Daftar Isi
Hai, kamu pernah ngerasain gimana rasanya jatuh cinta pertama? Nah, cerpen ini bakal bawa kamu ke dunia SMP yang penuh tawa, canda, dan sedikit drama. Siapa sangka, di tengah belajar dan main basket, ada perasaan manis yang tumbuh antara Zaki dan Reina. Yuk, ikuti perjalanan cinta mereka yang lucu dan seru ini!
Cinta Pertama di SMP
Pertemuan Tak Terduga
Suara bel sekolah menggema, memanggil para siswa kembali ke kelas. Di koridor, langkah kaki terdengar riuh, dan celoteh anak-anak memenuhi udara. Di tengah keramaian itu, Zaki melangkah sedikit kikuk, menggenggam buku pelajarannya. Anak baru di sekolah ini, dia belum punya banyak teman. Dengan semangat yang bercampur gugup, ia berjalan pelan menuju kelasnya.
Di kelas, Tio, teman sebangkunya, sudah menunggu sambil mengunyah jajanan dengan wajah santai. Saat Zaki mendekat, Tio melirik dengan tatapan jahil.
“Eh, tumben nggak lihat-lihat ke kelas sebelah,” goda Tio sambil menepuk bahu Zaki pelan.
Zaki hanya mendengus, berusaha menutupi raut wajahnya yang sedikit malu. Dia tahu maksud Tio. Anak kelas sebelah yang jadi sasaran tatapannya setiap kali lewat di koridor itu, Reina, selalu berhasil membuatnya salah tingkah.
“Nggak usah lebay, Tio,” elak Zaki, meski pipinya pelan-pelan memerah.
Tio terkikik sambil menyeruput minumannya. “Apaan? Lo tuh yang terlalu kelihatan. Setiap Reina lewat, muka lo langsung kayak tomat.”
Zaki tertawa kecil, berusaha mengalihkan pembicaraan, tapi dalam hatinya, dia tak bisa menyangkal kalau ada sesuatu yang berbeda setiap kali melihat Reina. Anak perempuan dengan kuncir dua dan tawa riang itu memang berhasil bikin Zaki nggak bisa fokus.
Saat pelajaran matematika dimulai, Zaki kembali tenggelam dalam soal-soal di depannya. Guru menerangkan di papan, sementara Zaki serius mencatat. Tiba-tiba, sebuah kertas kecil mendarat di mejanya. Zaki melirik ke kanan, Tio yang melempar kertas itu.
“Lo ikut kelas tambahan matematika nanti sore, kan? Siapa tahu Reina juga ikutan,” tulis Tio di kertas itu, diakhiri dengan gambar wajah tersenyum lebar.
Zaki menggeleng pelan, menahan senyum. Dalam hati, dia tahu Tio mungkin benar. Jika ada kesempatan lebih dekat dengan Reina, dia tidak mau melewatkannya. Tapi dia juga nggak mau ketahuan kalau sudah naksir diam-diam sejak awal masuk sekolah.
Ketika jam pelajaran berakhir, Zaki bergegas ke kantin bersama Tio. Sepanjang jalan, Tio terus saja menggodanya soal Reina, yang sebenarnya membuat Zaki geli sendiri. Tapi mereka baru saja duduk di kantin ketika, entah dari mana, Reina muncul dan berjalan menghampiri meja mereka. Zaki langsung kaget, dadanya berdebar lebih cepat. Sumpah, dia nggak pernah merasa seperti ini sebelumnya.
“Hai, Zaki, ya?” sapa Reina dengan senyum lebar, tanpa basa-basi. Tatapan matanya cerah, penuh antusias.
Zaki langsung terpaku. “Eh, iya. Reina, kan?” jawab Zaki akhirnya, berusaha terlihat biasa saja meski rasanya lidahnya hampir terpeleset.
Reina mengangguk dan langsung duduk di sebelahnya tanpa ragu sedikit pun. “Iya, aku dengar kamu lumayan jago di matematika. Kamu ikut kelas tambahan, kan?” tanyanya sambil menyandarkan sikunya di meja dan menatap Zaki penuh harap.
Sementara itu, Tio hanya melongo menatap mereka berdua, jelas menikmati momen ini. Zaki berdehem pelan, berusaha mengendalikan suaranya yang mendadak serak. “Emm… iya, aku ikut. Kenapa?”
Reina mengeluarkan buku catatannya yang penuh coretan dan menyerahkannya ke Zaki. “Aku… aku nggak ngerti sama soal nomor sepuluh ini. Kamu bisa bantuin aku?”
Zaki mengangguk cepat, tanpa berpikir dua kali. Tangannya dengan gugup membuka buku Reina dan mulai menjelaskan, meski matanya sesekali melirik ke arah Reina yang duduk mendengarkan dengan serius.
“Jadi, angka ini dikali ini dulu, baru tambah ini,” ujar Zaki sambil menunjuk angka-angka di soal. Tio di sebelahnya tertawa pelan melihat bagaimana Zaki berusaha keras menjelaskan dengan nada serius, meski jelas-jelas gugup.
Reina mendekatkan kepalanya, melihat angka-angka di kertas itu dengan alis berkerut. “Oh, gitu, ya? Pantes aku nggak ngerti. Kamu gampang banget sih ngitungnya, Zaki.”
“Ah, nggak juga, kok,” jawab Zaki dengan senyum kikuk. Dalam hatinya, ia berusaha meredakan debar jantungnya yang rasanya semakin kencang. Belum pernah dia sedekat ini dengan Reina, dan setiap kali Reina berbicara, dia merasa dadanya bergetar.
Tiba-tiba, Reina tertawa kecil dan menepuk pundak Zaki. “Makasih, ya! Kamu beneran jago. Nggak salah pilih deh aku minta bantuan kamu.”
Zaki hanya mengangguk, berusaha menelan rasa senang yang membuncah dalam dirinya. Dia tidak ingin Reina melihat ekspresi senangnya yang terlalu kentara.
Tapi ternyata, interaksi mereka tidak berakhir di situ. Sepanjang minggu, Reina selalu menghampiri Zaki dengan berbagai alasan, mulai dari matematika, bahasa Inggris, sampai tugas sejarah. Zaki yang awalnya canggung, perlahan mulai merasa nyaman, dan mereka bahkan sesekali tertawa bersama.
Pada suatu siang, saat istirahat, Reina tiba-tiba menghampiri lagi. Kali ini, dia membawa sebuah brosur lomba cerdas cermat sekolah. “Zaki, kamu mau nggak jadi partner aku di lomba ini?”
Zaki menatap brosur itu, lalu menatap Reina dengan sedikit ragu. “Lomba cerdas cermat? Kamu yakin?”
Reina tertawa kecil dan mengangguk. “Iya lah! Kalau soal matematika, siapa lagi yang lebih jago?”
Zaki tersenyum dan mengangguk pelan, hatinya sedikit melambung. Ini mungkin adalah kesempatan terbaik untuk bisa lebih dekat dengan Reina. Tanpa ragu, ia menjawab, “Oke, aku ikut.”
Sejak saat itu, mereka mulai latihan bersama setiap sore. Kadang Reina mengajaknya belajar di perpustakaan, kadang di kantin, dan sesekali mereka juga bercanda sambil mengerjakan soal-soal latihan. Zaki merasa ada perasaan hangat yang tumbuh setiap kali melihat senyum Reina atau mendengar tawanya. Perlahan-lahan, ia mulai merasakan sesuatu yang lebih dari sekedar kagum. Tapi tentu saja, dia tidak berani mengungkapkannya, takut jika Reina akan menjauh.
Hari-hari berlalu, dan persiapan lomba cerdas cermat mereka semakin matang. Reina dan Zaki semakin kompak, dan tanpa mereka sadari, perasaan mereka pun semakin akrab. Tapi tentu saja, ini baru awal dari segalanya. Mungkin Zaki akan belajar lebih banyak tentang arti dari cinta pertama, cinta sederhana yang penuh tawa dan kegugupan khas anak SMP.
Momen-Momen Berharga
Waktu berlalu cepat. Lomba cerdas cermat yang ditunggu-tunggu Zaki dan Reina sudah di depan mata. Sejak mereka berlatih bersama, hubungan mereka semakin dekat. Awalnya, Zaki hanya berani mencuri pandang sekilas, tapi sekarang, ada tawa-tawa lepas yang selalu mereka bagi. Tak jarang Reina menatapnya lebih lama dari yang biasanya, dan itu cukup bikin Zaki salah tingkah.
Sore itu, mereka berlatih di perpustakaan. Tumpukan buku soal di depan mereka hampir tak tersentuh, karena Reina sibuk melontarkan lelucon-lelucon ringan yang membuat Zaki ngakak. Sesekali petugas perpustakaan melirik mereka dengan alis mengerut, tapi itu tak membuat mereka berhenti.
“Eh, kamu tahu nggak,” bisik Reina, masih menahan tawa, “katanya, kalau kita menang lomba ini, bakal ada hadiah voucher makan gratis di restoran baru itu lho.”
Zaki mengangguk pelan. “Tahu kok. Makanya aku niat banget latihan, biar kita bisa makan sepuasnya.”
“Berarti kamu bakal traktir aku?” Reina menyengir sambil menatap Zaki penuh harap.
Zaki pura-pura berpikir, memasang muka sok serius. “Hmm… kalau menang, aku traktir, deh. Tapi dengan syarat kamu bantuin aku belajar untuk ujian matematika minggu depan.”
Reina langsung mengangguk semangat. “Siap, Bos! Ayo, kita harus menang, ya!”
Di sela-sela keseriusan mereka latihan, Zaki kadang merasa bingung sendiri. Dia masih nggak ngerti kenapa bisa secepat ini dekat dengan Reina, padahal dia biasanya anak yang pemalu. Tapi Reina beda; dia selalu punya cara untuk membuat Zaki merasa nyaman, membuat Zaki tertawa, dan setiap kali Reina mengajaknya bicara, ada debar aneh yang muncul tanpa bisa ditahan.
Saat lomba sudah makin dekat, Zaki jadi makin serius. Sepulang sekolah, dia akan menghabiskan waktu di ruang belajar untuk membaca soal-soal latihan. Reina pun mengirim pesan setiap malam, mengingatkannya untuk tidak terlalu stres.
“Zaki, jangan sampai kamu jadi robot ya,” tulis Reina suatu malam. “Ingat, kita lomba buat seru-seruan juga.”
Zaki tersenyum membaca pesan itu. Reina benar. Kalau terlalu serius, mereka malah nggak bisa menikmatinya. Akhirnya, dia pun membalas, “Iya, tenang aja. Kalau nanti kita gagal, kamu jangan kabur aja ya?”
Tak lama, balasan Reina masuk. “Yah, kalau gagal, ya kita latihan lagi sampai menang. Tenang aja, aku nggak bakal kabur dari partner cerdas cermatku.”
Tiba-tiba, Zaki merasa ada sesuatu yang hangat di dadanya. Kata-kata sederhana Reina selalu punya cara bikin Zaki merasa berharga.
Hari lomba pun tiba. Aula besar sekolah penuh sesak dengan peserta dari berbagai sekolah, dan semua tampak tegang. Reina dan Zaki duduk berdampingan di barisan depan, menunggu giliran mereka. Wajah Reina terlihat serius, tapi ada sedikit senyum di sudut bibirnya, memberikan Zaki semangat yang nggak dia sadari sebelumnya.
Ketika giliran mereka tiba, Reina berbisik, “Kita pasti bisa! Ayo, tunjukkan mereka kalau kita tim yang solid!”
Zaki mengangguk, dan mereka pun melangkah ke depan. Lomba berlangsung cukup seru. Soal demi soal terjawab dengan lancar, meski beberapa kali mereka harus berdiskusi lebih serius. Di sesi terakhir, soal yang diberikan cukup sulit, dan Zaki sempat ragu. Tapi saat dia menatap Reina, yang menatapnya balik penuh keyakinan, keberaniannya tumbuh.
“Aku yakin, jawabannya ini,” bisik Zaki sambil menunjuk angka di papan.
Reina mengangguk tanpa ragu, dan dengan percaya diri, mereka menjawab soal terakhir itu. Beberapa detik kemudian, suara tepuk tangan menggema di seluruh ruangan. Mereka berhasil! Zaki dan Reina saling pandang dengan ekspresi tak percaya, lalu langsung tersenyum lebar. Mereka memenangkan lomba cerdas cermat pertama mereka sebagai tim!
Setelah menerima hadiah, mereka kembali ke luar aula dengan wajah penuh senyum. Tio, yang ternyata menonton dari jauh, langsung berlari menghampiri dan bertepuk tangan keras.
“Wah, kalian emang cocok, nih! Hebat banget, loh,” Tio menggoda sambil melirik ke arah Reina dan Zaki bergantian.
“Ah, biasa aja, Tio,” jawab Zaki cepat, meski pipinya sedikit merona.
Tio hanya terkekeh sambil menepuk bahu Zaki, lalu berpamitan. Kini, tinggal Zaki dan Reina yang berdiri di sana, masih merasakan euforia kemenangan mereka.
“Kita berhasil, Zaki! Aku bangga banget,” ujar Reina sambil tersenyum lebar.
Zaki merasa dadanya berdebar lagi. “Ini semua berkat kita latihan, Reina. Kamu juga hebat banget.”
Reina tertawa kecil dan menatap Zaki dalam-dalam. “Sama-sama hebat. Tim terbaik.”
Mereka tertawa bersama, dan untuk beberapa detik, keduanya hanya saling menatap tanpa kata. Reina kemudian mengulurkan tangannya ke arah Zaki, dan tanpa ragu, Zaki menyambut tangan itu.
Saat tangan mereka bersentuhan, Zaki merasakan sesuatu yang berbeda. Mungkin ini perasaan cinta pertama yang selama ini dia dengar dari teman-temannya. Perasaan yang sederhana, manis, tapi mendalam, seperti kehangatan matahari sore yang pelan-pelan tenggelam. Dan hari itu, di depan aula sekolah, Zaki merasa bahwa momen ini akan terus dia ingat, sebagai permulaan cerita cintanya bersama Reina.
Pengakuan yang Mengubah Segalanya
Beberapa hari setelah kemenangan lomba cerdas cermat itu, Zaki mulai sadar ada yang berubah. Dia yang biasanya santai dan cuek sekarang malah sering memperhatikan ponselnya, menunggu pesan dari Reina. Kalau biasanya dia hanya fokus ke sekolah dan hobinya menggambar, sekarang pikirannya sering melayang ke Reina, bahkan ketika sedang mencatat di kelas. Tio, yang duduk di sebelahnya, jelas memperhatikan perubahan itu.
“Woy, lo naksir banget, ya?” Tio mencondongkan badannya sambil berbisik pelan.
Zaki langsung menoleh dan tertawa kecil. “Lo ngomong apa, sih?”
Tio mengangkat alisnya, mengisyaratkan kalau dia nggak percaya. “Ayolah, Zaki, gue udah tahu lo sejak kita duduk di kelas lima. Lo kelihatan beda banget sekarang.”
Zaki hanya bisa tersenyum, nggak tahu harus jawab apa. Mungkin dia memang naksir Reina, tapi rasanya aneh buat diakuin. Mereka masih SMP, dan dia bahkan nggak tahu perasaan Reina. Tapi, sejak lomba itu, Reina sering ngajak Zaki ngobrol sepulang sekolah, dan mereka kadang-kadang janjian belajar bareng di perpustakaan. Hal-hal kecil seperti itu bikin hari-hari Zaki jadi lebih berwarna.
Suatu sore, Reina mengirim pesan lagi.
“Eh, kamu lagi ngapain?”
Zaki membalas cepat, tanpa berpikir panjang. “Baru selesai ngerjain PR. Kamu?”
“Aku di taman belakang sekolah, lagi nunggu jemputan. Kamu bisa ke sini?”
Zaki langsung melirik jam dinding. Masih ada waktu sebelum dia harus pulang, jadi tanpa ragu, dia mengambil sepedanya dan meluncur ke taman belakang sekolah.
Begitu sampai, dia melihat Reina duduk di bangku, sendirian dengan tas di sampingnya. Senyumnya mengembang begitu melihat Zaki datang.
“Cepet banget, ya? Serius banget mau ketemu aku?” Reina menggoda sambil tertawa.
Zaki menggaruk belakang kepalanya, berusaha menyembunyikan senyumnya yang lebar. “Ya, kamu yang ngajak. Lagian rumahku deket kok.”
Mereka duduk berdua di bangku taman, diam sesaat. Suasana sore yang sejuk, pohon-pohon yang bergoyang lembut, dan cuitan burung di sekitar mereka memberi kehangatan yang membuat momen itu terasa spesial.
“Zaki,” Reina memulai, suaranya lembut dan matanya menatap lurus ke depan. “Kamu pernah mikir nggak, kalau sekolah ini bakal jadi kenangan yang kita ingat terus nanti?”
Zaki sedikit bingung dengan pertanyaan Reina. “Maksudnya?”
Reina tersenyum. “Kita udah SMP, kan? Sebentar lagi juga bakal lulus. Aku sering mikir, mungkin kita nanti pisah sekolah, ketemu teman baru, dan… ya mungkin nggak akan sedekat ini lagi.”
Zaki menelan ludah. Sejenak, hatinya terasa aneh membayangkan itu. “Kalau kita pengen terus deket, ya tinggal deket, kan?”
Reina tertawa pelan, menggeleng. “Nggak sesederhana itu, Zaki. Dunia nggak selalu sesuai sama keinginan kita.”
Zaki merasakan kehangatan di pipinya, sedikit gugup mendengar kata-kata Reina. “Ya, tapi kan… yang penting kita punya niat buat tetap temenan. Aku juga nggak bakal lupa kok sama kamu.”
Reina tersenyum lembut. “Aku harap begitu.”
Mereka terdiam lagi. Kali ini, Zaki yang mencoba mencairkan suasana. “Eh, ngomong-ngomong, voucher makan gratis kita kapan mau dipakai?”
“Hmm, bisa aja kamu, Zaki,” Reina tertawa pelan. “Yaudah, kapan-kapan kita makan, ya. Aku yang atur tempatnya. Tapi… ada syaratnya.”
Zaki langsung penasaran. “Apa tuh?”
Reina mendekatkan wajahnya sedikit, lalu berkata pelan, “Kamu nggak boleh bawa Tio. Dia kan suka gangguin kita.”
Mereka berdua tertawa lepas mendengar ucapan Reina. Hati Zaki berdebar lagi. Rasanya menyenangkan saat mereka hanya berdua seperti ini, tanpa gangguan siapa pun. Mereka ngobrol hingga matahari mulai terbenam, membuat langit di atas mereka berwarna jingga keemasan.
Akhirnya, jemputan Reina datang. Sebelum naik ke mobil, Reina menoleh ke Zaki sekali lagi.
“Zaki, makasih ya. Buat semuanya.”
Zaki mengangguk, masih menahan senyum. “Iya, sama-sama. Hati-hati, ya.”
Reina mengangguk, lalu masuk ke mobil. Zaki melambaikan tangan, dan ketika mobil itu perlahan menjauh, dia merasa ada yang aneh di dadanya. Semakin jauh mobil itu pergi, semakin berat rasanya.
Di perjalanan pulang, Zaki terus mengingat percakapan tadi. Kata-kata Reina, cara Reina menatapnya, dan senyum yang seolah hanya ditujukan untuknya. Mungkin, dia memang jatuh cinta pada Reina.
Di kamar malam itu, Zaki nggak bisa tidur. Dia terus memikirkan Reina, dan untuk pertama kalinya, dia berani mengakui pada dirinya sendiri bahwa perasaan ini mungkin bukan sekadar teman. Namun, dia juga sadar, ini hanya awal dari perasaannya. Entah seperti apa masa depan mereka nanti, tapi untuk saat ini, dia ingin menikmati setiap momen yang ada, setiap tawa, setiap senyum, dan setiap detik kebersamaannya dengan Reina.
Dan di dalam hatinya, Zaki berjanji bahwa ia akan membuat kenangan ini terus berlanjut—entah bagaimana caranya.
Kenangan Abadi di Ujung Perpisahan
Hari-hari berlalu, dan Zaki semakin nyaman dengan perasaannya terhadap Reina. Mereka semakin sering menghabiskan waktu bersama, mulai dari belajar di perpustakaan hingga bermain basket di lapangan sekolah. Zaki merasa dunia seolah hanya milik mereka berdua. Namun, di balik kebahagiaannya, ada rasa khawatir yang selalu menghantuinya. Dia mulai berpikir tentang apa yang akan terjadi saat mereka lulus SMP.
Suatu sore, saat mereka berdua sedang asyik bercanda di taman, Zaki memutuskan untuk memberanikan diri. Dia menatap Reina yang sedang tertawa lepas, dan hati Zaki bergetar. “Reina, aku mau ngomong sesuatu,” ujarnya dengan suara pelan.
Reina berhenti tertawa dan menatap Zaki, matanya bersinar penasaran. “Ngomong apa?”
Zaki mengumpulkan keberaniannya. “Aku… aku suka kamu, Reina. Suka banget. Sejak lama, dan aku pengen kita bisa terus bareng, walau nanti kita pisah sekolah.”
Reina terdiam sejenak, dan Zaki merasakan degupan jantungnya semakin cepat. “Zaki, aku juga suka kamu,” katanya akhirnya, wajahnya bersemu merah. “Tapi… aku nggak tahu apa yang bakal terjadi setelah kita lulus.”
Zaki merasa campur aduk. Kegembiraan mendengar pengakuan Reina bertabrakan dengan keraguan akan masa depan. “Kita bisa berusaha, kan? Kita bisa tetap berhubungan, telepon, atau video call. Kita kan masih bisa bikin kenangan baru.”
Reina tersenyum lemah. “Iya, tapi… semuanya terasa lebih sulit nanti.”
Zaki meraih tangan Reina, menggenggamnya lembut. “Kalau kita saling mau berjuang, kenapa enggak? Aku percaya kita bisa. Lagian, ini cinta pertama, Reina. Cinta pertama itu spesial.”
Reina menatap tangan mereka yang bergandeng, lalu mengangguk pelan. “Oke, kita coba. Kita nikmati aja setiap momen yang ada.”
Mereka berdua tersenyum, dan Zaki merasakan beban yang menghilang dari pundaknya. Perasaan lega itu membuatnya semakin yakin bahwa cinta ini adalah hal yang berharga.
Sejak saat itu, mereka lebih sering menghabiskan waktu berdua. Mereka merencanakan makan siang bersama, belajar kelompok, dan menonton film di akhir pekan. Setiap momen kecil itu terasa berarti. Zaki merasa seperti pria paling beruntung di dunia.
Saat ujian akhir semester tiba, mereka berdua saling mendukung, belajar bersama, dan menghadapi tekanan ujian dengan penuh semangat. Setiap kali Reina berhasil menjawab soal dengan benar, Zaki merasa bangga seolah dia yang menjawab. Setiap kali dia mendengar Reina tertawa, rasa cemasnya menghilang.
Hari kelulusan pun tiba. Semua teman sekelas berkumpul di aula untuk merayakan pencapaian mereka. Momen itu terasa bittersweet bagi Zaki; dia bahagia karena berhasil lulus, tetapi sekaligus sedih karena mereka akan berpisah ke sekolah-sekolah yang berbeda.
Zaki dan Reina berdiri di pojok aula, menatap teman-teman mereka yang merayakan. “Apa kamu siap untuk pisah?” tanya Zaki pelan, sedikit khawatir.
Reina menggigit bibirnya. “Nggak juga. Tapi kita masih punya satu malam lagi, kan? Kenapa kita nggak bikin kenangan terakhir?”
Zaki mengangguk, merasa semangat. “Apa kamu mau pergi ke tempat kita pertama kali ketemu? Di taman belakang sekolah?”
Reina tersenyum, wajahnya bersinar. “Itu ide yang bagus!”
Mereka segera pergi ke taman belakang setelah acara kelulusan selesai. Suasana malam itu tenang, hanya suara angin yang berbisik lembut. Zaki merasa bersemangat dan ingin mengabadikan momen ini. Dia mengeluarkan ponselnya dan mengambil foto mereka berdua di bawah lampu taman yang remang-remang.
“Dua tahun ke depan, kita bakal lihat foto ini lagi, kan?” Zaki berkata sambil tertawa, melihat hasil fotonya.
Reina ikut tertawa. “Iya, semoga kita nggak lupa sama satu sama lain.”
Zaki menatap Reina, menahan rasa harunya. “Aku nggak akan lupa. Kamu adalah cinta pertamaku, dan cinta pertama itu selalu spesial.”
Reina memandang Zaki dengan mata berbinar. “Aku juga. Kita bisa bikin janji, Zaki. Walau kita jauh, kita harus tetap berhubungan.”
Mereka berdua berjanji untuk saling mengabari satu sama lain, entah lewat pesan, telepon, atau video call. Zaki merasa hatinya penuh dengan harapan. Dia percaya bahwa cinta mereka tidak akan pudar, bahkan ketika jarak memisahkan mereka.
Setelah beberapa lama menikmati keheningan, Reina menatap Zaki dan berkata, “Terima kasih untuk semua kenangan indah ini.”
Zaki tersenyum, merasa senang. “Dan terima kasih untuk menjadi bagian dari hidupku. Semoga kita selalu ingat satu sama lain.”
Malam itu, di bawah sinar bulan yang cerah, mereka berdua saling berjanji untuk tidak melupakan momen-momen yang telah dilalui. Dan meskipun masa depan tidak pasti, Zaki tahu satu hal: cinta pertamanya, cinta mereka, akan selalu menjadi kenangan terindah dalam hidupnya. Dengan langkah yang penuh harapan, mereka meninggalkan taman belakang sekolah, melangkah menuju petualangan baru yang menanti di depan.
Jadi, gimana menurut kamu tentang perjalanan cinta Zaki dan Reina? Meski mereka harus menghadapi jarak dan tantangan di depan, yang terpenting adalah kenangan manis yang mereka buat bersama.
Cinta pertama memang selalu punya tempat spesial di hati, dan meski dunia berubah, perasaan itu akan selalu abadi. Siapa tahu, mereka akan menemukan jalan kembali satu sama lain di masa depan. Sampai jumpa di petualangan cinta berikutnya!