Daftar Isi
Cinta pertama di SMA? Siapa sih yang nggak pernah bingung sama perasaan itu? Di antara tugas, ujian, dan segala drama remaja, ada perasaan yang nggak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Tapi, gimana sih rasanya saat kamu mulai ngerasain cinta pertama? Penuh tanya, penuh harap, dan pastinya bikin dilema. Yuk, ikutin cerita ini dan lihat gimana salah satu anak SMA mencoba ngerti apa sih arti cinta itu, walau kadang malah makin bingung.
Cinta Pertama di SMA
Lorong yang Menghubungkan Dua Dunia
SMA Adhiwangsa selalu ramai, terutama saat jam istirahat. Semua orang berlarian ke kantin atau duduk-duduk di halaman, berbincang dengan teman-temannya. Di tengah keramaian itu, aku berjalan dengan langkah cepat, mata tertuju pada buku tebal yang terlipat di tanganku. Sambil sesekali melirik ke sekitar, aku berusaha menghindari segala bentuk gangguan.
Aku bukan tipe orang yang suka bergaul. Selama ini, dunia aku lebih sering terdiri dari halaman-halaman buku yang penuh rumus, teori, dan fakta. Dunia yang nyaman, tak ada drama, tak ada basa-basi. Hanya angka dan kata yang tak pernah mengkhianati.
Setiap kali aku melangkah ke lorong sekolah, pandangan orang-orang seakan menganggapku bukan bagian dari mereka. Mungkin aku memang terlihat berbeda. Kacamata tebal yang melorot di hidung, rambut yang selalu berantakan, dan cara berbusana yang lebih memilih kenyamanan daripada penampilan. Tidak seperti kebanyakan anak SMA yang selalu tampil stylish dengan pakaian terbaru. Aku merasa asing di antara mereka.
Hari itu, aku memutuskan untuk menghindari keramaian kantin dan memilih taman belakang sekolah untuk duduk sejenak. Taman itu sepi, hanya ada beberapa bunga dan pohon yang rindang. Di sana, aku bisa merasa sedikit tenang, tanpa harus mendengarkan suara-suara bising dari teman-teman sekelas yang tak ada habisnya.
Aku duduk di bangku kayu yang sudah agak usang, membuka bukuku, dan mulai membaca. Suara langkah kaki yang mendekat membuatku sedikit terkejut. Seorang gadis melintas di hadapanku dengan langkah cepat. Dari jauh, aku sudah mengenalnya. Cindra.
Cindra adalah salah satu anak paling populer di sekolah ini. Penuh energi, selalu di tengah keramaian, dan tidak pernah terlihat sepi. Semua orang mengenalnya, dan semua orang tampaknya ingin bersahabat dengannya. Dia adalah kebalikan dari diriku yang lebih suka mengasingkan diri.
Namun, pada hari itu, Cindra berhenti di depanku.
“Hai, Ekalaya, kan?” suaranya terdengar riang.
Aku menatapnya bingung. “Eh, iya… kamu Cindra, kan?”
Cindra tersenyum, memiringkan kepalanya sedikit. “Iya, aku. Lagi ngapain nih? Kelihatan serius banget.”
Aku sedikit gugup, melirik bukuku yang ada di atas bangku. “Oh, nggak apa-apa. Cuma baca buku biologi.”
“Biologi?” Cindra mengernyitkan dahi, seolah tak percaya. “Wah, rajin banget sih. Semua orang pasti lebih memilih nongkrong di kantin atau ngobrolin gossip sekolah daripada baca buku.”
Aku hanya mengangkat bahu. “Aku suka baca. Lebih enak, gitu.”
Dia tertawa ringan, suaranya ceria. “Buku dan belajar itu memang penting sih, tapi nggak ada salahnya juga kalau sesekali ngobrol dengan orang lain, kan?”
Aku ragu sejenak. “Iya, sih… tapi, aku nggak terlalu paham kalau soal itu. Gimana kalau… aku nggak ada yang bisa diajak ngobrol?”
Cindra terkekeh. “Gampang kok. Aku bisa jadi teman ngobrol kamu kalau kamu butuh.”
Aku merasa aneh. Teman ngobrol? Bukankah itu sesuatu yang biasa bagi kebanyakan orang? Tapi untukku, itu seperti sesuatu yang jauh. Aku lebih terbiasa berbicara dengan buku daripada dengan orang lain.
“Lalu, kenapa kamu berhenti di sini?” tanyaku, berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Aku cuma penasaran aja,” jawab Cindra dengan senyum nakal di wajahnya. “Biasanya kamu nggak pernah keliatan di tempat ramai. Selalu sendirian, ya?”
Aku merasa sedikit canggung. “Iya, aku lebih suka sendiri.”
“Kenapa? Takut dikerumunin teman-teman gitu?” dia menggoda.
Aku menggeleng. “Bukan gitu. Cuma… aku nggak terlalu ngerti sama orang-orang.”
Cindra terdiam sejenak, lalu duduk di sampingku. “Gimana kalau sekarang kamu coba ngerti sama aku? Kita ngobrol dulu, yuk!”
Aku terkejut, tak menyangka dia akan duduk begitu dekat denganku. Aku merasa canggung, tapi juga sedikit terharu. Apa yang dia maksud dengan ‘ngerti’? Bukankah itu sesuatu yang sulit?
Kami duduk diam beberapa menit, hanya mendengarkan suara angin yang berdesir. Aku merasa aneh, seperti ada yang berubah. Biasanya, aku merasa nyaman dalam kesendirian, tapi saat Cindra duduk di sebelahku, rasanya… entahlah. Ada perasaan aneh yang mulai tumbuh dalam dada.
“Apa kamu suka buku-buku ini banget?” tanya Cindra, merujuk pada buku biologi yang ada di tanganku.
“Iya, aku suka belajar tentang alam, tentang bagaimana semuanya bekerja,” jawabku pelan. “Tapi… kadang aku bingung, kenapa ada hal-hal di dunia ini yang nggak bisa dijelaskan dengan ilmu pengetahuan.”
Cindra mengangguk, mencoba memahami. “Mungkin itu yang namanya hidup. Ada banyak hal yang nggak bisa kita jelaskan, dan kadang kita cuma perlu merasakannya.”
Aku menatapnya, merasa kata-katanya menyentuh sesuatu dalam diriku yang selama ini tersembunyi. “Tapi bagaimana kalau perasaan itu justru membuat kita bingung?”
Cindra tersenyum lembut. “Itulah yang dinamakan cinta, Ekalaya. Kadang kita nggak ngerti kenapa kita merasa seperti itu, tapi itu yang membuat hidup jadi lebih hidup.”
Aku terdiam, mencerna kata-katanya. Cinta? Apa itu? Sebuah perasaan yang membuat orang merasa bahagia, tapi juga bingung. Aku merasa seperti berada di persimpangan jalan yang tak kuerti arah mana yang harus kutuju.
Suasana di sekitar kami semakin tenang. Cindra bangkit berdiri, siap kembali ke kelas. “Jangan lupa, ya. Kalau kamu butuh teman ngobrol, aku ada di sini.”
Aku hanya mengangguk, namun dalam hati, ada sesuatu yang mulai mengganggu pikiranku. Apa itu cinta? Dan apakah ini yang mulai aku rasakan?
Sambil memandangi Cindra yang berjalan pergi, aku merasa hatiku berdegup lebih kencang dari sebelumnya.
Percakapan di Taman Belakang
Minggu-minggu setelah pertemuan itu, aku merasa ada yang berbeda. Cindra sering muncul di tempat yang sama, taman belakang sekolah, dan kali ini aku tak merasa terkejut lagi saat melihatnya datang menghampiriku. Aku sudah mulai terbiasa dengan kehadirannya, meskipun rasanya agak aneh. Keasyikan dengan buku yang biasanya menjadi dunianya, kini seolah terganggu oleh kehadiran gadis itu.
Hari itu, seperti biasa, aku duduk di bangku kayu, membaca buku tebal yang selalu kubawa kemana-mana. Tetapi, pikiranku teralihkan. Cindra sudah ada di hadapanku, dengan senyum lebarnya yang tidak bisa disembunyikan.
“Hai, Ekalaya,” sapanya dengan ceria.
Aku hanya mengangkat tangan, sedikit tersenyum, walaupun agak canggung. “Halo, Cindra.”
“Lagi baca buku biologi lagi ya? Boleh tahu, kamu nggak bosan baca buku itu terus?” dia duduk di bangkuku, jaraknya semakin dekat.
Aku mengernyitkan dahi. “Tidak sih, justru lebih menarik bagi aku daripada ngobrolin hal-hal nggak penting.”
Cindra tertawa, lalu menatapku penuh rasa ingin tahu. “Kamu selalu bilang begitu, tapi menurutku, dunia nggak cuma soal buku. Kadang, ada hal yang harus kamu rasakan, bukan cuma dipikirkan.”
Aku terdiam. Rasakan? Apa yang harus aku rasakan? Aku merasa sedikit bingung, karena selama ini, aku hanya terbiasa dengan logika. Semua hal harus bisa dipahami, tidak ada yang tak terjangkau dengan pikiran. Tapi… ada sesuatu dalam kata-kata Cindra yang mengusik pikiranku.
Cindra melanjutkan, “Contohnya, kamu pernah nggak ngerasain deg-degan atau senang tiba-tiba karena seseorang? Itu perasaan yang nggak bisa dijelaskan dengan kata-kata, dan kadang nggak ada jawabannya. Itu yang bikin hidup lebih berwarna.”
Deg-degan? Aku tak pernah merasa seperti itu. Selama ini, hidupku dipenuhi dengan hal-hal yang terukur. Tapi… setelah bertemu Cindra, entah kenapa, ada perasaan yang selalu muncul, yang sulit dijelaskan. Ada sesuatu dalam hatiku yang tiba-tiba terasa lebih berat.
“Cindra, apa kamu yakin itu bukan cuma… perasaan biasa saja?” tanyaku dengan ragu.
Dia mengangguk, wajahnya tampak serius untuk pertama kalinya. “Enggak, Ekalaya. Itu lebih dari perasaan biasa. Itu cinta.”
Aku terdiam lagi, mencoba mengerti apa yang sedang dia katakan. Cinta? Apakah ini yang aku rasakan? Tapi, kenapa aku merasa bingung?
“Apa cinta itu selalu membuat orang bingung?” tanyaku, lebih pada diri sendiri daripada Cindra.
Cindra tersenyum lembut, matanya sedikit menyipit, seolah mengerti keraguanku. “Iya, kadang cinta memang membingungkan. Tapi, itu yang membuatnya indah. Tanpa kebingungannya, kita nggak akan tahu bagaimana rasanya jatuh cinta.”
Jantungku berdetak lebih kencang, mendengar kata-kata itu. Apakah aku jatuh cinta? Tapi, dengan siapa? Apa yang sebenarnya aku rasakan terhadap Cindra? Aku mulai merasa tak bisa menghindar dari pertanyaan ini, meskipun aku tak tahu harus bagaimana menjelaskannya.
“Aku nggak ngerti, Cindra,” aku akhirnya mengungkapkan kegelisahanku. “Aku nggak tahu apa yang aku rasakan. Aku suka berbicara denganmu, tapi aku nggak tahu apakah itu cinta atau cuma sekadar perasaan nyaman.”
Cindra hanya tersenyum, dengan senyum yang membuat hatiku terasa hangat. “Kadang, kamu nggak perlu tahu jawabannya sekarang. Semua butuh waktu untuk dipahami. Yang penting, kamu ikuti saja perasaanmu.”
Aku menatapnya, merasakan kata-katanya meresap dalam-dalam. Mungkin, aku memang terlalu terbiasa dengan cara berpikir yang logis dan teratur, sampai-sampai aku lupa bagaimana rasanya mengikuti perasaan hati.
Kami duduk bersama beberapa saat, menikmati keheningan yang tidak canggung. Taman belakang sekolah itu menjadi tempat yang lebih berarti bagi kami. Di sana, kami berbicara tentang banyak hal—tentang sekolah, tentang mimpi, tentang kehidupan, dan kadang tentang kebingunganku yang tidak bisa kujelaskan. Setiap kali dia ada di dekatku, aku merasa ada sesuatu yang tumbuh di dalam diriku. Entah apa itu, tapi semakin aku dekat dengannya, semakin aku merasa bahwa ada yang berbeda dalam hidupku.
Sejak saat itu, aku mulai merasa bahwa ada lebih banyak hal yang harus kupelajari tentang perasaan. Cindra mungkin benar—cinta itu tidak selalu bisa dijelaskan dengan kata-kata. Ia bisa datang begitu saja, tanpa bisa diprediksi. Dan meskipun itu membingungkan, aku sadar, perasaan itu memberi warna pada hidupku yang selama ini terasa monoton.
“Apa kamu sering merasa bingung tentang hal-hal seperti ini?” tanyaku, mengalihkan perhatian dari perasaan yang mulai mengganggu.
Cindra menatapku dengan matanya yang berbinar, lalu menggelengkan kepala. “Aku nggak pernah merasa bingung, Ekalaya. Tapi mungkin, aku cuma bisa ngerasainnya setelah kita benar-benar tahu apa yang kita inginkan.”
Aku mengangguk, walaupun aku tidak sepenuhnya mengerti. Tapi, entah kenapa, aku merasa lebih lega setelah mendengarnya. Mungkin, aku memang harus memberi ruang untuk perasaan itu.
“Kamu nggak mau ikut latihan tari lagi?” Cindra bertanya, mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
Aku tertawa ringan, “Aku nggak bisa nari, Cindra.”
Dia tertawa, lebih keras kali ini. “Bener juga sih. Kalau kamu bisa nari, dunia ini bakal jadi aneh.”
Kami berdua tertawa bersama, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa tidak perlu berpikir terlalu banyak. Dalam kebingunganku tentang cinta, aku tahu ada satu hal yang pasti: aku tidak ingin kehilangan momen-momen ini, bersama Cindra.
Lembaran Baru yang Menantang
Pekan demi pekan berlalu, dan aku mulai merasakan ada perubahan dalam diriku. Cindra yang sebelumnya hanya sosok yang mengisi ruang kosong di dunia sekolah, kini menjadi bagian dari kehidupan sehari-hariku. Tanpa sadar, aku mulai menantikan hari-hari saat bisa bertemu dengannya di taman belakang atau bahkan di lorong kelas. Rasanya seperti ada bagian dari diriku yang hilang jika tidak melihatnya.
Setiap kali bertemu, aku merasa lebih banyak pertanyaan muncul, lebih banyak kebingungan yang menyelimuti pikiran. Tapi di sisi lain, ada rasa tenang yang tidak pernah kudapatkan sebelumnya. Entah kenapa, saat bersama Cindra, aku merasa segala sesuatunya menjadi lebih sederhana.
Hari itu, di saat bel sekolah berbunyi, aku menyusuri lorong menuju kelas matematika. Langkahku terhenti sejenak ketika aku melihat Cindra berdiri di depan ruang kelas, tampak menunggu seseorang. Matanya bertemu dengan mataku, dan seketika aku merasa seperti ada magnet yang menarik kami bersama.
“Ekalaya!” Cindra menyapa dengan ceria, seperti biasa. “Kamu nggak terlambat, kan?”
Aku menggelengkan kepala, meskipun sebenarnya beberapa detik lagi bel akan berbunyi. “Nggak, baru saja mau masuk.”
Cindra tersenyum lebar, matanya menyipit seolah memberi tanda bahwa dia menyembunyikan sesuatu. “Kamu tau nggak, aku kemarin baru dapet kesempatan buat nonton konser band indie yang aku suka. Itu pengalaman yang nggak bakal terlupakan deh.”
Aku mengangkat alis, merasa sedikit canggung. “Oh, keren. Kapan-kapan aku harus ikutan.”
Dia tertawa, dan ada kilau kebahagiaan dalam sorot matanya. “Iya, kalau kamu mau. Tapi, kalau kamu masih terlalu sibuk dengan buku dan teori, aku nggak yakin kamu bakal menikmati konsernya.”
“Eh, aku juga bisa kok enjoy di luar sekolah.” Aku merasa perlu membela diri, walaupun kenyataannya aku lebih sering tenggelam dalam dunia buku daripada hal-hal lain.
Cindra menatapku sejenak, lalu berjalan mendekat, seolah memancing percakapan lebih dalam. “Mungkin, kalau kamu beri kesempatan buat diri kamu menikmati hal-hal baru, kamu bakal ngerasain sensasi yang nggak bisa didapetin dari buku.”
Aku mendengarkan, mencerna setiap kata yang dia ucapkan. Rasanya memang benar. Aku terlalu terbiasa dengan rutinitas yang sama. Buku, kelas, ujian, dan kembali ke rumah. Seperti ada sesuatu yang hilang, atau mungkin sesuatu yang tidak kuinginkan tapi juga kucari.
Dia melanjutkan, “Maksudku, dunia ini nggak cuma ada di halaman buku. Ada banyak kejutan yang nggak akan kamu temuin di teori-teori itu. Termasuk perasaan yang kita bahas beberapa waktu lalu.”
Perasaan itu kembali muncul dalam pikiranku. Cindra, dengan segala sikapnya yang terbuka dan bebas, seolah menjadi jembatan yang menghubungkanku dengan dunia yang lebih luas. Dunia yang lebih membingungkan, tapi juga lebih menyenangkan.
“Cindra, aku nggak tahu apa yang aku rasakan,” ucapku, suara aku terdengar lebih rendah, lebih serius. “Tapi, aku merasa… setiap kali aku sama kamu, ada yang berbeda. Aku nggak ngerti itu apa, tapi aku nggak bisa mengabaikannya.”
Cindra diam, sepertinya merenung sejenak, lalu memandangku dengan tatapan lembut yang terasa menenangkan. “Ekalaya, kamu nggak perlu tahu jawabannya sekarang. Kadang, jawabannya datang dengan sendirinya, lewat waktu dan pengalaman.”
Aku menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Jantungku masih berdetak lebih cepat, tapi aku tidak bisa menyangkal bahwa perasaan itu semakin jelas. Aku tidak tahu harus bagaimana dengan itu, tapi aku tahu satu hal—aku ingin terus dekat dengan Cindra.
Bel berbunyi keras, memecah keheningan kami. Kami berdua saling berpandangan sejenak, sebelum dia memberikan senyum ceria yang selalu dia tunjukkan.
“Yuk, masuk kelas. Nanti ketemu lagi di taman belakang, ya?” katanya, dengan nada ringan.
Aku hanya mengangguk, merasa seakan ada rasa yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Tapi, untuk pertama kalinya, aku merasa tidak perlu memaksakan diri untuk memahami semuanya. Mungkin, cinta memang seperti itu—tidak harus selalu jelas. Terkadang, cukup merasakannya saja.
Setelah kelas selesai, aku seperti selalu melangkah menuju taman belakang, meskipun perasaan itu tidak kunjung hilang. Cindra sudah duduk di bangku kayu tempat kami biasa bertemu, membaca buku kecil di tangannya. Tapi kali ini, aku merasa lebih gelisah dari biasanya. Seperti ada sesuatu yang harus diungkapkan, tapi aku tidak tahu bagaimana cara mengatakannya.
Aku duduk di sampingnya, dan untuk beberapa detik, kami hanya diam, mendengarkan suara angin yang berdesir pelan di sekitar kami. Namun, tiba-tiba, Cindra menoleh dan berkata, “Kamu tau nggak, Ekalaya, terkadang cinta itu nggak perlu kata-kata. Kadang, cukup dengan ada di sini, bersama-sama.”
Aku menatapnya, dan seolah ada perasaan yang tiba-tiba memelukku. “Aku ngerti, Cindra,” jawabku pelan. “Aku ngerti.”
Mungkin aku masih belum sepenuhnya memahami cinta, tapi saat itu, aku merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar kebingunganku. Mungkin cinta itu datang perlahan, dan perlahan pula aku mulai menerima perasaan ini.
Menyusuri Jalan yang Tak Pasti
Waktu terus berjalan, dan dengan setiap langkah yang kuambil, aku semakin sadar bahwa hidup ini penuh dengan ketidakpastian. Namun, ada satu hal yang mulai kupertanyakan dengan lebih mendalam: apakah aku siap untuk menghadapi perasaan ini? Cindra, dengan segala kecerdasannya dan cara dia melihat dunia yang bebas, seakan membuka mataku terhadap hal-hal yang selama ini kusembunyikan.
Kami terus menghabiskan waktu bersama, tak selalu berbicara tentang perasaan, tapi selalu ada ketenangan yang mengalir setiap kali kami duduk berdampingan. Di bawah pohon besar itu, Cindra seringkali membawa buku-buku yang mungkin bagiku terlalu rumit, namun selalu bisa membuatku tersenyum dengan cara dia menjelaskan semuanya.
Di satu sisi, aku merasa semakin dekat, namun di sisi lain, ada keraguan yang semakin mendalam. Perasaan itu—apakah ini benar-benar cinta? Apakah aku hanya terjebak dalam bayangan yang kubuat sendiri, ataukah ada sesuatu yang lebih dari sekadar rasa penasaran belaka?
Suatu hari, saat kami duduk di taman belakang, Cindra memulai percakapan yang ku rasa telah lama tertunda.
“Ekalaya,” kata Cindra pelan, matanya menatap ke depan, seolah berbicara pada dunia yang lebih besar dari hanya kami berdua. “Kamu pernah mikir nggak sih, kalau semua yang kita rasakan sekarang ini, mungkin cuma bagian dari perjalanan kita untuk memahami dunia?”
Aku terdiam sejenak. Ada banyak hal yang ingin kuucapkan, tapi kata-kata itu seperti tertahan di tenggorokanku. Bagaimana bisa aku menjelaskan perasaan yang begitu membingungkan? Bagaimana aku bisa memberi nama pada sesuatu yang begitu sederhana dan rumit di saat bersamaan?
“Aku nggak tahu, Cindra,” jawabku akhirnya, jujur. “Tapi, yang aku tahu, aku ngerasa nyaman dengan semuanya. Gak pernah ada yang bikin aku merasa begini, kayak ada bagian dari diriku yang menemukan tempatnya.”
Cindra tersenyum, tapi kali ini senyumnya berbeda. Tidak hanya ceria seperti biasanya, tetapi ada kesan kedalaman yang aku belum pernah lihat sebelumnya. “Kadang, kita nggak perlu tahu jawabannya, Ekalaya. Kita hanya perlu hidup dengan perasaan ini, biarkan waktu yang akan menjawab.”
Aku menatapnya, merasa seperti ada sesuatu yang baru saja terungkap, meskipun aku masih merasa belum sepenuhnya siap untuk menerima kenyataan. Tapi, perasaan yang ada di hatiku sudah sangat jelas—aku menyukainya. Tidak bisa dipungkiri lagi.
“Apa kamu takut?” tanya Cindra, seolah bisa membaca pikiranku.
Aku mengangguk perlahan. “Iya, aku takut kalau aku salah memahami semuanya. Aku takut kalau ini cuma perasaan yang lewat begitu saja.”
Cindra mendekat sedikit, kemudian meletakkan tangannya di atas tanganku yang terlipat. “Perasaan itu nggak pernah salah, Ekalaya. Yang salah adalah kita yang kadang terlalu takut untuk mengakui bahwa kita merasakannya.”
Aku terdiam, merasakan kehangatan tangannya yang memberikan ketenangan. Kami berdua hanya diam beberapa saat, menikmati kebersamaan yang terasa begitu sederhana, namun begitu penuh makna.
Hari-hari berlalu, dan meskipun aku masih merasa bingung dengan definisi cinta, aku mulai menyadari bahwa perasaan ini tidak harus dipaksakan untuk dimengerti. Mungkin, cinta itu bukanlah tentang mencari jawabannya, tetapi lebih tentang merasakannya dengan tulus, tanpa terlalu khawatir dengan apa yang akan terjadi nanti.
Di hari-hari terakhir sebelum ujian, kami berdua lebih sering menghabiskan waktu bersama, bukan untuk belajar, tetapi untuk berbicara tentang segala hal—tentang impian, tentang masa depan, dan tentang apa yang mungkin terjadi setelah semua ini berakhir.
Tapi, suatu sore, Cindra berkata sesuatu yang membuat hatiku sedikit terhenti.
“Ekalaya, aku pikir aku nggak bisa terus-terusan kayak gini,” katanya dengan suara lembut, hampir tidak terdengar. “Maksudku, kita udah mulai terlalu dekat, dan aku takut aku bakal ngasih kamu harapan yang nggak seharusnya ada.”
Aku menatapnya, mencoba mencari tahu apa maksudnya, tapi hatiku mulai berdebar. “Kamu… maksudnya?”
Cindra menarik napas panjang sebelum menjawab, “Aku nggak mau kita jadi lebih rumit dari yang sudah ada, Ekalaya. Aku nggak ingin kamu merasa terjebak.”
Aku terdiam, merasakan perasaan yang mulai terkelupas. Ada kesedihan, tentu saja, tapi juga rasa lega. Mungkin ini yang terbaik. Mungkin, perasaan ini memang tidak akan pernah lebih dari ini, tapi itu tidak mengubah kenyataan bahwa aku merasa lebih hidup sejak mengenalnya.
“Cindra, aku nggak tahu harus ngomong apa. Tapi aku ngerti. Mungkin, ini saatnya kita masing-masing melangkah dengan cara kita sendiri,” jawabku, suara bergetar meski aku berusaha keras untuk tetap tenang.
Cindra menatapku dengan tatapan penuh pengertian. “Aku senang bisa mengenal kamu, Ekalaya. Dan aku tahu, kita akan terus ingat ini, meskipun nanti kita akan memilih jalan yang berbeda.”
Aku mengangguk, perasaan campur aduk dalam diriku. Mungkin ini adalah bagian dari proses tumbuh dewasa. Mungkin cinta memang tidak selalu berakhir dengan bahagia seperti yang kita bayangkan. Tapi, yang aku tahu, perasaan ini adalah salah satu hal yang akan tetap ada di dalam hati kami, meskipun kami berjalan ke arah yang berbeda.
Dengan langkah yang berat, aku meninggalkan taman belakang itu, meninggalkan Cindra yang tersenyum, seperti biasa. Aku mungkin masih belum sepenuhnya mengerti apa itu cinta, tapi aku tahu satu hal—cinta pertama itu tidak selalu harus berakhir bahagia, karena setiap kenangan yang tercipta adalah bagian dari perjalanan kita untuk menemukan siapa kita sebenarnya.
Dan mungkin, itu adalah arti cinta yang sesungguhnya.
Jadi, apakah itu cinta pertama? Mungkin jawabannya nggak selalu sama buat semua orang. Tapi satu hal yang pasti, perjalanan untuk ngertiin perasaan sendiri itu nggak gampang, apalagi di masa SMA yang penuh perubahan.
Tapi ya, kita cuma bisa terus jalan, belajar, dan siapa tahu nanti kita bakal ngerti, apa sebenarnya cinta itu—atau mungkin, kita nggak perlu ngerti sama sekali. Yang penting, kita nikmatin prosesnya. Cinta pertama emang bisa bikin bingung, tapi nggak ada salahnya buat coba. Kan, hidup juga penuh kejutan.