Cinta Sehidup Semati: Perjalanan Panjang Menuju Pernikahan Bahagia

Posted on

Siapa bilang cinta yang tulus itu selalu instan? Kadang butuh bertahun-tahun, ribuan pertengkaran kecil, ratusan momen penuh keraguan, dan perjuangan yang nggak main-main sebelum akhirnya sampai di pelaminan.

Cerita ini bukan tentang cinta yang tiba-tiba jatuh dari langit, tapi tentang dua orang yang memilih untuk tetap bertahan, berpegangan tangan, dan berjalan sejauh ini bareng-bareng. Siap buat baper dan senyum-senyum sendiri? Yuk, langsung baca!

 

Cinta Sehidup Semati

Pertemuan di Antara Rak Buku

Perpustakaan sore itu sepi. Hanya ada beberapa mahasiswa yang sibuk dengan buku dan catatan mereka. Cahaya matahari mengintip dari sela-sela jendela besar, menyorot ke rak-rak tinggi yang berbaris rapi, menyelimuti ruangan dengan suasana tenang.

Di salah satu sudut, Arka berdiri dengan tangan menyentuh punggung buku-buku tebal tentang arsitektur. Matanya teliti menelusuri judul-judul yang tersusun rapi, mencari satu yang sesuai dengan tugasnya hari ini.

Sementara itu, beberapa langkah darinya, Naira berjalan cepat dengan tangan membawa beberapa buku. Kakinya bergerak tanpa perhatian penuh, terlalu fokus membaca catatan kecil di tangannya. Saat melangkah melewati lorong sempit di antara rak-rak tinggi, sesuatu terjadi.

“Buk!”

Tubuh Naira menabrak sosok yang lebih tinggi darinya. Buku-buku dalam dekapannya jatuh berhamburan ke lantai, bercampur dengan tumpukan buku yang sebelumnya dipegang Arka.

“Aduh!” seru Naira panik, segera jongkok untuk mengumpulkan bukunya.

Arka yang awalnya terdiam hanya menatapnya sesaat sebelum ikut berjongkok. Tangannya mengambil salah satu buku yang jatuh, lalu melihat ke arah Naira yang sibuk mengambil lainnya.

“Maaf, aku nggak lihat jalan,” ucap Naira tanpa mengangkat wajah.

“Nggak apa-apa,” jawab Arka singkat, suaranya datar tapi terdengar jelas.

Begitu semua buku terkumpul, Naira akhirnya mendongak. Mata mereka bertemu untuk pertama kalinya. Sejenak, dunia terasa lebih lambat. Naira memperhatikan lelaki di hadapannya—rambutnya sedikit berantakan, kemeja putihnya digulung hingga siku, dan wajahnya terlihat… serius.

“Aku bantuin,” kata Arka akhirnya, merapikan tumpukan buku di tangan Naira sebelum berdiri lebih dulu.

Naira mengangguk, merasa ada sesuatu yang aneh dalam dadanya. Ia menerima buku-bukunya kembali, lalu tersenyum tipis. “Makasih, ya.”

Arka tidak segera pergi. Matanya menelusuri buku-buku yang dipegang Naira. “Kamu suka sastra?” tanyanya, melihat salah satu judul yang berhubungan dengan puisi klasik.

Naira mengangkat alis. “Iya. Kenapa?”

“Menarik,” jawab Arka singkat, sebelum akhirnya berbalik mengambil buku yang sempat jatuh dan kembali ke rak.

Naira masih diam di tempatnya, menatap punggung Arka yang menjauh. Dalam hatinya, ada perasaan aneh yang muncul. Pertemuan tadi terasa begitu singkat, tapi entah kenapa, ia tidak ingin melupakannya begitu saja.

Hari-hari berlalu, dan entah bagaimana, mereka mulai sering bertemu di perpustakaan. Kadang-kadang Naira mendapati Arka duduk di meja paling dekat dengan jendela, sibuk mencoret-coret sesuatu di kertasnya. Kadang-kadang, ia mendapati lelaki itu berdiri di lorong rak buku yang sama, membaca dengan ekspresi serius.

Suatu sore, tanpa rencana, mereka kembali bertemu. Kali ini, Naira yang lebih dulu menyapa.

“Kamu selalu di sini, ya?” tanyanya sambil duduk di kursi di seberang Arka.

Arka mengangkat kepala dari bukunya, menatap Naira beberapa detik sebelum menjawab, “Aku butuh tempat yang tenang buat kerja.”

Naira terkekeh pelan. “Jadi, kamu anak arsitektur?”

Arka mengangguk. “Dan kamu anak sastra?”

Naira tersenyum, lalu menopang dagunya dengan satu tangan. “Tebakan yang bagus.”

Mereka saling diam selama beberapa saat, hanya suara halaman buku yang dibalik yang terdengar. Hingga akhirnya, Naira bicara lagi.

“Kamu nggak banyak ngomong, ya?”

Arka menutup bukunya perlahan. “Aku cuma ngomong kalau perlu.”

Naira menyipitkan mata, lalu terkikik kecil. “Oke, berarti kalau aku ngajak kamu ngobrol, itu nggak perlu, ya?”

Arka menghela napas. Bukan karena kesal, tapi lebih kepada tidak tahu bagaimana harus merespons. Gadis ini… menarik. Cara bicaranya, cara ia tersenyum, semuanya terasa berbeda dari orang-orang yang pernah ia temui.

“Aku nggak bilang gitu,” akhirnya ia menjawab, membuat Naira tersenyum lebih lebar.

Sejak hari itu, tanpa mereka sadari, benih-benih yang belum bernama mulai tumbuh.

Mereka tidak pernah berjanji untuk bertemu di perpustakaan. Tapi tanpa disadari, kaki mereka selalu melangkah ke tempat yang sama. Pembicaraan mereka semakin panjang, semakin dalam.

Dan tanpa sadar, di antara rak buku yang penuh dengan cerita, sebuah kisah baru mulai terukir.

 

Cinta yang Diuji Waktu

Hari-hari berlalu, dan kedekatan Arka serta Naira semakin jelas. Tanpa ada kata atau janji yang diucapkan, mereka seolah sudah saling memahami satu sama lain. Jika Arka datang lebih dulu ke perpustakaan, ia akan menaruh bukunya di kursi di seberangnya—sebuah isyarat tak terucap bahwa tempat itu milik Naira. Begitu juga sebaliknya.

Namun, semakin dalam mereka mengenal satu sama lain, semakin banyak hal yang mulai terasa berbeda. Perbedaan yang dulu tampak sepele, kini perlahan menunjukkan tantangannya.

Suatu malam, di sebuah kafe kecil dekat kampus, Naira duduk berhadapan dengan Arka. Di hadapan mereka ada dua cangkir kopi yang masih mengepul, tapi tatapan Naira tidak tertuju pada minumannya.

“Aku mau nanya sesuatu,” ujar Naira, suaranya terdengar lebih serius dari biasanya.

Arka mengangkat alis. “Apa?”

“Kita ini apa?”

Suasana seketika berubah. Arka menghela napas, meletakkan sendok kecil yang sedari tadi ia putar-putar di dalam cangkirnya. Ia menatap Naira, mencoba merangkai kata yang tepat.

“Aku nggak tahu,” jawabnya jujur.

Naira tersenyum kecil, meski ada sedikit luka dalam matanya. “Kamu nggak tahu atau kamu nggak mau tahu?”

Arka terdiam. Ia tahu ke arah mana percakapan ini akan pergi.

“Aku nyaman sama kamu, Na.”

“Tapi?”

“Tapi… aku belum siap.”

Jawaban itu membuat hati Naira mencelos. Ia menegakkan punggungnya, berusaha tidak menunjukkan ekspresi kecewa.

“Belum siap kenapa?” tanyanya lagi, meski ia sendiri takut mendengar jawabannya.

Arka menatap matanya dalam-dalam. “Karena aku belum tahu ke mana kita akan pergi. Aku nggak mau bikin kamu berharap kalau aku sendiri belum bisa janji apa-apa.”

Ada jeda panjang sebelum Naira kembali bicara.

“Kamu tahu? Aku lebih takut nggak punya harapan sama sekali,” katanya pelan, nyaris seperti bisikan.

Arka mengepalkan tangannya di bawah meja. Ia mengerti perasaan Naira. Ia tahu gadis itu bukan tipe yang suka bermain-main dengan perasaan.

“Aku nggak mau nyakitin kamu,” Arka akhirnya berkata.

Naira menghembuskan napas berat. “Kalau gitu, coba tanya ke diri kamu sendiri. Apa benar aku yang kamu mau?”

Arka tidak menjawab. Dan keheningan itu lebih menyakitkan daripada kata-kata apa pun yang bisa keluar dari mulutnya.

Setelah malam itu, hubungan mereka menjadi lebih pelik.

Naira mulai menjaga jarak, dan Arka tidak berusaha mengejarnya. Mereka masih sering bertemu di perpustakaan, tapi tidak ada lagi percakapan panjang seperti dulu. Tidak ada lagi tatapan penuh makna atau senyuman yang hanya mereka pahami.

Sampai akhirnya, sesuatu terjadi.

Sore itu, Naira duduk sendiri di bangku taman kampus. Angin berhembus pelan, memainkan helaian rambutnya yang tergerai. Ia sedang membaca buku ketika suara familiar menyapanya.

“Naira.”

Ia menoleh. Arka berdiri di sana, tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Ekspresinya tetap datar seperti biasa, tapi ada sesuatu di matanya yang sulit dijelaskan.

“Kamu ada waktu?” tanyanya.

Naira menutup bukunya perlahan. “Ada. Kenapa?”

“Aku mau ngajak kamu ke suatu tempat.”

Naira tidak bertanya lebih lanjut. Ia hanya mengangguk dan berdiri, mengikuti Arka yang mulai berjalan.

Beberapa menit kemudian, mereka sampai di depan sebuah bangunan tua di dekat area fakultas teknik. Arka membuka pintu dan memberi isyarat agar Naira masuk lebih dulu.

Begitu melangkah ke dalam, mata Naira membelalak.

Ruangan itu penuh dengan gambar-gambar arsitektur. Ada sketsa bangunan, denah rumah, hingga coretan tangan yang masih kasar.

“Kamu bikin semua ini?” tanyanya, menatap Arka dengan penuh rasa kagum.

Arka mengangguk. “Ini rencana jangka panjangku. Aku mau punya firma arsitektur sendiri suatu hari nanti.”

Naira menatapnya, menunggu kelanjutan kata-katanya.

“Aku nggak siap waktu itu,” lanjut Arka. “Bukan karena aku ragu sama kamu, tapi karena aku takut nggak bisa ngasih kamu kepastian.”

Jantung Naira berdebar.

“Aku cuma nggak mau mencintai kamu dengan setengah-setengah.” Arka menatapnya dengan sorot mata yang lebih dalam dari sebelumnya. “Aku mau mencintai kamu dengan cara yang benar.”

Hening.

Naira menggigit bibir bawahnya. “Jadi… kamu yakin sekarang?”

Arka tersenyum tipis, lalu mengangguk. “Ya. Dan aku mau kamu ada di setiap bagian dari rencana masa depanku.”

Naira tidak bisa menahan senyum yang perlahan muncul di wajahnya. Hatinya terasa lebih ringan dari sebelumnya.

Mungkin ini bukan perjalanan yang mudah. Mungkin akan ada lebih banyak rintangan di depan.

Tapi untuk pertama kalinya, mereka tahu bahwa mereka akan berjuang bersama.

 

Perjuangan Seorang Lelaki

Setelah malam itu, segalanya berubah. Tidak ada lagi kebingungan, tidak ada lagi ragu. Hubungan Arka dan Naira semakin jelas, bukan hanya dalam kata-kata tetapi juga dalam tindakan. Mereka tidak butuh pengakuan dari siapa pun, cukup dari satu sama lain.

Namun, cinta bukan sekadar tentang perasaan. Ada kenyataan yang harus dihadapi, ada perjuangan yang harus diperjuangkan.

Hari-hari Arka dipenuhi dengan kerja keras. Ia mengambil proyek-proyek freelance sebagai arsitek, menghabiskan malam-malam panjang di depan laptop, merancang desain yang entah akan diterima atau ditolak oleh klien. Ia tahu jalannya tidak mudah, tapi ia tidak pernah berpikir untuk menyerah.

Naira, di sisi lain, selalu ada untuknya. Ia tidak mengganggu, tidak memaksa Arka untuk meluangkan waktu jika memang sedang sibuk. Ia hanya memastikan Arka makan dengan benar, beristirahat cukup, dan sesekali mengirimkan pesan sederhana.

“Jangan lupa tidur, Arka. Aku tahu kamu keras kepala, tapi tubuh kamu juga butuh istirahat.”

Kadang Arka membalas, kadang hanya membaca. Tapi Naira tidak pernah mengeluh. Ia mengerti bahwa Arka sedang membangun masa depannya—masa depan mereka.

Suatu malam, Arka pulang lebih larut dari biasanya.

Langkahnya berat saat memasuki kontrakan kecilnya yang berantakan dengan tumpukan kertas desain di meja. Ia menjatuhkan diri ke sofa, menghela napas panjang.

Ponselnya berbunyi.

Naira: “Udah sampai rumah?”

Arka menatap layar sebentar sebelum mengetik balasan.

Arka: “Udah. Kamu masih bangun?”

Naira: “Iya. Aku nungguin kamu.”

Arka tersenyum tipis. Hanya satu kalimat, tapi cukup untuk membuat lelahnya sedikit berkurang.

Bulan demi bulan berlalu, dan akhirnya Arka berhasil mendapatkan proyek pertamanya yang benar-benar besar. Sebuah restoran di pinggir kota ingin desain baru, dan mereka mempercayakan semuanya kepada Arka.

Ketika kabar itu sampai ke Naira, ia langsung memeluk Arka erat, matanya berbinar-binar.

“Aku bangga sama kamu,” bisiknya.

Arka tersenyum, meski dalam hatinya ada sedikit kegelisahan. Ia tahu proyek ini akan menyita waktunya lebih banyak dari sebelumnya.

Dan benar saja.

Arka semakin sibuk, terkadang ia lupa makan, lupa tidur, bahkan lupa membalas pesan Naira. Awalnya Naira mengerti, tapi lama-lama, ada perasaan sepi yang menyelinap di hatinya.

Hingga suatu malam, di sebuah kafe tempat mereka biasa bertemu, Naira menatap Arka dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.

“Kamu tahu?” katanya pelan. “Kadang aku merasa kita ini jauh, padahal kita ada di tempat yang sama.”

Arka meletakkan cangkir kopinya, menatap Naira penuh perhatian.

“Aku nggak bermaksud bikin kamu merasa gitu, Na.”

Naira menghela napas. “Aku tahu. Tapi aku juga nggak mau kamu kehilangan dirimu sendiri cuma karena kerja. Aku nggak mau kamu jatuh, Arka.”

Arka terdiam. Ia tahu Naira tidak mengeluh, ia hanya mengkhawatirkan dirinya.

Akhirnya, Arka meraih tangan Naira, menggenggamnya erat. “Aku janji, aku akan lebih hati-hati.”

Naira tersenyum tipis. Ia percaya pada Arka. Ia selalu percaya.

Hari itu tiba lebih cepat dari yang mereka kira.

Arka berhasil menyelesaikan proyeknya, dan restoran yang ia desain berdiri dengan megah. Saat peresmian, Arka berdiri di depan bangunan itu, melihat hasil kerja kerasnya sendiri.

Di sampingnya, Naira menggenggam tangannya dengan bangga. “Kamu berhasil.”

Arka menoleh, menatap gadis yang telah menemaninya sejak awal. Dalam matanya, ada sesuatu yang lebih dari sekadar kebahagiaan—ada keteguhan, ada kepastian.

“Naira,” katanya pelan.

“Hmm?”

“Aku siap sekarang.”

Naira mengerjap, lalu tersenyum. Ia tidak bertanya apa maksudnya. Ia sudah tahu.

Cinta mereka sudah diuji waktu, dan kini, saatnya melangkah ke tahap yang lebih besar.

 

Akhir yang Indah, Awal yang Baru

Pernikahan bukan sekadar janji di depan saksi. Bukan hanya gaun putih, bunga-bunga indah, atau pesta meriah. Pernikahan adalah rumah yang mereka bangun bersama—bukan dari dinding bata, melainkan dari kepercayaan, kesabaran, dan cinta yang sudah mereka jaga selama ini.

Persiapan pernikahan mereka tidak selalu mulus. Ada perdebatan kecil, ada stres karena jadwal yang padat, bahkan ada momen di mana Naira hampir menangis karena hal-hal sepele.

“Kenapa kamu santai banget sih, Arka? Aku yang repot ngurusin semua!”

Arka menatapnya dengan senyum tipis. “Aku nggak santai, Na. Aku cuma percaya sama kamu.”

Naira menghela napas, lalu memelototinya. “Jangan pakai kata-kata manis buat ngelak!”

Arka terkekeh. Ia tahu sekeras apa Naira bekerja untuk memastikan hari istimewa mereka berjalan sempurna.

“Aku serius,” katanya, kali ini lebih lembut. “Aku nggak peduli dekorasi kayak gimana, atau katering dari mana. Yang aku peduliin cuma satu—kamu di pelaminan, di samping aku.”

Naira terdiam. Pipinya memerah, tapi ia pura-pura sibuk mengecek daftar tamu undangan.

Hari itu akhirnya tiba.

Langit cerah, angin berhembus lembut, dan di taman yang penuh bunga itu, Arka berdiri di depan altar, menunggu wanita yang sudah bertahun-tahun ia perjuangkan.

Ketika Naira melangkah dengan gaun putihnya, semua orang menahan napas. Tapi bagi Arka, dunia serasa mengecil.

Hanya ada satu orang di matanya.

Saat Naira sampai di hadapannya, Arka berbisik pelan, cukup hanya untuk didengar oleh wanita itu.

“Kamu cantik banget.”

Naira tersenyum. “Aku tahu.”

Arka terkekeh pelan, lalu menggenggam tangannya.

Mereka mengucapkan janji suci, disaksikan oleh keluarga, teman, dan orang-orang yang mencintai mereka. Namun, bagi mereka berdua, janji itu bukan sekadar kata-kata.

Janji itu adalah segalanya.

Malam pertama di rumah baru mereka, Naira duduk di balkon, menatap langit berbintang. Gaun pengantinnya sudah ia lepas, digantikan dengan piyama santai. Arka datang membawa dua cangkir teh hangat, lalu duduk di sebelahnya.

“Kamu bahagia?” tanya Arka, menyerahkan satu cangkir padanya.

Naira menyesap teh itu pelan, lalu mengangguk. “Banget.”

Arka tersenyum kecil. “Aku juga.”

Hening sejenak, hanya ada suara angin dan cahaya bulan yang menemani mereka.

Lalu, Naira menoleh dengan tatapan jahil. “Eh, kita udah nikah, kan?”

Arka mengerutkan dahi. “Ya, jelas lah.”

“Jadi kalau aku cium kamu sekarang, itu halal?”

Arka hampir tersedak tehnya. Naira tertawa lepas, menikmati wajah suaminya yang sedikit salah tingkah.

Malam itu, mereka tidak butuh kemewahan. Tidak butuh sesuatu yang berlebihan.

Karena cukup dengan satu sama lain, mereka sudah merasa memiliki seluruh dunia.

 

Cinta itu bukan cuma soal jatuh cinta, tapi soal tetap memilih orang yang sama setiap hari, bahkan di saat paling sulit sekalipun. Naira dan Arka nggak sempurna, perjalanan mereka juga nggak selalu mulus, tapi mereka membuktikan kalau cinta sejati itu ada—asal dua orang sama-sama mau berjuang.

Jadi, buat kamu yang masih percaya sama cinta, tenang aja… cerita indahmu juga pasti bakal datang, mungkin lebih cepat dari yang kamu kira.

Leave a Reply