Daftar Isi
Eh, kamu pernah ngebayangin gak sih, cinta bisa tumbuh di antara manusia dan naga? Iya, beneran! Cerita ini bakal bawa kamu ke dunia mistis yang penuh aksi dan drama. Siapa sangka, di balik kilau sisik naga yang menakutkan, ada kisah cinta yang bikin kamu baper. Siap-siap ikutan seru-seruan bareng Hadeon dan Elyara, ya! Let’s go!
Cinta Naga
Panggilan dari Lembah Kabut
Malam itu begitu sunyi. Hanya angin yang sesekali mendesir pelan, menggetarkan dedaunan yang sudah lama menguning. Di depan mataku terbentang jurang yang dipenuhi kabut tebal, seolah menutupi rahasia dunia lain yang tak kasat mata. Aku berdiri di tepi, menatap ke dalam lembah yang memanggilku. Setiap kali aku berada di tempat ini, ada dorongan aneh di dalam diriku. Semacam naluri yang sulit aku jelaskan—seperti aku tahu sesuatu yang penting akan terjadi, sesuatu yang lebih besar dari diriku.
Aku tidak pernah benar-benar tahu kapan Elyara akan datang. Tapi aku selalu menunggu. Setiap malam bulan purnama, langkahku selalu membawaku ke sini, tanpa alasan yang jelas selain perasaan bahwa aku harus ada di sini, di tempat ini. Rasanya seperti panggilan yang datang dari dalam jiwaku.
Dan benar saja, malam ini kabut di lembah terasa lebih tebal dari biasanya. Suara gemuruh lembut mulai terdengar dari kejauhan, nyaris tertelan oleh kesunyian hutan. Aku tahu suara itu—itu adalah dia.
Nafasku tertahan, jantungku berdetak lebih cepat saat bayangan besar mulai muncul di balik kabut. Dari kejauhan, sayap lebar mengepak, membelah angin dengan kekuatan yang tak tertandingi. Sosok itu semakin mendekat, tubuhnya hitam legam, sisik-sisiknya berkilau samar di bawah cahaya bulan yang tertutup awan. Naga. Elyara.
Dia terbang dengan anggun, meskipun tubuhnya besar dan penuh kekuatan. Setiap kepakan sayapnya memancarkan aura kekuasaan, namun di balik itu aku tahu ada sesuatu yang lebih lembut. Sesuatu yang tak pernah dia akui, tapi selalu kurasakan setiap kali kami bertemu.
Saat dia mendarat di tanah di depanku, bumi sedikit bergetar. Kabut di sekeliling kami berputar pelan, mengikuti gerakannya. Lalu, seperti yang sudah sering terjadi sebelumnya, tubuh Elyara mulai berubah. Perlahan, sosok naga yang besar itu mengecil, sisik-sisiknya memudar, dan di tempatnya berdiri seorang wanita. Elyara.
Dia berdiri beberapa meter dariku, mengenakan gaun panjang berwarna hitam pekat, rambutnya yang hitam legam jatuh sampai ke punggung, bergerak lembut seiring angin yang menyapanya. Tatapan matanya selalu sama—dingin, namun dalam, seperti ada sesuatu yang terus dia sembunyikan dariku.
“Kamu selalu di sini,” katanya, suara lembutnya memecah keheningan. “Aku heran kenapa kamu nggak pernah lelah menungguku.”
Aku tersenyum tipis, meskipun aku tahu senyum itu tak banyak berarti di hadapannya. “Aku nggak bisa menghindar dari ini, Elyara. Setiap kali aku mencoba, aku selalu kembali ke sini. Seperti ada sesuatu yang memanggilku.”
Dia menatapku dengan pandangan yang sulit dijelaskan. Ada kesedihan di sana, namun juga amarah yang terpendam. Aku tahu dia merasa bertentangan dengan dirinya sendiri setiap kali kami bertemu. Elyara, si penguasa naga, makhluk yang hidup ratusan tahun lebih lama dariku, seharusnya tak perlu peduli pada seorang manusia seperti aku. Tapi entah bagaimana, dia selalu datang.
“Kamu manusia,” Elyara berbisik, matanya masih tertuju padaku. “Dan aku… aku bukan bagian dari dunia ini. Kita seharusnya nggak bisa bersama.”
Aku menghela napas panjang. Setiap kali dia berkata begitu, ada sesuatu yang menusuk di dalam dadaku. Sudah bertahun-tahun aku mendengar kata-kata yang sama dari mulutnya, tapi aku tetap bertahan. Karena aku tahu, di balik segala perbedaan ini, ada sesuatu yang lebih besar yang mengikat kami berdua.
“Kenapa kamu selalu mengatakan itu?” tanyaku. “Kalau kamu benar-benar percaya kita nggak seharusnya bersama, kenapa kamu selalu datang setiap aku di sini?”
Elyara terdiam. Matanya menyipit, seperti mencari jawaban di balik kabut. Aku tahu dia nggak suka pertanyaan itu. Mungkin karena, jauh di dalam hatinya, dia juga nggak bisa menyangkal kebenaran yang sama dengan yang kurasakan.
“Kita terikat oleh sesuatu yang lebih tua dari kita,” katanya akhirnya, suaranya hampir tak terdengar. “Aku terpaksa datang ke sini karena takdir. Bukan karena aku menginginkannya.”
Aku merasakan amarah mulai membakar di dadaku. “Takdir? Kamu pikir semuanya cuma soal takdir?” Aku melangkah maju, mendekatinya. “Elyara, aku tahu kamu merasa lebih dari itu. Aku tahu kamu nggak di sini cuma karena terpaksa.”
Matanya berkobar dengan emosi yang berputar-putar—sesuatu yang sangat jarang kulihat dari seorang Elyara yang selalu tenang dan dingin. “Hadeon, kamu nggak tahu apa-apa tentangku! Tentang hidupku! Tentang apa yang sudah aku lalui!”
“Aku tahu lebih dari yang kamu kira!” jawabku cepat, suaraku meninggi. “Aku tahu betapa beratnya hidupmu sebagai naga. Tapi aku juga tahu, meski kamu selalu bicara soal perbedaan, soal dunia yang nggak bisa bersatu, kamu terus kembali. Kamu nggak bisa mengingkari itu, Elyara.”
Dia terdiam, tak mampu menjawab. Mata kami bertemu dalam hening yang tegang, sementara kabut semakin tebal, membungkus kami berdua dalam keheningan malam.
“Aku nggak ingin kamu terluka,” kata Elyara akhirnya, suaranya lebih pelan, lebih lembut. “Kita berbeda, Hadeon. Kamu akan menua, sementara aku akan terus hidup. Itu bukan hal yang bisa kita lawan.”
“Kenapa kamu nggak biarkan aku yang memutuskan itu?” tanyaku pelan, mencoba menenangkan nada bicaraku. “Biarkan aku yang menentukan apa yang aku mau. Dan yang aku mau… adalah kamu.”
Aku melihat perubahan di wajahnya. Ada sesuatu yang retak dalam dinding pertahanan yang selalu dia bangun. Namun sebelum dia bisa menjawab, suara gemuruh datang dari lembah di bawah kami. Suara itu lebih keras dari sebelumnya, seperti raungan yang berasal dari kedalaman bumi.
Elyara menoleh cepat, matanya berubah tajam. “Mereka datang.”
“Mereka?” tanyaku, merasa jantungku berdetak lebih cepat.
“Naga lain,” jawab Elyara sambil menatap langit yang kini mulai dipenuhi awan gelap. “Aku bisa merasakan mereka. Ini bukan hanya soal kita lagi, Hadeon. Ini tentang perang yang lebih besar. Dan kamu berada di tengah-tengahnya.”
Aku merasa tenggorokanku tercekat. Elyara mulai melangkah menjauh, tubuhnya sedikit gemetar seolah ada sesuatu yang menahan kekuatannya.
“Elyara, tunggu,” aku melangkah maju, mencoba menghentikannya. “Apa maksudmu? Apa yang akan terjadi?”
Dia berhenti sejenak, menoleh padaku dengan mata yang penuh kekhawatiran. “Hadeon, ini lebih dari sekadar cinta terlarang. Naga-naga yang datang ini tidak seperti aku. Mereka akan menghancurkan segalanya—dunia manusia dan naga. Kita ada di tengah-tengahnya. Aku… aku nggak ingin kamu terjebak di sini.”
“Aku nggak akan pergi ke mana-mana,” kataku tegas. “Kalau ada yang harus dihadapi, kita hadapi bersama.”
Sebelum dia bisa berkata apa-apa lagi, raungan dari lembah semakin mendekat. Bayangan hitam besar muncul di balik awan—naga merah raksasa dengan mata membara, mengepakkan sayapnya dengan kekuatan luar biasa.
“Ada satu hal yang harus kamu tahu, Hadeon,” Elyara berbisik dengan nada gentar yang jarang kudengar darinya. “Mereka bukan hanya musuhku. Mereka juga… mencari kamu.”
Seketika udara terasa jauh lebih berat, seolah bumi dan langit bersiap untuk pertempuran yang akan datang. Elyara menatapku dalam-dalam, sebelum tubuhnya kembali berubah menjadi naga hitam yang mempesona. Dia mengepakkan sayapnya, terbang ke udara dengan kecepatan yang memukau, menuju pertempuran yang tak bisa kami hindari.
Dan aku tahu, ini baru permulaan.
Rahasia di Balik Sisik Naga
Aku berdiri mematung, masih merasakan berat di dadaku setelah kepergian Elyara yang cepat. Bayangan tubuh naganya yang hitam sudah hilang di balik awan gelap. Di depanku, langit kini berubah menjadi arena perang yang siap meledak kapan saja. Naga merah raksasa itu semakin mendekat, mengepakkan sayapnya dengan gemuruh yang membuat bumi bergetar.
Aku harus bergerak. Tapi ke mana? Pikiran berkecamuk di kepalaku, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Elyara bilang, naga-naga itu juga mencari aku. Apa maksudnya? Kenapa mereka memburuku? Aku hanya manusia biasa… atau setidaknya begitulah yang selalu kukira.
Suara gemuruh itu semakin dekat, dan tanpa berpikir panjang, aku berlari. Kaki-kakiku membawa tubuh ini menembus hutan yang gelap, di antara pepohonan yang semakin padat dan menjulang tinggi. Daun-daun berguguran, terbawa angin kencang yang menyertai kehadiran para naga. Aku tidak tahu ke mana arah langkahku, tapi naluri memaksaku terus bergerak.
“Hadapi bersama?!” Aku bergumam kesal, menyesali ucapanku tadi. Apa yang kupikirkan? Aku bukan pejuang, aku bukan pemburu naga. Aku hanya seorang manusia yang terseret dalam permainan makhluk-makhluk perkasa yang hidup lebih lama dari sejarahku sendiri.
Langkahku terhenti di sebuah celah di antara dua batu besar. Napasku tersengal, dan keringat mulai membasahi pelipisku. Di depan, hutan tampak berakhir di tepi sebuah tebing. Di bawah sana, lembah yang sama yang selalu memanggilku, kini terlihat seperti jurang tanpa dasar, diselimuti kabut tebal yang lebih pekat daripada sebelumnya.
Suara raungan lain tiba-tiba menggema dari arah langit. Aku mendongak, melihat sosok naga merah itu sekarang berputar-putar di atas lembah, seolah-olah sedang mencari sesuatu. Mungkin aku. Nafasku memburu, aku bersembunyi di balik salah satu batu besar, berharap bayanganku tenggelam di kegelapan malam.
Sekarang, dalam hening yang menyiksa ini, kepalaku penuh pertanyaan. Siapa sebenarnya Elyara? Mengapa dia begitu peduli padaku, padahal dia selalu mengatakan bahwa kami tidak seharusnya bersama? Dan kenapa naga merah itu… tahu namaku?
Ketika aku berpikir semua ini hanya akan berakhir di sini, ada suara langkah kaki dari belakang. Refleks, aku meraih pisau kecil di pinggangku—sebuah senjata seadanya yang selalu kubawa saat masuk ke hutan. Langkah-langkah itu semakin mendekat, dan aku mempersiapkan diri. Tapi ketika sosok itu muncul di balik bayang pepohonan, aku terkesiap.
“Siapa—“ Aku tak sempat menyelesaikan pertanyaanku ketika dia muncul di hadapanku.
Seorang pria, wajahnya penuh luka dan kotoran, dengan jubah yang robek-robek. Matanya merah, bukan seperti kemarahan, tapi seperti orang yang sudah terlalu lama tidak tidur. Aku menatapnya tajam, jantungku berdetak kencang.
“Kamu Hadeon, kan?” tanyanya, suaranya serak.
Aku mengangguk pelan, masih waspada. “Siapa kamu?”
Dia tertawa pelan, suara tawanya bercampur dengan napas berat yang tersengal-sengal. “Aku sudah mencarimu… lama sekali.”
“Kenapa kamu mencariku?” Aku menyipitkan mata, merasakan ada sesuatu yang salah di sini. Aku baru saja mendengar dari Elyara bahwa naga-naga itu juga mencari aku. Sekarang, pria aneh ini muncul dari kegelapan dengan kata-kata yang sama.
Dia berjalan mendekat, langkahnya lemas, seakan tubuhnya sudah tak punya energi. “Kamu pikir kenapa naga-naga itu mencari kamu?” tanyanya balik, sebelum terbatuk keras. “Kamu bukan manusia biasa, Hadeon.”
Jantungku seperti berhenti berdetak. Kata-kata itu seperti cambuk yang membelah pikiranku. “Apa maksudmu?”
Dia menoleh padaku, mata merahnya menatap dalam-dalam, penuh kebencian dan keputusasaan. “Kamu bagian dari mereka… bagian dari para naga.”
Aku mundur satu langkah, hampir tersandung batu di belakangku. “Apa?!”
“Kamu pikir kamu hanya manusia biasa?” Dia tertawa lagi, tapi tawa itu terdengar seperti tangisan putus asa. “Tidak, Hadeon. Darah naga mengalir dalam dirimu. Itulah sebabnya Elyara terikat padamu. Itulah sebabnya mereka memburu kamu.”
Aku merasa seperti dihantam gelombang yang tak terlihat. Kata-kata pria itu terus terngiang di telingaku, seolah-olah aku berada dalam mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Darah naga? Aku? Tidak, ini gila. Aku hanya manusia biasa. Aku tidak mungkin…
“Dia tahu ini,” lanjut pria itu, kini suaranya lebih pelan, hampir seperti bisikan. “Elyara tahu kamu bukan manusia biasa. Itulah sebabnya dia selalu datang kepadamu. Dia mencoba melindungimu… atau mungkin, dia mencoba memanfaatkanmu.”
Dunia terasa berputar di sekelilingku. Aku tidak bisa memikirkan apa-apa lagi selain kata-katanya. “Apa maksudmu… memanfaatkanku?”
Pria itu terdiam sejenak, kemudian mendekat. “Karena, kamu adalah kunci.”
Aku menggelengkan kepala, merasa kewalahan. “Kunci untuk apa?”
“Kunci untuk membuka gerbang antara dunia naga dan dunia manusia. Kalau kamu jatuh ke tangan yang salah…” Dia berhenti, lalu menatapku dalam-dalam. “Semuanya akan berakhir. Dunia manusia akan hancur, Hadeon.”
Aku tidak bisa berkata apa-apa. Tenggorokanku kering, dan segala sesuatu yang kukira aku tahu tentang hidupku tampak seperti kebohongan belaka. “Kamu tidak mungkin benar,” bisikku, lebih kepada diriku sendiri.
“Tanya Elyara kalau kamu nggak percaya,” katanya, wajahnya suram. “Dia tahu lebih banyak dari yang dia ceritakan padamu. Kamu pikir dia datang setiap malam bulan purnama cuma untuk bersenang-senang? Tidak, Hadeon. Ada sesuatu yang lebih dalam dari itu.”
Aku menatap pria itu dengan ngeri, lalu teringat raungan naga merah yang masih menggetarkan langit di atas kami. “Kenapa naga itu mencari aku?”
Dia tertawa getir. “Karena Ardrak, naga merah itu, ingin menggunakan darahmu untuk membuka gerbang. Dia sudah menunggu berabad-abad untuk ini. Kalau dia berhasil…”
Aku menyadari akhir dari kalimatnya bahkan sebelum dia menyelesaikannya. Dunia ini akan hancur.
Tiba-tiba, suara ledakan keras menggema di langit. Pria di depanku membelalak, melihat ke arah tebing di mana naga merah terbang rendah, mendekati tanah. Di balik asap dan kobaran api, aku bisa melihat bayangan Elyara yang sedang bertarung. Serangan api merah membara menghantam tubuhnya, tapi Elyara bertahan, dengan sisiknya yang hitam memantulkan kilatan api.
“Elyara…” Aku bergumam, menatap pertempuran sengit itu. Tanpa berpikir, aku berlari ke arah tebing, mendekat ke pertarungan dua naga besar yang sedang menghancurkan langit malam.
“Jangan bodoh!” teriak pria itu, tapi aku tidak peduli. Kaki-kakiku bergerak lebih cepat, melompati akar-akar pohon dan bebatuan, sementara ledakan api dan suara gemuruh sayap naga semakin dekat. Aku tahu ini berbahaya, tapi aku tidak bisa berhenti. Elyara… aku harus menolongnya.
Aku sampai di tepi tebing, tepat saat Elyara terlempar oleh hantaman keras dari Ardrak. Tubuh naganya terjatuh ke tanah, menghempaskan kabut yang tebal ke sekelilingnya. Aku berlari mendekat, tanpa memikirkan apa yang akan terjadi padaku.
“Elyara!” Aku berteriak, meskipun tahu dia tidak mungkin mendengar. Tapi entah bagaimana, matanya yang bersinar itu beralih padaku, hanya sesaat sebelum Ardrak meluncur turun dengan raungan yang mengguncang langit.
Aku tak punya pilihan. Aku melompat ke depan, menuju tubuh Elyara yang terbaring lemah. Apa yang terjadi berikutnya akan mengubah hidupku selamanya.
Bangkitnya Darah Naga
Tubuhku terempas keras ke tanah, seakan gravitasi menghempasku dengan marah. Rasa nyeri langsung menyergap seluruh tulangku, tapi itu tidak penting. Yang kulihat hanyalah Elyara, tergeletak lemah dengan napas tersengal-sengal di hadapanku. Naga hitam besar itu tampak lebih rentan dari sebelumnya, sayapnya koyak, dan sisik-sisiknya yang legam tampak hangus terbakar di beberapa tempat.
Ardrak, naga merah, masih berputar-putar di udara dengan tatapan mata yang penuh kebencian. Sayapnya mengembang, menciptakan angin badai yang kencang, dan api merah menyala keluar dari mulutnya, siap menyerang lagi. Aku berdiri, meski tubuhku gemetar, menatap makhluk raksasa itu.
“Elyara…” bisikku, tanganku gemetar saat kuraih tubuh besarnya. Sisik hitamnya panas di tanganku, seolah-olah naga itu sedang terbakar dari dalam. Matanya yang tajam sedikit terbuka, menatapku dengan keputusasaan yang baru pertama kali kulihat di sana.
“Hadeon…,” suara Elyara teredam, bercampur dengan suara hembusan napas beratnya. “Kamu… nggak bisa lawan dia… Ardrak terlalu kuat.”
Aku memejamkan mata, menarik napas panjang meski setiap helaan terasa seperti menyedot bara. “Aku nggak akan ninggalin kamu. Kita bisa hadapi ini… bersama.”
Dia tertawa kecil, tapi itu lebih terdengar seperti napas terakhir yang putus asa. “Kamu… keras kepala.”
Ardrak tiba-tiba turun, meluncur dengan kecepatan yang mustahil dipercaya untuk tubuh sebesar itu. Api merah berputar-putar di sekelilingnya, memancarkan aura kehancuran yang mematikan. Jantungku berdebar keras, tak ada tempat untuk melarikan diri, tak ada kesempatan untuk bersembunyi. Aku hanya punya satu pilihan—berdiri di sini, di antara Elyara dan naga merah itu.
“Bangkit, Elyara! Kita harus melawannya!” teriakku, suaraku serak. Tapi Elyara hanya menggeleng pelan, napasnya makin melemah.
“Aku… sudah terlalu lemah…” bisiknya, suara itu hampir lenyap dalam gemuruh yang mendekat. “Kamu… harus pergi, Hadeon.”
Aku menggeleng, hatiku menolak meski logikaku tahu bahwa apa yang dia katakan benar. Aku bukan naga, aku bukan makhluk perkasa yang bisa melawan api atau terbang di langit. Tapi aku tidak bisa meninggalkannya. Di saat itulah, kilatan ingatan tentang pria yang kutemui tadi kembali menghantamku.
Darah naga mengalir dalam dirimu.
Kata-kata itu bergaung di benakku. Apa maksudnya? Aku, darah naga? Itu gila. Aku hanya seorang pria biasa, hidup di desa tanpa jejak kekuatan atau kemuliaan.
Tapi… kalau memang benar? Kalau semua ini bukan kebetulan? Sesuatu dalam diriku mendorong untuk mempercayainya. Elyara selalu ada di sekitarku, dan naga-naga itu… mereka memburuku, bukan karena aku manusia, tapi karena ada sesuatu yang lain dalam darahku.
Ardrak meluncur lebih cepat, kali ini tak ada waktu untuk berpikir. Aku berbalik ke arah Elyara, tanganku gemetar tapi hatiku sudah mantap. “Kalau aku benar… kalau aku benar tentang darahku…” gumamku pelan. Aku tidak yakin bagaimana caranya, tapi aku tahu aku harus mencobanya.
Aku meraih dada Elyara yang mulai melemah, menempatkan kedua telapak tanganku di sisiknya yang retak dan terbakar. Saat jari-jariku menyentuhnya, aku bisa merasakan sesuatu—energi. Sebuah arus panas mengalir melalui tubuhnya, tetapi terperangkap, tertahan oleh luka dan kelelahan.
“Aku nggak tahu apa yang harus kulakukan,” bisikku, mataku tertutup rapat, mencoba fokus. “Tapi kalau darah naga memang mengalir dalam diriku… aku memintanya sekarang.”
Ardrak menjerit keras, begitu dekat sampai-sampai aku bisa merasakan panas api dari tubuhnya yang memancar. Dalam sekejap, kilat api merah menyapu langit, melesat ke arah kami dengan kekuatan yang cukup untuk menghancurkan tanah di sekeliling.
Tiba-tiba, aku merasakan sesuatu yang sangat berbeda di dalam diriku. Sesuatu yang panas, menggelegak, memaksa keluar dari inti tubuhku, melingkupi jantung dan seluruh aliran darahku. Seolah-olah nyala api itu bukan datang dari Ardrak, melainkan dari dalam tubuhku sendiri.
Dan saat itulah, tubuhku mulai berubah.
Suara ledakan besar mengguncang bumi. Tepat saat api Ardrak menghantamku, tubuhku menyerap energi itu, membaur dengan darahku sendiri. Kulitku terbakar, tapi bukan rasa sakit yang kurasakan—melainkan kekuatan, kekuatan luar biasa yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Tubuhku… berubah.
Sisik. Sisik hitam pekat mulai tumbuh di kulitku, menutupi tangan, lengan, dan tubuhku. Di bawah sisik-sisik itu, ototku mengeras, mengembang dengan kekuatan yang aneh tapi familier. Punggungku membesar, punggungku menyentuh tanah saat aku perlahan berdiri, dan aku merasakan… sayap.
Aku mendongak ke langit, dan untuk pertama kalinya, aku tahu bagaimana rasanya menjadi naga.
Ardrak melayang di depanku, matanya terbelalak melihat transformasi yang tak pernah dia duga. Aku menggeram, suara geramanku dalam dan memekakkan telinga, jauh lebih kuat daripada raungan manusia biasa.
Tanpa peringatan, aku melesat ke arah Ardrak, sayap hitam besarku mengepak dengan kekuatan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Tubuhku kini sebesar dirinya, sama besarnya dengan Elyara. Aku—seorang manusia, kini berdiri di antara dua dunia, manusia dan naga.
Ardrak mencoba menembakkan api lagi, tapi kali ini aku siap. Kekuatan api itu melebur dalam sisikku, tak lagi menyakitiku. Dengan satu pukulan cakar, aku menyerang tubuhnya, membuatnya terpental beberapa meter ke udara.
Dia menjerit, terkejut. Ardrak jelas tidak menyangka aku mampu melawannya. Tapi aku tidak peduli. Aku hanya tahu bahwa kini, aku punya kekuatan untuk melindungi Elyara.
Aku terbang lebih tinggi, mengikuti Ardrak yang kini mencoba menghindar, dan kali ini aku yang menyerangnya. Satu kibasan sayapku menciptakan angin badai yang membantingnya ke tanah, menghancurkan pepohonan di sekelilingnya. Ardrak mencoba bangkit, tapi sebelum dia sempat berdiri, aku sudah di atasnya, mendaratkan cakarku di dadanya, menekannya ke tanah.
“Ini untuk Elyara,” desisku pelan, sebelum kulemparkan dia dengan kekuatan yang membuat langit gemetar. Tubuh besar Ardrak terlempar jauh, jatuh dengan keras di antara pepohonan, dan dia tak bangkit lagi.
Aku terengah-engah, tubuhku kini dipenuhi oleh kekuatan yang baru saja kuakrabi. Saat aku berbalik, Elyara menatapku dengan sorot mata yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Ada kelegaan di sana… dan rasa hormat.
“Hadeon…” Elyara memanggil, suaranya pelan tapi jelas.
Aku mendekatinya, masih dengan tubuh naga raksasaku, tapi perlahan aku bisa merasakan perubahan. Sisik-sisik di tubuhku mulai menghilang, kekuatan yang baru saja kutemukan perlahan mundur kembali, seolah darah nagaku hanya muncul ketika aku benar-benar membutuhkannya.
Dalam beberapa detik, aku kembali menjadi manusia, berdiri di samping Elyara yang kini sudah terlihat lebih baik, meski masih lemah.
“Kamu…,” Elyara berbicara sambil berusaha mengatur napasnya, “kamu sudah bangkit, Hadeon. Kamu bukan lagi manusia biasa.”
Aku terdiam, menatap tanganku yang masih terasa panas oleh kekuatan yang belum sepenuhnya menghilang. “Apa yang terjadi padaku…?”
Elyara tersenyum tipis, meski wajahnya masih terlihat lelah. “Kamu baru saja menemukan takdirmu.”
Di kejauhan, suara gemuruh naga lain mulai terdengar lagi, tanda bahwa pertempuran ini belum selesai.
Dan aku tahu, perang yang lebih besar akan segera dimulai.
Api di Dalam Diri
Kegelapan merayap di langit, mendominasi dengan nuansa merah pekat dari arah tempat Ardrak jatuh. Aku bisa merasakan keberadaan makhluk lain yang bersembunyi di balik bayang-bayang, menanti saat yang tepat untuk menyerang. Ini bukan hanya tentang aku dan Elyara lagi—ini tentang seluruh bangsa naga yang terperangkap dalam pertikaian kuno.
“Mereka datang,” Elyara berbisik, suaranya menggema di tengah keheningan yang mencekam.
Aku menatapnya, matanya menyala penuh semangat meski tubuhnya masih lemah. “Kita harus bersiap. Apa kamu masih bisa terbang?”
Dia mengangguk pelan, mengumpulkan sisa-sisa energinya. “Ya, tapi aku perlu waktu. Kita harus bertahan di sini sampai aku siap.”
Kedua tangan kami saling menggenggam, ada kekuatan dalam sentuhan itu, seolah energi yang mengalir di antara kami dapat mengalahkan kegelapan. Dalam sekejap, aku merasakan panas dari jari-jarinya yang terhubung dengan darah naga di dalam diriku.
Tak lama kemudian, suara sayap besar bergetar di udara, menciptakan angin dingin yang membuatku merinding. Beberapa sosok naga muncul dari balik pepohonan, terbang dengan gesit, siap untuk menyerang. Mereka adalah naga-naga dari klan Ardrak, kini berusaha membalas dendam atas kekalahan pemimpin mereka.
“Bersiap, Hadeon!” teriak Elyara, suaranya tegas. “Kita tidak bisa mundur!”
Rasa takut mulai merayap ke dalam diriku, tetapi aku menekan perasaan itu. Di dalam diriku, ada kekuatan naga yang selalu siap untuk bangkit. “Aku siap,” jawabku, meski suara yang keluar lebih bergetar daripada yang kuinginkan.
Naga-naga itu melesat ke arah kami, dan di saat bersamaan, aku merasa darahku mendidih, panggilan kekuatan naga yang membakar semangatku. Tanpa sadar, aku mengangkat tanganku, mengarahkan ke arah mereka, dan dengan suara menggelegar yang datang dari dalam, aku meneriakkan kata-kata yang tidak pernah kupahami sebelumnya.
“Bangkitlah, api yang terpendam!”
Seolah terhimpun dari semua rasa sakit, kehilangan, dan keberanian yang kumiliki, nyala api menyala dari tanganku, berputar-putar dalam warna emas yang berkilau, memancarkan kekuatan yang menggetarkan. Dalam sekejap, bola api itu membesar, meledak ke arah naga-naga yang menyerang kami.
Bola api itu mengenai beberapa dari mereka, melepaskan ledakan yang mengguncang seisi hutan. Suara jeritan mereka menggaung, menciptakan simfoni kebangkitan yang meresap ke dalam darahku. Aku tidak hanya bertahan; aku menyerang.
“Jangan berhenti!” teriak Elyara, saat dia melayang ke udara, menyalurkan kekuatan naga dari dalam dirinya. Sayapnya memancarkan cahaya biru yang menawan, melindunginya dari serangan. “Kita bisa mengalahkan mereka!”
Seperti terinspirasi oleh semangatnya, aku berlari ke arah naga-naga itu, melepaskan ledakan demi ledakan. Setiap bola api yang kulepaskan bagaikan cermin dari kekuatanku, menghubungkan kami dalam pertarungan ini. Ini adalah kami melawan mereka, dua makhluk yang terikat oleh takdir dan cinta.
Dalam satu serangan, aku berhadapan langsung dengan salah satu dari mereka, naga berwarna perak dengan mata dingin. Ia meluncurkan napas es ke arahku, tetapi sebelum hembusan itu menyentuhku, aku terbangun dalam naluri bertahan. Dengan cepat, aku mengarahkan kedua tangan dan membentuk perisai api yang memantulkan serangan itu.
Kedua naga saling bertabrakan, suara denting dan suara nyala api bergema di udara, menciptakan kekacauan yang mengerikan. Semuanya terasa hidup dan energik, seolah kami berdua adalah inti dari pertempuran ini, mengubah keseimbangan antara dunia manusia dan naga.
Setelah beberapa saat berjuang, satu per satu naga lawan mulai jatuh, terkapar dalam kekalahan. Aku bisa merasakan semangatku semakin menguat, kekuatan Elyara mengalir melalui diriku, dan sebaliknya. Kami adalah dua sisi dari koin yang sama, terhubung oleh darah naga dan cinta yang tak terputus.
Akhirnya, aku melihat Ardrak terbang kembali, meski terpaksa. Ia terlihat lebih marah, tertekan, tetapi dia tahu. Dia tahu bahwa kekuatan kami telah tumbuh melebihi harapannya. Dia bersiap untuk menyerang, tapi kali ini, aku tidak akan mundur.
“Kita akhiri ini, Elyara,” kataku, suaraku bergetar penuh keyakinan. “Saatnya menunjukkan siapa yang sebenarnya menguasai darah naga.”
Kami berdua melangkah maju, tangan kami terulur satu sama lain, terikat dalam kekuatan dan keberanian. Dalam serentetan suara guntur, kami terbang ke udara, memancarkan energi yang belum pernah terlihat sebelumnya. Ardrak melayang di depan kami, siap untuk menyerang, tetapi kami sudah bersiap.
Dengan satu seruan, kami melepaskan semua kekuatan yang kami miliki. Sebuah ledakan energi tercipta, menghancurkan langit, menghapus kegelapan. Saat cahaya memenuhi dunia, Ardrak meluncur ke arah kami, tetapi kali ini, dia tidak bisa lagi bertahan.
Cahaya membakar langit, dan dalam sekejap, seluruh dunia terasa sepi. Api dan cahaya memisahkan kami dari kegelapan, membawa kami ke dalam kejayaan.
Ketika semuanya mereda, aku terjatuh ke tanah, napas terasa berat. Elyara di sampingku, wajahnya penuh rasa syukur dan kebahagiaan. Di atas kami, Ardrak tergeletak, tak berdaya, dan naga-naga lainnya mundur.
“Kita berhasil,” bisikku, dan senyuman mengembang di wajah Elyara. “Kita berhasil.”
Tapi di dalam hatiku, ada satu pertanyaan yang membara. Apa artinya ini semua? Kami telah mengalahkan Ardrak, tetapi ancaman lain mungkin masih ada. Dalam dunia ini, di mana naga dan manusia bersatu, pertarungan kami baru saja dimulai.
Dan saat matahari terbenam, aku merasakan gelombang baru dari kekuatan dalam diriku, bukan hanya darah naga, tetapi semangat yang akan membimbingku ke jalan yang lebih besar. Bersama Elyara, kami akan menghadapi apa pun yang ada di depan, tak peduli seberapa besar atau menakutkan.
Bersama, kami adalah kekuatan yang tak terpisahkan. Di sinilah kisah kami dimulai.
Jadi, begitulah kisah cinta antara manusia dan naga, yang ternyata lebih rumit dan mendebarkan dari yang kita bayangkan. Hadeon dan Elyara menunjukkan bahwa meskipun dunia dipenuhi dengan bahaya dan misteri, cinta sejati bisa mengalahkan segalanya.
Siapa tahu, mungkin di luar sana, masih ada banyak kisah seru lain yang menunggu untuk diceritakan. Jangan lupa, cinta itu seperti api, bisa menyala dengan indah atau membakar habis—semua tergantung bagaimana kita menjaganya. Sampai jumpa di petualangan berikutnya!