Cinta Segitiga yang Menyakitkan: Kisah Patah Hati dan Keputusan Berat

Posted on

Pernah nggak sih kamu ngerasa terjebak di antara dua orang? Bingung, bimbang, dan akhirnya… patah hati? Ya, itu dia yang lagi aku rasain. Cinta segitiga emang bisa bikin kepala pusing, tapi lebih parahnya lagi, bikin hati jadi serba salah. Satu sisi kamu pengen bahagia, tapi di sisi lain, ada yang harus dikorbankan. Penasaran gimana aku ngelewatin semua itu? Yuk, simak ceritanya.

 

Cinta Segitiga yang Menyakitkan

Di Antara Kopi yang Dingin

Kafe itu hampir kosong. Meja-meja yang biasanya penuh dengan tawa dan suara gesekan sendok di cangkir, sekarang tampak sunyi, hanya dihiasi oleh tetesan air hujan yang menempel di jendela. Laviya menatap ke luar, melihat langit yang masih mendung, seakan cuaca juga merasa berat hati. Tangannya memegang cangkir kopi yang sudah lama mendingin, namun ia tetap menatapnya, entah mencari kenyamanan atau hanya mencoba melupakan sesuatu yang tak bisa ia singkirkan.

Laviya selalu datang ke sini ketika dunia terasa terlalu ramai, ketika perasaan yang selalu dipendam ingin tumpah begitu saja. Caffeine dalam cangkirnya sering kali menjadi satu-satunya teman yang bisa menenangkan pikirannya. Tapi hari ini, kopi itu tidak bisa menenangkan apapun.

Tiga pesan dari Ryan, masing-masing tanpa balasan. Laviya sudah tahu jawaban yang akan ia dapat, atau tepatnya, yang tidak akan ia dapat. Ryan tidak pernah tahu apa yang ia rasakan. Mereka sudah lama berteman, namun hati Laviya selalu merasa berbeda. Ia mencintai Ryan, meskipun ia tahu pria itu tak pernah melihatnya lebih dari sekadar teman.

“Kenapa nggak kamu balas aja?” gumam Laviya, berusaha bicara pada dirinya sendiri.

Dan saat itulah, suara yang dikenalnya datang.

“Laviya?”

Suara itu familiar, tenang, dan sedikit terlambat. Laviya menoleh pelan. Di depan meja, berdiri Aldric, pria yang sudah ada dalam hidupnya sejak lama. Pria yang tahu segalanya tentangnya. Mereka tak hanya teman, tapi sudah seperti keluarga, meskipun Laviya tahu—di dalam hatinya, ada lebih dari sekadar persahabatan.

“Aldric…” Laviya tersenyum tipis. Suaranya terdengar lebih lemah dari yang ia kira. Seperti ada sesuatu yang terkunci di dalam dada, sesuatu yang tak bisa ia ungkapkan.

Aldric mengangkat alisnya, mencurigai ekspresi yang tampak tidak biasa di wajah Laviya. “Kenapa duduk sendiri? Kalian nggak biasanya ngopi bareng, kan?”

Laviya mengangkat bahu. “Aku nggak enak badan. Pusing dikit aja.” Ia memberi alasan yang sebenarnya jauh dari kenyataan. Ia lelah, tapi bukan karena fisiknya. Cinta yang tak terbalas ini yang membuat dirinya semakin rapuh.

Aldric duduk di hadapannya tanpa diminta, menarik kursi yang sedikit berbunyi saat dipindahkan. “Tapi kamu nggak terlihat pusing,” katanya dengan nada yang lebih lembut, meskipun raut wajahnya menunjukkan keprihatinan. “Kamu kelihatan lebih… kosong.”

Laviya tersenyum lagi, kali ini lebih pahit. “Kamu selalu tahu kalau aku nggak baik-baik aja, ya?”

Aldric mendekat sedikit, menatap mata Laviya dengan intens. “Aku cuma tahu kamu terlalu banyak mikir. Terlalu banyak yang kamu pendam sendirian, Laviya.”

Laviya menghela napas panjang, menarik cangkir kopinya, namun tak meminumnya. “Aku cuma… capek.” Dia akhirnya mengakui setelah beberapa detik diam. “Capek berharap pada orang yang nggak pernah lihat aku. Ryan… dia nggak pernah tahu. Nggak pernah peduli.”

Aldric terdiam, seolah mencoba mencerna kata-kata itu. Ia tahu, Laviya sudah lama jatuh cinta pada Ryan. Dan seberapa pun Laviya berusaha untuk menyembunyikan perasaannya, Aldric bisa merasakannya. Dia tahu betul betapa sakitnya menunggu seseorang yang tak pernah melihatmu lebih dari sekadar teman.

“Aku tahu kamu masih berharap, meskipun dia nggak pernah kasih harapan sama sekali,” kata Aldric akhirnya, suaranya rendah, hampir berbisik. “Tapi kamu nggak bisa hidup seperti ini selamanya, Laviya. Kamu nggak bisa terus berharap pada sesuatu yang nggak pasti.”

Laviya menunduk, menggigit bibir bawahnya. Setiap kata Aldric seperti memukul pelan jantungnya, terasa menyakitkan, tapi juga membuatnya sadar. Namun, seberapa banyak pun ia tahu bahwa ia harus berhenti, hatinya tetap terikat pada Ryan. Cinta yang diam-diam ia pendam begitu lama, kini seperti sebuah luka yang tak pernah bisa ia obati.

“Laviya…” Aldric mulai lagi, suaranya lembut, penuh perhatian. “Kamu nggak sendiri. Aku di sini, selalu ada buat kamu.”

Laviya mengangkat wajahnya perlahan, menatap mata Aldric. Ada kedalaman dalam pandangan itu—sesuatu yang selama ini hanya ia rasakan secara diam-diam. Namun, ia tidak bisa menghadapinya sekarang. Aldric adalah sahabat, seorang pria yang baik, yang selalu ada saat ia butuh. Tapi, hatinya bukan untuk sahabatnya itu. Hatinya tetap berada di tempat yang jauh, di tempat yang tak bisa dijangkau, di tempat yang bahkan Ryan tak pernah tahu ada di sana.

“Terima kasih, Aldric,” jawab Laviya, suara semakin melemah. “Tapi, aku… aku nggak bisa. Aku nggak bisa lupa sama Ryan.”

Aldric menatapnya dengan kesedihan yang tersembunyi. Dia tahu, Laviya belum siap untuk membuka hatinya untuk orang lain. Dan mungkin, Aldric sudah terlalu lama menjadi orang yang selalu ada di sisi Laviya, terlalu lama berharap bahwa Laviya bisa melihatnya lebih dari sekadar teman.

“Kalau kamu butuh aku,” Aldric berkata pelan, “aku di sini, selalu. Jangan ragu untuk mencari aku, kapan pun.”

Laviya mengangguk, meskipun dalam hatinya, kata-kata Aldric semakin membuatnya bingung. Ia tahu, ia terlalu banyak berharap pada seseorang yang tidak pernah peduli, dan terlalu lama membiarkan diri terjebak dalam cinta yang tak pernah terbalas. Namun, satu hal yang pasti—di tengah segala kebingungannya, Aldric adalah sosok yang selalu membuatnya merasa sedikit lebih baik, meskipun tidak bisa menghapus luka itu.

Dan saat Aldric meninggalkan kafe itu, Laviya tetap duduk di sana, memandang kosong ke luar jendela. Hujan sudah berhenti, tapi hatinya masih terperangkap dalam kabut perasaan yang belum bisa ia jelaskan. Ia tahu, akan ada banyak hari-hari seperti ini yang harus ia hadapi. Hari-hari di mana ia menunggu sesuatu yang tidak pernah datang.

 

Cinta yang Tak Pernah Sampai

Hari-hari berlalu dengan kecepatan yang menyakitkan. Laviya mulai merasa seperti waktunya terhenti di antara dua dunia yang bertentangan: dunia yang penuh harapan, dan dunia yang dipenuhi oleh kenyataan pahit. Setiap kali ia menatap ponselnya, setiap notifikasi yang muncul, hatinya seolah berhenti sejenak. Namun, tak ada satupun yang datang darinya. Ryan.

Pagi itu, seperti biasa, Laviya duduk di bangku favoritnya di kampus. Di sekitar tempat duduknya, mahasiswa lain sibuk dengan tugas dan percakapan mereka. Laviya menghadap layar laptopnya, namun pikirannya berlarian jauh dari situ. Ia memutuskan untuk menulis sesuatu di jurnalnya, sebuah kebiasaan yang sudah ia lakukan sejak kecil. Menulis adalah satu-satunya cara baginya untuk menuangkan segala emosi yang terkunci.

“Aku merasa seperti ada bagian dari diriku yang hilang setiap kali dia tidak ada di sini. Padahal, aku tahu, seharusnya aku bisa hidup tanpa dia. Kenapa rasanya selalu seperti ini? Kenapa harapan selalu datang begitu mudah, tapi terluka selalu datang lebih cepat?”

Tangan Laviya menggenggam pulpen dengan erat, menekan sekuat hati. Tapi kata-kata itu tak cukup untuk menggambarkan betapa beratnya perasaan yang ia simpan. Laviya menghela napas, memandang kembali layar laptopnya. Mungkin, ia hanya butuh waktu untuk menerima kenyataan. Tapi kenapa selalu terasa lebih sulit daripada yang ia bayangkan?

Di tengah lamunannya, suara seseorang menyapanya, memecah kesunyian.

“Laviya.”

Suara itu—suara yang sudah ia kenal sejak lama, suara yang sudah menjadi bagian dari kesehariannya. Aldric.

Laviya menoleh, dan kali ini, alih-alih duduk di kursi di depannya seperti biasa, Aldric berdiri di sampingnya. Ada tatapan yang berbeda di matanya—sesuatu yang lebih serius, lebih dalam. Laviya menatapnya sebentar, mencoba tersenyum meski hatinya merasa jauh dari bahagia.

“Hai, Aldric. Ada apa?” Laviya bertanya dengan nada datar, meskipun ia tahu jawabannya.

Aldric duduk di sampingnya, memiringkan tubuhnya sedikit ke arah Laviya. “Aku pikir kamu butuh bicara,” katanya pelan, penuh pengertian. “Tentang Ryan.”

Laviya terdiam, menatap layar laptopnya, seolah mencari jawaban di dalamnya. Ryan, nama itu terasa asing di lidahnya. Tidak ada lagi kata-kata manis yang mengalir dari bibir Ryan seperti dulu. Tidak ada lagi perhatian kecil yang selalu membuat hatinya meleleh.

“Aku nggak tahu harus mulai dari mana,” Laviya akhirnya mengatakannya, suaranya hampir hilang.

Aldric menatapnya lebih intens, mencoba melihat lebih dalam ke dalam diri Laviya. “Kamu tidak perlu merasa terbebani, Laviya. Kamu nggak harus sendiri. Jangan terus-terusan simpan perasaan itu dalam hati.”

Laviya tertawa kecil, namun itu lebih terdengar seperti senyum yang dipaksakan. “Kamu tahu, Aldric… aku sudah lama menunggu jawaban yang nggak pernah datang. Tapi aku nggak bisa berhenti berharap.”

Aldric menghela napas panjang. “Terkadang, berharap itu seperti membiarkan diri kita terjebak dalam sesuatu yang nggak pasti. Kamu berhak untuk bahagia, Laviya. Tidak harus menunggu seseorang yang nggak pernah melihatmu lebih dari teman.”

Laviya menunduk, mencoba menahan air mata yang sudah hampir jatuh. “Aku tahu, Aldric. Aku tahu. Tapi…” Ia berhenti, suaranya hampir tak terdengar. “Tapi bagaimana aku bisa mengabaikan perasaan ini? Aku sudah lama mencintainya. Sudah terlalu dalam.”

Aldric menggenggam tangan Laviya dengan lembut, seolah memberikan sedikit kekuatan pada gadis itu. “Kamu nggak harus mengabaikan perasaan itu, Laviya. Hanya saja, kamu harus sadar bahwa perasaanmu itu mungkin nggak akan pernah terbalas. Dan itu bukan salahmu.”

Laviya menatap tangan Aldric yang menggenggam tangannya, merasakan kehangatannya yang berbeda. Ada sesuatu dalam sentuhan itu yang membuatnya merasa sedikit lebih tenang, namun rasa sakit di hatinya tak juga hilang. Ia ingin berteriak, ingin melepaskan semua ini, namun ia tahu, tak ada yang bisa mengubah kenyataan. Ryan tidak akan pernah tahu. Dan bahkan jika tahu, mungkin dia tidak akan pernah merasa sama.

“Mungkin aku harus berhenti berharap,” kata Laviya pelan, meresapi setiap kata yang keluar dari bibirnya. “Tapi, hatiku nggak bisa berhenti.”

Aldric menghela napas panjang. “Kadang, waktu yang akan menyembuhkan luka itu. Tapi aku ingin kamu tahu, kamu nggak sendiri. Aku di sini. Selalu ada.”

Laviya hanya mengangguk, meskipun ia tahu, kata-kata itu tak akan bisa mengisi ruang kosong yang ada di hatinya. Ia tahu, Aldric peduli, tetapi ada jarak yang tak bisa disembunyikan. Jarang yang selalu ada antara dia dan Ryan.

Setelah beberapa saat terdiam, Aldric bangkit dari tempat duduknya. “Jangan biarkan dirimu tenggelam dalam kesedihan ini terlalu lama, Laviya. Aku tahu kamu lebih kuat dari ini.”

Laviya menatap Aldric yang mulai melangkah pergi. Kata-katanya menggantung di udara, namun sepertinya tidak ada yang bisa mengubah apa yang ia rasakan. Setiap hari berlalu, dan perasaan itu semakin membebani jiwanya. Cinta yang tak terbalas, kenangan yang semakin buram, dan harapan yang semakin pudar.

Aldric benar. Mungkin waktu yang bisa membantu. Tapi, di saat seperti ini, waktu terasa seperti musuh, yang semakin menjauhkan dirinya dari apa yang diinginkannya.

Laviya memandangi ponselnya yang kembali kosong. Tidak ada pesan dari Ryan. Tidak ada panggilan. Tidak ada tanda-tanda dia akan datang ke dunia Laviya. Setiap detik terasa lebih berat, dan ia tidak tahu sampai kapan ia bisa bertahan.

 

Jejak Langkah yang Tersisa

Malam itu, udara di luar terasa lebih dingin dari biasanya. Laviya duduk di beranda kamarnya, menatap langit yang diselimuti awan gelap. Sesekali, ia menghirup udara malam yang sejuk, mencoba menenangkan pikirannya yang kalut. Seperti biasa, pikirannya berputar-putar tentang Ryan—tentang apa yang salah, tentang kenapa semua ini bisa terjadi, tentang kenapa dia merasa seperti hanya ada satu pilihan: menunggu.

Namun, seiring berjalannya waktu, semakin banyak yang ia coba untuk mengalihkan perhatian, semakin jelas bahwa hatinya tidak bisa berbohong. Mungkin ia sudah lelah dengan semua ini, tapi tetap saja, perasaan itu tidak mudah untuk dilepaskan.

Dari dalam kamar, terdengar bunyi ketukan pintu. Laviya menoleh, dan ia tahu siapa yang datang. Tidak ada yang lebih bisa memahami kecuali Aldric. Ia sudah memutuskan untuk tidak lagi menunggu keajaiban yang datang dari Ryan, tapi kadang—hanya kadang—perasaan itu muncul kembali. Dan Aldric selalu ada untuk menenangkannya.

Aldric masuk tanpa menunggu undangan. Sudah menjadi kebiasaan, mereka sering berbincang sampai larut malam, berbicara tentang hidup, tentang harapan, dan tentang cinta yang tak pernah terbalas. Kali ini, Aldric duduk di kursi yang ada di dekat jendela, memandang keluar seolah menunggu Laviya berbicara duluan.

“Aldric, kenapa rasanya begitu sulit untuk melupakan seseorang yang bahkan tidak pernah tahu kalau kita ada?” Laviya akhirnya memecah keheningan, suaranya rendah dan penuh dengan keputusasaan.

Aldric menatapnya, matanya penuh pengertian. “Karena kadang, Laviya, kita tidak bisa melupakan seseorang yang sudah meresap begitu dalam dalam hidup kita, meskipun mereka tidak tahu. Tapi, itu bukan berarti kamu harus terus merasakan hal yang sama. Hidup terus berjalan.”

Laviya menghela napas, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku nggak tahu harus mulai dari mana, Aldric. Aku nggak tahu bagaimana cara berhenti berharap, berhenti menunggu, berhenti merindukan dia.” Ia memejamkan mata sejenak, berusaha menahan agar air matanya tidak jatuh.

Tapi air mata itu datang juga, perlahan membasahi pipinya. “Aku merasa bodoh. Kenapa aku harus merasa seperti ini? Seharusnya aku bisa lebih kuat, kan?”

Aldric bangkit, mendekatinya, dan duduk di samping Laviya. Ia tidak berkata apa-apa, hanya menggenggam tangan Laviya dengan lembut, memberikan rasa tenang yang seolah sudah lama hilang. “Kamu tidak bodoh, Laviya. Kamu cuma… mencintai seseorang yang tidak bisa mencintaimu dengan cara yang sama. Itu bukan kesalahanmu.”

Laviya menunduk, merasakan tangan Aldric yang hangat. Dia tahu, Aldric selalu mencoba untuk menghiburnya, tetapi ada sesuatu yang selalu menghalangi. Mungkin, pada akhirnya, dia menyadari bahwa perasaan itu tak bisa begitu saja berganti. Perasaan yang sudah bertahun-tahun tumbuh menjadi sesuatu yang sulit untuk dilepaskan, bahkan dengan bantuan teman sekalipun.

“Tapi aku merasa Aldric, aku… aku cuma ingin dia tahu. Aku cuma ingin dia mengerti. Itu saja.” Suara Laviya bergetar. Ia tahu bahwa harapan itu semakin pudar, semakin jauh, semakin tidak mungkin. Namun, hatinya tidak mau mengerti.

Aldric menarik napas dalam, melihat Laviya dengan penuh perhatian. “Kadang, Laviya, orang yang kita harapkan untuk mengerti justru yang tidak pernah melihat kita. Dan itu bukan salah kita. Tapi apa yang bisa kita lakukan adalah memilih untuk melangkah. Melangkah ke arah yang lebih baik. Ke arah yang mungkin… lebih menghargai kita.”

Laviya menatap Aldric, merasa bingung dan sedih sekaligus. “Aku tahu kamu ingin aku melupakan semua ini. Tapi bagaimana kalau aku nggak bisa? Bagaimana kalau rasa ini terlalu besar untuk aku tanggung sendiri?”

Aldric tersenyum tipis, meskipun senyumnya itu terasa seperti sebuah tanda perpisahan. “Kadang, kita nggak bisa melupakan sesuatu dengan cara memaksa diri. Kamu butuh waktu, Laviya. Waktu untuk melepaskan. Dan, jika saatnya tiba, kamu akan tahu siapa yang pantas mendapatkan hatimu.”

Laviya merasakan kehangatan yang tak biasa saat itu. Mungkin kata-kata Aldric benar. Mungkin dia harus memberi dirinya waktu, memberi dirinya kesempatan untuk sembuh, untuk bisa melihat hidup dengan cara yang berbeda. Tapi, entah kenapa, hatinya masih menunggu. Menunggu seseorang yang tak pernah datang. Dan itulah yang paling menyakitkan.

Tiba-tiba, ponsel Laviya bergetar. Ia menoleh, melihat nama yang muncul di layar. Ryan.

Hatinya berdegup kencang. Dalam sekejap, semua perasaan yang ia coba sembunyikan selama ini kembali muncul. Ia merasa takut untuk membuka pesan itu, takut akan lebih banyak rasa sakit yang akan datang. Tapi tangan Laviya bergerak sendiri, mengklik pesan tersebut.

“Laviya, maaf aku sudah lama nggak hubungi kamu. Aku butuh bicara.”

Pernahkah ada kata-kata yang terdengar lebih kosong dari itu? Laviya menatap pesan itu dalam kebisuan, merasakan betapa jaraknya semakin jauh. Ryan akhirnya menghubunginya setelah sekian lama. Namun, Laviya tahu—semuanya sudah terlambat. Begitu banyak waktu yang terbuang, dan terlalu banyak harapan yang hancur tanpa kesempatan untuk diperbaiki.

Aldric melihatnya dengan penuh perhatian, tanpa mengatakan apa-apa. Hanya ada keheningan di antara mereka, yang terasa begitu dalam. Laviya tahu, tak ada yang bisa mengubah kenyataan ini. Ia menatap layar ponselnya sekali lagi, berusaha memutuskan apakah ia akan membalas atau tidak. Tapi jawabannya sudah ada, bahkan tanpa kata-kata. Ryan, dengan segala ketidakpastiannya, tetap bukan orang yang bisa membuatnya bahagia.

Namun, Laviya tahu satu hal—bahwa meski perasaan itu mungkin tak akan pernah kembali, ia harus bisa melepaskan. Bukan karena orang lain memintanya, tapi karena dirinya sendiri yang pantas untuk bahagia.

Aldric memberikan sebuah senyuman tipis. “Laviya, apapun yang kamu pilih, aku akan tetap ada. Jangan biarkan dirimu terjebak dalam cinta yang tidak mengerti siapa kamu.”

Laviya menatap Aldric, kali ini sedikit lebih tenang. Ia mengangguk pelan. Mungkin, perlahan-lahan, ia mulai mengerti.

 

Titik Terang di Ujung Jalan

Pagi itu, udara terasa sedikit lebih ringan, meskipun hati Laviya masih berat. Sejak semalam, ia tidak bisa berhenti memikirkan pesan Ryan. Tetapi saat ia membuka mata, sesuatu dalam dirinya berubah. Sebuah keputusan kecil, namun penting, akhirnya mulai muncul di benaknya. Mungkin sudah waktunya untuk melepaskan, untuk memberi ruang bagi dirinya sendiri untuk tumbuh.

Di luar, langit biru cerah menyambut hari baru, seolah mengajak Laviya untuk berdamai dengan perasaannya. Ia menarik napas dalam, mencoba menepis segala kebingungannya. Hari itu, ia tidak ingin lagi terjebak dalam perasaan yang tidak pasti. Hari itu, ia ingin menjalani hidup dengan cara yang berbeda.

Aldric sudah lama menunggunya di kafe kecil yang mereka suka. Mereka sering bertemu di sana, berbicara tentang banyak hal yang tidak selalu melibatkan cinta, meskipun kadang perasaan itu datang tak terduga. Laviya tahu, Aldric selalu ada, mendengarkan tanpa menghakimi. Tapi, saat ini, dia ingin lebih dari sekadar teman. Ia ingin sesuatu yang lebih, sesuatu yang jelas.

Setibanya di kafe, Laviya langsung melihat Aldric duduk di pojok dekat jendela, matanya memandang keluar dengan tatapan kosong. Saat dia melihat Laviya datang, senyum tipis muncul di wajahnya. Tanpa berkata apa-apa, Laviya duduk di hadapannya.

“Aku ingin bicara,” ujar Laviya dengan suara yang lebih mantap daripada yang dia kira.

Aldric menatapnya, memberi isyarat agar Laviya melanjutkan. “Tentang apa?”

Laviya menarik napas panjang. “Aku sudah memutuskan untuk berhenti menunggu. Aku sudah cukup lama berada dalam bayang-bayang seseorang yang bahkan tidak melihatku. Dan, aku tidak bisa terus hidup seperti ini.”

Aldric mengangguk perlahan, seolah menyadari apa yang sedang terjadi. “Aku tahu kamu kuat, Laviya. Aku hanya ingin kamu tahu, kamu nggak sendirian. Kamu punya pilihan, dan kamu bisa melangkah ke arah yang lebih baik.”

Laviya tersenyum tipis, merasakan kehangatan dalam kata-kata Aldric. “Aku tahu, Aldric. Aku hanya… butuh waktu untuk sampai pada keputusan ini.”

Aldric mengangguk, matanya menatap Laviya dengan lembut. “Kadang kita terlalu takut untuk merasakan sakit, tapi itu bagian dari hidup. Kamu harus mengizinkan dirimu merasa, Laviya. Karena hanya dengan merasakannya, kamu akan bisa melangkah lebih jauh.”

Laviya menunduk sejenak, mencoba menahan air mata yang hampir muncul. “Aku nggak tahu kenapa, tapi aku merasa bersalah. Aku merasa seperti meninggalkan sesuatu yang begitu penting.”

“Perasaanmu nggak salah, tapi kamu juga nggak salah. Terkadang, melepaskan adalah satu-satunya jalan agar kita bisa lebih bebas. Untuk diri kita sendiri,” jawab Aldric, suaranya lembut, penuh empati.

Laviya mengangguk pelan, seolah kata-kata Aldric meresap ke dalam dirinya. Ia tidak bisa terus menghidupi harapan yang tidak jelas, berharap pada seseorang yang tidak tahu perasaannya. Itu hanya akan menyakitkan, dan lebih banyak waktu akan terbuang tanpa hasil.

Aldric tersenyum hangat. “Kamu sudah memilih, dan itu langkah yang benar. Dan ingat, aku akan selalu ada untuk kamu, apapun yang terjadi.”

Laviya merasakan kehangatan yang tidak biasa dari kata-kata Aldric. Tiba-tiba, ada sesuatu yang menyadarkannya bahwa dia mungkin sudah terlalu lama terjebak dalam bayang-bayang Ryan, tanpa benar-benar melihat apa yang ada di hadapannya.

“Aldric, aku rasa… aku bisa melihatmu sekarang.” Laviya berkata pelan, tapi suaranya penuh dengan makna. “Aku hanya… butuh waktu untuk membuka mataku.”

Aldric menatapnya dengan tatapan yang begitu lembut. “Aku tahu, Laviya. Aku nggak akan memaksamu. Tapi, jika kamu siap, aku ada di sini.”

Laviya tersenyum, merasa sedikit lebih ringan. Mungkin, ini saatnya untuk mulai membuka lembaran baru, tidak hanya dengan harapan, tetapi dengan kenyataan yang bisa dia pegang. Cinta bukan hanya tentang menunggu, tetapi tentang memberi kesempatan pada diri sendiri untuk dicintai dengan cara yang lebih nyata.

Sambil menatap Aldric, Laviya merasa sedikit lega. Mungkin perjalanan ini baru dimulai. Mungkin ada lebih banyak hal yang harus dipelajari. Tapi satu hal yang pasti—dia tidak akan lagi menunggu sesuatu yang tidak pernah datang. Karena dia tahu, di luar sana, ada seseorang yang lebih dari sekadar bayangan, seseorang yang akan mencintainya dengan sepenuh hati.

Dan, mungkin, itu adalah awal dari kisah yang sebenarnya.

 

Jadi, begitulah. Terkadang kita harus kehilangan sesuatu yang kita anggap penting, supaya bisa menemukan yang lebih baik. Cinta segitiga itu memang nggak pernah mudah, tapi kadang, melepaskan adalah cara terbaik untuk menemukan kedamaian.

Dan siapa tahu, di ujung perjalanan ini, ada seseorang yang benar-benar layak untuk kita. Aku cuma berharap kamu nggak pernah takut untuk memilih, dan lebih penting lagi, nggak takut untuk memilih diri kamu sendiri. See you, guys!!

Leave a Reply