Cinta Pertama yang Tak Terbalas: Kisah Sedih Arka dan Ziva

Posted on

Hai, teman-teman! Siapa sih yang belum pernah merasakan yang namanya cinta pertama? Rasanya manis, tapi bisa juga pahit, kan? Di cerita ini, kita bakal ikutin perjalanan Arka yang jatuh cinta sama Ziva, sahabatnya sendiri.

Bayangin, udah suka lama-lama, eh ternyata cintanya cuma bertepuk sebelah tangan! Siap-siap deh baper (atau mungkin baperin) sambil baca kisah yang penuh dengan tawa dan air mata ini. Yuk, langsung aja kita selami dunia mereka!

 

Kisah Sedih Arka dan Ziva

Bayangan di Bawah Pohon Besar

Di sebuah kota kecil yang dikelilingi pegunungan, saat senja mulai menyelimuti langit dengan warna oranye keemasan, Arka duduk di bawah pohon besar yang menjadi tempatnya bernaung. Ranting-rantingnya melindunginya dari sinar matahari yang mulai redup. Di pangkuannya tergeletak sketsa-sketsa pemandangan yang ia lukis, masing-masing menggambarkan keindahan alam yang ia temui setiap hari. Namun, hari ini pikirannya melayang jauh, terfokus pada satu sosok: Ziva.

Ziva adalah gadis yang selalu berhasil menarik perhatian siapa pun yang melihatnya. Dengan rambut hitam panjangnya yang terurai, wajahnya yang bersinar, dan senyum manis yang seolah bisa menghentikan waktu, ia memiliki daya tarik yang tak terbantahkan. Setiap kali Ziva tertawa, dunia di sekitar Arka menjadi lebih cerah. Sayangnya, Ziva tidak pernah tahu tentang perasaan Arka. Mereka berteman, tetapi bagi Arka, itu lebih dari sekadar persahabatan.

Saat ia asyik menggambar, Arka mendengar suara langkah kaki mendekat. Ia menengok dan mendapati Ziva datang, diiringi teman-teman sekelasnya. Suaranya ceria dan penuh semangat, seperti embun pagi yang menyegarkan.

“Arka! Apa kamu lagi menggambar?” Ziva bertanya dengan senyumnya yang tak tertahankan.

Arka tersenyum malu, mengangguk pelan. “Iya, Ziva. Cuma gambar pemandangan. Gak ada yang istimewa.” Ia merasa gugup, berusaha menyembunyikan perasaannya yang bergejolak di dalam hati.

Ziva melangkah lebih dekat, melihat sketsa yang ada di atas kanvas. “Wow, ini indah banget! Kamu harus ikut lomba menggambar di sekolah. Pasti banyak yang suka.”

Arka merasa pipinya memanas mendengar pujian Ziva. “Mungkin… tapi aku nggak yakin. Masih banyak yang lebih baik dari aku,” jawabnya rendah hati, berusaha tidak terlihat terlalu berharap.

Ziva menggigit bibirnya, terlihat berpikir sejenak. “Kamu nggak boleh merendahkan diri seperti itu. Aku yakin banyak yang akan terpesona dengan karyamu. Kamu punya bakat yang luar biasa, Arka.”

Mendengar kata-kata Ziva, hati Arka bergetar. Betapa ia ingin sekali memberitahu Ziva betapa ia sangat mengaguminya, tidak hanya sebagai seniman, tetapi juga sebagai sosok yang membuat hidupnya terasa lebih berarti. Namun, rasa takut akan penolakan selalu menghantuinya.

Ziva kemudian duduk di samping Arka, memperhatikan setiap goresan kuasnya. “Apa yang kamu gambar sekarang?” tanyanya, matanya bersinar penuh minat.

“Ini pemandangan di bukit sebelah sekolah. Kadang aku suka datang ke sini buat menenangkan pikiran,” Arka menjawab sambil terus menggerakkan kuasnya di atas kanvas.

“Bagus banget! Suatu hari, aku ingin ikut ke bukit itu. Kamu mau mengajakku?” Ziva meminta, dan Arka merasa hatinya berdesir. Suara Ziva seolah membawa harapan baru.

“Iya, tentu. Aku pasti senang banget kalau kamu mau ikut,” jawab Arka, berusaha terdengar tenang meskipun hatinya berdebar kencang.

Satu saat, saat mereka berdua terlarut dalam pembicaraan, salah satu teman Ziva memanggilnya. “Ziva! Ayo, kita ke kafe! Semua orang sudah nunggu!”

Ziva menoleh, tampak bingung. “Tunggu sebentar ya, aku mau pamit ke Arka dulu,” katanya, mengabaikan panggilan temannya.

“Tidak apa-apa, pergi saja. Aku di sini baik-baik saja,” Arka berusaha tersenyum, meskipun hatinya sedikit terluka melihat Ziva ingin pergi.

“Tapi…,” Ziva terlihat ragu.

“Aku akan menggambar lagi di sini. Kapan-kapan kita bisa ngobrol lagi,” Arka mencoba meyakinkan.

Ziva tersenyum, dan Arka merasa dunia seolah berputar lebih lambat. “Baiklah. Nanti aku akan datang lagi, ya?”

“Ya, pasti,” jawabnya, tidak bisa menahan senyum. Namun, begitu Ziva melangkah pergi, hati Arka terasa seolah terhisap oleh angin malam. Dia mengamati Ziva yang melangkah menjauh, bersama teman-temannya yang mengelilinginya. Ziva terlihat begitu bahagia, dan Arka tahu, kebahagiaan itu bukanlah miliknya.

Saat Ziva pergi, Arka mengalihkan pandangannya ke kanvas. Ia mencoba kembali menggambar, tetapi semua yang ada di pikirannya hanyalah Ziva dan senyumnya yang memikat. Tangan Arka berhenti bergerak. Bagaimana bisa ia mengungkapkan perasaannya jika Ziva hanya melihatnya sebagai sahabat? Mungkin, ia tidak akan pernah bisa memiliki cinta yang diimpikannya.

Hari-hari berlalu, dan Ziva mulai mendekati seorang pemuda bernama Rizki, siswa baru yang penuh karisma dan percaya diri. Arka merasa sakit setiap kali melihat Ziva tersenyum kepada Rizki. Setiap tawa yang mereka bagi seolah mengoyak hatinya. Ia hanya bisa menjadi penonton dalam kisah cinta yang tidak pernah ia inginkan.

Di saat-saat kesepiannya, Arka mulai menulis surat. Ia berharap bisa mengungkapkan semua perasaannya kepada Ziva dengan cara yang tidak membuatnya malu. Surat itu ditulis dengan tinta hitam, penuh kerinduan, dan harapan. Namun, hingga kini, surat itu tetap terkurung dalam tasnya, menunggu waktu yang tepat untuk disampaikan.

Di bawah pohon besar, di tengah lukisan dan harapan yang berantakan, Arka menyadari bahwa cinta pertama itu begitu indah dan menyakitkan. Dengan segala kerinduan dan harapan, ia hanya bisa berharap suatu saat Ziva akan menyadari betapa berartinya ia. Namun, untuk saat ini, ia terjebak dalam bayang-bayang cinta yang bertepuk sebelah tangan.

 

Surat yang Tak Terungkap

Malam hari di kota kecil itu tampak sepi, hanya suara angin yang sesekali berbisik di antara pepohonan. Arka terbaring di ranjangnya, menatap langit-langit kamar yang gelap. Lampu meja di sudut ruangan memancarkan cahaya hangat, menyoroti tumpukan sketsa dan buku catatan yang berserakan. Di sampingnya, surat untuk Ziva tergeletak, menunggu dengan sabar untuk diungkapkan. Namun, semangatnya seakan membeku setiap kali ia mengingat senyum Ziva saat bersama Rizki.

Hari-hari berlalu, Ziva semakin sering terlihat bersama Rizki. Setiap kali Arka melihat mereka tertawa, hatinya seolah dipenuhi serpihan-serpihan kecil yang menyakitkan. Ketika sahabatnya bertanya apakah ia ingin ikut berkumpul, Arka selalu mencari alasan untuk menolak, menghindari kerumunan yang membuatnya merasa sendirian meskipun banyak orang di sekelilingnya.

“Eh, Arka! Kenapa kamu nggak ikut ke kafe? Semua orang ada di sana,” tanya salah satu temannya, Sela, suatu sore ketika mereka berangkat dari sekolah.

Arka menggeleng, tersenyum tipis. “Aku mau menggambar di sini aja. Butuh ketenangan,” jawabnya, berusaha terdengar biasa saja.

Sela mengernyitkan dahi, tampak khawatir. “Kamu jangan terlalu menyendiri, ya. Kita semua khawatir sama kamu.”

“Tenang aja, aku baik-baik saja.” Arka berusaha meyakinkan Sela, meski hatinya berbicara lain. Ia merindukan momen-momen ketika Ziva selalu ada di sampingnya, berbagi tawa dan mimpi. Sekarang, semua itu terasa seperti kenangan yang samar.

Malam itu, saat semua orang berkumpul di kafe, Arka duduk sendirian di bawah pohon besar. Bulan bersinar cerah, memantulkan cahayanya di atas permukaan tanah yang basah setelah hujan sore. Ia menatap bintang-bintang yang berkelap-kelip, berusaha menemukan jawaban atas keraguan dalam dirinya. Di antara semua suara dan tawa yang menggaung dari kafe, satu hal yang paling ia inginkan adalah keberanian untuk menyampaikan surat itu kepada Ziva.

Dengan tangan bergetar, Arka membuka tasnya dan mengambil surat yang sudah ditulisnya. Surat itu, yang berisi semua rasa hati dan harapannya, terasa semakin berat untuk diungkapkan. Apakah Ziva akan mengerti perasaannya? Apakah dia akan tersenyum, atau justru menjauh lebih jauh?

Sekitar satu jam kemudian, ia mendengar langkah-langkah mendekat. Ziva muncul dari balik kafe, masih mengenakan gaun kasual yang sederhana namun membuatnya tampak anggun. Di sampingnya, Rizki melangkah dengan penuh percaya diri, membuat Arka merasa sesak di dadanya.

“Ziva!” Rizki memanggil, dan Ziva menoleh, tersenyum ceria. Arka bisa melihat bagaimana Ziva bersinar di dekatnya. Rasa cemburu menyergapnya, membuatnya menahan napas.

“Yuk, kita duduk di sini! Tempatnya enak,” kata Ziva, menunjuk ke arah Arka yang duduk sendirian. Arka merasa jantungnya berdegup kencang. Apakah Ziva akan mendekatinya? Namun, harapannya sirna ketika Ziva justru melangkah menuju meja yang sudah dipenuhi teman-teman lain.

Arka menatap mereka dari jauh, hatinya terbelah. Keberanian untuk mendekat seolah mencair begitu saja. Ia hanya bisa duduk di bawah pohon, merasakan angin malam yang dingin menyentuh kulitnya.

Ketika Ziva dan Rizki mulai bercanda dan tertawa, Arka memejamkan matanya, mencoba mengabaikan kenyataan yang menyakitkan. Setiap tawa Ziva seolah menjadi jarum yang menusuk hatinya, menyadarkannya bahwa cintanya mungkin tidak akan pernah terbalas. Mungkin dia hanya bisa menyimpan perasaan itu dalam diam, seperti surat yang tak pernah terungkapkan.

Dalam keheningan malam, Arka merobek surat itu menjadi beberapa bagian kecil. Dengan mata yang mulai berkaca-kaca, ia melemparkan potongan-potongan kertas ke angin, seolah melepaskan semua harapannya. “Mungkin ini yang terbaik,” bisiknya pada diri sendiri. “Menyimpan semuanya dalam hati, lebih baik daripada menghadapi kenyataan yang menyakitkan.”

Namun, saat ia bersiap untuk pulang, langkah Ziva tiba-tiba menghampirinya. “Arka!” suaranya ceria membuatnya terkejut.

“Hai, Ziva,” Arka menjawab, berusaha terdengar santai meskipun hatinya berdebar.

“Kenapa kamu di sini sendirian? Ayo, gabung sama kami!” Ziva mengundang, dan Arka merasakan harapan kecil muncul kembali.

“Aku… aku baik-baik saja. Lagi banyak pikiran,” jawab Arka, berusaha menahan rasa canggung.

Ziva memandangnya dengan perhatian. “Kamu nggak bisa terus-terusan kayak gini. Kita kan sahabat. Biar aku bantu kamu,” ujarnya, suara lembutnya seolah menyentuh bagian terdalam hatinya.

“Sahabat,” kata Arka pelan, seolah merasakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata.

Ziva menyentuh bahunya, membuat Arka merasa hangat meskipun ada rasa cemas yang menyelubungi hatinya. “Kalau ada yang mau kamu bicarakan, jangan ragu untuk cerita ya.”

Arka mengangguk, merasa terjebak antara harapan dan kenyataan. Dalam hati, ia berdoa semoga bisa menemukan keberanian untuk mengungkapkan semua yang ia rasakan sebelum terlambat. Tapi saat itu, ia hanya bisa berharap agar Ziva selalu ada di sampingnya, meskipun harapan itu terasa semakin jauh dan tak terjangkau.

Ketika Ziva kembali ke meja, Arka merasa jiwanya seolah kosong. Di satu sisi, ia ingin mengungkapkan segalanya, tetapi di sisi lain, ia takut kehilangan Ziva selamanya. Cinta pertama yang tak terbalas sering kali menyisakan luka yang dalam. Dengan rasa sakit yang mendera, Arka menyadari bahwa suratnya mungkin tetap terkurung dalam hati, tak terungkapkan dan tak terlupakan.

 

Cinta dalam Senyap

Hari-hari setelah pertemuan itu terasa semakin menegangkan bagi Arka. Ziva dan Rizki semakin terlihat akrab, sementara Arka hanya bisa menyaksikan dari jauh, terseret dalam arus perasaannya sendiri. Sekolah menjadi tempat yang penuh kenangan indah dan pahit, seperti dua sisi koin yang tak terpisahkan. Setiap detik yang berlalu membuat Arka semakin bingung dengan apa yang harus ia lakukan.

Satu sore, saat mereka sedang berada di kelas seni, Arka duduk di sudut ruang, menggambar sketsa yang tak pernah selesai. Tangannya bergerak otomatis, tetapi pikirannya terus melayang pada Ziva. Ia mencuri pandang ke arah Ziva yang sedang berdiskusi dengan Rizki di meja depan. Tawa mereka yang ceria mengisi ruangan, membuat Arka merasakan kesepian yang mendalam.

“Arka, kamu nggak mau ikut ke acara festival seni akhir pekan ini?” tanya Sela yang tiba-tiba muncul di sampingnya, membawa sebuah sketsa yang sedang ia kerjakan.

“Festival seni? Aku… aku masih bingung,” Arka menjawab, berusaha menjaga suaranya agar tetap tenang. Sela memandangnya dengan tatapan yang penuh perhatian.

“Kamu jangan menyendiri terus. Kita semua bakal pergi, Ziva juga akan ada di sana. Kamu bisa menggambar di luar sana. Mungkin bisa jadi inspirasi!” kata Sela penuh semangat.

Ziva, yang mendengar nama dirinya disebut, menoleh ke arah Arka. “Iya, Arka! Ayo ikut! Akan seru banget,” serunya dengan senyum cerah yang selalu membuat jantung Arka berdebar.

“Tapi…,” Arka mulai, tapi suaranya terhenti. Dia tahu ia tidak bisa mengabaikan undangan itu. Senyuman Ziva memberi secercah harapan dalam hati yang keruh. “Oke, aku akan ikut,” katanya, berusaha bersikap optimis.

Hari festival seni tiba, dan Arka merasa campur aduk antara antusias dan cemas. Saat memasuki area festival, suasana ramai dengan tawa dan musik. Arka berusaha menenangkan diri, tapi tatapan matanya selalu mencari sosok Ziva. Setelah beberapa saat, ia melihat Ziva dan Rizki di sudut tenda, dikelilingi oleh teman-teman yang asyik berbincang.

“Arka!” Ziva melambaikan tangannya, membuat jantungnya berdegup lebih kencang. “Ayo ke sini! Kami baru saja memilih tema untuk lukisan kolaborasi kita.”

Arka menghampiri mereka, berusaha menghilangkan rasa gugup. “Tema apa?” tanyanya, berusaha terdengar casual.

“Cinta dan harapan,” jawab Ziva, wajahnya berseri-seri. “Kita akan membuat mural besar tentang itu. Bagaimana menurutmu?”

Arka hanya bisa mengangguk, terpesona oleh senyumnya. “Bagus,” jawabnya pelan, sambil berusaha menyembunyikan rasa sakit yang menderanya. Selama bekerja bersama, Ziva tampak bahagia, dan itu membuat Arka merindukan saat-saat ketika mereka berdua hanya bertukar pikiran dan berbagi rahasia kecil.

Selama beberapa jam, mereka bekerja bersama, mencampurkan warna dan menggambar. Namun, di dalam hatinya, Arka merasa semakin terasing. Meskipun berada di dekat Ziva, dia tetap merasa jauh, seperti melihat bayangannya sendiri yang tidak pernah bisa meraih cinta sejatinya. Setiap kali Ziva tertawa dengan Rizki, ada rasa pahit yang mengisi dadanya, seperti luka yang tidak kunjung sembuh.

Ketika malam tiba, festival berlanjut dengan pertunjukan musik. Arka merasa tegang saat Ziva meminta untuk duduk di dekat panggung. Semua orang terlihat ceria, tetapi Arka merasa seperti tersesat dalam keramaian. Dia merasa seolah tidak ada tempat yang bisa dia sebut sebagai miliknya.

“Aku mau pergi ke toilet sebentar,” Arka memberitahu Sela, berharap bisa menyendiri sejenak. Ia melangkah menjauh dari kerumunan, menjauh dari tawa dan keceriaan yang menyakitkan.

Setelah menyegarkan diri di toilet, ia melangkah keluar dan mengambil napas dalam-dalam, berusaha menenangkan pikirannya. Namun, saat berjalan kembali ke kerumunan, Arka melihat Ziva dan Rizki berdansa bersama, tawa mereka menggema di udara malam. Arka berhenti sejenak, menyaksikan kebahagiaan mereka, dan hatinya hancur.

Dengan perasaan campur aduk, ia berjalan menjauh, mencari tempat yang lebih sepi. Arka menemukan dirinya di taman kecil di pinggir festival, di mana suara musik hanya terdengar samar-samar. Dia duduk di bangku, mengeluarkan surat yang selama ini disimpannya. Melihat kembali kata-kata yang pernah ia tulis, harapan dan rasa sakit bercampur menjadi satu.

“Kenapa aku tidak bisa mengungkapkan semuanya?” pikirnya. Ia menggenggam surat itu erat-erat, seolah-olah itu adalah satu-satunya hal yang bisa mengungkapkan semua perasaannya.

Saat Arka merenungkan segalanya, tiba-tiba Ziva muncul di hadapannya. “Arka! Aku mencarimu!” Suara Ziva membawa semangat baru dalam dirinya.

Arka tertegun. “Ziva? Kenapa kamu di sini?”

“Kamu terlihat jauh dari semua orang. Kami khawatir,” kata Ziva, duduk di sampingnya dengan senyuman ceria. “Kamu baik-baik saja?”

“Yah, aku… hanya butuh sedikit waktu untuk diri sendiri,” jawab Arka, berusaha bersikap santai meskipun hati terasa berat.

Ziva mengangguk, wajahnya serius. “Kamu bisa cerita sama aku. Kita kan sahabat,” ujarnya lembut, seolah bisa merasakan beban yang ada di hati Arka.

Dalam hati, Arka berdoa agar bisa mengungkapkan semua yang ia rasakan, tetapi kata-kata itu seakan tersangkut di tenggorokannya. “Aku…,” dia mulai, tetapi suara musik dari festival mengalihkan perhatiannya.

Ziva tersenyum lagi, menatap bintang-bintang di langit. “Lihat! Indah sekali, ya? Seperti harapan yang selalu ada, meski kadang terlupakan.”

Arka mengangguk, hatinya berdebar mendengar kalimat itu. Apakah Ziva berbicara tentang harapan atau tentang mereka? Dalam sekejap, Arka merasa terjebak dalam keraguan, takut untuk melangkah lebih jauh.

Saat Ziva beranjak berdiri, ia merasa seolah waktunya sudah habis. “Ayo, kita kembali ke festival. Mereka pasti menunggu kita,” kata Ziva, menawarkan tangan kecilnya. Arka meraih tangannya dengan lembut, merasakan kehangatan yang membuat hatinya bergetar.

Mereka berjalan kembali, dikelilingi suara tawa dan musik, tetapi Arka tahu bahwa perasaannya terhadap Ziva adalah sesuatu yang tidak akan pernah bisa diungkapkan dengan mudah. Dalam kesunyian itu, Arka menyadari bahwa cinta yang tidak terbalas adalah bagian dari kehidupannya, mungkin akan selalu ada, menunggu untuk dihadapi di suatu hari nanti.

Senyuman Ziva saat mereka kembali ke kerumunan adalah pengingat bahwa meskipun rasa sakit ada, ada juga harapan. Arka berusaha menguatkan diri, berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menyerah, bahkan jika semua yang ia miliki hanya tinggal kenangan yang terpendam di dalam hati.

 

Harapan yang Tak Terungkap

Malam festival semakin larut, dan keramaian mulai memudar. Arka merasa seolah waktu berjalan begitu cepat, membuatnya tidak bisa mengejar perasaannya yang terpendam. Ziva berada di sampingnya, berkilau dalam cahaya lampu yang lembut, tetapi Arka merasa jauh di dalam hatinya. Dia menyadari bahwa ia perlu menghadapi kenyataan yang menyakitkan: cintanya mungkin tidak akan pernah terbalas.

Setelah malam yang penuh warna dan tawa, teman-teman mereka mulai kembali ke rumah. Ziva dan Arka berjalan beriringan, suasana sepi membuat setiap langkah terasa lebih berat. Arka merasa hatinya tertekan, seolah setiap detik adalah sebuah pengingat akan ketidakmampuannya untuk menyatakan perasaan.

“Arka,” Ziva memecah keheningan. “Aku senang kamu ikut malam ini. Rasanya kita seperti dulu, saat kita selalu melakukan hal-hal bersama.”

Arka hanya tersenyum samar. “Iya, aku juga. Momen-momen seperti ini… mengingatkanku akan semua kenangan kita.”

Ziva menoleh, ada kerinduan di matanya. “Kadang aku merasa kita bisa melakukan lebih banyak hal bersama. Mungkin kita bisa merencanakan sesuatu untuk akhir pekan depan?”

“Pasti,” Arka menjawab, walau hatinya penuh keraguan. “Tapi… bagaimana dengan Rizki? Bukankah kamu lebih dekat dengannya sekarang?”

Ziva menggeleng, senyum di wajahnya seolah menguatkan Arka. “Dia sahabat yang baik, tapi aku merasa kita lebih terhubung, kamu tahu?”

Arka menahan napas, merasakan harapan yang menggelora di dalam dirinya. “Ziva, aku…,” kalimat itu terhenti, tak sanggup ia ungkapkan. Dia tahu bahwa setiap kata yang keluar bisa menghancurkan hubungan mereka, merusak persahabatan yang sudah terjalin lama.

“Jangan khawatir, Arka. Aku menghargai persahabatan kita lebih dari apapun,” Ziva berkata, seolah bisa membaca pikiran Arka. “Aku ingin kita selalu bisa berbagi cerita.”

“Aku juga ingin seperti itu,” Arka menjawab, suaranya bergetar. “Tapi kadang-kadang, aku merasa sulit untuk tidak merasa lebih dari sekadar teman.”

Ziva menatapnya dengan mata penuh pengertian. “Kita semua memiliki perasaan, Arka. Tapi penting untuk menjaga apa yang kita miliki saat ini. Persahabatan ini… itu lebih berarti.”

Arka merasa seolah dunia di sekelilingnya berhenti sejenak. Ucapan Ziva seakan menjadi batas yang tak boleh ia lewati. Namun, dalam hatinya, ada kerinduan yang mendalam. Dia ingin sekali mengungkapkan cinta yang sudah terpendam begitu lama, tetapi semua itu terasa mustahil.

Sesampainya di depan rumah Ziva, dia berbalik menghadap Arka, wajahnya bersinar dalam cahaya bulan. “Terima kasih untuk malam ini. Aku senang kamu ada di sini,” ucapnya tulus.

Arka mengangguk, hatinya berat. “Aku juga senang bisa bersamamu, Ziva. Aku… aku akan selalu ada untukmu.”

Ziva tersenyum, dan saat itulah Arka merasa jiwanya tergerak. “Sampai jumpa, Arka. Jangan lupakan senyumanmu, ya?”

Sebelum dia sempat menjawab, Ziva melangkah mundur dan melambai. Arka hanya bisa berdiri di sana, memandang sosoknya yang menghilang ke dalam rumah. Sebuah rasa hampa menghampiri, mengingatkan Arka bahwa cinta sejatinya hanya ada di dalam hatinya, tak pernah terucap.

Malam itu, Arka pulang dengan perasaan campur aduk. Di dalam dirinya, ada sejumput harapan yang tersisa, meskipun dia tahu bahwa harapan itu tidak akan terwujud. Dia merenungkan semua yang telah terjadi, setiap senyuman dan tawa Ziva yang menyentuh jiwanya.

Seiring waktu berjalan, Arka mulai belajar untuk merelakan. Dia mengalihkan perhatiannya pada lukisan dan karya seni yang selalu menjadi pelampiasannya. Setiap sapuan kuas seolah menjadi cara untuk mengekspresikan semua perasaan yang terpendam, menggambarkan harapan dan kekecewaan dalam satu kanvas.

Beberapa bulan kemudian, di penghujung semester, Arka memutuskan untuk menghadiri pameran seni di sekolah. Dia membawa beberapa lukisannya, salah satunya yang paling istimewa—lukisan yang terinspirasi oleh Ziva. Lukisan itu menggambarkan dua sosok yang saling menggenggam tangan, dikelilingi warna-warna cerah yang melambangkan harapan.

Saat pameran dibuka, Ziva datang dan terpesona melihat karya Arka. “Arka, ini luar biasa! Aku tidak tahu kamu bisa membuat sesuatu yang seindah ini,” serunya, memandang lukisan dengan penuh kekaguman.

Arka merasa jantungnya berdebar. “Terima kasih, Ziva. Ini terinspirasi oleh kita,” katanya, tanpa berani menatap langsung ke matanya.

Ziva tersenyum, tetapi ada keraguan di wajahnya. “Aku berharap kita bisa terus berkarya bersama seperti ini. Persahabatan kita harus tetap kuat.”

Arka merasakan sakit di dadanya. “Tentu, aku akan selalu ada untukmu, Ziva. Meski… meski itu hanya persahabatan.”

Di dalam hati, Arka berusaha menerima bahwa cintanya tak akan pernah terbalas, namun persahabatan mereka adalah sesuatu yang berharga dan patut untuk dijaga. Dia berjanji untuk tidak menyakiti dirinya sendiri dengan harapan yang tak mungkin terwujud.

Seiring berjalannya waktu, Arka belajar bahwa meski cinta pertama bisa terasa menyakitkan, itu juga adalah pelajaran berharga tentang harapan dan menerima kenyataan. Dia mengingat setiap momen indah dengan Ziva, dan sambil menggenggam kenangan itu, Arka bersiap untuk langkah selanjutnya dalam hidupnya—mencari kebahagiaan dalam hal-hal lain, dengan keyakinan bahwa cinta sejati mungkin ada di luar sana, menunggu untuk ditemukan.

 

Nah, itu dia kisah Arka dan Ziva! Cinta pertama emang kadang bikin kita bahagia sekaligus bikin baper, ya. Meskipun Arka harus menerima kenyataan pahit, dia belajar bahwa setiap perasaan punya makna dan bisa jadi pelajaran berharga.

Jadi, jangan pernah takut untuk mencintai, meski kadang hasilnya gak sesuai harapan. Siapa tahu, cinta sejati bisa datang di waktu yang gak terduga! Sampai jumpa di cerita selanjutnya, dan semoga kamu juga menemukan cinta yang bikin hati berdebar!

Leave a Reply