Cinta Segitiga yang Menyakitkan: Antara Persahabatan, Pilihan, dan Kehilangan

Posted on

Hai, pernah nggak sih kamu ngerasain cinta yang bener-bener ribet sampe bikin pusing tujuh keliling? Kayak, kamu sayang sama seseorang, tapi di saat yang sama kamu juga takut nyakitin orang lain yang kamu anggap sahabat.

Cerita ini tuh pas banget buat kamu yang pernah atau lagi kejebak di drama cinta segitiga. Nggak ada yang menang, nggak ada yang kalah, semuanya cuma bikin hati capek. Penasaran kan sama ceritanya, yuk langsung aja baca sendiri!

 

Cinta Segitiga yang Menyakitkan

Tiga Titik dalam Satu Lingkaran

Arvin menatap langit senja dengan mata yang mulai lelah. Angin sore yang datang dari balik pohon besar di taman menyentuh wajahnya, membawa sejuk, namun tidak mampu mengusir perasaan kosong yang sudah beberapa hari ini menggelayuti hatinya. Taman yang dulu menjadi tempat penuh tawa kini terasa hampa. Ia merindukan suara tawa itu—tawa Neyna dan Rakka, dua sahabat yang selalu menemani setiap langkahnya.

Dari kejauhan, ia melihat mereka sedang duduk di bawah pohon, berbicara dengan serius. Neyna, yang selalu riang dan penuh energi, kini terlihat lebih pendiam, seperti ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya. Di sisi lain, Rakka, si pendiam, tetap dengan tatapan kosongnya yang tak pernah bisa ia pahami. Entah kenapa, malam itu, perasaan cemas yang aneh muncul begitu saja.

“Ayo, kita ke sana,” kata Arvin kepada dirinya sendiri, sambil melangkah mendekati mereka.

Neyna menoleh saat Arvin mendekat, senyum khasnya yang selalu membuat Arvin merasa hangat di dada muncul. “Kamu datang juga,” kata Neyna, suaranya ceria meskipun ada kelelahan yang tersirat.

Arvin tersenyum kembali. “Iya, ada apa? Kok kalian kelihatan serius banget.”

Rakka, yang sejak tadi diam, hanya mengangkat bahu dan melirik Arvin sekilas. “Nggak apa-apa, cuma ngobrol aja.”

“Nggak apa-apa?” Arvin mengulang kata-kata Rakka dengan nada curiga. Ia duduk di sebelah Neyna, yang masih terlihat agak tertekan. “Ney, kamu kenapa?”

Neyna menghela napas, lalu menatap Arvin dengan pandangan yang agak berat. “Aku cuma bingung, Arvin.”

“Bingung? Bingung soal apa?” tanya Arvin, merasa cemas mendengar nada suara Neyna yang berbeda dari biasanya.

Neyna tersenyum tipis, tapi tidak menghilangkan kesan cemas di wajahnya. “Tentang… tentang kita.”

Arvin tidak bisa menahan matanya yang sedikit terbelalak. “Tentang kita?” tanyanya pelan.

Rakka yang sejak tadi diam, tiba-tiba menatap tajam ke arah Arvin. “Kalian berdua pasti bisa menyelesaikan semuanya sendiri,” katanya, suaranya datar, seolah tidak ada emosi yang terlibat.

“Tunggu, tunggu,” Arvin cepat-cepat menyahut, mencoba memahami situasi. “Kenapa jadi aku dan Ney? Kita kan bertiga, ada kamu juga, Rak.”

Rakka menunduk, sepertinya ada sesuatu yang ingin ia katakan, tapi ia memilih untuk tetap diam.

Neyna, yang sudah mulai gelisah, membuka mulutnya lagi. “Aku… aku cuma merasa ada yang berbeda antara kita bertiga. Aku nggak tahu kenapa, tapi sepertinya… ada sesuatu yang menghalangi kita buat tetap seperti dulu.”

Arvin menatap Neyna, mencoba mencari jawaban di matanya. “Maksudnya?”

“Aku nggak tahu,” jawab Neyna, suaranya terdengar lelah. “Kadang aku merasa ada yang aneh antara aku, kamu, dan Rakka. Rasanya kayak, aku nggak tahu lagi harus kemana. Aku bingung.”

Arvin merasa dadanya sesak mendengar kata-kata Neyna. Ada sesuatu dalam diri Neyna yang menginginkan sesuatu lebih, tapi entah kenapa ia merasa tidak bisa bergerak lebih jauh. “Ney, kalau ada yang mengganjal, kita harus ngomongin. Kita bertiga kan sahabat. Kenapa harus ada rasa bingung atau terhalang?”

Neyna menggeleng pelan, wajahnya menunjukkan tanda-tanda kelelahan yang lebih dari sekadar fisik. “Aku… aku nggak tahu, Arvin. Aku nggak bisa jelasin. Ini rumit.”

Rakka tiba-tiba bangkit berdiri, membuat Arvin dan Neyna terdiam. “Aku pergi dulu,” katanya datar, lalu berjalan pergi tanpa menunggu respons dari mereka.

“Nggak perlu buru-buru, Rak!” Arvin berteriak, tapi langkah Rakka tetap teguh, seperti ada dinding yang tak bisa ditembus.

Arvin memandang Neyna, yang sekarang hanya bisa menunduk. “Ney, kenapa jadi begini? Aku… aku nggak paham.”

Neyna mengangkat wajahnya, matanya basah, tapi ia mencoba tersenyum. “Aku nggak ingin kita bertiga jadi aneh. Tapi kadang, perasaan itu datang begitu saja. Rasanya, semuanya makin rumit.”

Arvin terdiam, membiarkan kesunyian mengisi udara di antara mereka. Ia tidak tahu harus mengatakan apa. Cinta, persahabatan, dan perasaan yang terus berubah-ubah semakin membuatnya bingung. Ia hanya tahu satu hal—ia tidak ingin kehilangan Neyna, meskipun di sisi lain, ia juga tidak ingin merusak persahabatan ini.

“Tapi aku nggak tahu harus gimana,” kata Arvin, akhirnya memecah keheningan. “Aku nggak mau ada yang terluka.”

“Aku juga nggak mau,” jawab Neyna pelan, matanya menatap jauh, seolah mencari jawabannya di luar sana.

Sebelum Arvin bisa melanjutkan, suara langkah kaki Rakka terdengar di kejauhan. Arvin tahu, itu adalah awal dari sesuatu yang tak terelakkan. Sebuah perasaan yang sulit dipahami, tetapi lebih sulit lagi untuk dihindari.

Dan saat itu, di bawah pohon besar yang dulu menjadi saksi kebahagiaan mereka, Arvin tahu satu hal—tidak ada lagi jalan yang mulus bagi mereka bertiga. Cinta, persahabatan, semuanya kini berputar dalam lingkaran yang rumit.

Namun, apakah ia akan tetap memilih Neyna? Ataukah perasaan Rakka yang selalu ada di sampingnya, yang perlahan mulai ia sadari, akan menjadi jalan yang lebih baik?

Itu adalah pertanyaan yang ia tak bisa jawab malam itu, di bawah langit yang semakin gelap.

 

Di Balik Tawa, Ada Air Mata

Keesokan harinya, Arvin kembali ke taman itu, berharap bisa menemukan jawaban untuk pertanyaan yang belum selesai semalam. Namun, suasana yang biasanya hangat dan familiar kini terasa berbeda. Udara seakan berat, seolah menahan sesuatu yang tidak bisa diungkapkan. Neyna dan Rakka tidak ada di tempat yang biasa mereka duduki.

Arvin berjalan di sepanjang jalan setapak, berharap bisa menemukan mereka. Tapi yang ia temui malah kesendirian yang menggantung. Sesekali ia melihat pasangan lain di sekitar taman, tertawa dan saling bercengkerama, seakan dunia mereka tetap berjalan seperti biasa. Sementara ia dan dua sahabatnya terjebak dalam kebingungan yang semakin dalam.

Tak lama setelah itu, ia melihat sosok Neyna duduk di bawah pohon, wajahnya tertunduk, seperti sedang memikirkan sesuatu yang rumit. Rakka tidak tampak di sekitar sana. Arvin mendekat dengan langkah pelan, takut-takut mengganggu, tapi hatinya sudah terlalu penuh dengan rasa ingin tahu.

“Ney,” panggil Arvin pelan.

Neyna menoleh, dan senyum tipis mengembang di bibirnya. “Kamu datang juga, Arvin.”

Ada sesuatu yang berbeda dalam cara Neyna tersenyum. Senyum itu tidak secerah biasanya, seperti ada kelelahan yang tak tertahankan.

Arvin duduk di sampingnya, mencoba merasakan kedekatan mereka yang dulu selalu nyaman. “Kenapa kamu sendirian di sini? Rakka kemana?”

Neyna menghela napas panjang. “Dia bilang ingin pergi ke perpustakaan, butuh waktu sendiri. Katanya, dia butuh ruang.”

Arvin mengangguk, merasa ada jarak yang mulai terbentuk di antara mereka bertiga. “Kamu?” tanya Arvin hati-hati.

“Aku…” Neyna menatap langit yang mulai gelap. “Aku bingung, Arvin. Rasanya semua berubah begitu cepat, dan aku nggak tahu lagi harus kemana.”

Arvin menatapnya, mencoba membaca ekspresinya. “Tentang apa? Kita kan masih bisa ngomongin semuanya.”

Neyna menunduk, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Kadang, kita nggak bisa mengendalikan perasaan, Arvin. Aku merasa terjebak di antara dua pilihan, dan aku nggak tahu apa yang harus aku pilih.”

Arvin merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. “Kamu maksudnya?”

“Tentang… kamu dan Rakka,” jawab Neyna, suaranya lembut, namun penuh dengan kecemasan. “Aku nggak tahu harus pilih siapa.”

Semua itu membuat Arvin terdiam. Ia sudah merasakan ada yang aneh di antara mereka bertiga, tapi mendengar Neyna mengatakannya secara langsung membuatnya merasa seperti ada yang hancur dalam dirinya. “Ney… kamu tahu, kan, kalau kita bertiga sudah lama bareng, nggak ada yang lebih penting selain persahabatan kita. Tapi aku juga nggak bisa menahan perasaan yang mulai tumbuh untuk kamu.”

Neyna menatap Arvin, matanya penuh dengan kebingungan dan ketakutan. “Aku juga merasa begitu, Arvin. Tapi aku nggak bisa membohongi diri sendiri. Perasaan itu muncul begitu saja, tanpa bisa kutahan.”

Kedua hati mereka berdegup tak teratur, mengisi ruang yang semakin terasa sesak. Neyna melihat Arvin, mencoba mencari jawaban dari matanya, namun seolah menemukan lebih banyak pertanyaan. Arvin juga merasakan perasaan yang sama, tapi ia tahu bahwa ini bukan hal yang mudah.

“Aku nggak mau merusak persahabatan kita,” kata Arvin dengan suara yang hampir tidak terdengar. “Aku nggak mau kehilangan kamu, tapi aku juga nggak ingin membuat Rakka terluka.”

Neyna terdiam, menghela napas panjang. “Aku nggak tahu apa yang harus aku pilih, Arvin. Aku takut jika aku memilihmu, aku akan kehilangan Rakka. Tapi kalau aku memilih Rakka, aku takut aku nggak bisa berhenti memikirkan kamu.”

Suasana menjadi hening. Hanya suara angin yang berhembus pelan terdengar di antara mereka. Arvin merasa seperti terjebak dalam labirin emosinya sendiri. Setiap kata yang keluar dari mulut mereka seolah menambah beban yang semakin berat untuk dipikul.

Saat itu, tiba-tiba ada suara langkah kaki yang mendekat. Arvin menoleh, dan terlihat Rakka berjalan menuju mereka dengan langkah yang terburu-buru. Wajahnya tampak tidak senang, namun tidak menunjukkan tanda-tanda marah. Hanya tatapan kosong yang menggantung di matanya.

“Rakka,” kata Arvin pelan.

Rakka berhenti di depan mereka dan menatap Neyna dengan pandangan yang sulit dipahami. “Jadi, ini yang kamu maksudkan, Ney?” katanya, suaranya datar.

Neyna terkejut dan menunduk, merasa tidak berdaya. “Rak, aku… aku nggak tahu harus gimana.”

Arvin merasakan ketegangan yang tiba-tiba mengisi udara di antara mereka bertiga. “Rak, kalau ada yang ingin kamu omongin, kita bisa bicarakan bareng-bareng. Nggak ada yang harus disembunyikan.”

Rakka menghela napas berat, lalu menatap Arvin dengan tatapan yang berbeda. “Aku nggak tahu apa yang harus aku katakan. Tapi satu hal yang pasti, aku nggak bisa terus hidup dengan kebingunganku sendiri. Aku cuma ingin tahu, kamu pilih siapa, Neyna.”

Neyna terdiam, seakan kata-kata itu adalah beban yang terlalu berat untuk diangkat. “Aku… aku nggak bisa pilih, Rak,” katanya, suaranya serak.

Arvin menatap Rakka, dan mereka bertukar pandang sejenak. Ada ketegangan yang semakin terasa di antara mereka, seperti ada batas yang semakin tipis antara persahabatan dan sesuatu yang lebih.

“Jadi, kita berdua cuma tinggal menunggu pilihanmu, Ney?” tanya Arvin dengan nada datar.

Neyna mengangguk pelan, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku nggak ingin membuat kalian berdua terluka.”

Namun, saat kata-kata itu keluar, Arvin tahu bahwa ini bukan sekadar tentang memilih, tapi tentang kehilangan—kehilangan yang tak terhindarkan, yang sudah mulai merayap perlahan ke dalam hati mereka.

Dan begitu malam mulai turun, Arvin sadar bahwa kebersamaan mereka tidak akan pernah sama lagi.

 

Pilihan yang Tak Pernah Ada

Keesokan harinya, langit tampak mendung. Cuaca terasa berat, seakan alam pun merasakan ketegangan yang melingkupi hidup Arvin, Neyna, dan Rakka. Pagi itu, Arvin bangun dengan perasaan tidak karuan. Ketika dia keluar dari rumah, udara dingin yang menusuk langsung mengingatkannya pada perasaan yang membekas. Keputusan yang masih menggantung, belum terjawab.

Pikirannya dipenuhi oleh suara Neyna dan Rakka. Kata-kata mereka berputar dalam kepalanya. Bagaimana jika dia harus memilih? Bagaimana jika dia justru kehilangan keduanya? Perasaan cemas itu semakin menggelayuti, dan semakin sulit baginya untuk berpikir jernih.

Arvin memutuskan untuk pergi ke taman, tempat yang dulu selalu menjadi tempat pelarian mereka bertiga. Taman itu seolah menjadi saksi bisu dari semua yang terjadi, dan kini, tempat itu juga menjadi saksi bisu dari pergulatan batin Arvin.

Saat ia tiba, tidak ada satu pun dari mereka yang tampak. Hanya suara angin yang berdesir lembut dan burung-burung yang berkicau seolah tidak peduli dengan kegelisahan yang merasuk. Arvin duduk di bangku yang sama, tempat mereka biasa berbicara tentang apapun, tempat yang dulu penuh tawa dan cerita tanpa beban. Namun sekarang, semuanya terasa sunyi dan hampa.

Tak lama, Neyna muncul di kejauhan, berjalan dengan langkah pelan. Rambutnya yang panjang tergerai, wajahnya terlihat lelah, seperti baru saja melalui malam panjang yang penuh pergolakan. Arvin bisa melihat kecemasan yang jelas terukir di wajahnya, dan dalam hati Arvin, ada sesuatu yang menyesak.

“Ney,” panggil Arvin perlahan.

Neyna menoleh dan berjalan mendekat. “Kamu sudah di sini?” suaranya serak, hampir seperti baru bangun tidur. Dia duduk di sebelah Arvin tanpa banyak kata, menghela napas panjang.

“Ada apa?” tanya Arvin, mencoba membuka percakapan.

Neyna menatap tanah, menggosok-gosok tangannya seolah mencari kehangatan yang tidak ada. “Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, Arvin,” kata Neyna, suaranya terdengar seperti menahan tangis. “Aku merasa seperti mengkhianati kalian berdua. Tapi aku juga tidak bisa mengabaikan perasaan ini.”

Arvin merasa hatinya perih mendengar itu. “Aku juga merasakannya, Ney. Aku nggak ingin ada yang terluka. Tapi rasanya semakin sulit untuk berpura-pura tidak ada apa-apa.”

Neyna menatapnya dengan mata penuh keraguan. “Aku takut Arvin, takut memilih salah. Takut kalau aku pilih kamu, Rakka akan merasa dihianati. Tapi kalau aku pilih Rakka, aku takut aku nggak bisa berhenti mencintaimu.” Neyna berhenti sejenak, mengumpulkan kekuatan. “Aku nggak tahu harus gimana, aku bener-bener bingung.”

“Ini bukan hanya tentang kita, Ney. Ini tentang apa yang kita rasakan, apa yang kita pilih untuk dilakukan dengan perasaan ini,” jawab Arvin dengan suara yang lebih dalam. “Tapi, jangan lupa, kamu nggak sendiri. Aku di sini, siap untuk mendengarkan.”

Neyna memandang Arvin dengan penuh harap, seperti ingin mencari kejelasan dalam tatapan itu. “Tapi aku harus memilih salah satu, Arvin. Aku nggak bisa terus hidup dengan perasaan yang terbagi seperti ini.”

Hening beberapa saat, sebelum akhirnya Arvin mengangguk. “Aku mengerti, Ney. Kita semua terjebak dalam perasaan ini. Aku nggak akan memaksa kamu untuk memilih sekarang. Tapi percayalah, apapun yang kamu pilih, aku akan menghormatinya.”

Neyna menunduk, merasa seperti beban berat di hatinya sedikit lebih ringan. Tapi hatinya tetap merasa kosong, seperti ada yang hilang. “Aku nggak ingin kehilangan kamu, Arvin,” bisiknya, hampir tak terdengar.

Arvin menggenggam tangannya, memberikan sedikit kekuatan. “Apapun yang terjadi, kita akan melalui ini bersama.”

Sebelum mereka bisa melanjutkan percakapan lebih jauh, sebuah suara yang sangat familiar terdengar di belakang mereka. “Jadi kalian berdua memilih menghindari aku?”

Rakka. Arvin dan Neyna berdua menoleh dengan cepat, dan melihat Rakka berdiri di sana, di bawah pohon besar, dengan ekspresi yang sulit dibaca. Matanya tajam, seolah sedang menilai situasi yang tak terduga.

Neyna langsung berdiri, merasa cemas. “Rak, aku—”

“Apa yang terjadi? Kenapa kalian berdua ngomongnya cuma berdua? Apa yang kalian sembunyikan?” tanya Rakka, suaranya dingin dan penuh tanda tanya.

Arvin menatap Rakka dengan penuh penyesalan. “Nggak ada yang kita sembunyikan, Rak. Kami cuma berbicara tentang semuanya.”

Rakka tertawa kering, suaranya menggema di udara yang dingin. “Ngomong tentang apa? Tentang perasaan yang kalian simpan-simpan selama ini?”

“Rakka, aku…” Neyna tampak terhimpit, wajahnya pucat. Arvin bisa melihat betapa berat beban yang harus dipikul Neyna, betapa dalamnya rasa bersalah yang merasuk.

Rakka melangkah maju, dan ada sesuatu dalam cara dia berjalan yang membuat Arvin merasa seolah tidak ada tempat yang aman lagi di sekitar mereka. “Jadi ini tentang aku dan kamu, kan, Ney? Tentang perasaan yang selama ini kamu pendam untuk Arvin?”

Neyna menggigit bibirnya, hampir menangis. “Rak, aku nggak ingin melukai siapa pun. Tapi perasaan ini terlalu kuat untuk aku abaikan.”

Rakka menghela napas panjang, terlihat lebih bingung dan kecewa daripada marah. “Aku nggak tahu apa yang harus aku katakan. Tapi satu hal yang pasti, aku nggak akan jadi orang ketiga dalam hubungan ini, Neyna. Kalau kamu milih Arvin, aku nggak akan bisa tetap berada di sini.”

Suasana menjadi sangat tegang. Setiap kata yang keluar dari mulut mereka seperti petir yang menyambar, menghancurkan segala yang ada di sekitar mereka. Arvin merasakan dadanya sesak, dan bahkan Neyna pun tampak terjebak dalam labirin emosinya sendiri.

“Tapi kita bertiga nggak bisa terus seperti ini,” kata Arvin, mencoba meredakan ketegangan. “Kita harus menyelesaikan semuanya, nggak peduli seberapa berat itu.”

Rakka menatap Arvin dengan tatapan tajam. “Aku nggak tahu apakah aku bisa melanjutkan persahabatan kita setelah ini, Arvin. Aku nggak yakin bisa.”

Kata-kata itu seperti pisau yang mengiris hati Arvin. Semua yang mereka bangun selama ini, semua tawa, semua cerita, semuanya hancur dalam sekejap. Namun, Arvin tahu satu hal: mereka harus membuat keputusan, apapun itu. Keputusan yang akan mengubah segalanya.

Arvin menatap Neyna, matanya penuh dengan keraguan. Mereka berdua tahu bahwa setelah ini, tidak ada yang akan sama lagi.

 

Titik Terang yang Pudar

Pagi itu, suasana masih terbungkus kabut tebal. Namun, di dalam hati mereka bertiga, kabut itu terasa lebih pekat, lebih menyesakkan. Arvin tidak tahu apa yang harus ia katakan, karena kata-kata seolah telah kehilangan maknanya. Keputusan yang harus diambil telah menggantung terlalu lama, dan mereka semua sudah lelah dengan permainan perasaan ini. Semua yang terjadi selama ini—tawa, persahabatan, rasa sayang—seakan telah retak, dan tidak ada yang tahu bagaimana cara menyatukan kembali potongan-potongan yang pecah.

Di sebuah kafe kecil, tempat mereka biasa duduk bersama, Arvin, Neyna, dan Rakka akhirnya duduk berjauhan. Hanya ada segelas kopi hitam yang mengukir keheningan di tengah meja. Seperti yang mereka tahu, waktu terus berjalan, dan mereka harus mengambil langkah maju, meskipun itu berarti mengorbankan sesuatu yang berharga.

“Ney,” kata Arvin, memecah keheningan, “Kamu harus memutuskan sekarang. Aku nggak bisa terus menunggu.”

Neyna menatap Arvin dengan mata yang memancarkan kelelahan. Dia tahu ini adalah saat yang paling sulit dalam hidupnya. “Aku tahu, Arvin. Tapi… ini bukan sekadar memilih siapa yang lebih aku cintai. Ini tentang bagaimana aku bisa menjaga keduanya, atau justru kehilangan semuanya.”

Rakka yang sejak tadi diam, akhirnya mengangkat wajahnya, menyuarakan perasaan yang sudah lama tertahan. “Kamu nggak bisa terus seperti ini, Ney. Aku juga nggak bisa terus berada di antara kalian berdua. Aku lelah jadi pilihan kedua. Kamu harus memilih, dan aku harus pergi.”

Neyna menghela napas panjang, merasakan sesuatu yang sangat berat di dalam dadanya. “Aku nggak mau kehilangan kamu, Rak. Aku nggak ingin itu. Tapi… aku nggak bisa berpura-pura kalau aku nggak merasa apa-apa dengan Arvin.”

Arvin merasakan jantungnya serasa dihimpit batu besar. Kata-kata Neyna seakan mengingatkan pada semua harapan yang pernah ia miliki. Dia memandang Rakka yang juga tampak terluka. “Kita nggak pernah menginginkan ini, Rak. Kita bertiga cuma terjebak dalam perasaan yang rumit.”

Rakka berdiri, matanya berkaca-kaca. “Kalian berdua sudah jelas dengan perasaan kalian. Tapi aku… aku nggak bisa menunggu selamanya.” Dia mengalihkan pandangannya ke luar jendela, seolah mencari jalan keluar dari perasaan yang tak terkendali.

Neyna dan Arvin hanya bisa menatapnya dalam diam. Semua terasa salah, namun kenyataan tak bisa dihindari. Rakka mengangkat ranselnya, siap untuk pergi. “Aku akan pergi dulu. Semoga kalian bisa menemukan apa yang kalian cari.”

Arvin merasa seakan ada yang hilang dalam dirinya saat Rakka berjalan pergi. Ada sebuah keheningan yang begitu menusuk, seperti sebuah luka yang tak terobati. Neyna menunduk, matanya dipenuhi air mata yang tidak jatuh. “Aku nggak tahu kalau bisa membuat semuanya baik-baik saja,” katanya dengan suara serak.

“Kadang hidup memang nggak memberi kita pilihan yang mudah, Ney. Tapi aku akan terus ada untukmu, tidak peduli apapun yang terjadi.” Arvin mencoba menguatkan, meski hatinya juga merasakan kekosongan yang sama.

Neyna menatap Arvin, masih dengan mata yang berkaca-kaca. “Aku takut, Arvin. Aku takut kalau aku memilih salah, dan kehilangan semuanya.”

Arvin menggenggam tangannya, merasakan betapa rapuhnya situasi ini. “Apapun yang kamu pilih, aku akan menerima. Tapi kita nggak bisa terus hidup dengan rasa bersalah ini. Kita harus memilih jalan kita.”

Namun, meskipun Arvin berkata seperti itu, ia tahu bahwa perasaan yang mereka miliki telah merusak segalanya. Keputusan yang akan diambil oleh Neyna, tidak akan menyelesaikan semua masalah yang ada. Tidak ada pilihan yang benar-benar bisa mengembalikan apa yang telah hilang.

Beberapa minggu berlalu, dan akhirnya Neyna memilih untuk mengakhiri semuanya. Dia pergi menjauh dari Arvin dan Rakka, mencari kedamaian dalam dirinya sendiri, mencoba menyembuhkan luka yang telah terbentuk. Namun, meski ia pergi, perasaan itu tetap ada, mengikat mereka bertiga dalam kenangan yang tak akan pernah benar-benar terlupakan.

Arvin dan Rakka, meskipun jauh di dalam hati mereka saling menyayangi, akhirnya memilih untuk berdamai dengan kenyataan. Mereka mengerti bahwa tidak semua persahabatan bisa bertahan, dan kadang, cinta itu datang dengan harga yang harus dibayar.

Pada akhirnya, mereka bertiga tahu bahwa cinta itu bukan selalu tentang memiliki, tapi tentang merelakan, tentang memberi ruang untuk seseorang tumbuh, meski itu berarti harus kehilangan. Cinta itu memang aneh, penuh teka-teki, dan kadang menyakitkan, tetapi pada titik tertentu, mereka semua harus belajar menerima kenyataan itu.

Arvin, Neyna, dan Rakka akhirnya menemukan jalan mereka masing-masing. Walaupun tak ada lagi yang sama seperti dulu, mereka belajar bahwa terkadang, melepaskan adalah satu-satunya jalan yang bisa membawa kedamaian.

Dan dengan itu, kisah cinta segitiga mereka pun berakhir, meninggalkan jejak-jejak yang sulit untuk dilupakan, tapi membawa pemahaman baru tentang arti cinta yang sejati.

 

Kadang cinta nggak ngasih kita akhir yang bahagia, tapi ngasih pelajaran yang bikin kita mikir. Arvin, Neyna, dan Rakka mungkin nggak dapet apa yang mereka mau, tapi mereka dapet apa yang mereka butuh: sebuah kelegaan buat ngikhlasin.

Karena ya, guys, di hidup ini nggak semua yang kamu sayang bakal bisa kamu genggam. Jadi, kamu cuma bisa belajar buat merelakan… bahkan kalau itu artinya ngelepas hal yang kamu pikir nggak bakal pernah bisa kamu tinggalin.

Leave a Reply