Cinta Romantis di Sekolah: Kisah Rayyan dan Elara

Posted on

Siapa bilang cinta di sekolah itu cuma mitos? Ketika Rayyan yang pendiam dan Elara yang ceria bertemu, semua hal jadi mungkin—termasuk drama, tawa, dan tentu saja, cinta yang bikin baper. Siapkan dirimu untuk menyelami kisah lucu dan romantis mereka yang penuh kejutan di tengah tumpukan buku dan ujian!

 

Kisah Rayyan dan Elara

Momen Awal di Kelas

Pagi itu, aku melangkah masuk ke dalam kelas dengan semangat. Bel sudah berbunyi, dan aku berusaha menghindari tatapan guru yang sudah terkenal tegas dan tidak sabar. Kelas seakan penuh energi, suara teman-teman mengobrol dan tertawa memenuhi udara. Namun, saat mataku melirik ke sudut ruangan, aku melihat sosok yang berbeda. Elara.

Dengan rambut panjangnya yang bergelombang dan senyumnya yang selalu menghiasi wajahnya, dia seakan menjadi pusat perhatian. Semua orang tahu bahwa dia adalah juara kelas dan gadis terpopuler di sekolah, tapi entah kenapa, aku merasa ada yang lebih dari sekadar penampilan dan kepintarannya. Ada sesuatu yang membuatku ingin mengenalnya lebih dekat.

“Eh, kamu sudah siap untuk ujian hari ini?” tanya Dila, sahabatku, saat dia duduk di sampingku.

“Ya, aku sudah belajar semalam. Tapi, ya, kita lihat saja nanti,” jawabku sambil melirik Elara lagi yang sedang berbincang dengan teman-temannya.

“Dengar, Rayyan. Kalau kamu bisa ajak Elara belajar bareng, itu bisa jadi kesempatanmu. Dia pasti senang,” Dila berkata, menggoda sambil mengedipkan mata.

“Apa? Dia pasti sibuk dengan teman-temannya yang lain,” jawabku cepat. Meskipun suara hatiku berbisik bahwa aku ingin sekali berbicara dengan Elara, rasa malu menghalangi langkahku.

Tiba-tiba, bel berbunyi lagi, dan semua siswa bergegas duduk. Di depan kelas, Pak Arif, guru matematika, masuk dengan wajah serius. Dia memulai pelajaran, tetapi pikiranku tidak bisa fokus. Semua yang aku pikirkan hanya tentang Elara dan bagaimana caraku bisa mendekatinya.

Saat pelajaran berlangsung, aku mencuri pandang ke arahnya. Dia tampak serius mendengarkan, sesekali mencatat dengan cepat. Tiba-tiba, dia menoleh dan matanya bertemu pandanganku. Seketika, aku merasakan detak jantungku berdegup kencang. Elara tersenyum, membuatku merasa seolah dunia hanya milik kami berdua.

Pelajaran berakhir, dan semua orang mulai beranjak untuk istirahat. Aku dan Dila berjalan ke kantin, tapi di tengah perjalanan, dia berhenti.

“Rayyan, aku punya ide. Bagaimana kalau kita ajak Elara belajar kelompok di rumah? Kamu bisa lebih dekat dengannya,” katanya sambil bersemangat.

“Apa? Aku tidak yakin dia mau,” kataku meragukan.

“Coba saja! Dia mungkin butuh bantuan,” Dila meyakinkanku.

Akhirnya, aku setuju. Dila segera menghubungi Elara, dan setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, kami mendapat balasan. “Tentu! Aku mau belajar!” kata Elara.

Hari itu menjadi hari yang penuh harapan. Saat malam tiba, aku merasa gugup. Bagaimana jika semuanya tidak berjalan sesuai rencana? Saat aku sampai di rumah, Dila sudah ada di sana, bersiap dengan catatan dan buku-buku.

Tak lama kemudian, Elara tiba. “Hai, kalian!” sapanya dengan ceria. Dia mengenakan sweater hangat dan jeans, terlihat sederhana namun tetap memukau.

“Selamat datang, Elara! Mari kita mulai,” kataku dengan semangat.

Kami pun duduk melingkar di ruang tamu. Dila memulai dengan mengajukan beberapa pertanyaan matematika, sementara aku berusaha memperhatikan setiap gerakan Elara. Saat dia menjelaskan, aku merasakan ada ketertarikan yang mendalam. Ternyata, dia tidak hanya cerdas, tetapi juga sangat pandai menjelaskan.

“Kalau kamu masih bingung, coba lihat diagram ini,” Elara berkata sambil menggambar di papan tulis kecil. “Ini akan membantumu memahami lebih baik.”

“Wow, keren! Ternyata kamu juga bisa jadi guru,” godaku, dan semua orang tertawa.

Seiring berjalannya waktu, suasana menjadi lebih santai. Kami saling menggoda dan berbagi cerita lucu. Ternyata, di balik kecerdasannya, Elara memiliki sisi humor yang sangat menghibur. “Kamu tahu, Rayyan, aku pernah salah menghitung sampai bikin semua orang di kelas tertawa,” katanya sambil tertawa.

“Serius? Apa yang terjadi?” tanyaku penasaran.

“Aku salah menulis angka di papan tulis. Semua teman sekelasku langsung terbahak-bahak!” jawabnya dengan nada penuh tawa.

Malam semakin larut, dan kami masih terjebak dalam diskusi yang seru. Saat kami beristirahat untuk minum, Dila berbisik, “Rayyan, kamu harus lebih berani. Jangan sampai kamu kehilangan kesempatan ini.”

Ketika aku kembali ke ruang tamu, Elara sedang asyik memeriksa catatanku. “Kamu membuat catatan yang rapi, Rayyan. Ini sangat membantu!” katanya.

“Haha, terima kasih. Tapi aku rasa catatanmu jauh lebih baik,” balasku, merasa sedikit malu.

Saat kami melanjutkan belajar, tidak terasa waktu berlalu begitu cepat. Pikiranku terus berkelana, merasakan bahwa ada sesuatu yang spesial di antara kami. Saat belajar usai, aku menyadari bahwa aku tidak hanya belajar pelajaran, tetapi juga merasakan momen-momen berharga bersamanya.

Akhirnya, semua orang mulai pulang. Saat Elara beranjak pergi, hatiku seolah ingin melompat. “Elara, tunggu!” aku berteriak, dan dia berhenti, menoleh dengan wajah penuh tanya.

“Apa ada yang ingin kamu katakan?” tanyanya, senyumnya membuat hatiku bergetar.

“Eh, aku… aku berharap kita bisa belajar lagi minggu depan,” kataku dengan keberanian yang baru kutemukan.

“Of course! Aku juga ingin. Kapan saja, aku siap,” jawabnya.

Senyum lebar menghiasi wajahku saat dia pergi. Rasanya, malam itu bukan hanya tentang belajar, tetapi tentang menemukan sesuatu yang lebih dalam. Dan aku tahu, perjalanan ini baru saja dimulai.

 

Belajar Bersama

Hari-hari berlalu, dan kehadiran Elara dalam hidupku menjadi semakin penting. Setiap kali kami belajar bersama, aku merasa lebih dekat dengannya. Tidak hanya sekadar belajar, tetapi juga berbagi tawa dan cerita. Perasaanku tumbuh lebih dalam, dan aku mulai menyadari bahwa aku mungkin jatuh cinta padanya.

Suatu sore, Dila dan aku duduk di taman sekolah sambil menunggu Elara. Matahari bersinar cerah, dan sekelompok burung berkicau riang di dahan-dahan pohon. “Kamu siap untuk belajar bersama lagi?” tanya Dila, mengalihkan pikiranku dari lamunanku tentang Elara.

“Ya, aku siap,” jawabku, meskipun sebenarnya pikiranku terus melayang ke arah Elara. “Tapi, Dila, bagaimana ya caranya untuk menunjukkan perasaanku?”

Dila mengangkat alisnya, terlihat penuh semangat. “Coba saja ajak dia nonton film atau pergi ke kafe. Ciptakan momen berdua yang bisa bikin dia nyaman sama kamu!”

“Nonton film? Kafe?” aku mengulang dengan nada ragu. “Aku tidak yakin dia mau.”

“Coba tanya saja. Kadang, kita tidak akan tahu jika tidak mencoba,” Dila menyemangatiku.

Tak lama setelah itu, Elara muncul dengan senyuman menawan. “Hai, guys! Sorry telat!” Dia berjalan mendekat dengan langkah ceria, dan aku merasa jantungku berdegup lebih cepat.

“Kami sudah menunggu. Siap untuk belajar?” tanyaku, berusaha terdengar santai.

“Siap!” jawab Elara penuh semangat. “Hari ini kita bahas sejarah, kan? Aku sudah membawa beberapa catatan.”

Kami segera membenamkan diri dalam buku catatan dan diskusi. Namun, saat pembelajaran berlangsung, Dila tiba-tiba melontarkan ide briliannya. “Eh, Elara, bagaimana kalau kita nonton film sejarah setelah ini? Rayyan bisa ikut kita!”

Aku melirik Dila dengan sedikit panik. “Tunggu, apa? Film?”

Elara tampak tertarik. “Oh, itu ide yang bagus! Aku suka film sejarah. Bagaimana, Rayyan? Kamu mau ikut?”

“Ya, tentu saja,” jawabku dengan cepat, berusaha menutupi rasa gugupku. Ini adalah kesempatan untuk lebih dekat dengan Elara, dan aku tidak akan menyia-nyiakannya.

Setelah belajar, kami berencana pergi ke bioskop. Rasanya menyenangkan bisa menghabiskan waktu berdua dengan Elara. Saat film dimulai, aku berusaha tetap fokus, meskipun pikiranku tidak bisa lepas dari senyumnya.

Film itu menyajikan banyak momen dramatis dan aksi yang mendebarkan. Di tengah film, aku merasakan tangan Elara yang menyentuh tanganku saat momen menegangkan muncul. Seketika, aku merasa aliran energi yang hangat menyebar di seluruh tubuhku. Kami berdua saling menatap, dan dia tersenyum, membuat hatiku berdebar lebih cepat.

Setelah film selesai, kami berjalan keluar bioskop, dan udara malam terasa sejuk. “Kamu suka filmnya?” tanyaku, berusaha memulai percakapan.

“Bagus banget! Tapi rasanya aku lebih suka momen saat kamu duduk di sampingku,” katanya sambil tersenyum nakal.

Jantungku seolah melompat. “Oh, ya? Kenapa?”

“Karena, dengan kamu di sampingku, aku merasa lebih bersemangat,” jawabnya jujur.

Kata-kata itu membuatku tersenyum lebar. Aku merasa ada benang merah yang menghubungkan kami, lebih dari sekadar teman belajar.

Kami berlanjut ke kafe kecil yang selalu ramai di dekat sekolah. Suasana di dalamnya hangat, dengan aroma kopi dan makanan ringan yang menggugah selera. Kami duduk di sudut yang cukup tenang, jauh dari keramaian. “Kamu mau pesan apa?” tanyaku, melihat ke arah menu.

“Aku mau cappuccino. Kamu?” tanya Elara, menatapku dengan mata berbinar.

“Rasa cokelat untukku, mungkin,” balasku sambil tersenyum.

Setelah memesan, kami mulai berbincang tentang film dan pelajaran. Obrolan kami mengalir begitu natural, tidak ada rasa canggung di antara kami. Elara bercerita tentang kecintaannya pada sejarah dan bagaimana dia ingin berkeliling dunia untuk melihat tempat-tempat bersejarah.

“Kalau kamu bisa pergi ke mana saja, ke mana kamu mau?” tanya Elara dengan penuh rasa ingin tahu.

“Aku pengen ke Mesir. Kuil dan piramida, semua itu terlihat keren,” jawabku sambil membayangkan betapa menawannya tempat itu.

“Kita harus pergi bersama suatu saat nanti!” Elara menjawab dengan bersemangat.

Kalimat itu seperti seruan manis yang langsung menggugah semangatku. “Ya, pasti! Suatu saat kita akan melakukannya,” balasku, mencoba menyimpan setiap momen itu di ingatanku.

Saat malam semakin larut, kami mulai berbagi cerita pribadi. Elara berbagi tentang keluarganya, harapan, dan impian-impian yang ingin dicapainya. Aku mendengarkan dengan penuh perhatian, merasakan kehangatan dari kedekatan kami yang semakin dalam.

Ketika kami akhirnya pulang, aku merasa bahwa malam itu adalah salah satu yang terbaik dalam hidupku. Momen-momen sederhana dengan Elara sudah cukup membuatku merasakan cinta yang tak terduga. Dan meskipun aku tidak tahu ke mana arah hubungan ini akan berlanjut, aku yakin bahwa perasaanku padanya hanya akan tumbuh semakin kuat.

Saat kami berpamitan di depan rumah, aku merasa ada sesuatu yang perlu diungkapkan. “Elara,” aku mulai, dengan suara yang hampir bergetar. “Aku… aku senang bisa menghabiskan waktu bersamamu.”

Dia menatapku, matanya berbinar, dan tersenyum. “Aku juga, Rayyan. Terima kasih untuk hari yang menyenangkan.”

Saat dia melangkah pergi, aku merasa ada harapan baru yang tumbuh dalam hati. Semoga saja, ke depan, momen-momen ini akan menjadi awal dari kisah cinta yang lebih dalam.

 

Ujian dan Kejutan

Minggu demi minggu berlalu, dan seiring berjalannya waktu, kedekatanku dengan Elara semakin erat. Kami terus belajar bersama, berbagi cerita, dan bahkan mulai menuliskan rencana-rencana kecil untuk masa depan. Namun, di tengah semua kebahagiaan ini, aku juga harus menghadapi kenyataan: ujian akhir semester semakin dekat.

Suatu pagi, saat kami berkumpul di taman sekolah, Dila datang dengan wajah serius. “Eh, Rayyan, kamu sudah siap untuk ujian minggu depan? Mereka bilang ini akan jadi ujian terberat!”

“Siapa yang bilang?” tanya Elara, sedikit khawatir.

“Anak-anak di kelas, dan, ya, mungkin aku sedikit merasa tertekan,” aku menjawab, berusaha tetap tenang.

Elara tersenyum. “Kalau kita belajar bareng, pasti bisa! Mungkin kita bisa buat rencana belajar yang menyenangkan.”

“Setuju!” Dila ikut menambahkan, “Kita harus bikin belajar jadi lebih seru. Mungkin bisa sambil makan camilan atau nonton video lucu.”

Kami pun mulai merancang sesi belajar yang unik, dengan banyak camilan dan tawa. Setiap kali kami berkumpul untuk belajar, suasananya selalu ceria. Namun, di dalam hatiku, aku tahu bahwa aku harus bersiap-siap. Ujian ini bukan hanya tentang nilai, tetapi juga tentang masa depan yang ingin aku bangun.

Di malam sebelum ujian, aku menghabiskan waktu dengan Dila dan Elara di rumahku. Meja makan kami dipenuhi dengan buku dan kertas catatan. “Ayo, kita mulai dengan materi yang paling sulit,” ujar Dila, menumpuk buku-buku di tengah meja.

Setelah beberapa jam belajar, kami mulai merasa lelah. “Bagaimana kalau kita istirahat sejenak? Kita bisa main tebak-tebakan!” saran Elara dengan wajah ceria.

“Tebak-tebakan? Baiklah, aku suka itu!” jawabku, merasa lega karena bisa bersenang-senang sejenak.

Kami mulai bermain tebak-tebakan, dan tawa kami bergema di seluruh rumah. Elara bisa mengeluarkan tebak-tebakan yang paling lucu, sementara Dila selalu berusaha keras untuk menebak jawaban yang tepat. Setiap kali Elara tertawa, rasanya seperti semua stres dan tekanan yang ada di pikiranku menghilang seketika.

Ketika malam semakin larut, kami akhirnya kembali ke buku-buku. “Oke, satu bab terakhir sebelum kita tidur,” kataku, berusaha mengendalikan diri. “Kita harus menyiapkan semuanya untuk besok.”

Elara mengangguk, meski matanya mulai mengantuk. “Iya, tapi ingat, jangan terlalu memaksakan diri. Kita butuh tidur yang cukup supaya otak kita bisa bekerja dengan baik.”

“Benar! Tidur adalah teman terbaik saat belajar,” Dila menambahkan dengan serius, dan kami pun tertawa lagi.

Setelah belajar sampai larut malam, akhirnya kami memutuskan untuk tidur. Saat Elara pamit pulang, aku merasa aneh saat melihatnya pergi. Ada rasa campur aduk di dalam diriku—senang karena bisa bersama, tetapi juga khawatir tentang ujian yang akan datang.

Hari ujian tiba dengan cepat. Suasana di sekolah terasa tegang, banyak siswa yang saling membahas materi yang sudah dipelajari. Aku berusaha tetap tenang, meskipun jantungku berdegup kencang. Saat berada di ruang ujian, aku melihat Elara duduk di sebelahku, dan seakan-akan semua kegugupan itu berkurang.

“Semangat, Rayyan! Kita pasti bisa,” bisiknya sebelum ujian dimulai.

“Semangat, Elara. Kita sudah belajar keras untuk ini,” jawabku, berusaha membangkitkan semangat kami berdua.

Saat lembar ujian dibagikan, aku menatap pertanyaan-pertanyaan itu dengan cermat. Beberapa pertanyaan terasa mudah, sementara yang lain membuatku berpikir keras. Namun, aku tetap ingat semua materi yang sudah kami pelajari bersama. Setiap kali aku merasa ragu, aku membayangkan senyum Elara, dan itu memberiku kekuatan.

Setelah beberapa lama, ujian akhirnya selesai. Kami semua keluar dengan perasaan lega, dan aku melihat Elara tersenyum lebar. “Kita berhasil! Sekarang waktunya bersenang-senang.”

“Bersenang-senang?” tanyaku. “Apa kamu sudah merencanakan sesuatu?”

“Ya! Kita harus merayakan! Dila sudah bilang ingin mengajak kita pergi ke kafe favoritnya untuk makan es krim,” jawabnya.

Rasa gembira itu meluap-luap di dalam diriku. “Kedengarannya asyik! Aku ingin ikut!”

Setelah beberapa saat, kami berkumpul di kafe. Udara di luar terasa cerah dan menyegarkan. Kami duduk di luar sambil menikmati es krim yang lezat, tawa kami mengisi suasana. “Kamu suka rasa apa?” tanya Elara, mengulurkan sendoknya yang penuh es krim cokelat ke arahku.

“Rasa cokelat, jelas!” jawabku dengan semangat.

Dila mencibir. “Kamu dan cokelat, sepertinya itu cinta sejati!”

Kami tertawa. “Tapi, Elara, apa kamu tahu? Ternyata aku punya cinta yang lebih besar dibandingkan cokelat,” ucapku sambil menatapnya.

Elara mengernyitkan dahi, penasaran. “Cinta yang lebih besar?”

“Cinta itu adalah momen-momen bersama kamu,” ucapku, mencoba bersikap serius meskipun rasa gugup masih menyelimuti.

“Rayyan…” Elara terdiam sejenak, wajahnya bersemu merah. “Itu… manis sekali.”

Aku menatapnya, berharap ia mengerti maksudku. “Kita harus melakukan ini lebih sering. Menghabiskan waktu bersama, bercanda, dan belajar,” kataku, berharap bisa membuatnya merasa lebih nyaman.

“Oh, pasti! Aku juga suka itu!” jawabnya, senyumnya kembali merekah, dan aku merasa lega.

Saat kami berbincang, tiba-tiba ada sebuah suara dari belakang. “Hei, apa yang kalian bicarakan?” suara itu membuat kami terkejut.

Ternyata, itu Ardi, teman sekelas kami yang sering menggoda. “Kalian berdua ini pasti sedang berusaha menjadi pasangan romantis ya?”

Elara dan aku saling melirik, lalu tertawa. “Kami hanya berbicara tentang belajar, Ardi,” Elara menjawab sambil mengedipkan mata.

“Kalau gitu, ajak aku juga ya! Aku butuh lebih banyak waktu bersenang-senang!” kata Ardi dengan wajah nakal.

Sementara Dila ikut tertawa. “Kamu hanya ingin ikutan es krim gratis, kan?”

Percakapan kami terus berlanjut, dan meskipun aku merasa sedikit risih dengan kehadiran Ardi, aku tahu bahwa hari ini adalah salah satu yang terbaik. Semua beban di pikiranku terasa lebih ringan, dan kedekatanku dengan Elara semakin terasa nyata. Momen-momen ini adalah awal dari sesuatu yang lebih. Aku yakin, kisah kami masih jauh dari selesai.

 

Takdir dan Kenyataan

Hari-hari setelah ujian berlalu, dan suasana di sekolah semakin terasa ceria. Kami semua menantikan hasil ujian yang akan diumumkan minggu depan. Rasa cemas mulai mengganggu pikiranku, tetapi di tengah semua itu, aku selalu merasa beruntung karena ada Elara di sisiku. Kami terus menjalani rutinitas belajar bersama, menghabiskan waktu di kafe, dan membuat kenangan-kenangan baru.

Suatu sore, saat kami duduk di taman sekolah, Elara tiba-tiba membicarakan rencana liburan. “Rayyan, setelah ujian, aku ingin pergi berlibur ke pantai! Bagaimana menurutmu?”

“Tentu saja! Aku sangat setuju. Kita bisa bermain pasir, berenang, dan bahkan mencoba selancar!” jawabku, bersemangat.

“Wow, kamu bisa selancar?” tanya Elara, terkejut.

“Belum, sih. Tapi aku ingin belajar. Sepertinya seru!” ucapku sambil tertawa.

Kami berdua terhanyut dalam mimpi-mimpi liburan itu, menggambarkan segala aktivitas yang bisa kami lakukan. Namun, tidak lama kemudian, suasana ceria itu terasa sedikit pudar saat pembicaraan berganti ke hasil ujian. “Rayyan, kamu sudah siap untuk hasil ujian? Aku agak tegang,” Elara mengakui.

“Kalau aku sih… ya, semoga saja hasilnya baik. Kita sudah berusaha keras, kan?” jawabku, berusaha meyakinkan diri sendiri.

Minggu pun berlalu, dan hari pengumuman hasil ujian tiba. Di luar kelas, suasana tegang menyelimuti seluruh siswa. Aku bisa merasakan jantungku berdebar saat menunggu nama-nama dipanggil. Dila berdiri di sampingku, mencoba mengalihkan perhatian. “Nervous? Ini hanya ujian, Ray!”

“Bisa dibilang begitu, Dila,” jawabku sambil tersenyum lemah.

Ketika pengumuman dimulai, suara kepala sekolah menggema di seluruh ruang kelas. “Selamat kepada semua siswa yang telah berhasil! Berikut adalah daftar nama yang meraih nilai tertinggi…”

Setiap nama yang disebutkan membuatku semakin cemas, hingga akhirnya, nama Elara disebut. “Elara Natanya! Selamat, kamu mendapatkan nilai tertinggi di kelas!”

Aku berteriak penuh kegembiraan. “Yeaaah, Elara!” Dalam sekejap, teman-teman di sekitar bertepuk tangan dan bersorak. Elara, dengan wajah bercahaya, melambai ke arahku, senyum lebar menghiasi wajahnya. Dia tampak begitu bahagia dan bangga.

Ketika nama-nama lain dipanggil, aku menunggu dengan harapan. Akhirnya, namaku disebut. “Rayyan Almas, selamat! Kamu juga mendapatkan nilai yang sangat baik!”

Kebahagiaan meluap dalam diriku. Rasanya seperti beban besar terangkat dari pundakku. “Ya, kita berhasil!” seruku kepada Elara yang kini mendekat.

Kami berpelukan di tengah keramaian, dan rasanya itu adalah momen yang tak akan pernah kulupakan. “Kita melakukannya, Rayyan! Kita benar-benar melakukannya!” Elara berseru, air mata kebahagiaan menggenang di matanya.

Momen itu semakin memperkuat perasaanku terhadapnya. Aku melihat masa depan yang cerah, dan aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersamanya.

Setelah semua selesai, kami merayakan dengan makan di kafe favorit kami. Dalam perjalanan ke sana, Dila dan Ardi menggoda kami, membuat suasana semakin ceria. “Wah, pasangan pemenang! Kalian berdua benar-benar kompak!” seru Ardi, membuat kami tertawa.

Malam itu, saat kami duduk di kafe, suasana terasa magis. Elara mengangkat gelasnya. “Untuk kita! Untuk kerja keras kita, dan untuk liburan yang akan datang!” katanya, matanya berkilau.

“Dan untuk kenangan-kenangan yang akan datang,” aku menambahkan, menyadari betapa berartinya setiap detik yang kami habiskan bersama.

Kami semua bersulang, dan dalam hati, aku berharap momen ini takkan pernah berakhir. Namun, tidak ada yang bisa mempersiapkan kami untuk apa yang akan terjadi selanjutnya.

Dua minggu setelah pengumuman, Elara menghampiriku di taman sekolah, wajahnya sedikit cemas. “Rayyan, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan,” katanya, suaranya pelan.

“Ada apa, Elara? Kenapa tampak serius?” tanyaku, khawatir.

“Jadi, keluargaku mendapat tawaran untuk pindah ke luar kota. Mereka ingin aku ikut bersama mereka,” ungkapnya, mata Elara terlihat sedih.

Aku terdiam, mendengar berita itu. Semua perasaan senang yang aku rasakan seakan lenyap. “Kapan?” tanyaku dengan nada yang berat.

“Mungkin dalam sebulan. Aku… aku tidak tahu harus bagaimana,” Elara menjawab, wajahnya mulai memucat.

Dalam hatiku, rasa kecewa dan kesedihan mengalir. Bagaimana mungkin semua rencana dan mimpi yang kami buat bisa hilang begitu saja? Namun, aku tahu ini bukan salahnya. “Elara, apa kita bisa berusaha untuk tetap berhubungan? Jarak bukan halangan jika kita saling mencintai, kan?” ucapku, berusaha menguatkan diri.

Elara menatapku dengan mata penuh harap. “Aku ingin, Rayyan. Tapi aku juga takut.”

“Tidak perlu takut. Kita akan mencari cara. Kita bisa video call, saling kirim pesan, dan kita harus merencanakan liburan yang lebih sering,” kataku, berusaha memberikan dukungan.

Elara tersenyum, meski terlihat ada kesedihan di matanya. “Kamu benar. Aku akan berusaha sekuat mungkin untuk kita.”

Hari-hari berikutnya terasa seperti roller coaster. Kami berusaha memanfaatkan waktu sebaik mungkin sebelum dia pergi. Setiap momen terasa lebih berharga. Dari belajar bersama hingga sekadar duduk di taman, semua kenangan itu akan menjadi bagian dari kami.

Ketika hari perpisahan akhirnya tiba, suasana terasa menyedihkan. Kami berdiri di depan sekolah, dikelilingi oleh teman-teman lainnya. “Rayyan, terima kasih untuk semuanya,” Elara berkata, mengulurkan tangan untuk menjabat tanganku.

“Tidak ada yang perlu kau terima. Semua ini adalah bagian dari perjalanan kita,” jawabku sambil mencoba tersenyum.

Kami saling berpelukan, dan untuk sejenak, dunia di sekitar kami lenyap. “Aku akan merindukanmu, Elara.”

“Aku juga akan merindukanmu, Rayyan. Tapi aku janji, kita akan bertemu lagi. Dan cinta kita akan terus ada,” ucapnya, mata kami saling menatap dengan penuh harapan.

Saat dia melangkah pergi, aku merasa seperti kehilangan separuh dari diriku. Namun, di dalam hatiku, aku tahu bahwa kisah kami belum berakhir. Ini adalah awal dari petualangan baru—jauh dari yang kami rencanakan, tetapi kami akan berusaha, dan cinta ini akan terus ada, meskipun jarak memisahkan kami.

Dengan pikiran penuh harapan, aku melangkah pergi dari sekolah, mengingat semua kenangan indah bersamanya. Tidak ada yang bisa memisahkan dua hati yang saling mencintai. Dan aku yakin, kisah kami akan terus berlanjut, menunggu untuk dituliskan di halaman-halaman berikutnya dari hidup kami.

 

Jadi, apakah cinta sejati bisa bertahan meski terpisah jarak? Rayyan dan Elara membuktikannya. Dengan tawa, air mata, dan seribu kenangan indah, mereka menunjukkan bahwa cinta yang tulus selalu menemukan jalannya, tak peduli seberapa jauh jalan itu.

Kisah mereka hanyalah awal dari petualangan cinta yang tak terbatas—siapa tahu apa yang menanti di depan? Yang jelas, cinta mereka akan terus bersinar, seperti bintang di langit malam.

Leave a Reply