, tetapi ia menghindar untuk menunjukkan perasaannya. “Kanya, aku akan selalu ada. Kita akan melewati semua ini bersama. Tidak ada yang bisa memisahkan kita.”
“Makasih, Raiden. Kamu benar-benar bintang di hidupku,” Kanya menjawab, dengan senyuman yang tulus.
Setelah beristirahat sejenak, mereka memutuskan untuk berjalan menyusuri jalur setapak di taman. Suara kicau burung dan suara daun yang bergesekan membuat suasana semakin damai. Raiden melihat Kanya dengan seksama, menyimpan setiap detil wajahnya dalam ingatan. Senyumnya, cara matanya berbinar, dan bahkan saat ia mengerutkan dahi ketika berpikir.
Di ujung jalur, mereka menemukan sebuah bangku kayu tua yang dikelilingi bunga-bunga warna-warni. Kanya langsung melangkah ke sana, duduk sambil memandangi bunga yang berwarna cerah. “Raiden, kamu ingat saat kita pertama kali datang ke taman ini? Kita masih kecil dan saling berdebat tentang siapa yang lebih baik dalam menggambar.”
Raiden tertawa. “Iya! Aku ingat kamu menggambar gambar kucing yang terlihat lebih seperti babi! Tapi kamu tetap merasa bangga.”
Kanya tertawa geli. “Hahaha, iya! Dan kamu membuat lukisan yang sempurna. Aku sangat iri.”
“Kenangan itu selalu membuatku tersenyum. Kita sudah melalui banyak hal, ya?” Raiden merasakan nostalgia menimpa dirinya, tapi juga ada rasa sedih yang menyelinap.
Kanya tiba-tiba menatap serius. “Raiden, jika aku tidak ada lagi, aku ingin kamu terus menggambar dan menulis. Berceritalah untukku. Ciptakan kenangan baru dengan orang-orang yang kamu cintai.”
Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Raiden. “Jangan katakan itu, Kanya. Kita akan terus menciptakan kenangan baru, dan kamu akan selalu ada bersamaku.”
Kanya tersenyum lembut, seolah berusaha menenangkan Raiden. “Aku percaya, Raiden. Kamu akan bisa melakukannya. Aku tahu, kamu memiliki kekuatan itu.”
Mereka berbincang-bincang sejenak tentang masa depan, harapan, dan impian. Ketika matahari mulai terbenam, Kanya menggenggam tangan Raiden. “Raiden, saatnya untuk permohonan kita. Mari kita kembali ke tempat kita melihat bintang jatuh.”
Raiden mengangguk, hatinya berdebar. Mereka berjalan kembali ke area terbuka, menantikan momen indah itu. Saat mereka tiba, langit berwarna jingga keemasan dan perlahan mulai gelap. Kanya melihat ke langit, menunggu bintang jatuh pertama.
“Kita harus siap, Raiden. Jika ada bintang jatuh, kita harus memejamkan mata dan membuat permohonan,” Kanya berkata dengan antusias.
Tiba-tiba, sebuah bintang jatuh melintas di langit. Kanya dan Raiden bersamaan memejamkan mata mereka. Raiden berdoa dengan sepenuh hati, berharap agar Kanya tidak pergi. Dia ingin waktu berhenti, agar mereka bisa terus bersama.
“Raiden,” Kanya berbisik, setelah membuka mata. “Apa permohonanmu?”
Raiden tersenyum lembut, berusaha menyembunyikan emosinya. “Sesuatu yang ingin kita capai bersama. Aku berharap kita bisa melakukannya sebelum semuanya berakhir.”
Kanya mengangguk, matanya berbinar penuh harapan. “Ya, mari kita buat semua impian kita menjadi nyata.”
Saat malam semakin gelap, bintang-bintang berkilauan di atas mereka. Raiden dan Kanya berpelukan, merasakan kehangatan satu sama lain. Dalam heningnya malam, mereka tahu bahwa cinta mereka adalah kekuatan yang bisa melawan segala rintangan.
Tapi di dalam hati Raiden, dia merasa bahwa waktu tidak akan berpihak pada mereka selamanya. Ia tahu, setiap detik yang berlalu adalah berharga, dan ia bertekad untuk membuat momen-momen ini seindah mungkin, sebelum segalanya berubah.
Perpisahan yang Tak Terelakkan
Hari-hari berlalu seperti awan yang melayang di langit, dan setiap saat Raiden dan Kanya semakin dekat. Namun, di balik tawa dan kebahagiaan mereka, ada bayangan gelap yang terus membayangi. Kanya masih berjuang melawan penyakit yang tak kunjung reda, dan meskipun ia berusaha untuk tetap ceria, Raiden merasakan kelemahan yang semakin menggerogoti kekasihnya.
Suatu sore, ketika mereka duduk di bangku taman yang sama, Kanya menatap jauh ke depan, matanya berkilau tetapi dengan kesedihan yang mendalam. “Raiden, kamu tahu kita tidak akan selamanya bisa begini, kan?” katanya, suara lembutnya penuh dengan pengertian.
Raiden menegakkan kepala, berusaha mengabaikan kata-kata yang menghantui pikirannya. “Jangan bicara seperti itu. Kita masih punya waktu, Kanya. Kita akan mengalahkan semua ini bersama.”
Kanya menggeleng, senyumnya tak sepenuh hati. “Kadang, aku merasa waktu tidak berpihak pada kita. Seolah-olah semua ini hanya sebuah ilusi. Aku tidak ingin membuatmu terbebani, Raiden.”
“Jangan pernah berpikir seperti itu. Kamu adalah segalanya bagiku,” Raiden menjawab dengan tegas. “Setiap momen bersamamu adalah berkah. Aku tidak akan pernah menyerah.”
Kanya menggenggam tangan Raiden, dan sejenak, mereka terdiam, membiarkan keheningan berbicara lebih banyak dari kata-kata. Namun, kesunyian itu segera pecah ketika Kanya berkata, “Raiden, jika saatnya tiba, aku ingin kamu ingat semua kenangan indah kita. Jangan biarkan kesedihan menghapus semuanya.”
Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Raiden. “Kanya, tolong jangan berbicara tentang itu. Kita akan menciptakan lebih banyak kenangan. Kita akan berpetualang bersama, seperti yang selalu kita impikan.”
“Tapi kita harus realistis,” Kanya menegaskan. “Kadang, cinta tidak cukup untuk mengalahkan segalanya. Aku ingin kamu melanjutkan hidupmu, menemukan kebahagiaan meski aku tidak ada di sampingmu.”
“Jangan! Aku tidak ingin memikirkan hidup tanpa kamu,” Raiden berkata, suaranya bergetar. “Kamu adalah bintang yang menerangi hidupku. Tanpamu, segalanya akan gelap.”
Kanya menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan air mata yang ingin jatuh. “Raiden, dengar. Hidupku tidak akan pernah berarti tanpa cinta kita. Tetapi, kamu harus melanjutkan. Temukan bintang lain di langitmu, dan ingatlah aku selamanya.”
Setelah berbincang, mereka memutuskan untuk berjalan ke tempat di mana mereka pertama kali melihat bintang jatuh. Hati Raiden berdebar, menyadari bahwa momen-momen ini semakin berharga. Saat mereka sampai di sana, malam telah tiba, dan bintang-bintang bersinar dengan terang.
“Kita harus membuat satu permohonan terakhir,” Kanya berkata, berbisik lembut. “Dan kali ini, aku ingin kita melakukannya dengan hati yang penuh.”
Raiden mengangguk, menahan rasa sakit di dadanya. Mereka memejamkan mata, dan Raiden memanjatkan doa tulus. Dalam hati, ia berdoa agar Kanya tidak pergi, agar cinta mereka tidak berakhir. Mereka membuka mata dan melihat bintang jatuh melintas di langit.
“Apa permohonanmu?” Kanya bertanya dengan penuh harap.
Raiden tersenyum pahit. “Aku ingin kita selalu bersama, tidak peduli di mana kita berada. Baik di bumi ini atau di surga, cinta kita akan selalu abadi.”
Kanya menatap Raiden dalam-dalam. “Aku juga. Kita akan selalu terhubung, meski jarak memisahkan kita.”
Beberapa minggu setelah itu, Kanya semakin melemah. Raiden berusaha sekuat tenaga untuk tetap tegar, tetapi hatinya hancur saat melihat Kanya terbaring di ranjang rumah sakit. Suatu malam, saat bulan purnama bersinar di luar jendela, Kanya menatap Raiden dengan tatapan yang penuh kasih.
“Raiden, terima kasih telah menjadi bagian terindah dalam hidupku,” katanya dengan suara lemah. “Aku akan selalu mencintaimu, meskipun aku tidak ada lagi di sini.”
Raiden merasa hatinya seperti dirobek-robek. “Kanya, tolong jangan pergi. Kita masih punya banyak hal yang harus dilakukan. Aku tidak bisa kehilanganmu.”
Kanya tersenyum lembut. “Setiap detik bersamamu adalah harta yang tak ternilai. Ingatlah, cintaku akan selalu bersamamu, bahkan ketika aku pergi.”
Kanya mengulurkan tangannya, dan Raiden menggenggamnya erat. Mereka saling menatap, berusaha menyimpan semua kenangan indah itu di dalam hati masing-masing. Akhirnya, Kanya terpejam, nafasnya semakin pelan, dan Raiden tahu saat itu semakin dekat.
“Kanya, aku mencintaimu. Selamanya,” Raiden berbisik, air mata mengalir di pipinya.
Saat Kanya menghirup napas terakhirnya, Raiden merasakan seluruh dunianya runtuh. Namun, di dalam kesedihan yang mendalam, ia merasakan sesuatu yang aneh; ada kehangatan, ada cinta yang takkan pernah pudar. Cinta yang telah mereka bangun, meski dalam waktu yang singkat, akan abadi selamanya.
Setelah pemakaman, Raiden kembali ke taman tempat mereka sering berkunjung. Dia duduk di bangku yang mereka cintai dan menatap ke langit. Dia ingat semua kenangan indah, tawa mereka, dan permohonan mereka pada bintang jatuh.
“Selamat tinggal, Kanya. Aku akan menjalani hidupku dengan cinta kita di dalam hatiku,” Raiden berjanji pada diri sendiri.
Malam itu, ketika bintang-bintang berkilauan di langit, Raiden merasa seolah Kanya sedang tersenyum padanya. Meskipun tubuh Kanya telah pergi, jiwanya akan selalu bersamanya. Dan dalam setiap goresan pena, dalam setiap lukisan yang ia buat, Kanya akan hidup selamanya.
Dan begitulah, di balik setiap tawa dan air mata, kita belajar bahwa cinta sejati tak akan pernah mati—ia hanya bertransformasi menjadi kenangan yang abadi. Raiden mungkin kehilangan Kanya, tapi cinta mereka tetap hidup dalam setiap langkahnya.
Saat kamu melihat bintang di langit malam, ingatlah bahwa cinta yang tulus selalu menemukan jalannya, bahkan di antara bayang-bayang kesedihan. Jadi, jangan takut untuk mencintai, karena setiap momen berharga itu layak diperjuangkan, meski akhirnya harus berpisah. Selamat tinggal, Kanya. Selamat datang, kenangan indah.