Daftar Isi
Kadang, kita nggak pernah siap buat ngerasain cinta yang salah waktu yang tepat. Ini cerita tentang hati yang bingung, pilihan yang susah, dan akhirnya harus merelakan sesuatu yang kita cintai banget. Kalau kamu lagi nyari cerita tentang cinta segitiga yang nggak cuma bikin baper, tapi juga bikin mikir, lo lagi di tempat yang tepat. Yuk, simak ceritanya sampai selesai.
Penyesalan, Keputusan, dan Merelakan
Di Antara Dua Hati
Hujan itu turun dengan pelan, menyentuh tanah dengan suara gemericik yang menenangkan, meski tidak mengusir keresahan di hati. Aku duduk di sudut kafe kecil yang selalu terasa hangat, dengan secangkir kopi yang sudah mulai dingin di meja. Rasanya, kafe ini adalah satu-satunya tempat yang bisa memberi sedikit ketenangan, meskipun aku tahu, kenyataan yang menunggu di luar sana jauh lebih rumit. Aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan dengan dua perasaan yang selalu saling bertentangan.
Ariel dan Sheryl. Dua orang yang selalu ada dalam hidupku, dengan cara mereka masing-masing. Ariel, dengan sikap tenangnya, selalu bisa membuatku merasa seperti berada di tempat yang aman. Di dekatnya, aku merasa bisa menjadi diriku sendiri tanpa ada beban. Sedangkan Sheryl… ah, Sheryl. Dia adalah sosok yang ceria, penuh warna, dan selalu berhasil menghapus hari-hariku yang kelabu. Kami sering tertawa bersama, berbagi cerita tentang segala hal yang ringan dan kadang konyol. Namun, entah kenapa, aku merasa ada sesuatu yang hilang. Ada jarak yang perlahan muncul, meski aku tak pernah tahu harus menyebutnya apa.
Aku mengingat percakapan itu. Beberapa minggu yang lalu, saat kami bertiga berkumpul di kafe ini, suasananya terasa hangat. Hanya tawa dan obrolan ringan yang memenuhi udara. Tapi ada satu kalimat yang mengubah semuanya, kalimat yang keluar dari mulut Sheryl dengan begitu tulus.
“Aku suka kamu, Dim,” katanya, dengan senyum yang selalu berhasil membuat hatiku berdebar.
Aku hanya terdiam, seolah kata-kata itu tidak bisa masuk ke dalam pikiranku. Sheryl suka padaku? Tidak mungkin. Itu pasti hanya lelucon, atau mungkin hanya perasaan sesaat. Tapi aku melihat ekspresi serius di matanya, dan saat itu, aku tahu bahwa dia benar-benar menginginkan jawaban.
“Apa?” aku bertanya, mencoba mencerna kata-katanya.
Sheryl hanya mengangguk, wajahnya penuh harap. “Aku sudah lama ingin mengatakan itu, Dim. Aku… aku suka kamu.”
Aku tidak tahu harus berkata apa. Hati ini seakan terhimpit, terjebak dalam kebingunganku sendiri. Di satu sisi, aku merasa senang karena akhirnya Sheryl mengungkapkan perasaannya. Tapi di sisi lain, ada perasaan lain yang lebih kuat, perasaan yang sudah lama aku pendam, perasaan yang selalu hadir setiap kali aku bersama Ariel.
Tapi aku tidak mengatakan itu pada Sheryl. Aku hanya tersenyum canggung, lalu mengalihkan pembicaraan ke topik lain. Aku tidak tahu apa yang harus dilakukan, apa yang harus dikatakan. Semua perasaan ini terlalu membingungkan.
Setelah hari itu, suasana di antara kami bertiga mulai berubah. Sheryl semakin sering melontarkan senyum yang seakan menyembunyikan ketidakpastian, dan Ariel… Ariel tetap seperti biasa, selalu tenang, seperti tidak ada yang terjadi. Tapi aku tahu, dia merasakan sesuatu. Hanya saja, dia tidak pernah menunjukkannya. Dia, dengan sikap pendiamnya, selalu bisa membuatku merasa bahwa segala hal bisa dibiarkan begitu saja. Mungkin dia tahu, dan mungkin dia tidak ingin memaksaku untuk memilih.
Aku merasa terjebak. Setiap kali bersama Sheryl, hatiku merasa senang, namun ada kekosongan yang tidak bisa diisi. Dan bersama Ariel, aku merasa tenang, tapi seiring waktu, aku mulai merasakan bahwa ada sesuatu yang belum selesai, sesuatu yang harus diselesaikan. Namun aku terlalu takut untuk menghadapinya.
Pernah, di suatu sore yang cerah, Ariel mengajakku berjalan-jalan di taman. Kami berjalan berdampingan, berbicara tentang hal-hal biasa. Namun ada satu momen ketika Ariel menatapku dengan tatapan yang sulit kuterjemahkan.
“Kamu berubah, Dim,” katanya pelan. “Apa kamu merasa tidak nyaman lagi?”
Aku terkejut mendengarnya, tapi aku mencoba menyembunyikan perasaan itu. “Tidak, aku baik-baik saja.”
Tapi aku tahu, meskipun aku mengatakan itu, Ariel tahu ada yang salah. Dia bisa melihatnya. Aku tak pernah bisa berbohong padanya.
Ariel berhenti sejenak, menatap langit yang mulai berwarna oranye. “Kadang, kita harus jujur pada diri sendiri, Dim. Apa yang kamu rasakan itu penting. Jangan takut untuk mengungkapkannya.”
Kata-kata itu menggetarkan hatiku. Dia tahu. Ariel tahu ada sesuatu yang sedang aku simpan, sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan, sesuatu yang seharusnya aku hadapi. Namun aku terlalu takut untuk mengakui perasaanku, apalagi jika itu berarti aku harus memilih antara mereka berdua.
Pada malam yang sama, aku duduk lagi di kafe ini, menatap hujan yang turun perlahan, dengan rasa bingung yang tak kunjung reda. Aku merasa seperti berada di persimpangan jalan yang tak jelas arahnya. Satu langkah ke kiri, aku akan terluka. Satu langkah ke kanan, aku mungkin akan kehilangan keduanya.
Aku memejamkan mata, berusaha menenangkan diri. Tapi bayangan mereka terus muncul—Ariel dengan senyum misteriusnya, Sheryl dengan tawa manisnya. Kedua sosok yang begitu berharga, namun tak bisa kupegang sekaligus. Aku harus memilih, bukan?
Tetapi, hati ini masih terlalu bingung untuk membuat pilihan. Aku tahu, suatu saat nanti, aku harus memberi jawabannya. Namun, hari itu belum datang.
Dan hujan pun masih turun.
Ketika Pilihan Menjadi Beban
Hari-hari setelah itu berlalu dengan cepat, namun setiap langkah terasa begitu berat. Aku mencoba untuk melupakan kebingunganku, mencoba menjalani hari-hari biasa seperti sebelumnya. Tapi, entah kenapa, rasanya semuanya berubah. Setiap kali aku bertemu Sheryl atau Ariel, ada jarak yang terasa semakin besar, seperti sesuatu yang tidak terucap, tapi mengambang di udara, menunggu untuk dihancurkan.
Kafe yang dulu terasa nyaman, kini hanya menjadi tempat yang mengingatkan aku akan keputusan yang harus segera kuambil. Aku duduk sendiri lagi di sudut yang sama, menatap secangkir kopi yang telah lama dingin, sama seperti perasaan ini—dingin, namun tetap ada. Hujan kembali turun di luar, dan aku tahu, di luar sana, tak ada yang bisa mengubah apa yang sudah terjadi.
Pagi itu, Ariel datang lebih dulu. Seperti biasa, wajahnya tenang, seakan tidak ada yang mengganggu pikirannya. Tapi aku tahu, aku bisa melihat sedikit ketegangan di matanya. Dia duduk di hadapanku tanpa banyak bicara, hanya menyodorkan secangkir kopi dengan senyum kecil.
“Dim,” kata Ariel setelah beberapa detik diam, “Apa kamu sudah memutuskan?”
Aku menatapnya, merasa seakan aku terperangkap dalam perangkap kata-kata yang tak bisa kuhindari. “Memutuskan apa?” tanyaku dengan suara pelan, berusaha menghindari percakapan yang sudah kuhindari selama ini.
Ariel tidak langsung menjawab. Dia hanya menatapku, lalu perlahan berkata, “Kamu tahu apa yang aku maksud. Tentang Sheryl… tentang kita.”
Aku menelan ludah, mulutku terasa kering. Aku tidak tahu harus berkata apa. Dalam hati, aku tahu Ariel sudah menunggu jawabanku, mungkin sudah sejak lama. Tapi jawabannya tak pernah kunemukan. Setiap kali aku berpikir untuk memilih, hatiku selalu terbelah. Dengan Ariel, aku merasa tenang, seakan tidak ada yang bisa mengganggu kedamaian ini. Tapi bersama Sheryl, aku merasa hidup, penuh tawa dan warna.
“Kenapa kamu tidak pernah mengungkapkan apa yang kamu rasakan, Ariel?” tanyaku akhirnya, suara terdengar lebih kasar daripada yang kuinginkan. “Kenapa kamu hanya diam saja? Seolah-olah itu tidak penting bagimu.”
Ariel menatapku dalam-dalam, seolah mencari sesuatu yang hilang di antara kami. “Karena aku tahu, Dim. Aku tahu kamu butuh waktu. Aku tahu kamu butuh memilih tanpa merasa tertekan.”
Dia menarik napas dalam-dalam, lalu melanjutkan, “Aku tidak ingin menjadi beban, Dim. Aku hanya ingin kamu bahagia, apapun itu.”
Aku menatapnya, dan untuk sesaat, rasa bersalah merayapi hati. Ariel selalu seperti ini—tenang, penuh pengertian, tidak pernah memaksaku. Tetapi apakah aku berhak untuk terus membuatnya menunggu? Hati ini terasa hampa setiap kali aku berpikir tentang keputusan yang harus aku ambil. Aku tidak ingin kehilangan Ariel, tapi di sisi lain, aku tidak bisa berhenti memikirkan Sheryl.
Ariel mengangkat gelas kopi ke bibirnya, mencoba menenangkan diri. Namun, aku bisa melihat ada kesedihan yang tersembunyi di matanya. Aku tahu dia sudah tahu jawabannya, meskipun aku belum bisa memberikannya.
“Satu hal yang aku tahu,” lanjut Ariel setelah beberapa detik, “Jika kamu memilih Sheryl, aku akan merelakannya. Karena, aku tahu, cinta tidak bisa dipaksakan.”
Aku ingin mengatakan sesuatu, tetapi kata-kata itu terhenti di tenggorokanku. Bagaimana aku bisa mengatakan sesuatu yang pasti akan melukai? Bagaimana aku bisa mengatakan pada Ariel bahwa hati ini masih berdebar ketika aku bersamanya, tapi aku juga merasa sesuatu yang sama saat aku dengan Sheryl?
“Terima kasih,” aku hanya bisa berkata begitu, meski itu rasanya sangat kosong.
Beberapa hari berlalu, dan setiap kali aku bertemu dengan Sheryl, suasananya terasa berbeda. Ada ketegangan yang tak pernah kami rasakan sebelumnya. Dia seolah menunggu sesuatu—jawaban, keputusan, entah apa. Namun, setiap kali aku mencoba untuk berbicara, aku merasa tidak bisa menyampaikan apa yang seharusnya aku katakan.
Sheryl datang menemuiku di kafe itu setelah pulang kerja, wajahnya lelah tapi tetap cantik seperti biasanya. Dia duduk di depanku, menatapku dengan mata yang penuh harap. Aku tidak bisa menahan tatapan itu, karena rasanya itu adalah sebuah pengakuan yang tak bisa aku hindari lagi.
“Aku tahu kamu bingung, Dim,” katanya dengan suara yang lebih lembut daripada biasanya. “Tapi aku ingin kamu tahu, apapun yang terjadi, aku hanya ingin kamu bahagia.”
Aku menghela napas, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Aku tidak tahu harus memilih siapa, Sheryl,” kataku akhirnya, suara serak karena perasaan yang terlalu rumit untuk diungkapkan.
Sheryl memiringkan kepala, menatapku dengan tatapan yang penuh pengertian. “Aku tidak ingin kamu merasa tertekan, Dim. Aku tidak ingin jadi alasan kamu merasa bersalah.”
Aku menggigit bibir, merasa semakin hancur. Bagaimana aku bisa memilih antara dua orang yang sangat berarti dalam hidupku? Ariel yang selalu tenang, dan Sheryl yang memberi aku hidup dengan canda dan tawa?
“Aku takut, Sheryl,” aku mengakui, suara bergetar. “Aku takut jika aku memilih salah, aku akan kehilangan semuanya. Aku takut kalau aku memilih kamu, aku akan kehilangan Ariel, dan jika aku memilih Ariel, aku akan kehilanganmu.”
Sheryl menatapku lama, lalu menghela napas. “Kadang, kita harus memilih, Dim. Bahkan jika itu menyakitkan.”
Aku merasa hatiku semakin berat. Seperti ada dua dunia yang saling bertabrakan di dalam diriku. Semua rasa ini tidak bisa dipaksa untuk diselesaikan dengan satu pilihan. Aku ingin semuanya tetap sama, tapi aku tahu itu tidak mungkin.
Saat itu, aku merasa semakin jauh dari keduanya, meskipun mereka ada di hadapanku.
Aku hanya bisa diam.
Memilih dalam Keheningan
Waktu terus berjalan dengan kecepatan yang tak bisa kuhentikan. Setiap detik terasa penuh, seolah aku berada di persimpangan jalan yang tak pernah bisa kutemukan ujungnya. Aku ingin memilih, tapi aku tak tahu bagaimana cara memilih tanpa menghancurkan sesuatu yang sangat berharga. Tidak ada yang lebih buruk daripada merasa terjebak di antara dua hati yang sama-sama penting.
Keesokan harinya, aku kembali bertemu dengan Ariel di tempat yang sama, kafe yang selalu jadi tempat kami berbicara tentang segalanya. Hujan masih turun, namun kali ini tidak ada kekuatan untuk meredakan kerumitan yang ada di dalam diriku. Aku melihat Ariel sudah duduk di meja kami, matanya yang biasanya tenang kini terlihat sedikit lebih gelap, seolah tahu apa yang akan aku katakan. Aku merasa seakan dia sudah menunggu keputusan ini selama berhari-hari, mungkin bahkan lebih lama.
“Dim,” suara Ariel pecah, lebih berat dari biasanya. “Kamu sudah siap, kan? Untuk memilih.”
Aku tidak bisa menatapnya. Hanya bisa menundukkan kepala, berharap bisa menyembunyikan kebingunganku yang begitu dalam. “Ariel, aku… aku belum siap,” aku akhirnya mengakui, meskipun itu terasa seperti pisau yang menusuk hatiku sendiri. “Aku tidak tahu harus bagaimana lagi.”
Ariel menarik napas panjang, lalu menatapku dengan tatapan yang sulit kubaca. “Aku tidak ingin jadi beban, Dim. Aku ingin kamu bahagia. Tapi aku juga tidak ingin kamu memilihku hanya karena kasihan.”
Aku menatapnya, merasa seperti ada sesuatu yang mulai mengalir di dalam diriku—sesuatu yang berat dan sulit untuk dihentikan. “Aku tidak memilih kamu karena kasihan, Ariel,” aku berusaha menenangkan perasaannya, meskipun aku sendiri tidak yakin dengan kata-kataku. “Aku memilihmu karena aku… aku merasa aman bersamamu. Aku merasa seperti aku bisa jadi diri sendiri tanpa harus berpura-pura.”
Dia tersenyum tipis, tetapi ada kesedihan yang tak bisa disembunyikan di matanya. “Aku tahu, Dim. Tapi aku tidak bisa membuatmu bahagia jika hatimu masih terjebak di tempat lain.”
Kata-kata itu menusuk hatiku. Ariel sudah tahu, bahkan sebelum aku mengakuinya, bahwa hatiku belum sepenuhnya ada di sini, di antara kami. Seandainya aku bisa membagi hatiku menjadi dua, mungkin semuanya akan lebih mudah. Tetapi itu tidak mungkin. Dan aku tahu, meskipun aku berusaha untuk bertahan, ada bagian dari diriku yang selalu mencari Sheryl.
Aku menundukkan kepala, mencoba menahan air mata yang sudah sangat dekat dengan mata. “Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, Ariel,” aku akhirnya berkata dengan suara yang hampir tak terdengar. “Aku takut membuat keputusan yang salah.”
Ariel hanya diam, tidak lagi berkata apa-apa. Kami duduk dalam keheningan, hanya ada suara hujan yang mengetuk jendela kafe. Aku merasa semakin tenggelam dalam kekosongan, seperti tidak ada jalan keluar. Aku memikirkan Sheryl, wajahnya yang ceria dan penuh kehidupan, dan aku merasakan perasaan yang sama seperti sebelumnya. Dia tidak pernah menuntut apa-apa dariku, bahkan saat aku tahu, di balik senyumnya, dia juga merasa bingung.
Setelah beberapa lama, aku memutuskan untuk pergi. Aku tidak ingin melanjutkan percakapan ini lebih jauh, karena aku tahu semakin lama aku tinggal, semakin berat perasaan yang akan kutanggung. Aku berdiri dan melihat Ariel, yang menatapku dengan tatapan yang penuh pengertian.
“Ariel,” aku memanggilnya dengan suara serak. “Terima kasih sudah menunggu sejauh ini. Aku hanya butuh waktu lebih banyak untuk berpikir.”
Ariel tidak berkata apa-apa, hanya menganggukkan kepala. Aku tahu dia mengerti. Mungkin dia sudah lelah menunggu jawaban, tapi dia tetap sabar. Dia selalu seperti itu. Aku pun pergi meninggalkan kafe itu dengan langkah yang lebih berat daripada sebelumnya. Aku merasa seperti ada dua dunia yang saling menarikku, dan aku tidak tahu harus mengikuti yang mana.
Sesampainya di rumah, aku terjatuh di atas tempat tidur, merenung. Seandainya aku bisa memutar waktu, memilih dengan bijak, mungkin aku tidak akan berada di sini sekarang, merasakan rasa bersalah yang begitu besar. Namun, kenyataannya adalah, aku sudah sampai di titik ini. Aku sudah membuat pilihan untuk tetap terjebak di antara dua hati yang saling mencintaiku. Aku merasa takut, sangat takut.
Hujan masih turun di luar, dan aku hanya bisa terdiam dalam kesendirian. Rasanya tidak ada lagi yang bisa kulakukan. Aku hanya ingin berlari jauh, tapi aku tahu itu bukan solusi. Aku harus menghadapi kenyataan ini, apapun itu.
Tak lama setelah itu, aku mendapatkan pesan dari Sheryl. Pesan yang membuat hatiku semakin berat.
“Dim, aku tahu kamu sedang bingung. Aku tidak akan memaksamu memilih sekarang. Tapi, tolong jangan jauhi aku. Aku hanya ingin kamu bahagia, meski itu berarti kita harus berbeda jalan.”
Pesan itu begitu sederhana, namun begitu penuh makna. Aku tahu, saat aku membaca kalimat itu, ada bagian dari diriku yang merasa ingin menangis. Sheryl tidak pernah menuntut, tidak pernah memaksaku untuk memilih, namun aku tahu betul bahwa setiap kalimatnya mencerminkan ketulusan yang dalam.
Aku melemparkan ponsel ke samping, mencoba untuk tidak memikirkan apapun lagi. Tetapi kenyataannya, aku tidak bisa berhenti berpikir tentang semuanya. Aku tidak ingin kehilangan mereka, tetapi apakah aku bisa memilih salah satunya tanpa kehilangan bagian dari diriku sendiri?
Saat malam semakin larut, aku masih terjaga, terperangkap dalam perasaan yang semakin mencekik. Hatiku terasa terbelah dua, dan aku tahu, semakin lama aku menunda, semakin berat perasaan ini.
Namun, keputusan itu harus diambil. Dan aku tidak tahu apakah aku akan mampu menghadapi kenyataan setelahnya.
Akhir dari Sebuah Pilihan
Malam itu, aku kembali terjaga, masih terperangkap dalam kabut kebingunganku. Dering ponsel di samping tempat tidur menggema di telingaku, namun aku merasa seakan dunia berhenti berputar saat aku melihat nama yang tertera di layar. Sheryl. Pesannya, seperti biasa, singkat namun menyentuh.
“Dim, aku sudah memutuskan untuk pergi. Aku ingin kamu tahu bahwa aku sangat mencintaimu, tapi aku juga tahu bahwa aku tidak bisa menahanmu. Mungkin ini yang terbaik.”
Aku tidak bisa bergerak. Kata-kata itu membekukan tubuhku, membuat udara terasa berat. Sebuah keputusan yang Sheryl buat, namun aku merasa seolah keputusan itu juga bukan untuknya saja, tapi juga untukku. Dia memberiku kebebasan yang aku tak pernah bisa memberikannya, dan aku merasa gagal.
Aku duduk di tepi tempat tidur, menatap pesan itu dengan rasa sakit yang begitu mendalam. Ada bagian dari diriku yang ingin berlari mengejarnya, memeluknya, dan mengatakan bahwa aku tidak siap kehilangan dirinya. Namun, aku tahu, jika aku melakukannya, aku akan semakin menjerat kami berdua dalam kebingungan yang tak ada habisnya.
Tangan yang kugenggam terasa dingin, tetapi aku tidak bisa melepaskan ponsel itu. Seperti ada suara dalam diriku yang terus mengatakan bahwa aku sudah terlambat—terlalu terlambat untuk memperbaiki semuanya. Aku sudah terjebak dalam perasaan yang terlalu dalam, yang tidak akan mudah untuk digerakkan.
Beberapa menit berlalu, dan aku merasakan keheningan yang menggelapkan setiap sudut pikiranku. Tidak ada yang lebih memilukan daripada menyadari bahwa seseorang yang kita cintai memutuskan untuk pergi, bukan karena dia tidak peduli, tetapi karena dia tahu kita tidak bisa memberinya apa yang dia butuhkan.
Aku mengambil napas panjang, meletakkan ponsel itu di sampingku, lalu bangkit berdiri. Di luar, langit terlihat lebih gelap, seolah merefleksikan perasaanku. Hujan masih turun, tetapi kali ini aku tidak merasa ada sesuatu yang perlu dihentikan. Hujan tidak bisa menghentikan proses penyesalan ini, dan aku tahu aku harus menghadapi apa yang sudah terjadi.
Keesokan harinya, aku pergi ke tempat yang dulu selalu kami kunjungi bersama. Kafe itu. Ariel sudah duduk di sana, menatapku dengan tatapan yang sama, tatapan penuh pengertian, seperti dia sudah tahu bahwa sesuatu akan berubah malam itu. Aku tidak bisa menahan air mata yang mulai mengalir, dan Ariel tidak berkata apa-apa. Dia hanya menggenggam tanganku, memberi ruang tanpa banyak kata.
“Aku sudah memilih, Ariel,” suaraku terdengar rapuh. “Tapi bukan karena aku tidak mencintaimu. Aku… aku cuma merasa aku sudah kehilangan sesuatu yang lebih penting.”
Ariel menatapku lama, seolah dia sedang mencari jawaban yang tepat. Namun, aku tahu jawabannya sudah ada di hatinya. Dia tahu, meskipun aku memilih dia, ada bagian dari hatiku yang telah hilang, yang tidak akan pernah bisa kembali.
“Aku tahu,” Ariel akhirnya berkata, suaranya lembut. “Aku hanya ingin kamu bahagia, Dim. Kalau kamu tidak bisa, aku akan selalu ada di sini, meskipun itu berarti aku harus pergi.”
Aku menunduk, tak bisa menahan perasaan yang terus mengalir. Semua yang terjadi seakan terjadi begitu cepat. Dalam hidup, kita selalu berhadapan dengan pilihan yang harus diambil, dan kadang kita harus memilih sesuatu yang terasa salah hanya untuk menjaga mereka yang kita cintai tetap utuh. Tetapi, aku sadar, itu bukan tentang siapa yang kita pilih. Itu tentang bagaimana kita merelakan dan menerima bahwa tidak semua cerita memiliki akhir yang indah.
“Aku… aku minta maaf,” aku berkata dengan suara serak. “Aku minta maaf karena tak bisa memberi apa yang kamu inginkan. Tapi kamu tahu, kamu selalu ada di hatiku.”
Ariel mengangguk perlahan, lalu tersenyum, meski senyum itu tidak sepenuhnya menyembunyikan kesedihan di matanya. “Aku tahu, Dim. Dan aku akan selalu menghargai itu.”
Saat aku keluar dari kafe itu, langit mulai terang kembali. Mungkin hujan telah berhenti, tetapi aku tahu tidak ada yang benar-benar berhenti di dalam diriku. Aku melangkah pulang, merasakan beban yang tak mudah hilang. Perasaan itu—penyesalan, kehilangan, dan kebingungan—akan selalu ada, karena aku tahu aku telah kehilangan dua hati yang aku cintai.
Tetapi yang lebih menyakitkan adalah kenyataan bahwa terkadang, kita harus merelakan orang yang kita cintai pergi demi kebahagiaan mereka, bahkan jika itu berarti kita harus melepaskan bagian dari diri kita sendiri.
Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Aku tidak tahu apakah ada kesempatan kedua. Tapi aku tahu satu hal: dalam dunia yang penuh dengan kebingunganku ini, aku harus belajar untuk menerima kenyataan, meski itu terasa seperti luka yang tak pernah sembuh.
Dan begitulah, kadang kita harus belajar untuk melepaskan, walaupun hati kita nggak siap. Cinta itu nggak selalu tentang memiliki, kadang tentang merelakan. Mungkin kita nggak akan pernah tahu jawabannya sampai waktu yang tepat datang, tapi satu yang pasti—setiap pilihan yang kita buat, pasti punya cerita sendiri. Semoga kamu menemukan kedamaian, meski terkadang harus melalui kepedihan.