Daftar Isi
Gengs, siap-siap baper! Coba bayangkan, kamu lagi di tengah-tengah perayaan 17 Agustus, suasana meriah, kembang api meledak, dan tiba-tiba kamu ditembak cinta. Gimana rasanya?
Di cerpen ini, kita bakal ngebahas kisah seru dan romantis antara Didit dan Putri yang berawal dari lomba balap karung dan makan kerupuk. Dari situ, ada deh momen-momen seru yang bikin kamu senyum-senyum sendiri. Yuk, ikutin perjalanan cinta pertama mereka di hari kemerdekaan yang bikin baper ini!
Cinta Pertama di Hari Kemerdekaan
Persiapan 17-an yang Seru
Di sebuah kampung kecil yang penuh keceriaan, Agustus selalu menjadi bulan yang paling dinanti-nanti oleh semua orang. Anak-anak, orang dewasa, bahkan kakek-nenek, semuanya bersiap merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia. Tahun ini, semangatnya lebih terasa, apalagi setelah dua tahun terakhir acara 17-an sedikit sepi karena pandemi. Kali ini, warga kampung siap-siap untuk membuat perayaan yang paling meriah!
Didit, seorang anak laki-laki berusia 12 tahun, tak sabar menunggu hari lomba. Dia bukan hanya ingin ikut lomba balap karung atau tarik tambang, tapi ada satu alasan khusus yang membuatnya tak bisa tidur nyenyak setiap malam: Putri. Ya, Putri, teman sekelasnya yang selalu duduk di bangku depan, dengan rambut kepang dua dan senyum yang selalu membuatnya gugup.
Pagi itu, kampung sudah riuh dengan persiapan. Ibu-ibu sibuk menggantungkan bendera merah putih di sepanjang jalan, sementara para bapak memasang panggung untuk pengumuman pemenang lomba nanti. Anak-anak, termasuk Didit, sudah berkumpul di lapangan sejak pagi, berlari-lari, dan sesekali berlatih untuk lomba yang akan datang.
“Eh, Dit, kamu udah siap buat balap karung nanti?” tanya Gilang, sahabat Didit yang selalu bersemangat dalam segala hal. Dia sudah memegang sekarung beras yang akan dijadikan karung untuk lomba.
Didit mengangguk, meskipun sebenarnya pikirannya lebih sibuk memikirkan bagaimana caranya mengajak Putri ikut lomba berpasangan. Tapi tentu saja, dia tidak bisa bilang begitu ke Gilang. “Siap, dong! Lihat aja aku bakal menang tahun ini.”
Tiba-tiba, di kejauhan, Didit melihat Putri bersama beberapa temannya, sedang menata kursi untuk ibu-ibu yang akan menonton. Didit merasa jantungnya berdegup kencang. Ini dia kesempatannya!
“Eh, Gilang, kamu duluan aja deh. Aku mau bantuin Putri sama anak-anak cewek itu dulu,” kata Didit sambil berusaha terdengar biasa saja.
Gilang menatapnya dengan alis terangkat, “Bantuin? Kamu gak salah? Biasanya juga kamu kabur kalau disuruh bantuin yang beginian.”
Didit tersenyum canggung. “Ah, cuma pengen aja. Lagian, gak ada salahnya juga kan?”
Tanpa menunggu jawaban Gilang, Didit segera melangkah menuju Putri dan teman-temannya. Saat mendekat, dia merasakan lututnya sedikit gemetar. “Tenang, Dit, ini cuma Putri. Gak ada yang perlu ditakutin,” gumamnya dalam hati.
“Putri, perlu bantuan?” Didit berusaha menyapa dengan nada yang terdengar santai, meskipun dalam hatinya dia panik setengah mati.
Putri menoleh dan tersenyum, senyum yang membuat Didit merasa seperti mau pingsan. “Oh, hai, Didit! Kamu mau bantuin? Boleh banget, nih, kursi-kursi ini agak berat.”
Didit dengan sigap mengangkat beberapa kursi dan menatanya di barisan yang sudah ditentukan. Saat dia mengangkat kursi terakhir, dia memberanikan diri untuk berkata, “Kamu nanti ikut lomba apa, Put?”
Putri menatapnya sejenak, lalu tersenyum lagi. “Aku belum tahu, sih. Mungkin balap karung atau makan kerupuk. Tapi aku mau lihat-lihat dulu.”
Didit mengangguk sambil mencoba menyusun rencana dalam pikirannya. “Kalau gitu, mungkin kita bisa… ya, kamu tahu, lomba bareng?”
Putri tertawa kecil, suara tawanya terdengar seperti musik di telinga Didit. “Hahaha, iya, kita lihat nanti aja. Siapa tahu!”
Didit merasakan pipinya memanas. Dia tahu, ini bukan janji, tapi setidaknya ada harapan. Gilang dari kejauhan melambaikan tangan, memberi isyarat bahwa lomba akan segera dimulai.
“Didit, yuk, siap-siap! Lomba balap karung udah mau mulai!” teriak Gilang.
“Ya, ya! Aku datang!” jawab Didit, lalu kembali menatap Putri. “Aku duluan ya, Put. Semoga kita bisa lomba bareng nanti.”
Putri mengangguk dan melambaikan tangan. “Good luck, Didit!”
Dengan semangat baru, Didit berlari menuju Gilang dan teman-temannya. Dalam hati, dia merasa hari ini akan menjadi hari yang sangat spesial. Tapi tentu saja, dia harus tetap fokus—pertama, menangkan lomba, lalu urusan dengan Putri bisa dipikirkan nanti.
Dengan demikian, dimulailah hari yang penuh keceriaan dan kejutan di kampung kecil itu. Didit merasa bahwa lomba 17-an tahun ini bukan hanya soal kemenangan, tapi juga tentang keberanian untuk mendekati seseorang yang sudah lama dia kagumi. Tapi ini baru permulaan; siapa yang tahu kejutan apa lagi yang akan terjadi hari ini?
Lomba Karung dan Senyum Diam-Diam
Lapangan kampung sudah semakin ramai. Bendera merah putih berkibar di setiap sudut, dan suara riuh anak-anak yang bersemangat menambah semarak suasana. Di tengah lapangan, lomba balap karung siap dimulai. Para peserta sudah berdiri berjajar di garis start, dengan karung di tangan, siap untuk melompat secepat mungkin.
Didit berdiri di tengah, dengan karung di tangan dan pandangan fokus ke depan. Namun, bukan hanya garis finish yang ada di pikirannya, melainkan Putri yang berada di pinggir lapangan, sedang menonton dengan penuh antusias. Hatinya berdebar, tapi dia berusaha tetap tenang.
“Jangan bengong, Dit. Awas malah nanti jatuh!” seru Gilang dari sebelahnya. Gilang selalu penuh energi dan semangat, dan kali ini dia tidak main-main. “Aku gak bakal kasih kamu menang dengan mudah!”
Didit hanya tersenyum tipis. “Kita lihat aja nanti, Lang.”
Terdengar suara peluit panjang tanda lomba dimulai. Dengan secepat kilat, Didit memasukkan kedua kakinya ke dalam karung dan mulai melompat. Tanah di bawahnya terasa licin, tapi dia berusaha menjaga keseimbangannya. Sorakan penonton semakin keras, memberikan semangat yang luar biasa.
Di sampingnya, Gilang melompat dengan lincah, sedikit demi sedikit memimpin di depan. Didit mencoba mengejar, tapi setiap kali dia menambah kecepatan, karungnya terasa semakin sulit dikendalikan. Akhirnya, hal yang dia takutkan pun terjadi. Didit tersandung dan terjatuh, membuatnya terkapar di atas tanah.
Seketika, tawa dan sorakan terdengar dari penonton. Didit merasakan wajahnya panas karena malu, tapi dia segera bangkit. Dia menoleh ke arah Putri yang sedang tertawa bersama teman-temannya. Alih-alih marah, Didit justru ikut tertawa. Mungkin terlihat konyol, tapi dia merasa lega melihat Putri tersenyum.
Namun, ketika Didit mencoba melanjutkan lomba, Gilang sudah hampir sampai di garis finish. Didit tahu dia tidak mungkin menang, tapi dia tetap melompat dengan sekuat tenaga. Tepat saat Gilang melewati garis finish dan diikuti sorakan meriah dari penonton, Didit juga akhirnya mencapai garis tersebut, meskipun tertinggal beberapa langkah.
Gilang langsung menghampiri Didit sambil tertawa terbahak-bahak. “Hahaha, kamu tadi lucu banget, Dit! Jatuh kayak pohon tumbang!”
Didit tertawa sambil mengusap debu di bajunya. “Yah, namanya juga balap karung. Gak selamanya harus menang, yang penting seru!”
Putri tiba-tiba datang mendekat, masih dengan senyum di wajahnya. “Didit, kamu tadi keren! Walaupun jatuh, kamu tetap terusin. Itu baru namanya pejuang 17-an!”
Didit merasa jantungnya berdebar lebih kencang lagi, tapi dia berusaha menjaga agar suaranya tetap stabil. “Ah, biasa aja, kok. Tapi makasih, Put.”
Gilang, yang menyadari situasi itu, hanya menyeringai jahil. “Eh, Putri, nanti lomba makan kerupuk mau ikutan gak? Kalau Didit yang jatuh di balap karung aja berani ikut,masa kamu gak berani?”
Putri tertawa kecil sambil menatap Didit. “Aku sih mau-mau aja, asal Didit juga ikut. Biar seru!”
Didit, yang awalnya sudah mulai tenang, kini merasa grogi lagi. Tapi dia tak mau kalah. “Siap, Put! Kita bakal bikin lomba ini tambah seru.”
Mereka bertiga pun berjalan bersama menuju tempat lomba makan kerupuk. Gilang terus bercanda dan membuat lelucon, sementara Didit dan Putri sesekali saling melirik dan tertawa kecil. Suasana hari itu benar-benar menyenangkan.
Sesampainya di lokasi lomba makan kerupuk, mereka melihat kerumunan anak-anak yang sudah siap berlomba. Kerupuk-kerupuk tergantung di seutas tali, bergoyang-goyang tertiup angin. Gilang segera maju ke depan, sementara Didit dan Putri berdiri bersebelahan di belakangnya.
Didit mencoba mengatur napasnya, sambil sesekali mencuri pandang ke arah Putri. “Kira-kira, Putri bakal menang gak ya?” pikirnya. Tapi yang pasti, hari ini dia sudah merasa lebih dekat dengan Putri, meskipun belum berhasil menembak cinta.
“Siap-siap ya, Dit,” bisik Gilang dengan nada menggoda. “Aku yakin, kamu kali ini gak bakal jatuh, kan?”
Didit hanya bisa menggeleng sambil tersenyum. “Iya! Lihat aja nanti, Lang.”
Mereka berdua siap-siap untuk mengikuti lomba makan kerupuk, yang mungkin akan menjadi lomba paling seru hari itu. Namun, bagi Didit, bukan hanya soal menang atau kalah, tapi juga soal keberanian untuk lebih dekat dengan Putri.
Dengan semangat baru, Didit menatap ke depan. Lomba 17-an ini mungkin baru permulaan, tapi dia tahu bahwa hari ini akan penuh dengan kejutan dan kenangan yang tidak akan pernah dilupakan. Dan siapa tahu, mungkin kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya akan datang lebih cepat dari yang dia bayangkan.
Tantangan Kerupuk dan Rencana Rahasia
Matahari mulai naik tinggi, memberikan panas yang menyengat di lapangan, namun semangat anak-anak kampung tetap membara. Lomba makan kerupuk sudah siap dimulai, dan peserta sudah berbaris di bawah tali yang menggantungkan kerupuk-kerupuk besar. Didit, Putri, dan Gilang berdiri berdampingan, masing-masing dengan tatapan penuh tekad.
Didit merasa sedikit gugup, tapi dia berusaha tetap fokus. Lomba makan kerupuk ini bukan sekadar lomba baginya, tapi juga kesempatan untuk menunjukkan kepada Putri bahwa dia bisa bersenang-senang dan tetap berusaha menang, bahkan setelah jatuh di balap karung tadi.
Gilang, di sebelahnya, sudah mengukur tinggi tali yang menggantung kerupuknya. “Ah, pas banget! Aku pasti menang nih,” katanya sambil menyeringai penuh percaya diri.
Putri hanya tertawa kecil. “Jangan terlalu yakin dulu, Lang. Aku juga gak mau kalah, lho!”
Didit tersenyum mendengar percakapan mereka. Dia merasa nyaman berada di dekat Putri dan Gilang, seperti selalu ada kebahagiaan yang mengelilingi mereka. Tapi kali ini, dia juga punya tujuan lain—menjadi pemenang dan membuat hari ini lebih berkesan.
Tiba-tiba, peluit panjang terdengar, menandakan lomba dimulai. Tanpa berpikir panjang, Didit langsung memiringkan kepalanya dan mulai menggigit kerupuk yang menggantung di depan wajahnya. Namun, kerupuk itu bergoyang ke sana ke mari setiap kali dia mendekat, membuatnya sulit untuk menggigitnya dengan benar.
Di sampingnya, Gilang sudah berhasil menggigit sepotong besar kerupuk, sementara Putri masih berjuang dengan kerupuknya yang terus berayun-ayun. Didit mencoba berbagai cara—mengangkat sedikit tubuhnya, menekuk lutut, bahkan berjinjit—tapi tetap saja kerupuk itu terlalu sulit dijangkau.
Waktu terasa berjalan lebih cepat, dan Didit mulai panik. Tapi ketika dia melihat Putri yang juga kesulitan, dia merasa sedikit lega. “Aku masih punya kesempatan,” pikirnya.
Tiba-tiba, sebuah ide muncul di kepalanya. Dengan cepat, Didit menahan napas dan menunggu momen yang tepat. Ketika angin bertiup dan mengayunkan kerupuk mendekat ke arah mulutnya, Didit dengan cepat menggigit keras, berhasil merobek sepotong besar kerupuk.
Putri yang melihat itu, terkejut dan kemudian tersenyum kagum. “Wah, Didit pintar juga ya! Aku harus coba cara itu,” gumamnya, lalu mencoba meniru Didit. Meskipun belum berhasil secepat Didit, usaha Putri mulai menunjukkan hasil.
Gilang, yang sudah mulai unggul sejak awal, tak ingin kalah. Dia terus menggigit kerupuk dengan cepat, mengabaikan angin yang membuat kerupuknya berayun. “Ayo, ayo! Sedikit lagi!” teriaknya, penuh semangat.
Sorakan dari penonton semakin kencang. Didit kini sudah berhasil menggigit sebagian besar kerupuknya, sementara Putri semakin mendekat. Gilang yang sudah hampir selesai, terpaksa melompat sedikit untuk mengambil gigitan terakhir, tapi dalam prosesnya, dia terpeleset dan hampir jatuh, meski berhasil menahan diri.
“Aduh, hampir aja!” seru Gilang, sambil tertawa. “Tapi aku udah menang duluan!”
Didit mengakhiri lomba dengan menggigit sisa kerupuk terakhirnya. Dia merasa lega, meskipun kalah dari Gilang, dia tetap merasa puas. Lebih dari itu, dia merasa lebih dekat dengan Putri setelah sama-sama melewati tantangan kerupuk ini.
Putri, meskipun tidak menang, juga terlihat bahagia. “Kalian berdua hebat! Ini seru banget,” katanya sambil tersenyum lebar. “Lain kali, aku pasti bisa menang!”
Didit merasa bahwa hari ini sudah hampir sempurna. Namun, di dalam hatinya, dia masih merasa ada satu hal lagi yang perlu dilakukan—sesuatu yang sudah dia pikirkan sejak awal, tapi belum berani dia lakukan.
Saat mereka berjalan menjauh dari lapangan, Didit mencoba memberanikan diri. “Eh, Put, kamu nanti sore ada acara gak?”
Putri menatap Didit dengan heran. “Enggak, sih. Kenapa?”
Didit menggaruk kepalanya, berusaha menyusun kata-kata. “Aku… cuma pengen ngajak kamu lihat kembang api nanti malam. Katanya, kembang apinya bakal lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya.”
Gilang yang berjalan di depan mereka langsung memutar tubuhnya, matanya menyipit curiga. “Wah, wah, ada apa ini? Ajak-ajak nonton kembang api segala? Gimana kalau aku ikut juga?”
Didit langsung merasa wajahnya memerah. “Eh, bukan gitu, Lang. Ya… maksudku, kalau kamu mau ikut, ya boleh-boleh aja, sih,” jawabnya gugup.
Putri tertawa kecil, membuat Didit merasa semakin gugup. “Kembang api bareng? Kedengarannya seru! Ayo aja.”
Gilang tertawa lepas dan menepuk punggung Didit. “Tenang aja, Dit. Aku gak bakal gangguin kalian kok, hahaha! Aku cuma mau pastiin aja kalau kamu gak gugup.”
Didit hanya bisa tertawa canggung, tapi di dalam hatinya, dia merasa sangat senang. Rencana kecilnya untuk menghabiskan waktu bersama Putri nanti malam akhirnya terwujud, meskipun dengan campur tangan Gilang yang usil.
Hari itu terus berlanjut dengan berbagai lomba lainnya, namun pikiran Didit tetap tertuju pada kembang api nanti malam. Dia berharap, momen itu bisa menjadi kesempatan yang tepat untuk menyampaikan perasaannya kepada Putri. Meskipun dia tahu bahwa semuanya belum pasti, Didit yakin bahwa ini adalah langkah awal yang baik.
Dan siapa yang tahu? Mungkin malam nanti, di bawah sinar kembang api yang indah, akan ada sesuatu yang istimewa terjadi. Sesuatu yang sudah lama dia tunggu-tunggu.
Kembang Api dan Keberanian Didit
Langit malam di kampung akhirnya mulai gelap. Setelah seharian penuh dengan lomba dan keceriaan, tiba saatnya acara puncak yang ditunggu-tunggu oleh semua orang: kembang api. Semua warga sudah berkumpul di lapangan, membawa tikar dan duduk bersama keluarga serta teman-teman mereka.
Didit duduk di samping Putri, sementara Gilang duduk sedikit berjauhan, seperti memberi mereka ruang. Didit merasa grogi, tapi dia berusaha tetap tenang. Dia sudah memutuskan bahwa malam ini adalah malam yang tepat untuk menyampaikan perasaannya.
“Wah, langitnya cerah banget ya, Dit,” kata Putri, memecah keheningan di antara mereka. “Kembang apinya pasti bakal kelihatan lebih indah.”
Didit mengangguk pelan. “Iya, pastu. Aku juga gak sabar banget nungguin.”
Gilang, yang sejak tadi memperhatikan mereka dari jauh, tiba-tiba berdiri dan menghampiri Didit. “Eh, Dit, aku ada urusan sebentar. Nanti aku balik lagi ya. Kamu jagain Putri baik-baik,” katanya dengan nada menggoda, sebelum cepat-cepat pergi tanpa menunggu jawaban Didit.
Didit hanya bisa tersenyum kecut. “Si Gilang memang tahu aja cara bikin suasana awkward,” pikirnya. Tapi, di sisi lain, kepergian Gilang memberikan Didit kesempatan untuk lebih dekat dengan Putri.
Beberapa menit berlalu, dan kerumunan orang mulai bersiap untuk menyaksikan kembang api. Anak-anak berlarian dengan riang, sementara orang dewasa bercengkerama dengan tenang. Didit merasa malam ini seperti malam yang sempurna—saat yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya.
Tiba-tiba, suara ledakan kecil terdengar di kejauhan, dan langit mulai diterangi oleh cahaya kembang api pertama. Semua orang bersorak kagum, termasuk Didit dan Putri. Warna-warni cerah menghiasi langit malam, membentuk pola-pola indah yang membuat semua mata terpaku.
Didit menatap Putri yang sedang menikmati pemandangan tersebut dengan senyum di wajahnya. Hatinya berdebar semakin kencang. Ini adalah saat yang dia tunggu-tunggu, tapi dia masih merasa sedikit ragu.
“Harus sekarang atau gak sama sekali,” gumam Didit dalam hati.
Dengan suara yang sedikit gemetar, Didit akhirnya berkata, “Putri… aku mau bilang sesuatu.”
Putri menoleh ke arahnya, matanya berbinar di bawah cahaya kembang api. “Apa, Dit?”
Didit mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. “Aku… udah lama suka sama kamu. Sejak kita sering main bareng waktu kecil, sampai sekarang. Aku gak tahu kapan pastinya, tapi yang jelas, perasaan itu terus ada sampai sekarang.”
Putri terdiam sejenak, tampak terkejut dengan pengakuan Didit. Di sekeliling mereka, kembang api terus menerangi langit, seolah ikut merayakan momen tersebut.
Didit merasa jantungnya hampir keluar dari dadanya. “Maaf kalau ini mendadak, tapi aku cuma mau kamu tahu. Aku gak minta jawaban sekarang, aku cuma… pengen jujur sama kamu.”
Putri tersenyum lembut, membuat Didit merasa sedikit tenang. “Didit… kamu tahu gak? Aku juga udah lama ngerasa nyaman sama kamu. Kamu selalu ada buat aku, dan aku seneng banget tiap kali kita bisa main bareng.”
Didit menahan napas, merasa bahwa Putri akan melanjutkan dengan sesuatu yang penting.
“Tapi… aku gak mau buru-buru,” lanjut Putri. “Aku masih pengen kita bersenang-senang bareng, kayak hari ini. Jadi, gimana kalau kita nikmatin waktu kita dulu, dan lihat ke mana perasaan ini akan membawa kita?”
Didit merasakan campuran antara lega dan sedikit kecewa, tapi dia tahu bahwa Putri benar. Tidak ada gunanya terburu-buru. Yang paling penting adalah mereka bisa terus bersama dan menikmati setiap momen yang ada.
Dengan senyum tulus, Didit mengangguk. “Aku setuju, Put. Aku janji kita bakal terus seru-seruan bareng, apapun yang terjadi.”
Putri balas tersenyum, lalu kembali menatap ke arah langit yang masih dipenuhi kembang api. Mereka duduk bersama dalam keheningan yang nyaman, menikmati momen indah di bawah langit yang berkilauan.
Di kejauhan, Gilang kembali ke lapangan dan melihat Didit dan Putri duduk berdampingan. Tanpa mengganggu, dia memutuskan untuk memberi mereka waktu lebih lama bersama. Gilang tahu, apapun yang terjadi malam ini, persahabatan mereka bertiga akan tetap kuat.
Saat kembang api terakhir meledak di langit, Didit merasa bahwa hari ini adalah salah satu hari terbaik dalam hidupnya. Meskipun perasaannya belum sepenuhnya terbalas, dia tahu bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang lebih baik.
Hari 17 Agustus ini bukan hanya tentang perlombaan atau kembang api, tapi juga tentang keberanian untuk mengungkapkan perasaan dan menikmati setiap langkah dalam perjalanan cinta yang mungkin panjang. Didit merasa lebih siap menghadapi apa pun yang akan datang, selama dia masih memiliki Putri dan Gilang di sisinya.
Malam itu berakhir dengan senyum di wajah Didit, senyum yang penuh harapan dan kebahagiaan. Meski perjalanannya mungkin baru dimulai, Didit tahu bahwa masa depan penuh dengan kemungkinan yang indah—dan dia siap untuk menjalani semuanya.
Nah, itu dia akhir dari cerita seru Didit dan Putri di hari kemerdekaan! Semoga kisah cinta pertama mereka yang penuh warna ini bikin kamu baper dan senyum-senyum sendiri.
Siapa tahu, kamu juga bakal ngerasain momen seru kayak gini di kehidupan nyata, kan? Jangan lupa, terus jaga semangat dan jangan ragu untuk mengungkapkan perasaanmu. Sampai jumpa di cerita seru berikutnya, ya!