Cinta Pertama SMP: Kisah Rindu yang Tak Terucap

Posted on

Pernahkah Anda merasakan getaran cinta pertama di masa SMP, ketika perasaan tak terucap membuat hati bergetar? Dalam cerpen “Cinta Pertama SMP: Kisah Rindu yang Tak Terucap”, Zafira Jelita, seorang gadis pendiam, menjalani perjalanan emosional saat ia jatuh cinta pada Radiantha Wirawan, temen sekelasnya yang pindah ke sekolah lain. Di bawah pohon beringin, mereka berbagi momen kecil yang penuh makna, namun jarak memisahkan mereka hingga Zafira memberanikan diri mengirimkan puisi rindu. Ikuti kisah mereka yang penuh haru, keberanian, dan reuni tak terduga, serta temukan makna cinta pertama yang tak pernah lekang oleh waktu. Siap untuk bernostalgia dengan kisah cinta masa remaja?

Cinta Pertama SMP

Pertemuan di Bawah Pohon Beringin

Pagi yang cerah di bulan Juni 2024 membawa angin sepoi-sepoi ke halaman SMP Nusantara Harapan, sebuah sekolah kecil di pinggiran kota yang dikelilingi sawah dan pohon-pohon beringin raksasa. Jam menunjukkan pukul 07:15 WIB, dan siswa-siswi kelas 8 mulai berdatangan dengan seragam putih-biru yang sedikit kusut setelah perjalanan panjang dari rumah. Di sudut halaman, di bawah pohon beringin yang daunnya bergoyang lembut, duduk seorang gadis bernama Zafira Jelita, usia 14 tahun, dengan rambut panjang yang diikat dua dan mata cokelat yang selalu penuh rasa ingin tahu. Ia membawa buku tulis tebal yang penuh coretan puisi, tempatnya menyimpan perasaan yang sulit ia ungkapkan.

Zafira duduk sendirian, seperti biasa, karena ia lebih suka menyendiri daripada bergaul dengan teman sekelas yang sering menggoda. Di tangannya, ia memegang pena biru yang sudah mulai aus, menulis kalimat pendek tentang langit yang cerah itu. “Langit pagi ini seperti harapan, tapi kenapa hatiku masih kelabu?” tulisnya, menggambarkan perasaannya yang bercampur aduk. Tiba-tiba, suara langkah kaki menghampirinya, dan ia menoleh. Di depannya berdiri seorang pemuda bernama Radiantha Wirawan, teman sekelasnya yang dikenal pendiam tapi cerdas, dengan rambut hitam yang sedikit acak-acakan dan senyum malu-malu yang tak pernah ia sembunyikan.

“Zaf, lagi nulis apa? Puisi lagi, ya?” tanya Radiantha, suaranya lembut tapi penuh rasa ingin tahu. Zafira buru-buru menutup bukunya, wajahnya memerah. “Nggak ada apa-apa, Rad. Cuma coretan biasa,” jawabnya cepat, menghindari pandangan Radiantha. Tapi di dalam hati, ia merasa jantungnya berdetak lebih kencang. Radiantha adalah satu-satunya orang yang pernah ia anggap spesial sejak masuk SMP tahun lalu. Ia sering memperhatikan Radiantha dari kejauhan—cara ia menjawab pertanyaan guru dengan percaya diri, atau saat ia membantu temen yang kesulitan di kelas. Tapi Zafira tak pernah berani mengakui perasaannya, takut ditolak atau dianggap bodoh.

Radiantha tertawa kecil, lalu duduk di samping Zafira tanpa meminta izin, sesuatu yang jarang ia lakukan. “Aku lihat kamu selalu nulis di bawah pohon ini. Kayaknya ini tempat favoritmu, ya?” katanya, matanya menatap daun-daun beringin yang bergoyang. Zafira mengangguk pelan, mencoba menyembunyikan kegugupannya. “Iya, di sini tenang. Aku suka denger angin sama burung,” jawabnya, suaranya hampir bergetar. Radiantha mengangguk, lalu mengeluarkan buku catatan kecil dari tasnya. “Aku juga suka nulis, tapi lebih ke cerita pendek. Mungkin nanti aku tunjukin ke kamu, kalau kamu mau,” ujarnya, senyumnya melebar.

Hari itu menjadi awal dari pertemuan-pertemuan kecil di bawah pohon beringin. Setiap pagi sebelum bel masuk berbunyi, Radiantha mulai rutin mendampingi Zafira, membawa cerita atau puisi yang ia tulis untuk dibaca bersama. Zafira merasa bahagia, tapi juga bingung—ia tak tahu apakah Radiantha hanya menganggapnya teman atau ada perasaan lain di balik sikapnya yang ramah. Di sela-sela pelajaran Matematika yang membosankan atau saat istirahat di kantin, Zafira sering memandang Radiantha dari kejauhan, membayangkan bagaimana rasanya mengatakan apa yang ada di hatinya.

Suatu hari, saat mereka duduk bersama di bawah pohon beringin, Radiantha tiba-tiba mengeluarkan sebuah gelang anyaman sederhana dari sakunya. “Ini buat kamu, Zaf. Aku buat sendiri kemarin malam. Warnanya cocok sama buku puisi kamu,” katanya, tangannya sedikit gemetar saat menyerahkan gelang itu. Zafira menatap gelang berwarna biru muda itu, jantungnya berdegup kencang. “Buat aku? Kenapa, Rad?” tanyanya, matanya penuh tanda tanya. Radiantha menggaruk tengkuknya, tampak gugup. “Ya… soalnya aku suka ngobrol sama kamu. Kamu beda dari yang lain,” jawabnya, wajahnya memerah.

Zafira mengenakan gelang itu, merasa hangat di dadanya. Ia ingin mengatakan bahwa ia juga menyukai Radiantha, tapi kata-kata itu tercekat di tenggorokannya. Ia hanya tersenyum, mengangguk, dan berjanji pada dirinya sendiri untuk memberanikan hati suatu hari nanti. Tapi kebahagiaan itu tak bertahan lama. Di akhir minggu itu, Zafira mendengar kabar dari temen sekelas bahwa Radiantha akan pindah ke sekolah lain di kota besar karena ayahnya dipindah tugas. Kabar itu seperti petir di siang bolong, membuat Zafira terdiam di kelas, menatap gelang di pergelangan tangannya dengan air mata yang mulai menggenang.

Malam harinya, Zafira duduk di kamarnya, menulis puisi panjang di buku catatannya. “Di bawah pohon beringin, aku kehilangan harapan, / Senyummu pergi, meninggalkan rindu yang tak terucap,” tulisnya, tinta hitamnya belepotan karena air matanya. Ia membayangkan Radiantha pergi, meninggalkannya dengan perasaan yang tak pernah ia sampaikan. Di hari terakhir Radiantha di sekolah, Zafira hanya bisa memandang dari kejauhan saat ia berpamitan dengan teman-teman lain, tak berani mendekat. Radiantha melirik ke arahnya, memberi senyum kecil, tapi tak ada kesempatan untuk berbicara lagi.

Pohon beringin itu kini menjadi saksi bisu dari cinta pertama Zafira yang tak pernah terucap. Ia menatap gelang di tangannya setiap hari, mengingatkan dirinya pada momen-momen singkat bersama Radiantha. Di dalam hatinya, ia berharap suatu hari nanti mereka akan bertemu lagi, dan ia bisa mengatakan apa yang selama ini ia pendam. Tapi untuk saat ini, ia hanya bisa menulis, menuangkannya dalam puisi, dan menunggu dengan rindu yang tak pernah usai.

Rindu di Balik Buku Puisi

Hari-hari setelah kepergian Radiantha Wirawan terasa seperti lukisan yang kehilangan warnanya bagi Zafira Jelita. Sudah seminggu sejak Radiantha pindah ke kota besar, dan SMP Nusantara Harapan tak lagi terasa sama tanpa kehadirannya. Pagi itu, Rabu, 11 Juni 2024, pukul 07:10 WIB, langit di atas sekolah tampak mendung, seolah mencerminkan suasana hati Zafira. Ia duduk di tempat biasa di bawah pohon beringin, memegang buku puisi yang kini penuh dengan coretan-coretan tentang rindu. Gelang anyaman biru muda pemberian Radiantha masih melingkar di pergelangan tangannya, menjadi satu-satunya benda yang membuatnya merasa dekat dengan pemuda itu.

Zafira membuka halaman terbaru di bukunya, menulisi dengan pena biru yang tintanya mulai menipis. “Pagi ini angin tak lagi berbisik tentangmu, / Tapi bayangmu masih menari di bawah pohon ini,” tulisnya, jarinya gemetar saat pena itu bergerak. Ia menatap halaman itu lama, lalu menutup buku dengan cepat ketika mendengar langkah kaki mendekat. Itu adalah temen sekelasnya, Vionara Shinta, seorang gadis periang dengan rambut pendek dan senyum lelet yang selalu ceria. “Zaf, kok sendirian terus? Ayo ke kelas, bentar lagi bel masuk!” serunya, tangannya menarik lengan Zafira dengan penuh semangat.

Zafira tersenyum kecil, tapi hatinya terasa berat. “Iya, Vi. Aku mau simpen buku dulu,” jawabnya, berusaha menyembunyikan kesedihannya. Vionara memandangnya dengan mata penuh tanda tanya, lalu melirik gelang di tangan Zafira. “Itu pemberian Radiantha, ya? Kamu kangen dia, kan?” tanyanya langsung, membuat Zafira tersentak. Wajahnya memerah, dan ia buru-buru mengangguk, tak bisa menutupi perasaannya lagi. Vionara menghela napas, lalu memeluk Zafira dengan hangat. “Aku tahu kamu suka dia, Zaf. Kenapa nggak bilang aja pas dia masih di sini?” tanyanya lembut.

Pertanyaan itu seperti panah yang menusuk hati Zafira. Ia menunduk, air matanya mulai menggenang. “Aku takut, Vi. Takut dia nggak suka aku balik. Aku nggak cukup berani,” jawabnya, suaranya tercekat. Vionara mengusap punggung Zafira, mencoba menghiburnya. “Kamu nggak salah, Zaf. Cinta itu kadang bikin kita takut. Tapi aku yakin, Radiantha juga suka sama kamu. Dia sering nyanyi-nyanyi kecil pas buka buku catatanmu,” kata Vionara, tersenyum kecil untuk menghibur temennya.

Hari itu, Zafira mencoba menjalani pelajaran seperti biasa, tapi pikirannya terus melayang pada Radiantha. Saat pelajaran Bahasa Indonesia, ketika Bu Sari meminta mereka menulis cerita pendek, Zafira malah menulis tentang seorang gadis yang kehilangan sahabat pena-nya, sebuah metafora dari perasaannya sendiri. Ia membayangkan Radiantha di sekolah barunya, mungkin duduk di bawah pohon yang berbeda, menulis cerita pendek seperti yang ia janjikan. “Apa dia juga kangen aku?” gumamnya pelan, jarinya memainkan gelang anyaman itu tanpa sadar.

Saat istirahat, Zafira kembali ke pohon beringin, tapi kali ini ia tak sendirian. Vionara menemaninya, membawa dua bungkus roti isi cokelat dari kantin. “Makan dulu, Zaf. Jangan cuma mikirin Radiantha. Nanti kamu sakit,” katanya, menyodorkan roti itu. Zafira mengambilnya dengan senyum kecil, tapi matanya masih kosong. Ia menggigit roti itu perlahan, rasanya hambar di lidahnya. “Vi, aku ngerasa bodoh. Aku nggak bilang apa-apa pas dia pergi. Sekarang aku cuma bisa nulis puisi yang dia nggak bakal baca,” keluhnya, suaranya penuh penyesalan.

Vionara mengangguk, lalu tiba-tiba matanya berbinar. “Zaf, kenapa kamu nggak kirim puisi itu buat dia? Kita cari alamat sekolah barunya, trus kirim lewat pos! Aku yakin dia seneng baca tulisanmu,” usulnya, penuh semangat. Zafira menatap Vionara dengan mata melebar, antara takut dan berharap. “Tapi… kalau dia nggak suka? Kalau dia malah benci aku?” tanyanya, suaranya penuh keraguan. Vionara menggeleng tegas. “Nggak mungkin, Zaf. Aku tahu Radiantha orangnya baik. Dia pasti seneng tahu kamu mikirin dia,” jawabnya, meyakinkan.

Sore itu, setelah pulang sekolah, Zafira dan Vionara pergi ke perpustakaan sekolah untuk mencari informasi tentang sekolah baru Radiantha. Dengan bantuan Pak Budi, guru perpustakaan yang ramah, mereka menemukan alamat sekolah itu—SMP Bintang Timur di kota sebelah, sekitar dua jam perjalanan dari SMP Nusantara Harapan. Zafira pulang ke rumah dengan hati bergetar, membawa secuil harapan baru. Malam harinya, ia duduk di meja kecil di kamarnya, ditemani lampu meja yang cahayanya kuning temaram. Ia menyalin puisi terbaiknya ke selembar kertas baru, tangannya gemetar saat menulis setiap baris.

Puisi itu berjudul “Rindu di Bawah Beringin”:
“Di bawah pohon yang dulu kita bagi, / Aku menulis rindu yang tak pernah usai. / Suaramu hilang di antara angin, / Tapi bayangmu tetap di sini, menanti.”
Di bawah puisi itu, ia menambahkan catatan kecil: “Rad, aku kangen. Semoga kamu baik-baik aja di sana. –Zafira.” Ia melipat kertas itu dengan hati-hati, memasukkannya ke dalam amplop berwarna biru muda yang serasi dengan gelangnya. Tapi saat hendak menutup amplop, ia ragu. “Apa ini keputusan yang tepat?” tanyanya pada dirinya sendiri, menatap amplop itu dengan tatapan kosong.

Malam itu, Zafira tak bisa tidur nyenyak. Ia memimpikan Radiantha membaca puisinya, tersenyum seperti dulu, tapi mimpi itu bercampur dengan ketakutan bahwa Radiantha mungkin akan mengabaikannya. Di tangannya, ia menggenggam amplop itu erat-erat, berjanji akan memberanikan diri mengirimkannya keesokan harinya. Di bawah langit malam yang penuh bintang, Zafira berdoa dalam hati, berharap kata-katanya bisa sampai pada Radiantha, dan rindunya yang tak terucap akhirnya menemukan suara.

Amplop yang Menghubungkan Hati

Pagi di SMP Nusantara Harapan pada Kamis, 12 Juni 2024, terasa lebih cerah dari biasanya, meski jam baru menunjukkan pukul 07:00 WIB. Langit biru dipenuhi awan tipis yang bergerak perlahan, dan angin sepoi-sepoi membawa aroma rumput basah dari halaman sekolah. Zafira Jelita berjalan dengan langkah gugup menuju gerbang sekolah, tangannya menggenggam amplop biru muda yang berisi puisinya untuk Radiantha Wirawan. Gelang anyaman di pergelangan tangannya terasa lebih berat hari ini, seolah menjadi pengingat dari keberanian yang ia kumpulkan semalaman. Di sampingnya, Vionara Shinta berjalan dengan penuh semangat, matanya berbinar melihat tekad temennya.

“Zaf, kamu yakin mau kirim sekarang? Kita bisa ke kantor pos setelah pelajaran selesai,” kata Vionara, suaranya ceria tapi penuh perhatian. Zafira mengangguk pelan, tapi jantungnya berdetak kencang. “Iya, Vi. Kalau nggak sekarang, aku takut aku urung. Aku mau selesaikan ini hari ini,” jawabnya, matanya menatap amplop itu dengan campuran harap dan ketakutan. Vionara memeluknya sebentar, memberikan semangat. “Kamu hebat, Zaf. Aku yakin Radiantha bakal seneng baca puisimu,” katanya, tersenyum lelet.

Setelah bel masuk berbunyi, Zafira mencoba fokus pada pelajaran, tapi pikirannya terus melayang pada amplop di tasnya. Saat pelajaran IPA, Bu Rina meminta mereka mengerjakan soal kelompok, dan Zafira duduk bersama Vionara serta dua temen lain, Tio dan Sari. Tapi tangannya tak bisa diam—ia terus memainkan ujung pena, membayangkan ekspresi Radiantha saat membaca puisinya. “Zaf, fokus dong! Kita kehilangan satu poin gara-gara kamu,” seru Tio dengan nada bercanda, membuat Zafira tersenyum malu. Ia berusaha konsentrasi, tapi hati kecilnya terus berbisik tentang langkah berikutnya.

Saat istirahat tiba, pukul 10:00 WIB, Zafira dan Vionara memutuskan untuk pergi ke kantor pos desa yang terletak setengah jam berjalan kaki dari sekolah. Mereka meminta ijin pada Bu Sari, guru BP, dengan alasan mengantar surat penting. Di bawah pohon beringin, Zafira mengambil amplop itu dari tasnya, menulis alamat SMP Bintang Timur dengan tulisan tangan yang sedikit gemetar. “Vi, tulisannya rapi nggak?” tanyanya, menunjukkan amplop itu. Vionara mengangguk, “Bagus, Zaf. Sekarang ayo, sebelum kita keburu pulang!” katanya, menarik tangan Zafira.

Perjalanan ke kantor pos terasa seperti perjalanan panjang. Jalan setapak yang mereka lewati dipenuhi debu dan genangan kecil sisa hujan semalam, membuat sandal mereka berderit setiap langkah. Di sepanjang jalan, Zafira melihat pemandangan desa yang biasa—sawah hijau, petani yang tengah mencangkul, dan anak-anak kecil yang bermain layang-layang. Tapi hari ini, semua terasa berbeda, seolah dunia menahan napas menunggu keputusan yang ia ambil. Vionara terus mengobrol untuk mengalihkan pikiran Zafira, menceritakan tentang film favoritnya, tapi Zafira hanya mendengarkan setengah hati.

Kantor pos desa adalah bangunan kecil dengan dinding plester yang mengelupas dan atap seng yang berkarat. Di dalam, aroma kertas tua dan tinta menguar, bercampur dengan suara kipas angin tua yang berderit pelan. Di balik meja kayu, Pak Harto, petugas pos yang sudah tua, menyambut mereka dengan senyum ramah. “Ada surat apa hari ini, Nak?” tanyanya, mengenakan kacamata yang sedikit miring. Zafira menyerahkan amplop itu dengan tangan bergetar. “Ini buat temenku yang pindah sekolah, Pak. Bisa dikirim ke SMP Bintang Timur?” tanyanya, suaranya hampir hilang.

Pak Harto memeriksa alamat, lalu mengangguk. “Bisa, Nak. Tapi butuh dua atau tiga hari sampai di sana, tergantung jadwal kurir. Mau tambah stempel khusus biar cepet?” tanyanya. Zafira memandang Vionara, yang mengangguk penuh semangat. “Tambah stempel aja, Pak. Biar cepet sampai,” kata Vionara, mengeluarkan uang dari dompetnya untuk membantu Zafira yang terlihat bingung. Pak Harto mencap amplop itu dengan stempel merah, lalu meletakkannya di tumpukan surat yang akan dikirim. “Selesai. Semoga temenmu seneng nerima surat ini,” katanya, tersenyum.

Zafira menatap amplop itu pergi, merasa campuran lega dan cemas. Di luar kantor pos, ia duduk di bangku kayu yang sudah usang, menatap langit yang mulai mendung. “Aku udah kirim, Vi. Tapi aku takut dia nggak bales,” katanya, suaranya penuh keraguan. Vionara duduk di sampingnya, memegang tangan Zafira. “Kamu udah berani, Zaf. Sekarang tinggal tunggu. Kalau dia beneran suka kamu, dia pasti bales,” jawabnya, mencoba meyakinkan.

Hari-hari berikutnya terasa seperti ujian bagi Zafira. Setiap pagi, ia duduk di bawah pohon beringin, menatap gelang di tangannya dan membaca ulang puisinya, berharap ada jawaban dari Radiantha. Di kelas, ia jadi lebih pendiam, sering melamun saat guru menerangkan. Vionara terus mendampinginya, membawa camilan atau sekadar mengajaknya jalan-jalan di halaman sekolah. Tapi di malam hari, Zafira sering terbangun dari mimpi, membayangkan Radiantha membaca puisinya dan tersenyum, atau malah membuangnya dengan jijik.

Pada hari ketiga, Jumat, 14 Juni 2024, saat Zafira dan Vionara pulang dari sekolah, mereka mendapat kabar dari Pak Harto yang datang ke sekolah untuk mengantar surat. “Zafira Jelita, ada surat buat kamu dari SMP Bintang Timur!” serunya dari kejauhan, mengacungkan amplop putih. Zafira berhenti berjalan, jantungan di dadanya berdetak kencang. Vionara berlari mendekat, mengambil surat itu dari tangan Pak Harto dan menyerahkannya pada Zafira. “Buka, Zaf! Cepet!” katanya, matanya berbinar.

Dengan tangan gemetar, Zafira membuka amplop itu. Di dalam, ada selembar kertas dengan tulisan tangan Radiantha yang ia kenali—tulisan kecil dan rapi seperti biasa. Surat itu berbunyi: “Zaf, aku kaget pas nerima puisimu. Aku nggak nyangka kamu nulis seindah itu. Aku kangen juga, pohon beringin, dan obrolan kita. Aku janji bakal bales lagi, tapi sekarang aku sibuk di sini. Terima kasih, ya. –Rad.” Zafira menutup mulutnya, air matanya menetes. Vionara memeluknya erat, tersenyum lebar. “Lihat, Zaf! Dia bales! Dia kangen kamu!” katanya, penuh kegembiraan.

Malam itu, Zafira duduk di kamarnya, membaca ulang surat itu berkali-kali. Ia merasa lega, tapi juga sedih—Radiantha kangen, tapi jarak masih memisahkan mereka. Di bawah cahaya lampu meja, ia mulai menulis balasan, menuangkannya dalam puisi baru yang penuh harap. Di luar jendela, bintang-bintang berkelap-kelip, seolah menjadi saksi dari cinta pertamanya yang perlahan menemukan jalannya, meski masih penuh liku.

Pertemuan yang Tak Terduga

Hari-hari setelah surat balasan dari Radiantha Wirawan tiba terasa seperti angin sejuk di tengah musim panas bagi Zafira Jelita. Sudah dua minggu sejak ia menerima surat itu, dan kini tanggal menunjukkan 28 Juni 2025, sebuah hari Sabtu yang cerah di SMP Nusantara Harapan. Pukul 09:00 WIB, halaman sekolah ramai dengan siswa-siswi yang mengikuti acara tahunan, Hari Olahraga Sekolah (HOS), yang penuh dengan lomba-lomba seru seperti lari estafet, tarik tambang, dan pertandingan voli antar kelas. Zafira, yang biasanya lebih suka menyendiri, kali ini ikut berpartisipasi dalam lomba lari estafet atas bujukan Vionara Shinta, temen setianya.

Zafira mengenakan seragam olahraga berwarna biru tua dengan nomor punggung 8, rambutnya yang panjang diikat kuncir kuda agar tak mengganggu saat berlari. Gelang anyaman biru muda pemberian Radiantha masih melingkar di pergelangan tangannya, menjadi sumber semangat kecil di tengah keramaian. Ia berdiri di dekat garis start, menunggu giliran timnya, sambil melirik ke arah pohon beringin yang menjadi saksi bisu rindunya. Vionara, yang juga ikut dalam tim yang sama, menepuk pundak Zafira dengan penuh semangat. “Zaf, kita harus menang, ya! Aku dengar kelas 8B punya pelari cepet, tapi kita nggak boleh kalah!” katanya, matanya berbinar penuh semangat.

Saat lomba dimulai, Zafira berlari dengan sekuat tenaga, tongkat estafet di tangannya terasa ringan karena adrenalin yang memompa. Sorak sorai temen-temen sekelasnya menggema di telinga, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, ia merasa sedikit melupakan rindu yang selama ini menggerogoti hatinya. Tim mereka berhasil finis di posisi kedua, dan meski bukan juara, Zafira tersenyum lelet saat Vionara memeluknya erat. “Kamu hebat, Zaf! Aku bangga sama kamu!” seru Vionara, membuat Zafira tersipu. Tapi di tengah kebahagiaan kecil itu, sesuatu yang tak terduga terjadi.

Setelah lomba selesai, Zafira dan Vionara duduk di bawah pohon beringin untuk beristirahat, masing-masing memegang sebotol air mineral yang dingin. Zafira membuka buku puisinya, membaca ulang surat dari Radiantha yang ia simpan di antara halaman-halaman itu. “Aku kangen juga, pohon beringin, dan obrolan kita,” kalimat itu masih terngiang di kepalanya, membuatnya tersenyum kecil. Tiba-tiba, Vionara menepuk lengannya dengan keras, matanya melebar penuh kejutan. “Zaf! Itu… itu Radiantha, kan?!” serunya, menunjuk ke arah kerumunan siswa di dekat lapangan voli.

Zafira menoleh dengan cepat, jantungnya berdetak kencang. Di kejauhan, ia melihat seorang pemuda dengan rambut hitam acak-acakan dan seragam olahraga berwarna abu-abu, berdiri bersama beberapa siswa dari sekolah lain yang ikut sebagai tim tamu. Itu memang Radiantha, tak salah lagi. Zafira terpaku, tangannya gemetar hingga botol airnya hampir jatuh. “Vi… dia beneran di sini?” tanyanya, suaranya bergetar. Vionara mengangguk penuh semangat, “Iya, Zaf! Aku dengar SMP Bintang Timur ikut tanding voli sama sekolah kita. Ayo, kita ke sana!” katanya, menarik tangan Zafira tanpa menunggu jawaban.

Langkah Zafira terasa berat, seperti ada beban yang menahannya, tapi Vionara terus menariknya hingga mereka sampai di pinggir lapangan voli. Radiantha sedang bersiap untuk bertanding, mengenakan seragam tim voli dengan nomor 7 di punggungnya. Ia tampak lebih tinggi dari yang Zafira ingat, tapi senyum malu-malu itu masih sama. Saat Radiantha melirik ke arah penonton, matanya bertemu dengan Zafira, dan ia terdiam sejenak. Wajahnya berubah terkejut, lalu sebuah senyum lelet muncul di bibirnya. Ia mengangkat tangan, melambaikan tangan dengan ragu, dan Zafira hanya bisa membalas dengan anggukan kecil, wajahnya memerah.

Setelah pertandingan voli selesai—tim Radiantha menang dengan skor tipis—ia berjalan mendekati Zafira dan Vionara, yang masih berdiri di pinggir lapangan. “Zaf… Vi… kalian di sini,” katanya, suaranya lembut tapi penuh kejutan. Zafira menunduk, tak tahu harus berkata apa, tapi Vionara dengan cepat memecah keheningan. “Rad! Keren banget tadi main volinya! Zaf kangen sama kamu, loh. Beneran, dia nulis puisi buat kamu!” katanya, membuat Zafira panik dan memukul lengan Vionara pelan. “Vi!” protesnya, wajahnya semakin merah.

Radiantha tertawa kecil, menggaruk tengkuknya seperti kebiasaannya dulu. “Aku juga kangen kalian. Zaf, puisi kamu… aku suka banget. Aku simpen di buku catatanku, baca tiap hari,” katanya, matanya menatap Zafira dengan tulus. Zafira menatapnya, air mata mulai menggenang di matanya. “Beneran, Rad? Aku… aku takut kamu nggak suka,” jawabnya, suaranya tercekat. Radiantha menggeleng, lalu mengeluarkan selembar kertas kecil dari saku celananya. “Ini, aku bawa balasan buat kamu. Aku nulis cerita pendek, kayak yang aku janjiin dulu,” katanya, menyerahkan kertas itu.

Zafira menerima kertas itu dengan tangan gemetar, membukanya perlahan. Cerita pendek itu berjudul “Pohon Beringin yang Menanti”, menceritakan tentang seorang pemuda yang merindukan sahabatnya di bawah pohon beringin, dan bagaimana ia berjanji akan kembali untuk bertemu lagi. Di akhir cerita, Radiantha menulis catatan kecil: “Zaf, aku nggak mau kita cuma saling kangen. Aku janji bakal balik lagi, lebih sering. Tunggu aku, ya.” Zafira menutup mulutnya, air matanya akhirnya menetes. Vionara, yang berdiri di samping, tersenyum lelet dan diam-diam menjauh, memberi mereka ruang.

Radiantha melangkah lebih dekat, mengusap air mata Zafira dengan jarinya. “Jangan nangis, Zaf. Aku di sini sekarang,” katanya, suaranya penuh kelembutan. Zafira mengangguk, lalu memeluk Radiantha dengan erat, tak peduli jika temen-temen sekelasnya melihat. Radiantha membalas pelukannya, dan di bawah pohon beringin yang dulu menjadi saksi rindu mereka, mereka akhirnya bertemu lagi, membiarkan perasaan yang tak terucap selama ini menemukan suara.

Hari itu menjadi momen yang tak akan pernah Zafira lupakan. Setelah acara selesai, Radiantha dan Zafira duduk bersama di bawah pohon beringin, berbagi cerita tentang hari-hari yang mereka lalui selama terpisah. Zafira menunjukkan buku puisinya, dan Radiantha membaca dengan penuh perhatian, tersenyum setiap kali membaca baris yang ditulis Zafira tentangnya. Mereka berjanji untuk terus berkirim surat, dan Radiantha berjanji akan mengunjungi SMP Nusantara Harapan lebih sering, meski jarak memisahkan mereka.

Sore itu, saat matahari mulai tenggelam di ufuk barat, Zafira memandang Radiantha yang melambaikan tangan dari bus sekolahnya yang akan kembali ke SMP Bintang Timur. Gelang di tangannya terasa lebih ringan sekarang, dan hatinya penuh dengan harapan baru. Di bawah pohon beringin, ia menulis puisi terakhir untuk bab ini dalam hidupnya: “Pohon beringin menyaksikan kita bersatu lagi, / Rindu yang tak terucap kini menjadi nyata.” Zafira tersenyum, menutup bukunya, dan melangkah pulang dengan hati yang penuh cinta dan kebahagiaan.

“Cinta Pertama SMP: Kisah Rindu yang Tak Terucap” menghadirkan nostalgia indah tentang cinta remaja yang polos dan penuh emosi, mengingatkan kita bahwa keberanian untuk mengungkapkan perasaan bisa membawa keajaiban kecil dalam hidup. Perjalanan Zafira dan Radiantha menunjukkan bahwa cinta pertama, meski sederhana, memiliki kekuatan untuk meninggalkan jejak abadi di hati. Cerita ini mengajak kita untuk menghargai setiap momen bersama orang tersayang dan tak takut untuk berkata jujur tentang apa yang kita rasakan. Jadilah seperti Zafira, yang akhirnya menemukan keberanian untuk menyuarakan rindunya, dan ciptakan kisah cinta Anda sendiri yang tak terlupakan.

Terima kasih telah menyimak kisah cinta Zafira dan Radiantha dalam “Cinta Pertama SMP: Kisah Rindu yang Tak Terucap”. Semoga cerita ini membawa Anda kembali ke kenangan manis masa remaja dan menginspirasi untuk menghargai cinta dalam segala bentuknya. Jangan lupa bagikan artikel ini kepada temen-temen Anda, dan nantikan cerita-cerita menarik lainnya di situs kami. Sampai jumpa di artikel berikutnya, tetaplah menjaga hati penuh cinta!

Leave a Reply