Cinta Segitiga di Balik Senja Ubud: Kisah Emosional yang Mengguncang Hati

Posted on

Selami kisah cinta segitiga yang penuh emosi dalam cerpen Cinta Segitiga di Balik Senja Ubud, sebuah narasi memikat yang menggambarkan pergulatan hati antara kenangan masa lalu dan kenyataan masa kini. Berlatar keindahan senja Ubud, cerita ini mengisahkan Aruna, Lintang, dan Sari dalam perjalanan cinta yang penuh luka, keberanian, dan pengampunan. Dengan detail yang hidup dan alur yang menyentuh, cerpen ini akan membawa Anda menyelami konflik batin dan keindahan Bali yang memukau, menjadikannya bacaan wajib bagi pecinta drama romansa yang mendalam.

Cinta Segitiga di Balik Senja Ubud

Bayang di Antara Kita

Langit senja di Ubud berwarna jingga lembut, menyapu sawah hijau yang terbentang luas di hadapan vila kecil tempat Aruna tinggal. Angin sepoi membawa aroma tanah basah dan bunga kamboja, seolah mencoba menenangkan hati Aruna yang sedang gelisah. Ia duduk di beranda kayu, memandang buku sketsa di pangkuannya, namun tangannya tak bergerak. Pensilnya terhenti, seperti pikirannya yang terjebak dalam pusaran perasaan yang tak kunjung jelas.

Aruna, seorang pelukis berusia 27 tahun, baru saja kembali ke Bali setelah tiga tahun merantau di Jakarta. Ia kembali untuk mencari ketenangan, untuk melukis kembali seperti dulu, sebelum kehidupan kota menggerus inspirasinya. Tapi lebih dari itu, ia kembali karena sebuah nama: Lintang. Pria yang dulu mengisi hari-harinya dengan tawa dan mimpi, pria yang pernah berjanji akan menunggunya, meski waktu dan jarak memisahkan mereka.

Lima tahun lalu, Aruna dan Lintang adalah sepasang kekasih yang tak terpisahkan. Mereka bertemu di sebuah pameran seni kecil di Ubud, di mana Lintang, seorang fotografer amatir, memotret setiap lukisan Aruna dengan penuh kekaguman. “Kamu melukis seperti menangkap jiwa,” katanya saat itu, matanya berbinar di bawah cahaya lampu galeri. Aruna tersipu, tapi hatinya luluh. Sejak itu, mereka menghabiskan hari-hari bersama, berjalan di tepi sawah, berbagi cerita di bawah pohon kelapa, dan bermimpi tentang masa depan. Tapi mimpi itu terhenti ketika Aruna mendapat tawaran bekerja di sebuah galeri ternama di Jakarta. Ia pergi dengan janji bahwa mereka akan tetap bersama, meski jarak memisahkan.

Namun, jarak ternyata lebih kejam dari yang mereka bayangkan. Panggilan telepon yang dulu setiap malam perlahan menjadi seminggu sekali, lalu sebulan sekali. Pesan-pesan singkat berubah jadi basa-basi. Hingga akhirnya, setahun lalu, Lintang mengirim pesan terakhir: “Aruna, aku harap kamu bahagia di sana. Mungkin ini saatnya kita berjalan sendiri-sendiri.” Aruna tak membalas. Bukan karena tak ingin, tapi karena hatinya terlalu sakit untuk mengetik kata-kata.

Kini, di beranda vila yang dulu sering mereka kunjungi bersama, Aruna mencoba merangkai kembali kepingan hatinya. Ia kembali ke Ubud untuk menyembuhkan luka, tapi juga untuk mencari jawaban. Apakah Lintang benar-benar telah melupakannya? Atau ada sesuatu yang tak pernah ia ceritakan?

Pagi itu, Aruna memutuskan untuk pergi ke pasar seni di pusat Ubud, tempat yang dulu sering ia dan Lintang kunjungi. Ia ingin merasakan kembali denyut kota yang pernah jadi saksi cinta mereka. Berjalan di antara kios-kios yang penuh warna, ia mencium aroma rempah dan mendengar tawar-menawar pedagang. Tiba-tiba, matanya tertuju pada sebuah stan kecil di sudut pasar. Di sana, terpajang beberapa foto hitam-putih yang begitu familiar—gaya khas Lintang, dengan kontras tajam dan emosi yang tersembunyi di setiap sudut gambar.

Jantung Aruna berdegup kencang. Ia mendekati stan itu, berharap dan takut sekaligus. Di belakang meja, seorang wanita muda dengan senyum hangat sedang merapikan beberapa bingkai foto. Wanita itu memiliki rambut panjang yang diikat asal, dan matanya penuh kelembutan saat menatap pengunjung. Aruna merasa dadanya sesak. Ia tahu wanita itu. Namanya Sari, teman lama Lintang yang dulu sering ikut dalam kelompok seni mereka. Tapi ada sesuatu yang berbeda sekarang—Sari mengenakan cincin sederhana di jari manisnya, dan di sampingnya, terpajang foto dirinya bersama Lintang, tersenyum di bawah pohon beringin besar.

“Aruna?” suara Sari lembut, tapi penuh kejutan. “Kamu… kembali?”

Aruna tersenyum kaku, mencoba menutupi gemuruh di hatinya. “Iya, baru seminggu di sini. Stanmu bagus sekali, Sari. Foto-fotonya… masih seperti dulu.”

Sari tersenyum, tapi ada ketegangan di matanya. “Terima kasih. Ini… sebenarnya punya Lintang. Aku cuma bantu jaga. Dia sedang ke Denpasar hari ini.”

Nama Lintang terasa seperti pisau yang menusuk pelan. Aruna mengangguk, berusaha menjaga wajahnya tetap tenang. “Oh, begitu. Dia… baik-baik saja?”

“Lintang baik,” jawab Sari cepat, tapi ada nada ragu di suaranya. “Dia masih suka motret, seperti dulu. Tapi sekarang dia lebih sibuk, banyak proyek.”

Aruna ingin bertanya lebih banyak, ingin tahu apa arti cincin itu, apa arti foto itu, tapi kata-kata tersekat di tenggorokannya. Ia hanya mengangguk, membeli sebuah foto kecil pemandangan sawah sebagai alasan untuk pergi. Saat berbalik, ia merasa langkahnya berat, seperti membawa beban yang tak terlihat.

Malam itu, di vila, Aruna duduk di depan kanvas kosong. Ia ingin melukis, tapi yang terbayang hanya wajah Lintang dan senyum Sari. Apakah Lintang telah menemukan kebahagiaan baru? Apakah ia, Aruna, hanya masa lalu yang tak lagi relevan? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepalanya, membuatnya tak bisa tidur. Ia mengambil ponselnya, menatap nomor Lintang yang masih tersimpan, tapi jarinya tak berani menekan tombol panggil.

Di luar, bulan purnama menggantung rendah, menyaksikan Aruna yang terjebak antara kenangan dan kenyataan. Ia tahu, perjalanan untuk mencari jawaban baru saja dimulai, dan hatinya belum siap untuk apa yang akan ia temukan.

Jejak yang Tersisa

Pagi di Ubud selalu membawa aroma embun dan suara burung yang riang, namun bagi Aruna, pagi itu terasa seperti kelanjutan dari malam yang penuh kegelisahan. Cahaya matahari yang menyelinap melalui celah-celah jendela vila tak mampu menghangatkan hatinya. Foto kecil pemandangan sawah yang ia beli dari stan Sari kemarin kini tergeletak di meja samping ranjangnya, seperti pengingat akan pertemuan yang mengguncang. Aruna memandang foto itu lama, mencoba mencari petunjuk dalam setiap garis hitam-putih yang begitu khas Lintang. Ada sesuatu dalam komposisi foto itu—bayang pohon kelapa yang jatuh di tepi sawah—yang mengingatkannya pada hari-hari ketika mereka berdua duduk di tepi sawah, berbagi mimpi tentang dunia seni yang akan mereka taklukkan bersama.

Aruna menghela napas panjang, lalu bangkit dari ranjang. Ia memutuskan untuk tidak membiarkan dirinya tenggelam dalam kebingungan. Hari ini, ia akan mencari Lintang. Bukan untuk meminta penjelasan, bukan pula untuk memohon cinta yang telah pudar, tetapi untuk memahami apa yang telah terjadi selama tiga tahun ia pergi. Ia ingin tahu apakah Lintang benar-benar telah melangkah maju, atau apakah masih ada ruang untuk kenangan mereka di hati pria itu.

Setelah mandi dan mengenakan gaun sederhana berwarna krem, Aruna berjalan menuju kafe kecil di pinggir jalan utama Ubud, tempat yang dulu menjadi favorit mereka. Kafe itu bernama “Purnama”, sebuah bangunan kayu dengan atap jerami dan meja-meja kecil yang dikelilingi tanaman hijau. Dulu, Lintang sering memesan kopi tubruk sementara Aruna memilih teh jahe, dan mereka bisa berjam-jam duduk di sana, berbagi cerita atau hanya menikmati keheningan bersama. Kafe itu penuh kenangan, dan Aruna berharap, entah bagaimana, Lintang masih sering ke sana.

Saat ia melangkah masuk, aroma kopi dan kayu manis menyambutnya. Kafe itu masih sama seperti dulu, meski beberapa dekorasi telah berubah. Meja di sudut, tempat mereka biasa duduk, kini dihiasi vas bunga kecil dengan kamboja putih. Aruna memilih meja itu, memesan teh jahe, dan membuka buku sketsanya untuk mengalihkan pikiran. Namun, setiap goresan pensilnya terasa hampa, seperti lukisannya kehilangan jiwa.

Tiba-tiba, suara langkah familiar membuatnya menoleh. Jantungnya kembali berdegup kencang. Di pintu masuk kafe, Lintang berdiri, mengenakan kemeja linen putih yang sedikit kusut dan celana jeans sederhana. Rambutnya sedikit lebih panjang dari yang Aruna ingat, tapi matanya—mata cokelat hangat yang dulu selalu membuatnya merasa aman—masih sama. Lintang tak sendiri. Di sampingnya, ada Sari, mengenakan rok panjang dan syal tipis yang melilit lehernya. Mereka tampak akrab, berbincang sambil tersenyum, dan Aruna merasa dunia di sekitarnya tiba-tiba hening.

Lintang tak langsung melihat Aruna. Ia dan Sari memesan minuman di konter, lalu berjalan menuju meja di sisi lain kafe. Barulah saat Lintang mengangkat kepala, pandangan mereka bertemu. Waktu seolah berhenti. Mata Lintang melebar sesaat, penuh kejutan, sebelum akhirnya ia tersenyum tipis, senyum yang sulit Aruna artikan—apakah itu kehangatan, keraguan, atau sekadar basa-basi?

“Aruna,” panggil Lintang, suaranya lembut tapi penuh kehati-hatian. Ia berjalan mendekati mejanya, diikuti Sari yang tampak sedikit canggung. “Kamu… kapan sampai di Ubud?”

“Seminggu lalu,” jawab Aruna, berusaha menjaga nada suaranya tetap stabil. “Aku… ingin cari inspirasi baru.”

Lintang mengangguk, tapi matanya tak lepas dari Aruna, seolah mencoba membaca sesuatu di wajahnya. “Bagus. Ubud selalu punya cara untuk membawa kita kembali, bukan?”

Sari tersenyum kecil, tapi Aruna bisa merasakan ketegangan di udara. “Aku dengar dari Sari kemarin bahwa kamu masih motret,” kata Aruna, mencoba mengalihkan percakapan. “Fotonya di pasar seni… luar biasa.”

“Terima kasih,” jawab Lintang, nadanya sopan tapi ada jarak di dalamnya. “Itu cuma proyek kecil. Aku sekarang lebih fokus ke fotografi dokumenter. Banyak cerita di Bali yang ingin aku abadikan.”

Sari menyela dengan suara ceria, seolah ingin mencairkan suasana. “Lintang sekarang sibuk banget. Kadang aku harus ingatkan dia untuk istirahat. Oh, Aruna, kamu harus lihat proyek terbarunya tentang desa-desa di Karangasem. Fotonya bikin orang nangis saking indahnya.”

Aruna tersenyum, tapi hatinya terasa perih. Ada keakraban dalam cara Sari berbicara tentang Lintang, sesuatu yang intim, seperti mereka telah berbagi banyak waktu bersama. “Pasti luar biasa,” katanya, suaranya hampir bergetar. “Aku… mungkin nanti bisa lihat.”

Percakapan terhenti sejenak, dan keheningan itu terasa menyiksa. Lintang akhirnya berkata, “Aruna, kalau kamu ada waktu, mungkin kita bisa ngobrol lagi. Aku… senang kamu kembali.”

Kata-kata itu seharusnya menghangatkan, tapi bagi Aruna, mereka terdengar seperti formalitas. Ia hanya mengangguk, tak percaya dirinya bisa berkata lebih banyak tanpa menunjukkan luka di hatinya. Lintang dan Sari kemudian pamit, meninggalkan Aruna dengan teh jahenya yang sudah mulai dingin.

Sore itu, Aruna kembali ke vila dengan langkah gontai. Ia duduk di beranda, menatap langit yang kini berwarna kelabu. Hujan mulai turun, gerimis kecil yang membuat sawah di depannya berkilau. Aruna mengambil buku sketsanya dan mulai menggambar tanpa sadar. Garis-garis pensilnya membentuk wajah Lintang, tapi di sampingnya, ada bayang-bayang samar wajah Sari, seperti intrusi yang tak bisa ia hapus.

Malam itu, saat hujan semakin deras, Aruna akhirnya memberanikan diri. Ia mengambil ponselnya dan mengetik pesan untuk Lintang: “Aku ingin ketemu. Ada yang perlu kita bicarakan. Besok, di Purnama, jam 4 sore?” Ia menekan tombol kirim sebelum ragu menghentikannya. Beberapa menit kemudian, balasan datang: “Baik, aku akan datang.”

Aruna menutup ponselnya, hatinya bercampur antara harapan dan ketakutan. Besok, ia akan menghadapi Lintang, dan mungkin juga kebenaran yang selama ini ia hindari. Di luar, hujan terus turun, seolah mencerminkan badai yang sedang berkecamuk di dalam dirinya.

Di Tepi Kebenaran

Hujan semalam telah reda, meninggalkan udara pagi yang segar dan aroma tanah basah yang khas di Ubud. Aruna berdiri di depan cermin kecil di kamarnya, menatap bayangannya yang tampak lelah. Matanya bengkak karena kurang tidur, namun ada tekad baru di dalam dirinya. Pertemuan dengan Lintang sore ini adalah sesuatu yang ia tunggu sekaligus takutkan. Ia ingin kejelasan, tapi di saat yang sama, ia tak yakin apakah hatinya siap mendengar apa yang akan Lintang katakan. Apakah ia akan mendengar pengakuan cinta yang dulu pernah mengisi hatinya, atau justru kebenaran yang akan menghancurkan harapan terakhirnya?

Aruna memilih pakaian sederhana namun elegan—blus putih dengan rok panjang berwarna hijau zaitun yang mengalir lembut. Ia menata rambutnya dalam sanggul longgar, berusaha tampak tenang meski dadanya berdegup kencang. Sebelum berangkat ke kafe Purnama, ia duduk sejenak di beranda vila, memandang sawah yang berkilau di bawah sinar matahari pagi. Di tangannya, ia memegang buku sketsa yang kini dipenuhi gambar-gambar wajah Lintang—beberapa dengan ekspresi ceria seperti dulu, beberapa dengan tatapan kosong yang mencerminkan kegelisahan Aruna sendiri. Ia menutup buku itu dengan pelan, seolah menutup kenangan yang masih terlalu berat untuk dihadapi.

Perjalanan menuju Purnama terasa singkat, meski setiap langkah terasa seperti membawa beban. Kafe itu sudah mulai ramai saat Aruna tiba, dengan aroma kopi dan suara obrolan pelan yang mengisi udara. Ia memilih meja yang sama di sudut, tempat yang dulu menjadi saksi tawa mereka berdua. Teh jahe yang dipesannya tiba, tapi ia hanya memandang cangkir itu tanpa menyentuhnya, pikirannya terlalu sibuk mempersiapkan kata-kata yang ingin ia ucapkan.

Tepat pukul empat sore, pintu kafe berderit pelan, dan Lintang masuk. Ia mengenakan kemeja biru tua yang sedikit memudar dan membawa tas kamera di pundaknya, seperti seorang petualang yang tak pernah lepas dari dunianya. Matanya mencari-cari, lalu mendarat pada Aruna. Ia tersenyum tipis, tapi ada keraguan di wajahnya, seperti seseorang yang tak yakin bagaimana memulai percakapan yang sudah lama tertunda.

“Aruna,” sapanya sambil menarik kursi di depan meja. “Maaf kalau aku agak telat. Ada sedikit urusan tadi.”

“Tidak apa,” jawab Aruna, suaranya pelan tapi tegas. “Aku juga baru sampai.”

Mereka terdiam sejenak, hanya suara gemerisik daun di luar jendela yang mengisi keheningan. Lintang memesan kopi tubruk, seperti kebiasaan lamanya, dan Aruna tak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum kecil melihat itu. Beberapa hal ternyata tak berubah.

“Aku… dengar dari Sari bahwa kamu sibuk dengan proyek fotografi,” Aruna memulai, mencoba mencairkan suasana. “Keren, Lintang. Kamu selalu punya cara untuk menangkap cerita lewat lensa.”

Lintang mengangguk, tapi matanya tak bertemu dengan Aruna. “Terima kasih. Tapi… entah kenapa, kadang aku merasa fotoku sekarang kurang… jiwa. Mungkin karena aku terlalu sibuk mengejar deadline.”

Kata-kata itu menggantung, dan Aruna merasa ada sesuatu yang tak diucapkan. Ia menarik napas dalam-dalam, memberanikan diri. “Lintang, aku balik ke Ubud bukan cuma untuk melukis. Aku… aku ingin tahu apa yang terjadi dengan kita. Kenapa kamu tiba-tiba memutuskan hubungan lewat pesan? Apa yang salah? Apa aku… yang salah?”

Pertanyaan itu keluar begitu saja, lebih tajam dari yang Aruna rencanakan. Lintang menunduk, jari-jarinya memainkan gagang cangkir kopi. Wajahnya tampak tegang, seolah ia sedang berjuang dengan kata-kata yang sulit ditemukan.

“Aruna, tidak ada yang salah denganmu,” katanya akhirnya, suaranya rendah dan penuh beban. “Aku… aku yang tidak cukup baik. Saat kamu di Jakarta, aku merasa semakin jauh. Kamu punya dunia baru, galeri besar, orang-orang baru. Aku cuma fotografer kecil di Ubud. Aku takut kamu akan bosan dengan aku, atau lebih buruk, aku akan menahanmu dari mimpimu.”

Aruna merasa dadanya sesak. “Jadi kamu memutuskan hubungan karena kamu pikir itu yang terbaik untukku? Tanpa bertanya apa yang aku inginkan?”

Lintang mengangguk pelan, matanya kini menatap Aruna dengan penuh penyesalan. “Aku tahu itu egois. Aku tahu aku seharusnya bicara dulu. Tapi waktu itu, aku merasa itu keputusan yang benar. Dan kemudian… hidup berjalan. Aku mulai proyek baru, bertemu orang-orang baru. Termasuk Sari.”

Nama Sari terasa seperti duri kecil yang menusuk. Aruna menelan ludah, berusaha menjaga wajahnya tetap tenang. “Kalian… dekat sekarang, ya? Aku lihat cincin di jarinya. Kalian… tunangan?”

Lintang terdiam lama, seolah kata-kata itu terlalu berat untuk diucapkan. Akhirnya, ia menghela napas. “Tidak, kami tidak tunangan. Cincin itu… itu dari ibunya, peninggalan. Tapi aku tidak akan bohong, Aruna. Sari dan aku… kami dekat. Dia ada untukku saat aku merasa kehilangan arah. Tapi aku tidak pernah benar-benar melupakanmu. Setiap kali aku memotret sawah atau langit senja, aku teringat padamu. Aku teringat lukisanmu, tawa kita, semua yang kita punya.”

Kata-kata itu seharusnya menghibur, tapi bagi Aruna, mereka justru terasa seperti pisau yang memutar luka lama. Ia ingin marah, ingin menangis, tapi yang keluar hanya senyum pahit. “Jadi kamu melangkah maju, tapi masih menyimpan kenangan kita? Apa itu adil untuk Sari? Atau untukku?”

Lintang tak menjawab segera. Ia menatap keluar jendela, ke arah sawah yang mulai diterangi lampu-lampu kecil dari vila-vila di kejauhan. “Aku tidak tahu apa yang adil, Aruna. Aku cuma tahu bahwa melihatmu lagi membuat semuanya jadi rumit. Aku pikir aku sudah selesai dengan masa lalu, tapi ternyata tidak.”

Aruna merasa air matanya mulai menggenang, tapi ia menahannya. “Lintang, aku kembali karena aku pikir mungkin masih ada kita. Tapi sekarang… aku tidak tahu apa yang harus aku pikirkan. Aku cuma ingin tahu satu hal: apa kamu masih mencintaiku?”

Pertanyaan itu menggantung di udara, berat dan penuh makna. Lintang menatap Aruna, matanya penuh dengan emosi yang tak bisa ia sembunyikan—penyesalan, kerinduan, dan sesuatu yang lebih dalam. Tapi sebelum ia bisa menjawab, pintu kafe kembali berderit, dan Sari masuk, membawa tas kecil berisi buku-buku. Ia tersenyum saat melihat Lintang, tapi senyumnya memudar saat ia menyadari suasana tegang di meja mereka.

“Lintang? Aruna?” panggil Sari, suaranya penuh kebingungan. “Aku… maaf, aku tidak tahu kalian sedang bicara. Aku cuma mau kasih ini.” Ia mengangguk ke arah tas buku di tangannya, lalu berbalik dengan cepat, seolah tak ingin mengganggu.

Aruna merasa dadanya semakin sesak. Ia bangkit dari kursi, suaranya bergetar saat berkata, “Aku pikir kita selesai untuk hari ini, Lintang. Aku… butuh waktu.”

Tanpa menunggu jawaban, Aruna berjalan keluar dari kafe, meninggalkan Lintang yang terdiam dan Sari yang berdiri dengan wajah bingung. Di luar, langit Ubud mulai gelap, dan angin malam membawa dingin yang menyusup ke tulang. Aruna berjalan tanpa tujuan, air matanya akhirnya tumpah, bercampur dengan embun malam. Ia merasa seperti berdiri di tepi jurang, di antara masa lalu yang masih ia pegang erat dan masa depan yang tak lagi jelas.

Pilihan di Bawah Purnama

Malam menyelimuti Ubud dengan lembut, bulan purnama menggantung tinggi di langit, memancarkan cahaya perak yang menyapu sawah dan vila-vila kecil di sekitarnya. Aruna duduk di beranda vilanya, ditemani suara jangkrik dan angin malam yang membawa aroma bunga kamboja. Buku sketsanya terbuka di pangkuannya, tapi kali ini, ia tidak menggambar wajah Lintang. Sebaliknya, ia melukis pemandangan sawah di bawah bulan purnama, dengan bayang-bayang pohon kelapa yang bergoyang pelan. Lukisannya penuh warna lembut, namun ada kesedihan yang terselip di setiap sapuan kuas, mencerminkan hatinya yang masih bergulat dengan perasaan yang tak kunjung usai.

Setelah meninggalkan kafe Purnama sore tadi, Aruna menghabiskan waktu berjalan di tepi sawah, membiarkan air matanya kering bersama angin. Pertemuan dengan Lintang telah membuka luka lama, namun juga memberinya keberanian untuk menghadapi kebenaran, apa pun itu. Ia tahu ia tidak bisa terus terjebak dalam kenangan, tapi hatinya masih mencari jawaban. Apakah ia harus memperjuangkan cinta yang dulu pernah ada, atau melepaskannya demi kebahagiaan Lintang—dan mungkin juga dirinya sendiri?

Pagi itu, Aruna bangun dengan tekad baru. Ia ingin bertemu Sari, bukan untuk konfrontasi, tapi untuk memahami. Ia tahu Sari bukan musuh, melainkan bagian dari cerita yang kini melibatkan mereka bertiga. Setelah sarapan sederhana, ia mengirim pesan pada Sari, meminta untuk bertemu di pasar seni tempat mereka pertama kali berjumpa. Sari membalas dengan cepat, setuju untuk bertemu siang ini.

Pasar seni Ubud ramai seperti biasa, dengan pedagang yang menawarkan kain batik, ukiran kayu, dan perhiasan perak. Aruna tiba lebih awal, berdiri di dekat stan foto Lintang yang kini dikelola oleh seorang asisten muda. Ia memandang foto-foto itu lagi, memperhatikan setiap detail—cara Lintang menangkap cahaya, cara ia menceritakan kisah melalui bayang-bayang. Ada satu foto yang menarik perhatiannya: seorang wanita duduk di tepi sawah, memandang ke kejauhan dengan ekspresi penuh kerinduan. Aruna merasa jantungnya berhenti sejenak. Wanita itu mirip dengannya, atau setidaknya, seperti dirinya di masa lalu.

“Aruna,” suara Sari menyapa dari belakang, lembut namun penuh kehangatan. Aruna berbalik, menemukan Sari berdiri dengan senyum tulus, meski ada sedikit ketegangan di matanya. “Terima kasih sudah mengajakku. Aku… agak kaget, tapi senang.”

Mereka duduk di bangku kayu di samping stan, dikelilingi aroma rempah dan suara pasar yang riuh. Aruna menarik napas dalam-dalam, mencoba merangkai kata-kata. “Sari, aku tidak tahu harus mulai dari mana. Tapi aku merasa kita perlu bicara. Tentang Lintang, tentang… apa yang terjadi.”

Sari mengangguk, matanya menatap lurus ke depan, seolah mencoba mengumpulkan keberanian. “Aku tahu ini pasti sulit buatmu, Aruna. Aku tidak pernah ingin berada di posisi ini. Tapi… aku juga tidak bisa menyangkal apa yang aku rasakan untuk Lintang.”

Kata-kata itu terasa seperti pukulan, tapi Aruna tetap diam, membiarkan Sari melanjutkan. “Setelah kamu pergi ke Jakarta, Lintang berubah. Dia sering murung, kehilangan semangat. Aku cuma temen yang coba ada untuk dia, mendengarkan ceritanya. Lama-lama, kami jadi dekat. Tapi aku tahu, Aruna, di hatinya, kamu masih ada. Setiap kali dia motret sesuatu yang indah, dia selalu bilang, ‘Aruna pasti bisa melukis ini lebih hidup.’”

Aruna merasa air matanya mulai menggenang, tapi ia menahannya. “Jadi kamu tahu dia masih memikirkanku, tapi kamu tetap memilih untuk dekat dengannya?”

Sari menunduk, jari-jarinya memainkan ujung syal yang ia kenakan. “Aku egois, Aruna. Aku tahu itu. Tapi aku juga manusia. Aku jatuh cinta padanya, meski aku tahu dia mungkin tidak akan pernah sepenuhnya melupakanmu. Aku cuma… berharap aku bisa cukup untuknya.”

Kejujuran Sari membuat Aruna terdiam. Ia ingin marah, ingin menyalahkan Sari, tapi ia tak bisa. Di depannya duduk seorang wanita yang juga terjebak dalam cinta yang rumit, sama seperti dirinya. “Sari,” katanya pelan, “aku tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang. Aku kembali ke Ubud karena aku pikir aku bisa memperbaiki apa yang rusak. Tapi sekarang… aku cuma ingin Lintang bahagia, meski itu berarti aku harus melepaskannya.”

Sari menatap Aruna, matanya berkaca-kaca. “Kamu orang yang luar biasa, Aruna. Aku harap aku bisa sekuat kamu.”

Mereka terdiam, hanya suara pasar yang mengisi keheningan. Akhirnya, Aruna bangkit, mengangguk kecil pada Sari. “Terima kasih sudah jujur. Aku… perlu waktu untuk memikirkan ini semua.”

Malam itu, Aruna kembali ke vila dengan hati yang lebih ringan, meski masih penuh pertanyaan. Ia duduk di depan kanvasnya, kali ini melukis dengan penuh semangat. Ia menuangkan semua emosinya ke dalam lukisan—langit malam Ubud, bulan purnama, dan tiga bayang-bayang samar yang berdiri di tepi sawah, melambangkan dirinya, Lintang, dan Sari. Lukisan itu bukan hanya karya seni, tapi juga cerminan hatinya yang akhirnya mulai menerima.

Keesokan harinya, Aruna mengirim pesan pada Lintang, memintanya untuk bertemu di tepi sawah dekat vila, tempat mereka dulu sering menghabiskan waktu. Lintang tiba saat senja, membawa kameranya seperti biasa. Ia tampak lelah, tapi matanya penuh dengan emosi yang tak terucapkan.

“Aruna,” katanya, suaranya serak. “Aku pikir aku tahu apa yang ingin kamu bicarakan. Dan aku… aku ingin minta maaf. Aku membuat semuanya jadi rumit.”

Aruna menggeleng pelan. “Kamu tidak perlu minta maaf, Lintang. Aku cuma ingin kita jujur, untuk terakhir kalinya. Aku tahu kamu peduli pada Sari, dan aku tahu kamu masih menyimpan kenangan kita. Tapi kamu harus memilih. Bukan cuma untukmu, tapi untuk kami semua.”

Lintang menatap sawah di depannya, angin membelai rambutnya. “Aku mencintaimu, Aruna. Selalu begitu. Tapi aku juga menyadari bahwa aku tidak bisa terus hidup di masa lalu. Sari… dia memberiku stabilitas, sesuatu yang aku butuhkan saat aku merasa tersesat. Aku tidak ingin menyakitimu, tapi aku pikir… aku harus memilih dia.”

Kata-kata itu menyakitkan, tapi Aruna merasa anehnya lega. Ia tersenyum, meski air matanya jatuh. “Aku senang kamu jujur, Lintang. Aku harap kamu bahagia. Benar-benar bahagia.”

Mereka berpelukan untuk terakhir kalinya, pelukan yang penuh dengan kenangan dan perpisahan. Saat Lintang berjalan pergi, siluetnya menyatu dengan senja, Aruna merasa beban di hatinya perlahan terangkat. Ia kembali ke vila, mengambil kuasnya, dan melanjutkan lukisannya. Kali ini, ia menambahkan satu detail terakhir: sebuah bunga kamboja yang terbang ditiup angin, melambangkan kebebasan.

Di bawah cahaya bulan purnama, Aruna tahu bahwa ia telah menemukan kedamaian. Cinta mungkin telah membawanya pada luka, tapi juga mengajarkannya untuk melepaskan. Ubud, dengan sawah dan senjanya, akan selalu menjadi rumah baginya—bukan hanya untuk kenangan, tapi juga untuk awal baru yang ia ciptakan sendiri.

Cinta Segitiga di Balik Senja Ubud bukan sekadar cerita cinta, melainkan cerminan kehidupan tentang bagaimana kita belajar melepaskan demi kebahagiaan orang lain dan diri sendiri. Dengan latar Ubud yang memesona dan emosi yang begitu nyata, cerpen ini mengajak Anda merenungi makna cinta sejati dan kekuatan untuk memulai kembali. Jangan lewatkan kisah yang akan meninggalkan jejak di hati Anda, mengingatkan bahwa setiap senja membawa harapan baru.

Leave a Reply