Cinta Segitiga yang Berakhir Bahagia: Romansa, Persahabatan, dan Keputusan Tak Terduga

Posted on

Jadi gini, pernah nggak sih kamu ngerasa bingung banget antara dua pilihan yang sama-sama berat? Apalagi kalo itu soal cinta. Gimana rasanya kalo kamu punya perasaan yang nggak cuma buat satu orang, tapi dua-duanya? Pasti ribet, kan?

Nah, di cerpen ini, aku bakal bawa kmau ke dalam kisah cinta segitiga yang penuh tanya, lucu, tapi akhirnya… ya, kamu tahu lah, semua bisa jadi bahagia. Jadi siap-siap, karena kamu bakal nyangkut di perjalanan yang nggak selalu mulus, tapi seru!

 

Cinta Segitiga yang Berakhir Bahagia

Ketika Senyuman Itu Menggugah

Pagi itu, udara terasa sedikit lebih dingin dari biasanya, seolah-olah langit pun menyadari bahwa ada sesuatu yang akan terjadi. Aku berjalan menyusuri jalan setapak menuju kelas, langkahku tak terburu-buru, menikmati setiap hembusan angin yang menerpa wajah. Rasanya seperti pagi yang biasa saja, kecuali… ada sesuatu yang berbeda.

Elara.

Entah kenapa, setiap kali aku melihatnya, ada perasaan yang tak pernah bisa kugambarkan. Mungkin hanya aku yang merasa, tapi pagi ini terasa agak berbeda. Mungkin karena hari sebelumnya, kami sempat berbicara lebih lama. Kami duduk berdua di kantin, berbincang tentang hal-hal kecil yang biasa dilakukan oleh orang-orang yang merasa nyaman satu sama lain.

Tapi itu hanya sementara, bukan?

Hari ini, seperti biasa, aku berusaha untuk tetap tenang, meski dalam hati ada rasa cemas yang mulai menguasai pikiranku. Aku tahu Elara bukan tipe gadis yang mudah ditebak. Dia cantik, itu pasti. Tapi lebih dari itu, dia punya cara tersendiri untuk membuat orang merasa dihargai, seolah-olah mereka istimewa, bahkan ketika dia hanya tersenyum.

Aku memasuki kelas, berusaha fokus pada pelajaran yang sedang berjalan. Namun, meskipun aku duduk di bangku belakang, pandanganku tak bisa lepas dari Elara yang duduk di depan. Dia sedang sibuk menulis sesuatu di buku catatannya, rambutnya yang tergerai lembut jatuh menutupi sebagian wajahnya. Setiap gerakannya terlihat begitu anggun, seperti aliran air yang tak pernah terhalang.

Saat itu, aku tidak bisa mengalihkan perhatian dari dia. Dan, entah kenapa, ada perasaan aneh yang merayapi hatiku. Tapi aku juga sadar, aku tidak bisa hanya duduk dan menatapnya seperti ini. Ada Kyran, sahabatku, yang selalu berada di sampingku. Kalau ada yang paling paham tentang aku, itu pasti dia.

Kyran duduk di sebelahku, menatap layar ponselnya dengan serius. “Kamu lihat Elara lagi, kan?” tanyanya, sambil tetap fokus pada layar.

Aku tersentak, sedikit terkejut. “Hah? Apa? Enggak, nggak… cuma lihat catatan pelajaran,” jawabku, mencoba terdengar santai meski aku tahu dia sudah menangkap perhatianku.

Kyran mengangkat alisnya, lalu menatapku dengan tatapan yang sulit kutebak. “Jangan bohong, Zaidan. Kita ini sahabat. Aku tahu kalau kamu nggak bisa berhenti mikirin dia.”

Aku hanya diam. Tidak tahu harus bilang apa. Benar, aku memang selalu berpikir tentang Elara, tapi aku tidak tahu kenapa itu bisa terjadi. Dia hanya seorang teman, kan? Tapi kenapa rasanya seperti ada sesuatu yang lebih dalam?

Ketika bel tanda istirahat berbunyi, seluruh kelas mulai gaduh. Aku segera berdiri dan melangkah keluar, berharap bisa sedikit menyegarkan pikiran. Namun, langkahku terhenti saat melihat Elara keluar dari ruang kelas dengan senyum yang selalu bisa menenangkan hati siapa pun.

“Zaidan, bisa ngomong sebentar?” Suara Elara terdengar ceria, dan aku tidak bisa menahan senyumku.

“Eh, tentu, Elara,” jawabku, berusaha agar suara tidak terlalu kaku.

Elara melangkah mendekat, rambutnya yang tergerai berayun lembut, mengingatkanku pada angin musim semi. “Kamu nggak masuk kantin hari ini?” tanyanya sambil memandangku dengan tatapan yang penuh rasa ingin tahu.

Aku menggeleng pelan. “Nggak, lagi pengen jalan-jalan aja.”

“Kamu selalu aneh, Zaidan,” katanya sambil tertawa kecil. “Tapi kalau kamu butuh teman jalan, aku bisa temani kok.” Matanya yang bersinar membuat perasaan aneh itu semakin kuat. Sepertinya Elara memang tahu bagaimana cara membuat orang merasa nyaman di dekatnya.

Aku tidak tahu harus bilang apa, jadi aku hanya tersenyum kaku. “Oke deh, kalau gitu, kita jalan bareng aja,” jawabku sambil sedikit canggung.

Kami berdua berjalan beriringan menuju taman sekolah. Angin pagi yang sejuk menambah suasana menjadi lebih tenang. Sesekali kami berbicara tentang hal-hal ringan, seperti tugas yang harus dikerjakan atau kegiatan sekolah yang membosankan. Tapi aku bisa merasakan ada sesuatu yang mengalir di antara kami, meskipun hanya dalam kebersamaan yang sederhana.

“Zaidan, kamu nggak pernah cerita tentang pacar, kan?” Elara tiba-tiba bertanya sambil melirikku. “Apa kamu tipe orang yang nggak tertarik sama cinta?”

Aku terdiam sejenak, bingung bagaimana menjawab. “Aku… aku lebih suka fokus sama hal-hal lain dulu,” jawabku pelan.

“Ah, jadi kamu tipe yang fokus sama tujuan hidup ya?” Elara tertawa, lalu memandang langit. “Kamu kayak Kyran deh, selalu serius.”

“Yah, kalau Kyran sih memang serius banget,” jawabku, sedikit gugup.

“Tapi kamu beda,” katanya lagi, seolah membaca pikiranku. “Kamu lebih santai, lebih rileks, tapi tetap bijaksana.”

Aku hanya bisa tertawa, meski dalam hati aku bertanya-tanya, apakah dia benar-benar melihatku seperti itu? Atau dia hanya berkata-kata tanpa makna?

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Kami berdua berbalik, dan aku melihat Kyran berjalan ke arah kami. Senyum lebar muncul di wajahnya, namun ada sesuatu yang berbeda di matanya. Apa dia juga tahu tentang ini?

“Kamu berdua ngobrol di sini terus ya?” Kyran berkata, sambil mengamati kami berdua dengan senyum penuh arti. “Aku kira cuma aku yang jadi pengawas di sekolah ini.”

“Eh, kita cuma ngobrol biasa kok,” jawab Elara santai. “Ngapain juga ada yang diawasi.”

Aku hanya diam, meski dalam hati mulai merasa ada yang tidak beres. Ada rasa aneh yang mengambang di antara kami bertiga, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata.

Kyran menatapku sejenak, lalu kembali ke arah Elara. “Oke deh, kalau gitu, aku cabut dulu. Kalian lanjutin ngobrol ya.”

Setelah Kyran pergi, aku dan Elara kembali melanjutkan obrolan. Namun, entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang mengganjal. Di satu sisi, ada Kyran yang selalu ada di sampingku, teman terbaik yang tahu segala hal tentangku. Tapi di sisi lain, ada Elara yang selalu membuatku merasa spesial, meski kami hanya teman.

Dan aku tak bisa menahan rasa bingung itu.

 

Persahabatan yang Terselubung Perasaan

Hari-hari setelah pertemuan itu berjalan biasa saja, atau setidaknya itulah yang aku coba yakini. Aku dan Elara kembali ke rutinitas sekolah yang penuh dengan tugas-tugas yang menumpuk, dan Kyran—seperti biasa—tetap menjadi sahabat yang setia, selalu mengingatkan aku tentang tugas yang harus dikerjakan atau tentang hal-hal yang harus diprioritaskan. Namun, entah kenapa, setiap kali aku berada di dekat Elara, rasanya seperti ada hal yang lebih besar daripada sekadar tugas yang harus diselesaikan.

Aku mulai merasa bingung.

Malam sebelum ulangan besar matematika, aku duduk di kamar, membuka buku, tapi pikiranku entah mengapa melayang ke Elara. Sudah beberapa kali kami menghabiskan waktu bersama, kadang di kantin, kadang di taman, dan aku merasa semakin sulit untuk memisahkan perasaan itu—antara pertemanan dan sesuatu yang lebih.

Aku teringat saat kami duduk berdua di taman, hanya untuk berbicara tentang hal-hal kecil. Matanya yang penuh perhatian, cara dia tertawa ketika aku bercanda, semuanya terasa lebih dari sekadar pertemanan. Aku tidak bisa mengabaikan fakta itu. Tapi apakah aku siap untuk itu? Untuk perasaan yang lebih dari sekadar teman?

Aku menutup buku dan memutuskan untuk keluar sejenak, mencari udara segar. Waktu itu sudah hampir malam, dan aku ingin berjalan-jalan sebentar sebelum kembali ke kamar untuk belajar.

Tiba-tiba, ponselku bergetar. Pesan dari Elara.

Elara: “Hei, Zaidan, besok aku ada waktu luang. Mau belajar bareng nggak? Aku rasa kita butuh teman untuk ulangan matematika besok.”

Tanpa berpikir panjang, aku langsung membalas pesan itu.

Zaidan: “Oke, aku setuju. Jam berapa?”

Elara: “Pukul 5 sore, di taman. Kayaknya lebih santai kalau belajar di sana.”

Aku tersenyum, merasakan sedikit kegembiraan. Setidaknya aku tidak akan menghadapi ujian ini sendirian.

Keesokan harinya, saat jam menunjukkan pukul 5 sore, aku sudah berada di taman seperti yang dijanjikan. Angin sore yang sejuk membuat suasana semakin nyaman, dan aku menunggu dengan sabar. Tidak lama, Elara datang, membawa tas ransel besar dan ekspresi yang selalu bisa menenangkan siapa saja.

“Maaf telat,” katanya sambil tersenyum cerah. “Aku agak terlambat karena tadi ada kegiatan di klub.”

“Nggak masalah,” jawabku, mencoba untuk tetap tenang meski hatiku berdebar. “Aku juga baru sampai.”

Kami duduk di bangku taman, membuka buku pelajaran yang berantakan. Elara mulai membahas soal-soal yang harus dikerjakan, namun aku merasa sedikit teralihkan. Setiap kali dia menjelaskan sesuatu dengan cara yang santai dan mudah dipahami, aku hanya bisa terpesona.

“Kenapa kamu kelihatan nggak fokus sih?” tanya Elara tiba-tiba, menatapku dengan cermat. “Jangan bilang kalau kamu udah belajar semuanya dan cuma ingin bikin aku belajar sendiri.”

Aku tertawa kecil. “Bukan gitu, cuma… aku lagi mikirin beberapa hal.”

“Hal apa?” tanya Elara dengan senyum nakal, seolah tahu ada yang ingin aku sembunyikan. “Ayo, cerita dong.”

Aku menggelengkan kepala, berusaha mengalihkan pembicaraan. “Nggak ada apa-apa kok. Aku cuma butuh sedikit waktu buat… mencerna pelajaran.”

Elara mengangkat alisnya. “Hmmm, nggak percaya. Tapi oke deh, kita lanjut belajar aja.”

Saat kami melanjutkan belajar, suasana jadi lebih santai. Aku dan Elara kadang berbicara tentang hal-hal lain selain pelajaran, membuat perasaan aneh itu semakin kuat. Ada sesuatu yang mengikat di antara kami, seperti sebuah benang tak kasat mata yang menarik kami lebih dekat. Tapi aku masih bingung. Mungkin, aku hanya terlalu berharap.

Di tengah percakapan kami, tiba-tiba suara langkah kaki terdengar mendekat. Aku menoleh, dan ternyata itu Kyran. Dia melangkah dengan cepat menuju tempat kami, membawa tas punggung di satu tangan.

“Hey, kalian berdua lagi belajar?” tanyanya, suara penuh semangat. “Aku dengar kalian di sini, jadi gue pikir gue mampir.”

Aku tersenyum. “Iya, Kyran. Lagi belajar buat ulangan besok.”

Kyran duduk di bangku yang lain, memandang kami dengan senyum yang lebar. “Ah, gue udah siapin semua materi, jadi nggak perlu khawatir. Cuma kalau kalian butuh bantuan, gue siap jadi guru privat.”

Elara tertawa. “Bantuin aja kalau bisa, Kyran. Jangan cuma ngomong doang.”

Kyran menggoda kami berdua dengan komentar-komentar kocaknya, dan suasana yang tadinya serius menjadi lebih ringan. Aku tak bisa menahan senyum. Tapi meskipun Kyran ada di sini, aku tetap merasa ada jarak yang membentang di antara aku dan Elara, sesuatu yang tak terucapkan, tapi begitu terasa.

Sebelum lama, kami bertiga pun memutuskan untuk berhenti belajar dan menikmati waktu bersama. Kami berbicara tentang berbagai hal—tentang kehidupan di sekolah, tentang rencana setelah lulus, dan segala hal yang mungkin tampak sepele, namun terasa begitu berarti saat bersama mereka.

Saat kami berpisah, Elara mengucapkan terima kasih karena sudah menemani belajar. “Terima kasih sudah bikin belajar jadi lebih seru, Zaidan,” katanya dengan senyum yang sama seperti biasanya.

Aku hanya bisa mengangguk. “Sama-sama, Elara. Kalau ada apa-apa, bilang aja.”

Namun, saat aku melangkah pergi, aku merasa ada sesuatu yang belum selesai. Satu hal yang selalu ada di benakku—perasaan ini, yang sepertinya lebih dari sekadar teman. Tapi aku belum bisa memahaminya. Apakah aku siap untuk menghadapi perasaan ini? Atau apakah ini hanya perasaan sesaat yang akan hilang seiring berjalannya waktu?

Sementara itu, Kyran yang berjalan di belakangku, hanya diam. Aku bisa merasakan tatapannya, meski aku tidak menoleh. Mungkin dia tahu lebih banyak dari yang aku kira, tapi aku belum siap untuk membicarakannya.

Dan dengan langkah-langkahku yang berat, aku berjalan pulang, mencoba mencari jawaban atas segala perasaan yang semakin menggelayuti hatiku.

 

Keseimbangan yang Terguncang

Hari-hari setelah pertemuan di taman itu menjadi lebih rumit. Aku merasa seperti berjalan di atas tali yang tipis, mencoba menjaga keseimbangan antara dua dunia yang berbeda—dunia persahabatan yang aman dan nyaman, dan dunia yang baru muncul dalam pikiranku, dunia di mana perasaan lebih dari sekadar teman mulai berkembang.

Aku terus berusaha untuk bersikap normal, meskipun setiap kali bertemu Elara, hatiku tak bisa berhenti berdebar. Di sisi lain, Kyran tetap menjadi sahabat yang selalu ada untukku, tanpa sadar mulai menunjukkan sikap yang sedikit berbeda. Mungkin dia juga mulai merasakan ada sesuatu yang tak biasa antara aku dan Elara. Tapi dia tak pernah mengatakan apapun. Itu yang membuatku semakin bingung.

Pada suatu sore yang cerah, kami semua sepakat untuk menghabiskan waktu bersama di kafe dekat sekolah. Tujuannya sederhana—sekadar bersantai setelah ujian yang melelahkan. Tapi, dalam hati, aku tahu ada sesuatu yang lebih dari sekadar sekumpulan teman yang berkumpul. Ada ketegangan yang mengendap, meski tak ada yang mengungkapkannya.

Aku duduk di sudut kafe, sambil menyeruput kopi hangat. Elara ada di depanku, tertawa kecil mendengar cerita konyol dari Kyran. Semua tampak begitu normal. Tapi aku merasakan ada jarak yang mulai terbentuk di antara kami bertiga. Bukan jarak fisik, melainkan jarak emosional yang perlahan tumbuh, terutama antara aku dan Kyran.

“Zaidan, lo kayaknya lagi mikirin sesuatu,” kata Kyran tiba-tiba, menarikku dari lamunan.

Aku menatapnya, sedikit terkejut. “Hah? Nggak, gue cuma… mikir soal tugas minggu depan.”

Kyran menyeringai, lalu mencondongkan badan. “Lo bohong, ya. Gue tahu kok kalau lo lagi mikirin Elara.”

Elara yang sedang menyeruput jus buah di hadapannya berhenti sejenak, menatap Kyran. “Kamu ngapain sih, Kyran? Jangan ngomong gitu.”

Aku tertawa canggung, berusaha menutupi perasaan yang sebenarnya mulai terasa semakin jelas. “Udah lah, Kyran. Gue nggak mikirin apa-apa kok.”

Tapi Kyran tak menyerah. Dia menatapku dengan tatapan yang lebih tajam dari biasanya. “Serius, Zaidan. Lo nggak bisa terus-terusan begini. Kalau ada sesuatu, ngomong aja.”

Aku menatap Kyran, merasa sesuatu yang tak nyaman merayap di dadaku. “Gue nggak tahu apa yang harus gue omongin. Emang ada yang harus diomongin?”

Suasana jadi hening sejenak. Elara yang duduk di sana, tiba-tiba merasakan ketegangan yang muncul antara kami. Wajahnya sedikit berubah, seakan merasakan ada sesuatu yang tak beres.

“Kyran, jangan bikin Zaidan makin bingung,” Elara berkata lembut, mencoba meredakan suasana. “Kita kan cuma teman.”

Aku mengangguk, merasa lega bahwa Elara sedikit mengubah arah pembicaraan. Tapi kenyataannya, kata-kata Elara itu semakin membuatku merasa bersalah. Teman? Seharusnya itu memang hanya itu, kan? Tidak lebih. Tapi kenapa aku merasa seperti ini?

“Ayo, Zaidan, jawab. Kalau lo punya perasaan beda, kenapa nggak ngomong aja?” Kyran bersikeras. “Lo nggak bisa terus-terusan mendem kayak gini.”

Aku menarik napas panjang. “Gue… gue nggak tahu, Kyran. Gue cuma… nggak mau merusak apa-apa. Gue nggak mau bikin suasana jadi aneh. Semua orang juga udah nyaman begini.”

Kyran menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan. “Dan lo yakin kalau Elara juga nyaman seperti itu?”

Aku merasa tubuhku kaku, tapi aku mencoba menanggapi dengan santai. “Elara? Ya, dia teman kita. Semua ini cuma kebetulan aja.” Aku tersenyum sedikit, walaupun dalam hati aku tahu itu bukan jawaban yang benar.

Elara diam, lalu akhirnya dia berkata, “Aku cuma nggak mau ada yang merasa aneh di antara kita, kok. Aku juga anggap kalian berdua teman baik.”

Tetapi suara Elara yang lembut itu tidak bisa menutupi apa yang ada di balik kata-katanya. Aku merasa ada keraguan di sana, mungkin juga dari dirinya sendiri. Apakah dia juga merasa ada sesuatu yang lebih?

Setelah beberapa saat, kami melanjutkan percakapan lain, meskipun ada rasa canggung yang mengendap. Aku berusaha menenangkan diriku, mencoba untuk tidak terlalu memikirkan apapun.

Namun, setelah pertemuan itu, aku merasa semakin terjebak. Kyran mulai memperhatikan lebih banyak hal, dan setiap kali aku bersama Elara, ada perasaan yang sulit untuk dijelaskan. Rasanya seperti berjalan di antara dua pilihan, dua dunia yang sangat berbeda.

Setelah kembali ke rumah, aku duduk di tepi tempat tidur, mencoba mencerna semuanya. Aku sadar bahwa perasaan ini bukan sesuatu yang bisa aku hindari begitu saja. Aku harus memikirkan dengan matang, apakah aku siap untuk merubah segalanya. Dan apakah Elara juga merasakan hal yang sama?

Aku merasa bingung, tapi satu hal yang jelas: persahabatan kami, yang sudah begitu kuat dan dekat, sedang terancam. Aku takut kalau aku terlalu terbuka, aku akan merusak semuanya. Tapi kalau aku terus-menerus menahannya, perasaan ini mungkin hanya akan semakin mengganggu.

Aku mengeluarkan ponsel dan membuka pesan yang belum terbaca dari Elara. “Zaidan, aku cuma ingin kamu tahu, apa pun yang terjadi, aku tetap akan jadi teman baik kamu. Jangan biarkan perasaan ini bikin kamu nggak nyaman, ya?”

Mungkin itu adalah cara Elara untuk memberi petunjuk. Atau mungkin aku yang terlalu banyak berpikir. Tapi yang pasti, aku tidak bisa lagi mengabaikan perasaan ini.

Aku menarik napas panjang, merasa sedikit lebih tenang, meski dalam hatiku, ada banyak pertanyaan yang masih menggantung.

 

Keputusan yang Tertunda

Pagi itu, aku merasa ada yang berbeda. Biasanya, setiap kali bangun tidur, aku akan terjebak dalam kebingunganku sendiri, berpikir tentang pilihan-pilihan yang harus diambil. Tapi hari itu, entah kenapa, ada sedikit ketenangan yang menenangkan pikiranku. Mungkin karena malam sebelumnya, setelah merenung cukup lama, aku akhirnya memutuskan untuk melakukan sesuatu yang selama ini aku hindari: menghadapinya.

Aku keluar dari rumah dengan langkah yang lebih ringan dari biasanya, berusaha menepis segala kecemasan yang ada. Aku sudah tahu, hari ini adalah hari di mana aku harus membuat keputusan. Tidak ada lagi alasan untuk menunda.

Di kafe yang sama, tempat yang sudah menjadi semacam zona nyaman kami bertiga, aku menemukan Elara dan Kyran duduk menunggu. Elara tersenyum kecil melihatku, sementara Kyran menyandarkan punggungnya di kursi, terlihat sedikit lebih santai daripada biasanya. Sepertinya, mereka tahu kalau hari ini ada sesuatu yang berbeda.

Aku duduk di antara mereka, dengan canggung mencoba membuka percakapan.

“Lo udah siap dengan ujian yang lain, Zaidan?” tanya Elara, berbicara dengan nada ringan seperti biasa, tapi aku bisa merasakan ada sedikit ketegangan di udara.

“Udah sih, tapi… ada hal yang lebih penting yang perlu gue bahas,” jawabku, suara gue lebih serius dari biasanya. Aku bisa melihat mata Elara langsung terfokus padaku, sementara Kyran menatap dengan tajam, seakan menunggu apa yang akan aku katakan.

“Apa maksudnya?” tanya Kyran, sedikit mengernyit.

“Elara,” aku memulai, dengan menatapnya langsung. “Gue nggak bisa terus-terusan ngebiarin perasaan ini nggak jelas. Gue nggak mau salah paham lagi, atau malah bikin suasana makin canggung antara kita bertiga.”

Elara menundukkan kepala, seolah berpikir sejenak. Sementara itu, Kyran menatapku dengan ekspresi yang tidak mudah terbaca. Aku bisa merasakan perasaan mereka, ada semacam ketegangan yang muncul antara kami. Tapi kali ini, aku merasa lebih tenang. Setidaknya, aku sudah memulai percakapan ini.

“Gue… gue suka sama lo, Elara,” akhirnya aku mengungkapkan perasaanku, dengan nada yang cukup tenang meskipun hatiku berdegup kencang. “Gue nggak tahu sejak kapan, tapi rasanya nggak adil buat gue buat terus ngelakuin ini tanpa ngasih tahu lo.”

Elara terdiam, dan aku bisa melihat ekspresi terkejut muncul di wajahnya. Namun, itu bukanlah ekspresi yang membuatku merasa takut. Aku merasa lebih lega karena akhirnya bisa berkata jujur. Tapi aku juga tahu, ini bukan akhir dari segalanya.

Setelah beberapa detik hening, Elara mengangkat wajahnya dan menatapku, matanya lebih lembut dari yang aku bayangkan. “Zaidan, gue juga nggak bisa bilang kalau gue nggak ngerasa hal yang sama. Gue nggak tahu harus ngomong apa, tapi selama ini, gue juga bingung. Semua ini rumit.”

Aku hampir tidak percaya dengan apa yang aku dengar. Jadi, ternyata, dia juga merasakannya?

Kyran yang sedari tadi diam, tiba-tiba ikut berbicara. “Jadi lo udah ngomong, sekarang gue tinggal nunggu giliran, ya?” suaranya terdengar sedikit lebih ringan, meskipun ada nada bercanda di sana.

Aku tersenyum, merasa lega. “Gue nggak mau ada yang merasa tersinggung, Kyran. Gue cuma… gue nggak mau terus nyembunyiin apa yang gue rasain. Lo tetap sahabat gue, dan gue harap lo nggak berubah.”

Kyran mengangguk pelan, meskipun aku bisa melihat matanya yang sedikit berkaca-kaca. “Gue tahu kok, Zaidan. Gue nggak pernah keberatan. Gue juga cuma pengen lo berdua bahagia, apapun itu.”

Saat itu, aku tahu kami sedang berada di persimpangan jalan, tetapi entah mengapa, aku merasa seperti semua beban yang selama ini ada di pundakku mulai menghilang. Kami bertiga telah mengungkapkan apa yang selama ini terpendam, dan kini, kami akan memulai babak baru.

Elara menatapku dengan senyum yang lebih lebar, seolah memberikan persetujuannya. “Jadi, apa sekarang kita jadi pasangan?” tanyanya dengan nada jenaka, meskipun aku bisa merasakan kehangatan dalam suaranya.

Aku tersenyum, sedikit malu, tapi juga lega. “Mungkin. Kita lihat aja nanti. Yang penting, kita tetap bisa jadi teman.”

Kyran tertawa kecil. “Maksud lo, lo nggak percaya kalau lo bisa jadi pacar yang baik?”

Aku hanya tertawa. “Gue nggak tahu. Tapi, gue rasa gue akan coba jadi yang terbaik.”

Hari itu, suasana menjadi lebih ringan dari sebelumnya. Kami akhirnya bisa menghadapinya—membicarakan apa yang selama ini terpendam dan menerima kenyataan bahwa perasaan itu bisa ada tanpa merusak persahabatan yang sudah terbentuk begitu lama. Persahabatan yang lebih kuat karena kami bisa jujur pada satu sama lain.

Aku tak tahu bagaimana kelanjutannya nanti. Tapi aku tahu satu hal pasti—ini bukanlah akhir, melainkan awal dari perjalanan yang baru. Perjalanan di mana aku, Elara, dan Kyran akan tetap berjalan bersama, meskipun jalan itu mungkin sedikit berbeda dari yang sebelumnya kami bayangkan. Tapi setidaknya, kami sudah siap.

Dan di sinilah, di tengah ketegangan dan kebingungan yang pernah ada, aku akhirnya merasa menemukan keseimbangan—perasaan yang rumit, tapi nyata. Sebuah hubungan yang, meskipun dimulai dengan ketidakpastian, akan berakhir dengan kebahagiaan yang tak terduga.

 

Jadi, gitu deh cerita cinta segitiga yang penuh kebingungannya. Kadang, kita nggak perlu terlalu pusing dengan pilihan yang kita buat, karena yang penting adalah jujur sama perasaan kita dan nggak takut buat melangkah.

Di akhirnya, semua yang rumit itu bisa jadi hal yang paling indah. So, siapa bilang cinta itu harus gampang? Yang penting, kamu bisa bahagia, kan? Dan itu yang paling penting. Semoga ceritanya nggak cuma bikin kamu tersenyum, tapi juga ngerasa kalau kadang kebingungan itu malah bisa jadi awal dari kebahagiaan yang nggak terduga.

Leave a Reply