Cinta Sedih dari Sahabat: Kisah Remaja Paling Memilukan

Posted on

Jelajahi kisah cinta tragis yang memecah hati dalam Cinta Sedih dari Sahabat: Kisah Remaja Paling Memilukan, sebuah cerpen epik yang menggambarkan perjalanan emosional Vaelora Park di desa Haewon pada tahun 2024. Cerita ini mengungkap cinta Vaelora untuk sahabatnya, Kaelith Lee, yang berujung duka di tengah misteri yang dibawa Selene Han. Cocok untuk penggemar drama Korea yang mencari alur penuh emosi dan kedalaman—jangan lewatkan petualangan hati yang menyentuh ini!

Cinta Sedih dari Sahabat

Bayang di Bukit Fajar

Di sebuah desa terpencil bernama Haewon pada tahun 2024, di mana bukit-bukit hijau bergelombang di bawah sinar fajar yang lembut dan sawah padi berkilau dengan embun pagi, udara selalu membawa aroma tanah subur dan bunga liar yang tumbuh di sela-sela bebatuan. Haewon dikenal dengan festival matahari terbit yang menghidupkan desa dengan lentera kertas setiap bulan Maret, serta sekolah menengah pertama yang berdiri di puncak bukit, dindingnya dihiasi lukisan mural oleh para siswa. Di antara siswa kelas delapan yang ramai itu, ada seorang gadis bernama Vaelora Park, berusia tiga belas tahun, dengan rambut pendek berwarna cokelat keemasan yang sering disanggul rapi, dan mata hijau pucat yang menyimpan luka yang ia sembunyikan di balik keceriaan palsunya. Ia pindah ke Haewon bersama pamannya setelah kehilangan kedua orang tuanya dalam kecelakaan mobil, membawa tas besar yang penuh dengan foto-foto lama dan buku harian yang ia tulis untuk mengisi kekosongan. Namun, di balik ketenangan desa itu, ada perasaan yang perlahan membesar dalam dirinya, hingga ia bertemu dengan sahabatnya yang menjadi cinta dengan akhir yang menyedihkan, Kaelith Lee.

Vaelora tinggal di sebuah rumah bambu di sisi bukit, sebuah bangunan sederhana dengan jendela besar yang menghadap ke hamparan sawah yang luas. Ruangannya dipenuhi benda-benda yang mengingatkannya pada kehidupan sebelumnya—sebuah foto keluarga yang sudah usang, tumpukan buku harian yang ia isi dengan cerita, dan sebuah gitar kecil yang jarang disentuhnya sejak kematian orang tuanya. Suara burung pipit yang berkicau di pagi hari sering menjadi teman senjanya, tapi suara itu kini terasa hampa, seolah kehilangan makna sejak ia mulai menyadari bahwa perasaannya terhadap Kaelith mulai berubah menjadi cinta yang tak akan pernah terbalas. Vaelora pindah ke Haewon pada awal musim semi 2023, mencari tempat baru untuk memulai hidup, tapi desa ini kini menjadi saksi dari cinta yang berujung pada luka yang mendalam.

Hari-hari Vaelora di SMP Haewon biasanya dimulai dengan sinar fajar yang menyelinap melalui jendela, diikuti oleh langkah kakinya yang hati-hati menuju kelas bersama Kaelith. Mereka duduk di sudut kelas, berbagi buku harian dan menatap bukit yang berkilau di bawah sinar matahari pagi. Tapi seiring waktu, terutama menjelang akhir tahun ajaran, ruang di sampingnya mulai terasa penuh dengan perasaan yang tak bisa ia ungkapkan, meninggalkan jejak luka yang membuat Vaelora merasa seperti terjebak dalam bayang masa lalu. Ia menghabiskan waktu istirahat di puncak bukit, menatap sawah yang bergoyang lembut, tangannya memainkan gitar yang kini jarang disentuh. Di malam hari, ia duduk di jendela rumah, menatap lentera kertas yang berkelap-kelip di kejauhan, hati dipenuhi kerinduan pada hari-hari ketika persahabatan mereka masih utuh, sebelum cintanya mulai tumbuh.

Persahabatan mereka dimulai di kelas delapan, di puncak bukit saat mereka secara tidak sengaja bertemu sambil mengumpulkan bunga liar untuk dekorasi festival. Kaelith, dengan rambut hitam panjang yang selalu tergerai oleh angin dan tatapan tenang yang menenangkan, langsung mengulurkan tangan untuk membantu Vaelora membentuk karangan bunga. Sejak saat itu, mereka tak terpisahkan, berbagi cerita di puncak bukit, memainkan musik bersama di bawah pohon-pohon besar, dan bermimpi menjadi musisi terkenal. Kaelith selalu menjadi yang lebih pendiam, sementara Vaelora menemukan kekuatan dalam kehadiran temannya. Mereka tumbuh bersama, melewati ujian musik, angin sepoi-sepoi di Haewon, dan harapan untuk mengejar impian mereka. Tapi segalanya mulai berubah di pertengahan tahun ajaran, ketika Kaelith mulai menunjukkan tanda-tanda ketidakbahagiaan yang tersembunyi, meninggalkan Vaelora dengan perasaan yang tak terucapkan.

Vaelora sering mengingat hari-hari awal mereka, sebuah pagi di bulan April ketika matahari terbit memenuhi langit dengan warna-warna hangat dan lentera mulai dinyalakan di jalan-jalan Haewon. Mereka duduk di puncak bukit, mendengarkan suara angin yang berbisik, dan berbagi impian tentang masa depan. Kaelith tampak sedikit berbeda hari itu, matanya penuh bayangan, tapi Vaelora menganggap itu hanya kelelahan. Tahun-tahun berlalu, dan menjelang akhir kelas delapan, jarak antara mereka mulai terasa—Kaelith sering menyendiri, sementara Vaelora larut dalam dunia musiknya yang penuh kerinduan. Malam itu, setelah ujian musik, Vaelora menemukan sebuah nada sederhana dari Kaelith di buku harian-nya: sebuah melodi tentang kehilangan dan perpisahan, dengan catatan pendek, “Aku tak bisa bertahan.” Sejak saat itu, Vaelora merasa seperti kehilangan bagian dari dirinya, sebuah kekosongan yang tak bisa diisi oleh siapa pun.

Suatu pagi di bulan Mei, ketika embun masih menyelimuti sawah dan angin membawa udara segar, Vaelora duduk sendirian di puncak bukit, menatap langit yang mulai cerah. Angin membawa aroma padi yang baru ditanam dari kebun di kejauhan, dan tiba-tiba seorang gadis dengan mantel kuning cerah muncul di dekatnya. Rambutnya yang pirang pendek tergerai oleh angin, dan matanya yang biru tua menatapnya dengan rasa ingin tahu yang aneh. Ia memperkenalkan diri sebagai Selene Han, seorang siswa pindahan yang baru datang ke Haewon dan tampak terpesona oleh bukit yang megah. Wajahnya penuh tanda-tanda kecil dari apa yang ia sebut “perjalanan fajar,” tapi ada kelembutan dalam caranya berdiri yang membuat Vaelora tak bisa menolak mengundangnya duduk bersamanya.

Selene duduk di rumput basah, tangannya yang lentik memegang sebuah buku harian tua yang tampak usang. Matanya sesekali melirik buku Vaelora, seolah mengenali sesuatu. “Tempat ini penuh kenangan,” katanya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suara angin. Vaelora mengangguk, hati bergetar oleh kata-kata yang terasa terlalu dekat dengan perasaannya. Selene memutuskan untuk tinggal sebentar di Haewon, dengan alasan ingin mengenal desa, dan meski Vaelora ragu, ia merasa ada kelegaan dalam kehadiran gadis itu, sebuah perubahan dari kesedihan yang selama ini menyelimutinya.

Hari-hari berikutnya membawa ritme baru ke kehidupan Vaelora. Selene membantu menulis di buku harian-nya, duduk bersamanya di kelas musik SMP, dan bahkan menyetem gitar tua dengan tangan terampilnya. Ia tak banyak bertanya tentang Kaelith, tapi gerakannya yang pelan, seperti saat ia mengumpulkan bunga atau menatap bukit, seolah membawa sedikit cahaya ke dalam kegelapan hatinya. Vaelora mulai merasa nyaman dengan kehadiran Selene, meski ia tak pernah mengakuinya, bahkan pada dirinya sendiri.

Namun, di balik ketenangan yang muncul, ada bayangan yang semakin pekat. Setiap kali angin bertiup kencang, Vaelora merasa ada suara samar di bukit—langkah kaki yang terdengar seperti Kaelith, atau desir angin yang mirip dengan nada gitar temannya. Ia sering terbangun di malam hari, berkeringat dingin, membayangkan Kaelith berdiri di sudut jendelanya, wajahnya pucat dan matanya kosong. Dan Selene, dengan instinknya yang tajam, mulai memperhatikan hal-hal kecil—cara Vaelora menatap buku harian-nya, cara ia memetik senar gitar dengan tangan gemetar, dan cara ia selalu terdiam ketika fajar membawa kenangan.

Pada suatu pagi yang cerah, ketika lentera kertas di desa tampak bersinar terang di balik kabut tipis, Vaelora mendengar ketukan lembut di pintu jendelanya. Ia membukanya, berpikir itu hanya angin, tapi yang berdiri di luar adalah seorang gadis dengan mantel basah dan rambut pirang kusut. Di tangannya, ia memegang sebuah kotak bambu kecil yang tampak tua, permukaannya penuh goresan. Gadis itu meletakkan kotak itu di ambang jendela dan berbicara dengan suara pelan, “Ini milik Kaelith. Aku menemukannya di gubuk tua di bukit.” Sebelum Vaelora bisa bertanya lebih lanjut, gadis itu berbalik dan menghilang ke dalam kabut, meninggalkan Vaelora dengan detak jantung yang kencang dan rasa takut yang tak bisa dijelaskan.

Vaelora berdiri di jendela, memegang kotak itu yang terasa dingin di tangannya. Di dalamnya, ia tahu, ada sesuatu yang akan mengubah segalanya. Ia menatap ke arah bukit yang cerah di luar, dan untuk pertama kalinya dalam dua tahun, ia merasa takut—bukan hanya karena cintanya yang berubah menjadi duka, tapi karena kenyataan bahwa kenangan itu mungkin akan menghancurkannya sepenuhnya.

Echo di Bawah Sinar Fajar

Sinar fajar menyelinap perlahan di Haewon, membalut bukit dan sawah dengan cahaya emas yang mencerminkan lentera kertas yang berkelap-kelip di desa. Vaelora Park duduk di lantai jendelanya, kotak bambu kecil yang diberikan gadis misterius itu terbuka di depannya, isi di dalamnya tersebar di karpet anyaman. Udara di luar terasa segar, bercampur dengan aroma padi dan bunga liar yang menempel di setiap sudut. Di kejauhan, suara angin bersiul melalui pohon-pohon di bukit, membawa desau yang terdengar seperti nada gitar dari masa lalu. Lampu minyak di jendela berkedip lemah, menciptakan bayang-bayang yang menari di dinding, seolah menggambarkan kenangan yang terus menghantuinya.

Kotak itu berisi benda-benda yang membuat jantung Vaelora berdegup kencang—sebuah nada yang ditulis di kertas lusuh, beberapa catatan musik yang ditulis tangan oleh Kaelith, dan sebuah buku harian kecil yang penuh sketsa fajar. Kertas-kertas itu terasa hangat dan sedikit rapuh karena embun, dan aroma tinta yang memudar memenuhi udara, membawa kembali ingatan tentang Kaelith yang sering memainkan gitar di puncak bukit. Vaelora menatap isi kotak itu selama berjam-jam, tangannya bergetar setiap kali hendak menyentuh buku harian kecil yang tampak seperti menyimpan rahasia terakhir temannya. Pikirannya melayang ke masa lalu, ke hari-hari ketika mereka duduk bersama di bukit, ketika tawa Kaelith masih terdengar jelas di telinganya.

Pagi itu, ketika matahari terbit dengan penuh cahaya dan embun mereda menjadi tetesan kecil, Selene Han kembali dari perjalanan singkatnya ke gubuk tua di bukit. Ia membawa sebuah tas kain yang berisi senar gitar tua dan sebuah kotak kayu kecil yang ia temukan di antara rumput liar. Wajahnya tampak lelah, tapi matanya yang biru tua bersinar dengan rasa ingin tahu yang aneh. “Aku menemukan sesuatu yang mungkin membantumu,” katanya, meletakkan kotak itu di meja jendela di samping kotak milik Kaelith. Kotak itu terbuat dari kayu dengan ukiran bunga, dan di dalamnya terdapat sebuah surat yang ditulis dengan tangan rapi, bersama dengan foto polaroid yang sudah menguning di tepinya.

Vaelora merasa napasnya terhenti sejenak. Surat itu ditulis oleh Kaelith, tinta hitamnya masih samar terbaca meski kertasnya lembap. Ia mengambil surat itu dengan tangan yang gemetar, membukanya perlahan, dan menemukan kata-kata yang membuat dunianya bergetar. “Vaelora, maafkan aku karena menyimpan ini,” tulisnya. Surat itu menceritakan tentang beban keluarganya, tentang bagaimana Kaelith merasa tertekan oleh ekspektasi untuk menjadi penutup rahasia keluarga, dan tentang perasaannya yang berkembang pada keinginan untuk melindungi Vaelora dari kebenaran yang pahit. Foto polaroid menunjukkan Kaelith berdiri di puncak bukit, rambut hitamnya berkibar oleh angin, dengan senyum tipis yang penuh rahasia.

Vaelora merasa dadanya sesak. Ia ingat Kaelith, yang selalu pendiam di bukit, dan hari-hari ketika ia menunggu kehadiran temannya dengan harapan yang perlahan memudar. Surat itu mengungkap bahwa Kaelith tahu tentang perasaan Vaelora, tapi ia memilih untuk menjauh, tak ingin menyakitinya lebih dalam dengan rahasia keluarganya. Vaelora menutup mata, mencoba menahan air mata yang mengalir, tapi hati kecilnya terus berbisik bahwa ini adalah awal dari duka yang tak terhindarkan.

Selene memperhatikan reaksi Vaelora, tapi ia tak bertanya apa-apa. Ia hanya duduk di sudut jendela, membolak-balik senar gitar dengan hati-hati, seolah memberikan ruang bagi Vaelora untuk tenggelam dalam pikirannya. Namun, kehadiran Selene, meski diam, terasa seperti tekanan lembut yang mendorong Vaelora untuk menghadapi kenyataan. Ia menatap buku harian kecil Kaelith di tangannya, lalu ke nada di kotak. Ada hubungan antara keduanya, ia tahu itu, tapi ia belum siap untuk menghadapinya.

Hari-hari berikutnya berlalu dengan ketegangan yang tak terucapkan. Vaelora mulai merasa bahwa kehadiran Selene bukanlah kebetulan. Ada sesuatu dalam caranya bergerak, dalam cara ia menatap surat Kaelith, yang membuat Vaelora curiga bahwa gadis ini tahu lebih banyak daripada yang ia katakan. Pada suatu pagi, ketika mereka duduk di puncak bukit sambil menikmati teh hangat di tengah embun yang reda, Selene tiba-tiba berkata, “Cinta itu bisa menjadi beban yang tak terlihat, Vaelora.” Vaelora menatapnya tajam, merasa seperti ditelanjangi. Ia ingin marah, ingin mengusir Selene dari bukit, tapi ada sesuatu dalam nada suara Selene yang membuatnya tak bisa berbohong. “Kadang kita harus membiarkan rahasia tetap tertutup,” jawabnya dingin, lalu bangkit dan berjalan kembali ke rumah, meninggalkan Selene sendirian di puncak bukit.

Malam itu, Vaelora akhirnya memberanikan diri untuk membuka buku harian kecil Kaelith. Di dalamnya, ia menemukan sketsa-sketsa yang ditulis dengan tangan gemetar, penuh dengan gambar fajar dan sawah. Satu halaman terakhir berisi nada pendek yang ditulis dengan tinta yang sudah luntur: “Di bukit ini aku pergi, meninggalkan melodi untukmu. Maafkan aku, sahabat.” Vaelora merasa dadanya sesak, seolah ada tangan tak terlihat yang mencengkeram hatinya. Ia ingin lari, ingin meninggalkan Haewon dan semua kenangan yang tersimpan di desa ini, tapi ia tahu ia tak bisa. Desa itu, cintanya yang berubah menjadi duka, adalah bagian dari dirinya, dan ia harus menghadapi apa yang telah lama ia hindari.

Pagi berikutnya, Selene menemukan Vaelora duduk di jendela, dikelilingi oleh surat, buku harian kecil, dan nada dari kotak itu. Ia tak bertanya apa-apa, hanya duduk di sampingnya dan menawarkan segelas teh. Tapi di matanya, Vaelora melihat sesuatu yang membuatnya takut—sebuah pengertian yang terlalu dalam, seolah Selene tahu lebih banyak tentang Kaelith daripada yang ia katakan. “Kau pernah menyimpan rahasia untuk seseorang yang kau cintai?” tanya Vaelora tiba-tiba, suaranya serak karena menangis semalaman. Selene menatapnya lama, lalu mengangguk perlahan. “Aku pernah,” katanya. “Dan aku tahu betapa menyiksanya itu.”

Hari itu, untuk pertama kalinya, Vaelora mulai berbicara tentang masa lalunya—tentang Kaelith, tentang cintanya yang berubah menjadi duka, dan tentang luka yang membuatnya tinggal di Haewon. Selene mendengarkan dengan penuh perhatian, tapi ada sesuatu dalam ekspresinya yang membuat Vaelora merasa bahwa gadis ini bukan hanya siswa pindahan. Ada hubungan antara Selene dan kenangan Kaelith yang ia temukan di kotak dan buku harian kecil, dan Vaelora tahu bahwa kebenaran itu akan segera terungkap, entah ia siap atau tidak.

Haewon, yang selama ini menjadi tempat pelariannya, kini terasa seperti panggung bagi sebuah cerita yang belum selesai. Setiap sinar fajar yang ia lihat, setiap bayangan Kaelith yang ia bayangkan di bukit, membawanya lebih dekat ke sebuah kebenaran yang mungkin akan menghancurkannya. Dan di tengah semua itu, ada Selene, gadis yang datang sebagai orang asing, tapi kini menjadi bagian dari cerita yang tak pernah Vaelora bayangkan akan ia jalani lagi.

Cahaya di Balik Kabut Fajar

Langit Haewon pada pagi hari di pertengahan musim semi 2024 tampak diselimuti awan putih yang menggantung rendah di atas bukit, menciptakan lapisan kabut tipis yang menyatu dengan hamparan sawah yang berkilauan di bawah sinar fajar. Angin sepoi-sepoi bertiup dari arah sawah, membawa aroma padi yang baru ditanam dan bunga liar yang bermekaran, sementara tetesan embun membasahi rumput yang tumbuh di sela-sela bebatuan. Vaelora Park duduk di puncak bukit, tangannya memegang buku harian kecil Kaelith yang usang, sementara sebuah kotak bambu yang ditemukan di gubuk tua terbuka di sampingnya. Setiap halaman buku itu terasa seperti membuka luka lama, membawa kembali kenangan tentang waktu bersama sahabatnya, tentang harapan yang pernah ia genggam erat, dan tentang keheningan yang kini mengisi ruang kosong di hatinya. Di sudut kotak, sebuah senar gitar tua yang pernah mereka temukan bersama tergeletak, seolah menyimpan emosi yang tak pernah ia ungkapkan.

Selene Han, gadis yang kini menjadi bagian dari kehidupan Vaelora, sedang mengamati pantulan lentera kertas di permukaan sawah dari kejauhan dengan gerakan pelan. Tangan-tangannya yang lentik bergerak dengan konsentrasi, tapi pikiran Vaelora tak sepenuhnya ada di sana. Ia terus memikirkan kata-kata Selene malam sebelumnya, ketika ia mengaku memiliki koneksi dengan Kaelith melalui cerita-cerita gubuk tua yang ia dengar dari penduduk desa. Ada sesuatu dalam nada suaranya, dalam cara ia menatap buku harian Kaelith, yang membuat Vaelora yakin bahwa Selene menyimpan rahasia yang lebih dalam—rahasia yang mungkin bisa menjelaskan cinta yang berubah menjadi duka yang menggerogoti hatinya.

Hari itu, Vaelora memutuskan untuk menghadapi Selene. Ia menunggu hingga gadis itu selesai mengamati sawah, lalu mengajaknya duduk di rumput basah yang menghadap ke desa. Kabut tipis di luar menciptakan suasana misterius, seolah menyembunyikan bayang-bayang dari masa lalu. Vaelora meletakkan buku harian di atas rumput yang mulai kering, di samping kotak bambu yang masih mengeluarkan aroma kayu lembap. “Selene,” katanya, suaranya tegas namun gemetar, “aku perlu tahu apa yang kau sembunyikan. Dan apa hubunganmu dengan Kaelith.”

Selene menatapnya lama, matanya yang biru tua seolah menimbang-nimbang sesuatu. Ia menghela napas dalam-dalam, lalu mengeluarkan sebuah buku harian kecil dari mantelnya, kulitnya sudah usang dan penuh noda embun. “Aku bukan hanya siswa pindahan, Vaelora,” katanya pelan. “Aku bagian dari keluarga yang menjaga cerita Haewon, dan aku datang ke sini karena jejak Kaelith yang tersisa di gubuk tua. Aku tahu tentang kalian berdua.”

Vaelora merasa jantungnya berdegup kencang. Ia ingin marah, ingin mengusir Selene karena telah menyusup ke hidupnya dengan motif tersembunyi, tapi ada bagian dari dirinya yang merasa lega—lega karena akhirnya ada seseorang yang mungkin bisa membantu memahami perasaannya. Selene membuka buku harian itu, menunjukkan sketsa-sketsa tentang Haewon, termasuk nama-nama yang ia kenali—Kaelith sebagai pemuda yang bercita-cita menjadi musisi, dan Vaelora yang sering terlihat bersamanya di bukit. Menurut cerita yang ia kumpulkan, setiap cinta yang lahir dari persahabatan di Haewon ditakdirkan untuk diuji oleh rahasia keluarga, dan perasaan Vaelora yang tumbuh adalah bagian dari kutukan yang tak bisa dihindari.

Vaelora mendengarkan dengan napas tertahan, setiap kata Selene seperti membuka luka lama yang ia coba kubur. Ia teringat Kaelith, yang selalu pendiam di bukit, dan hari-hari ketika ia menunggu kehadiran sahabatnya dengan harapan yang perlahan memudar. Dalam buku harian, ia membaca tentang perasaannya yang berkembang seiring waktu, tentang bayangan Kaelith yang ia anggap sebagai tanda cinta, dan tentang senar gitar tua yang ia temukan di kotak. Vaelora tak pernah tahu detail tentang beban keluarga Kaelith, tapi suratnya menyebutkan bahwa ia tahu tentang perasaan Vaelora, namun memilih menjauh demi menjaga hati sahabatnya dari luka yang lebih dalam.

Malam itu, setelah pertemuan mereka, Vaelora dan Selene duduk di jendela rumah, ditemani suara angin yang bergulung pelan melalui bukit. Vaelora memutuskan untuk menceritakan kisahnya kepada Selene—kisah yang selama ini ia simpan rapat-rapat. Ia menceritakan tentang masa SMP-nya di Haewon, tentang Kaelith yang selalu ada di sisinya, tentang hari-hari penuh harapan sebelum ia menyadari bahwa cintanya tak akan pernah terucap. Ia menceritakan tentang pagi terakhir mereka di bukit, tentang rasa sakit yang mengisi hidupnya sejak saat itu.

Selene mendengarkan tanpa menyela, tapi matanya penuh dengan empati yang tulus. Ketika Vaelora selesai bercerita, ia mengeluarkan sebuah foto dari buku harian-nya. Foto itu menunjukkan seorang pemuda dengan rambut hitam panjang, berdiri di puncak bukit dengan senyum lembut, memegang gitar tua. “Ini dia,” kata Selene pelan. “Kaelith.” Vaelora merasa dunia di sekitarnya berputar. Foto itu diambil di bukit, dengan latar belakang sawah yang berkilauan.

Selene menjelaskan bahwa ia menemukan foto itu di antara barang-barang tua yang ia terima dari keluarganya. Foto itu disertai dengan sebuah catatan yang ditulis oleh Kaelith, yang berbunyi: “Vaelora, maafkan aku karena menyimpan beban ini. Aku tinggalkan ini untukmu.” Vaelora tak bisa menahan air matanya. Ia merasa campuran antara kemarahan, kesedihan, dan kerinduan yang begitu kuat hingga dadanya terasa sesak. Ia ingin bertanya pada Selene bagaimana ia bisa menemukan semua ini, tapi kata-kata tak mau keluar dari mulutnya.

Hari-hari berikutnya di Haewon dipenuhi dengan pencarian jawaban. Vaelora dan Selene mulai menjelajahi gubuk tua, mencari petunjuk yang mungkin ditinggalkan oleh Kaelith atau kenangan-kenangan yang tersembunyi. Mereka menemukan sebuah sudut tersembunyi di balik tumpukan kayu, di mana ukiran kecil berbentuk matahari tampak terpahat di dinding. Vaelora merasa bulu kuduknya berdiri. Ia tahu, tanpa perlu dikatakan, bahwa tempat ini adalah pusat dari cinta yang berubah menjadi duka.

Malam itu, ketika mereka kembali ke rumah, Vaelora menemukan sebuah catatan lain di dalam buku harian, yang selama ini ia lewatkan. Catatan itu berbunyi: “Cinta ini bukan hanya tentang harapan, tapi tentang rahasia. Seseorang harus menyerahkan jiwa untuk memutusnya, dan harga itu adalah hati.” Vaelora merasa jantungnya berhenti. Ia menatap Selene, yang sedang membaca catatan-catatan sendiri di sudut jendela, dan tiba-tiba ia menyadari sesuatu yang membuatnya takut. Selene bukan hanya bagian dari keluarga penjaga cerita. Ia memiliki hubungan dengan Kaelith, dengan cinta ini, dan mungkin dengan dirinya.

Kabut kembali turun malam itu, dan suara angin di bukit terdengar lebih keras. Vaelora duduk di jendela, dikelilingi oleh buku harian, foto, dan senar dari kotak itu. Ia merasa seperti sedang menyusun sebuah teka-teki raksasa, tapi setiap potongan yang ia temukan hanya membuat gambar itu semakin gelap. Selene, yang duduk di sampingnya, akhirnya berkata, “Aku tahu kau terluka, Vaelora. Tapi kita harus menghadapi ini bersama. Aku bukan hanya di sini untuk mengingat. Aku di sini karena aku berjanji pada seseorang untuk menemukan kedamaian.”

Kata-kata itu seperti angin yang menyapu hati Vaelora. Ia ingin bertanya siapa “seseorang” itu, tapi ia sudah tahu jawabannya. Kaelith. Nama itu seperti mantra yang terus bergema di kepalanya, membawa kembali kenangan tentang hari-hari ketika mereka memainkan musik di bukit, mendengarkan suara angin. Tapi kenangan itu juga membawa rasa sakit yang tak tertahankan, rasa sakit yang membuatnya tinggal di Haewon, berharap bisa melupakan segalanya.

Pagi berikutnya, Vaelora dan Selene kembali ke gubuk tua di bukit, membawa buku harian dan senar tua. Di gubuk itu, mereka menemukan petunjuk terakhir dalam buku itu—sebuah nada yang harus diucapkan di depan sudut tersembunyi, dengan senar sebagai pengikat. Tapi nada itu hanya akan berhasil jika seseorang menyerahkan sesuatu yang paling ia cintai. Vaelora tahu apa yang harus ia korbankan: cinta yang ia miliki untuk Kaelith, emosi yang selama ini ia pegang erat-erat, yang telah menjadi bagian dari dirinya.

Namun, sebelum mereka bisa membaca lebih lanjut, mereka mendengar suara langkah di atas rumput basah. Seseorang mendekat, dan suara itu terasa familiar namun menakutkan. Vaelora merasa jantungnya berdegup kencang. Ia menoleh ke Selene, yang wajahnya tiba-tiba pucat. “Kita tidak sendirian,” katanya pelan, dan di matanya, Vaelora melihat ketakutan yang sama yang ia rasakan. Gubuk, yang selama ini menjadi tempat pelariannya, kini terasa seperti jebakan yang menutup di sekitarnya.

Akhir di Bawah Langit Fajar

Kabut tebal menyelimuti Haewon, membalut bukit dan sawah dengan tetesan embun yang membentuk lapisan basah di tanah. Vaelora dan Selene berdiri di depan sudut tersembunyi di gubuk tua, memegang buku harian dan senar tua. Cahaya lentera kertas dari desa yang jauh berkedip-kedip melalui kabut, menciptakan bayang-bayang yang menari di dinding kayu, seolah jiwa-jiwa dari masa lalu sedang mengintip mereka. Suara langkah yang mereka dengar semakin mendekat, diiringi oleh desau angin yang kini terdengar jelas, penuh dengan kesedihan yang tak terucap. Vaelora merasa bulu kuduknya berdiri, tapi ia tahu bahwa lari bukan lagi pilihan. Ia harus menghadapi apa pun yang ada di gubuk, apa pun yang telah memburu hatinya selama dua tahun.

Ketika mereka menoleh, mereka melihat sosok yang berdiri di antara tumpukan kayu. Itu adalah pemuda dengan rambut hitam panjang yang basah oleh kabut, wajahnya pucat namun familiar—Kaelith. Matanya yang kosong memandang Vaelora, dan senyum tipis muncul di bibirnya, penuh dengan duka yang tak bisa diucapkan. “Kau sudah menemukannya, bukan?” kata sosok itu, suaranya lembut namun penuh otoritas. “Buku itu, senar itu. Kau tahu apa yang harus kau lakukan, Vaelora.”

Vaelora ingin bertanya siapa sosok itu, tapi sebelum ia bisa membuka mulut, Selene melangkah maju. “Kaelith,” katanya, suaranya tegas namun penuh emosi. “Kau tak seharusnya ada di sini.” Vaelora merasa dunia di sekitarnya berputar. Kaelith, sahabat yang ia cintai, yang konon meninggal karena beban keluarganya, kini berdiri di depannya, hidup namun berbeda. Tapi ada sesuatu yang salah dengan sosok ini. Auranya terasa hampa, seolah ia adalah bagian dari gubuk itu sendiri, bagian dari cinta yang berubah menjadi duka yang mengikat Vaelora.

Kaelith tersenyum tipis, namun senyumnya tak mencapai matanya. “Aku di sini untuk memastikan bayang ini berhenti menghantui, Selene. Dan kau tahu apa yang diperlukan untuk itu.” Vaelora menatap Selene, mencari jawaban di wajahnya, tapi gadis itu hanya menunduk, tangannya mengepal erat. “Apa yang kalian bicarakan?” tanya Vaelora, suaranya gemetar. “Apa yang harus kulakukan?”

Kaelith menjelaskan bahwa cinta yang lahir dari persahabatan hanya bisa diputus dengan pengorbanan—seseorang harus menyerahkan sesuatu yang paling berharga baginya, sesuatu yang ia cintai lebih dari hidupnya sendiri. Bagi Kaelith, itu adalah mimpinya untuk menjadi musisi, yang ia lepaskan demi menjaga Vaelora dari kesedihan yang lebih dalam. Dan kini, giliran Vaelora untuk memilih. Senar tua yang ia pegang adalah kunci untuk menyelesaikan ritual, tapi harga yang harus dibayar adalah sesuatu yang akan menghancurkan hatinya.

Vaelora merasa dadanya sesak. Ia teringat Kaelith, teringat hari-hari ketika mereka memainkan musik di bukit, teringat senyumnya di foto polaroid. Ia tahu, tanpa perlu dikatakan, bahwa pengorbanan itu berhubungan dengan cinta yang ia miliki—cinta yang pernah ia rasakan untuk Kaelith, yang telah menjadi bagian dari dirinya.

Malam itu, di tengah kabut yang tak kunjung reda, Vaelora dan Selene kembali ke jendela rumah. Mereka duduk di lantai, dikelilingi oleh buku harian, foto, dan nada dari kotak itu. Selene akhirnya menceritakan kebenaran yang selama ini ia sembunyikan. Ia adalah sepupu jauh Kaelith, bagian dari keluarga penjaga cerita Haewon, yang datang untuk memenuhi janji Kaelith—janji untuk memutus ikatan cinta yang telah menghancurkan hati Vaelora. Kaelith, menurut Selene, tahu tentang cinta Vaelora sebelum ia meninggal, tapi ia memilih pergi, dan kematian mimpinya untuk Vaelora adalah upaya terakhir untuk menyelamatkannya.

Vaelora merasa air matanya mengalir tanpa henti. Ia tak pernah tahu bahwa ia memiliki hubungan dengan keluarga Kaelith, tak pernah tahu bahwa Kaelith telah mengorbankan mimpinya untuknya. Selene memegang tangannya, matanya penuh dengan kesedihan yang sama yang ia rasakan. “Aku datang ke sini untuk menemukan jawaban, Vaelora,” katanya. “Tapi aku juga datang untuk melindungimu. Aku tahu harga yang harus dibayar, dan aku siap membayarnya.”

Kata-kata itu seperti pisau yang menikam hati Vaelora. Ia tahu bahwa Selene bersedia mengorbankan dirinya untuk memutus ikatan, tapi ia tak bisa membiarkan itu terjadi. Ia telah kehilangan terlalu banyak—harapan, cinta, dan kini, mungkin, kedamaian. Ia memutuskan bahwa ia sendiri yang akan menyelesaikan ritual itu, apa pun harganya.

Pagi berikutnya, ketika matahari akhirnya muncul di antara kabut, Vaelora dan Selene kembali ke gubuk tua di bukit. Mereka membawa buku harian, senar tua, dan tekad yang tak tergoyahkan. Di gubuk itu, mereka menemukan petunjuk terakhir dalam buku itu—sebuah nada yang harus diucapkan di depan sudut tersembunyi, dengan senar sebagai pengikat. Tapi nada itu hanya akan berhasil jika seseorang menyerahkan sesuatu yang paling ia cintai. Vaelora tahu apa yang harus ia korbankan: cinta yang ia miliki untuk Kaelith, emosi yang selama ini ia pegang erat-erat, yang telah menjadi bagian dari dirinya.

Dengan tangan gemetar, Vaelora berdiri di depan sudut tersembunhi, memegang senar itu. Ia mengucapkan nada yang ditulis dalam buku harian, setiap not terasa seperti mengoyak jiwanya. Ia teringat wajah Kaelith, senyumnya di foto polaroid, suara gitarnya. Ketika nada terakhir itu dimainkan, senar di tangannya bersinar terang, dan kabut di sekitarnya berhenti sejenak, menciptakan keheningan yang menyelimuti gubuk. Cahaya itu meredup, dan Vaelora merasa sesuatu telah berubah. Senar itu kini tenggelam ke dalam tanah di dekat sudut, dan kabut kembali turun, seolah ikatan itu telah terputus.

Tapi ada harga yang harus dibayar. Vaelora merasa kenangan tentang Kaelith mulai memudar, seperti tinta yang terhapus perlahan dari buku harian. Ia masih ingat bahwa ia pernah mencintai seseorang, tapi wajahnya, suaranya, semua detail itu hilang, seolah tak pernah ada. Ia jatuh berlutut di depan sudut, menangis tanpa suara, sementara embun membasahi tubuhnya. Selene memegang tangannya, matanya penuh dengan air mata. “Kau melakukannya, Vaelora,” katanya pelan. “Ikatan itu sudah berakhir.” Tapi Vaelora tahu bahwa kemenangan ini datang dengan harga yang terlalu mahal. Ia telah kehilangan cinta yang menjadi alasan hidupnya, dan di dalam hatinya, ia merasa kosong.

Hari-hari berikutnya di Haewon terasa seperti mimpi buruk yang tak berakhir. Kabut tetap turun, tapi nada gitar Kaelith tak lagi terdengar. Vaelora duduk di jendela rumahnya, menatap buku harian yang kini kosong, tanpa sketsa yang menyertainya. Pada suatu pagi, ketika kabut turun lagi, Vaelora berjalan menuju gubuk tua, membawa buku harian yang telah kosong. Ia berdiri di depan sudut tersembunhi, menatap tanah yang mencerminkan wajahnya yang pucat, dan merasa bahwa hidupnya telah berakhir bersama cinta yang hilang. Dengan langkah perlahan, ia meletakkan buku harian di sudut dan berjalan menjauh, membiarkan kabut menyelimuti dirinya sepenuhnya. Gubuk itu kembali tenggelam dalam keheningan, menyimpan bayang cinta dalam kenangan yang abadi.

Haewon berdiri diam di belakangnya, lentera kertas di desa berkedip redup, dan sudut tersembunhi di gubuk tetap menjadi saksi bisu dari akhir tragis Vaelora Park, di mana cinta yang lahir dari persahabatan dan rahasia berakhir dalam duka yang tak pernah sirna.

Cinta Sedih dari Sahabat: Kisah Remaja Paling Memilukan menghadirkan kisah cinta yang lahir dari persahabatan dan berakhir dalam pengorbanan yang menghancurkan, meninggalkan kesan mendalam yang tak terlupakan. Dengan alur penuh emosi dan akhir yang tragis, cerpen ini mengajak Anda merenung tentang kekuatan cinta dan rahasia yang menyertainya. Segera temukan kisah Vaelora dan rasakan sentuhan duka yang abadi dalam narasi ini!

Terima kasih telah menyelami ulasan Cinta Sedih dari Sahabat: Kisah Remaja Paling Memilukan. Semoga cerita ini membawa Anda pada perenungan mendalam tentang cinta dan pengorbanan. Kami menantikan kehadiran Anda kembali untuk petualangan literatur berikutnya—silakan bagikan kesan Anda dengan kami!

Leave a Reply