Daftar Isi
Jadi, pernah nggak sih kamu terjebak dalam situasi yang bikin kamu pengen teriak sekaligus ketawa? Nah, bayangkan ada dua orang yang dari dulu berseteru, eh tiba-tiba harus mendaki gunung bareng!
Ya, ini tentang Nara dan Finn—musuh bebuyutan yang sekarang jadi partner in crime di jalur pendakian. Siapa sangka, di antara pertengkaran dan adu mulut, mereka malah menemukan cinta yang bikin semua petualangan jadi lebih seru! Yuk, simak perjalanan konyol mereka!
Cinta Musuh Bebuyutan
Awal Perseteruan
Pagi itu, udara di sekitar Gunung Arunika terasa segar dan menyejukkan, seperti semangat baru yang mengalir dalam diri Nara. Dia berdiri di tepi jalur pendakian, memandang ke arah puncak gunung yang tampak menantang. Di sampingnya, Finn, musuh bebuyutannya sejak sekolah menengah, sedang sibuk mengatur peralatan pendakiannya. Rasa percaya diri Nara mengalir deras, dan dia tidak sabar untuk membuktikan bahwa dia bisa mengalahkan Finn.
“Nara, kamu yakin mau mulai sekarang? Mungkin kamu bisa cari jalan lain untuk menghindari kekalahan lagi,” Finn menyindir, sambil menyesuaikan ransel yang tergantung di punggungnya. Senyumnya yang menantang membuat Nara semakin bersemangat.
“Ha! Jangan harap aku mundur. Kali ini, aku pasti yang akan sampai puncak lebih dulu. Siap-siap saja untuk mengakui kekalahan,” balas Nara dengan nada mengejek. Dia tahu betapa Finn benci kalah, dan itu membuatnya merasa lebih berani.
Mereka memulai pendakian, dan Nara melangkah mantap. Setiap langkah yang dia ambil seolah membakar semangatnya. Finn berada tepat di sampingnya, dan dia bisa merasakan ketegangan di antara mereka, seolah ada aliran listrik yang tidak terlihat.
“Jadi, seberapa banyak latihan yang kamu lakukan sebelum ini?” Finn bertanya, seolah ingin menjatuhkan semangat Nara. “Atau apakah kamu hanya mengandalkan keberuntungan?”
Nara menoleh, menatap Finn dengan tatapan tajam. “Jangan meremehkan kemampuan aku, Finn. Aku sudah siap untuk semua ini. Lagipula, ini bukan pertama kalinya aku mendaki.”
Finn tertawa kecil, seolah meremehkan. “Ya, tapi ini puncak Gunung Arunika. Semoga kamu tidak terlalu terpesona oleh pemandangannya sampai lupa cara mendaki.”
Dengan semangat yang semakin berkobar, mereka terus mendaki, saling berdebat dan menggoda. Nara merasakan adrenalin yang membara di dalam diri. Namun, tidak hanya semangat pendakian yang mengalir; ada juga rasa benci yang manis terhadap Finn. Rasa benci itu seperti bumbu dalam hubungan mereka, menambah keunikan.
“Kalau kita terjebak di antara pepohonan ini, siapa yang kamu kira akan menemukan jalan keluar terlebih dahulu?” Nara menggoda, melihat Finn yang tampak serius saat memeriksa peta.
“Aku rasa kamu tidak perlu khawatir, karena aku adalah pemandu terbaik di sini,” jawab Finn dengan senyum percaya diri, membuat Nara bergetar karena kesal.
“Dan aku akan memastikan bahwa aku tidak tersesat dalam kegelapan karena mengikuti kamu.” Nara membalas, dan keduanya saling memandang tajam, penuh rasa persaingan.
Seiring waktu berjalan, jalanan semakin terjal, dan udara semakin tipis. Keringat mulai bercucuran di dahi mereka, tetapi semangat tetap menyala. Setiap kali Nara mendengar Finn mengeluh, ada kepuasan tersendiri di hatinya. Dia merasa bangga bisa menunjukkan bahwa dia tidak mudah menyerah.
“Kalau terus begini, sepertinya kamu akan kalah sebelum sampai di puncak,” Finn mengejek, menghela napas panjang. Nara mengernyitkan dahi, merasa tantangan itu semakin membara.
“Kau masih harus berjuang lebih keras dari ini, Finn. Aku tidak akan menyerah begitu saja.” Nara merasa darahnya mendidih, ingin membuktikan bahwa dia bisa lebih baik.
Sesaat kemudian, mereka tiba di pos terakhir sebelum mencapai puncak. Di sana, mereka berhenti sejenak untuk beristirahat, merasakan keletihan setelah berjam-jam mendaki. Nara duduk di atas batu, menatap Finn yang terlihat serius memeriksa ranselnya.
“Kau tidak lelah, kan?” tanya Nara, sedikit mengolok-olok. “Atau apakah kamu akan menyerah sebelum puncak?”
Finn mengangkat kepalanya dan menatap Nara dengan sinis. “Lelah? Tidak ada waktu untuk itu. Aku akan lebih lelah kalau kamu terus menggangu.”
Nara tertawa, merasa tantangan di antara mereka semakin mengasyikkan. “Mungkin kamu yang seharusnya mengaku kalah sebelum mulai mendaki.”
Keduanya kembali bersaing untuk mencapai puncak. Dalam perjalanan, mereka terus bertukar ejekan dan candaan, membuat suasana pendakian menjadi lebih hidup. Tapi, di balik semua itu, Nara merasakan ketegangan yang berbeda. Ada sesuatu dalam cara mereka berinteraksi yang membuat hatinya berdebar, sesuatu yang lebih dari sekadar permusuhan.
Di saat yang sama, Finn juga merasakan pergeseran dalam perasaannya. Keduanya tidak menyadari bahwa di antara segala perseteruan dan perdebatan, ada benih benih cinta yang perlahan mulai tumbuh.
“Ayo, Nara! Kita hampir sampai!” teriak Finn, memberikan semangat kepada Nara. Keduanya mulai berlari lagi, mendaki lebih tinggi ke arah puncak, di mana mereka tahu bahwa semua usaha ini akan terbayar.
Namun, perjalanan mereka belum berakhir. Dengan setiap langkah yang diambil, persaingan ini semakin menegangkan. Di depan, puncak gunung menunggu, dan di antara keduanya, ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar kompetisi yang siap untuk ditemukan.
Pertarungan di Puncak
Setelah beberapa waktu berlari dan mendaki, Nara dan Finn akhirnya tiba di puncak Gunung Arunika. Angin berhembus kencang, membuat rambut Nara berantakan. Dia berdiri di tepi tebing, memandang pemandangan spektakuler yang terbentang di hadapannya. Lautan pepohonan hijau dan lembah yang membentang jauh di bawahnya membuatnya terpesona.
“Wow, ini luar biasa,” ucap Nara, seolah melupakan semua perseteruan sebelumnya. Dia memejamkan mata, menikmati kesegaran udara pegunungan. Namun, suara Finn di belakangnya segera mengembalikan fokusnya.
“Jadi, sudah siap untuk mengakui bahwa aku lebih cepat sampai di sini?” Finn menggoda, senyum puas di wajahnya.
“Belum. Kita harus membuktikan siapa yang lebih baik,” balas Nara, berbalik dan melotot tajam ke arahnya. “Tapi, kamu boleh berbangga sedikit. Ini hanya awal.”
Finn mengangkat alisnya, tampak skeptis. “Jadi, kamu masih mau melanjutkan kompetisi ini, ya? Tentu saja, kalau itu yang kamu mau. Kita bisa bikin tantangan baru.”
Nara tersenyum nakal. “Baiklah. Bagaimana kalau kita lihat siapa yang bisa mendirikan tenda lebih cepat? Siap-siap saja untuk kalah lagi!”
Mereka mulai membongkar peralatan yang mereka bawa. Nara tahu betul bagaimana cara mendirikan tenda dengan cepat, sementara Finn tampaknya masih ragu. Dengan sikap percaya diri, Nara mulai memasang tenda di atas tanah berbatu.
“Hey, lihat ini!” Nara berteriak sambil melakukannya dengan cekatan. “Kamu pasti butuh bantuan untuk mendirikan tenda itu.”
Finn merespons dengan nada penuh tantangan. “Lihat saja, aku tidak butuh bantuan dari siapa pun, terutama darimu.”
Sambil melirik Nara, Finn berusaha keras memasang tenda, tetapi hasilnya justru tampak berantakan. Nara tidak bisa menahan tawa melihat perjuangannya.
“Kalau kamu terus seperti ini, kita akan tidur di luar, Finn,” Nara berkomentar, berusaha menahan tawanya.
Finn berbalik, wajahnya merah padam. “Diam! Ini hanya kesalahan kecil.”
Setelah beberapa menit yang penuh dengan ketegangan dan tawa, akhirnya mereka berhasil mendirikan tenda masing-masing. Nara merasa bangga dan menganggap ini sebagai kemenangan kecilnya atas Finn.
“Nah, siapa yang lebih cepat sekarang?” Nara berkata sambil meluruskan punggung dan mengacungkan jari telunjuknya dengan senyum menantang.
Finn mengerutkan kening, lalu menyeimbangkan diri di atas batu sambil berusaha untuk terlihat angkuh. “Ini belum selesai. Kita masih punya banyak tantangan lain.”
Mereka memutuskan untuk istirahat sejenak dan mengeluarkan bekal yang mereka bawa. Nara menyusun makanan ringan di atas batu besar dan melihat Finn yang duduk di sampingnya.
“Nah, kita sudah sampai di sini. Jadi, apa sebenarnya yang kamu cari dengan semua ini?” Nara bertanya, sedikit penasaran.
Finn menatap pemandangan indah di depan mereka, tampak sejenak merenung. “Aku selalu ingin mendaki gunung ini. Mungkin aku juga ingin membuktikan bahwa aku lebih baik dari orang-orang lain.”
“Termasuk aku?” Nara memotong.
Finn tersenyum, tidak menjawab secara langsung. “Mungkin. Atau mungkin aku hanya suka tantangan.”
Nara menggigit roti isi yang dipegangnya, merasa ada nuansa yang lebih dalam dari sekadar kompetisi di antara mereka. Ternyata, keduanya memiliki alasan yang sama untuk ada di sini. Momen ini mulai terasa lebih dari sekadar perseteruan.
Setelah makan, mereka memutuskan untuk menjelajahi puncak gunung. Nara berjalan di depan, berusaha menemukan jalur baru, dan Finn mengikuti di belakangnya, terus melemparkan ejekan.
“Kalau kita terjebak di sini karena kamu tersesat, aku tidak akan bertanggung jawab,” Finn bercanda, tetapi di dalam hatinya, dia juga merasakan bahwa Nara memiliki kemampuan untuk membuat segalanya menjadi lebih menarik.
“Kamu yang harus bertanggung jawab jika ini semua karena saranmu!” balas Nara, menatap Finn dengan tatapan tajam.
Tiba-tiba, mereka mendengar suara derak yang keras di belakang mereka. Nara menoleh, dan seolah semua waktu berhenti. Sebuah batu besar menggelinding menuruni lereng, menuju arah mereka. Finn segera menarik Nara menjauh, dan dalam sekejap, mereka terjatuh ke tanah, berguling bersama.
Keduanya terdiam sejenak, terkejut dengan kejadian itu. Nara merasakan jantungnya berdegup kencang, terjebak dalam posisi berdekatan dengan Finn. Nafasnya terengah-engah, dan dia menatap Finn yang juga terlihat terkejut.
“Apakah kamu baik-baik saja?” tanya Finn, suaranya serius.
“Ya, aku baik-baik saja,” Nara menjawab, meskipun detak jantungnya tidak kunjung reda. Momen itu terasa aneh, intim. Dalam suasana yang menegangkan itu, ada kehangatan yang mulai tumbuh di antara mereka.
“Mungkin kita harus lebih berhati-hati,” kata Finn, sambil tersenyum kecil.
Nara tidak bisa menahan senyumnya. “Atau kita bisa terus berdebat tentang siapa yang lebih beruntung.”
Dengan tawa kecil, mereka berdua berdiri, mengusir debu dari pakaian masing-masing. Ketegangan di antara mereka mulai memudar, tergantikan dengan momen yang lebih manis.
Di puncak gunung ini, mereka tidak hanya menemukan tantangan fisik, tetapi juga tantangan emosional. Mungkin perseteruan ini akan membawa mereka lebih dekat daripada yang mereka duga. Momen-momen kecil ini adalah awal dari perjalanan yang tidak terduga, di mana mereka akan belajar bahwa kadang-kadang, musuh terbesar bisa menjadi cinta terindah.
Menyusun Peta Hati
Setelah momen mendebarkan itu, suasana di puncak Gunung Arunika mulai terasa lebih santai. Nara dan Finn menemukan tempat yang nyaman untuk duduk, memandangi pemandangan menakjubkan yang terbentang di depan mereka. Gunung-gunung lain mengelilingi mereka, seolah menjaga rahasia petualangan yang akan datang.
“Mungkin kita bisa bikin rute pendakian yang baru,” saran Nara sambil menatap ke arah lembah yang menghijau. “Lihat, ada jalur di sebelah sana. Kita bisa menjelajahi area itu!”
Finn mengerutkan kening, terlihat skeptis. “Kamu yakin? Jalur itu terlihat cukup berbahaya.”
“Berbahaya itu menyenangkan,” Nara menjawab dengan semangat. “Kalau kita tidak mencoba, kita tidak akan tahu.”
Finn menghela napas, tampak berpikir sejenak sebelum mengangguk. “Baiklah, kita coba. Tapi jika kita terjebak, kamu yang harus mencari jalan pulang.”
“Deal!” Nara berseru, melompat berdiri dan menyiapkan peralatan yang akan dibawa. Finn hanya bisa menggelengkan kepala, meski senyumnya tidak bisa disembunyikan.
Mereka mulai menjelajahi jalur yang lebih terjal, dan Nara, yang biasanya penuh semangat, merasakan dorongan untuk menunjukkan kemampuannya kepada Finn. Dia ingin membuktikan bahwa dia bukan hanya sekadar gadis manja, tetapi juga pendaki yang tangguh.
“Jadi, apa kamu selalu mendaki gunung sendirian?” Nara bertanya saat mereka berusaha melewati batu-batu besar di sepanjang jalan.
“Tidak juga,” jawab Finn, sedikit ragu. “Kadang aku membawa teman, tetapi aku lebih suka sendiri. Bisa lebih fokus.”
“Jadi kamu penggila pendakian, ya?” Nara membalas, mengangkat satu alisnya. “Apa kamu takut berinteraksi dengan orang lain?”
Finn tertawa kecil. “Tidak, itu bukan masalahnya. Hanya saja, terkadang orang-orang tidak bisa mengerti kenapa aku suka mendaki. Mereka lebih suka menghabiskan waktu di kafe atau pusat perbelanjaan.”
“Berarti kita berdua berbeda,” Nara bersikeras. “Aku lebih suka memanjakan diri dengan teh dan kue-kue, tapi sepertinya aku bisa membiasakan diri dengan tantangan ini.”
Finn melirik Nara dengan senyum nakal. “Kue-kue? Itu satu-satunya alasan kamu mau ikut mendaki?”
“Eh, tentu saja tidak!” Nara membela diri. “Aku bisa kok, memanjakan diri sekaligus mendaki gunung. Multi-talenta.”
Mereka tertawa dan suasana canggung mulai berkurang. Dalam perjalanan itu, Nara mulai menyadari bahwa di balik sikap Finn yang dingin dan serius, ada sisi yang lebih lembut dan humoris. Perlahan, dia merasakan ketertarikan yang tumbuh dalam hatinya.
Setelah beberapa jam mendaki, mereka akhirnya menemukan sebuah dataran tinggi dengan pemandangan yang menakjubkan. Nara menarik napas dalam-dalam, berusaha mengatur detak jantungnya. Rasa lelah menghilang saat dia melihat indahnya alam di sekelilingnya.
“Kita bisa istirahat di sini,” kata Nara sambil duduk di atas batu besar. Dia mengeluarkan bekal yang dibawanya dan menyajikan makanan untuk mereka berdua.
“Wow, kamu datang dengan rencana yang matang, ya?” Finn menilai isi tasnya dengan nada terkesan. “Sepertinya kamu punya makanan lebih banyak daripada yang kita butuhkan.”
Nara tersenyum nakal. “Aku selalu siap. Siapa yang tahu kalau kita akan berpetualang jauh seperti ini?”
Finn menggigit sandwich yang diberikan Nara, mengangguk setuju. “Lumayan enak. Jadi, ini rahasia untuk membuatmu nyaman saat mendaki?”
Nara melirik Finn, tidak bisa menahan tawa. “Ya, dan mungkin juga sedikit menyanjung ego kamu.”
“Ego? Aku tidak butuh pujian,” Finn menyahut, tapi ekspresi wajahnya memperlihatkan bahwa dia menyukai perhatian itu.
Setelah makan, mereka berbaring di atas rumput, memandang langit yang mulai berwarna oranye keemasan. Nara merasa damai, tidak hanya karena pemandangan, tetapi juga karena momen ini yang terasa lebih intim antara mereka.
“Kamu tahu, kadang aku merasa seperti mendaki gunung ini sendirian,” Nara berkata, nada suaranya menjadi lebih serius. “Keluargaku tidak begitu memahami minatku. Mereka hanya melihat ini sebagai hobi yang aneh.”
Finn menatapnya, tampak mendalami. “Aku mengerti. Terkadang, orang-orang tidak bisa melihat betapa berartinya hal-hal yang kita cintai. Mereka hanya melihat dari perspektif mereka sendiri.”
Nara terkejut mendengar pemahaman Finn. “Aku tidak menyangka kamu bisa berpikir seperti itu. Kamu terlihat lebih serius dari yang kukira.”
Finn tersenyum tipis, menatap langit. “Aku mungkin terlihat serius, tetapi aku juga manusia biasa. Punya impian dan ketakutan.”
Nara merasa ada ikatan yang terjalin antara mereka, dan persaingan yang selama ini ada mulai memudar. “Tapi kamu tampak baik-baik saja dengan semua itu.”
“Setidaknya aku berusaha,” jawab Finn. “Seperti kita berdua sekarang. Kita berusaha mendaki dan menjelajahi tempat baru.”
Nara mengangguk, tetapi dalam hatinya, dia merasa ada sesuatu yang lebih dalam. Dia ingin lebih mengenal Finn. Di tengah suasana yang lebih akrab ini, dia merasa berani untuk menanyakan sesuatu yang lebih pribadi. “Jadi, kalau kita berhasil sampai ke puncak, apa kamu mau berbagi momen ini dengan orang-orang terdekatmu?”
Finn berpikir sejenak. “Mungkin, tetapi aku rasa momen ini lebih berharga untuk diingat antara kita berdua.”
Nara tertegun. “Kamu yakin?”
“Kenapa tidak?” Finn menjawab dengan nada percaya diri. “Kita bisa jadi teman. Atau lebih dari itu.”
Dia tidak tahu apakah pernyataannya itu terlalu cepat, tetapi saat tatapan mereka bertemu, Nara merasa ada kehangatan yang baru. Hanya saat itu, dia menyadari bahwa mungkin, pertempuran ini tidak hanya tentang siapa yang lebih baik, tetapi juga tentang menemukan seseorang yang bisa mengerti dan menerima kita apa adanya.
Tiba-tiba, suara derak kembali terdengar di dekat mereka. Mereka berdua terbangun dari momen indah itu, merasakan ketegangan kembali meningkat.
“Sepertinya kita tidak sendirian di sini,” Finn berkata dengan nada cemas. “Kita harus kembali ke jalur utama sebelum terlambat.”
Nara merasakan adrenalinnya kembali memuncak. “Ayo, Finn! Kita bisa hadapi apapun bersama-sama!”
Dengan semangat baru dan rasa saling pengertian yang berkembang, mereka bersiap untuk melanjutkan perjalanan, meninggalkan perdebatan mereka yang sebelumnya dan mengarah pada sesuatu yang lebih dalam. Siapa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya?
Menemukan Jalan Pulang
Mereka berdua bergegas kembali ke jalur utama, langkah mereka penuh semangat dan keberanian. Suara derak di belakang mereka semakin jelas, membuat ketegangan kembali mengisi udara di sekitar. Nara dan Finn berlari, sambil sesekali menoleh ke belakang, memastikan bahwa mereka tidak diikuti oleh makhluk misterius.
“Kamu tidak takut, kan?” Finn bertanya, sedikit khawatir melihat wajah Nara yang semangat namun tampak tegang.
“Takut? Aku lebih merasa seperti berpetualang!” Nara menjawab, semangatnya menggelora. “Lagipula, kan ada kamu di sampingku!”
Finn mengerutkan dahi, merasa hangat di dalam dada. “Baiklah, kalau itu membuatmu merasa lebih baik.”
Ketika mereka akhirnya tiba di jalur utama, mereka berhenti sejenak untuk mengambil napas. Pemandangan alam yang menakjubkan memanjakan mata mereka dan memberi kesempatan untuk merefleksikan apa yang baru saja mereka alami.
“Wow, kita benar-benar berhasil melewatinya,” Nara berkata, masih mengatur napas. “Momen itu sangat mendebarkan!”
“Ya, tapi seharusnya kita tidak perlu terburu-buru,” Finn menambahkan, tersenyum. “Kita masih bisa menikmati sisa perjalanan.”
Nara mengangguk setuju. “Kita juga harus berbagi cerita tentang pendakian ini dengan teman-teman kita. Mereka pasti akan terkejut mendengar tentang pengalaman kita.”
Finn menatap Nara, mengingatkan diri untuk tidak terbawa suasana. “Kita memang harus berbagi, tetapi mungkin aku akan mengubah sedikit ceritanya. Bagaimana kalau kita bilang kita menemukan harta karun di puncak gunung?”
Nara tertawa, suaranya ceria di tengah hutan. “Harta karun? Seperti apa? Apakah itu sebuah peta yang menunjukkan jalan menuju kue-kue lezat?”
“Persis!” Finn menjawab sambil tertawa. “Atau mungkin sekotak cokelat!”
Mereka tertawa bersama, menjauhkan diri dari ketegangan yang sempat ada. Namun, seiring langkah mereka, Nara merasakan ada sesuatu yang lain dalam perasaannya. Rasa suka yang sebelumnya terasa samar kini mulai terbuka lebar. Dia memandangi Finn yang tampaknya juga merasakan hal yang sama.
“Finn,” Nara mulai berbicara, hatinya bergetar. “Aku… aku merasa kita jadi lebih dekat setelah pendakian ini. Seolah kita sudah melampaui pertempuran yang selama ini ada.”
Finn menatapnya, tampak terkejut namun juga senang. “Aku merasa begitu juga. Mungkin kita bisa mencoba untuk tidak saling bermusuhan lagi?”
Nara tersenyum. “Aku setuju. Aku ingin tahu lebih banyak tentang kamu. Dan mungkin, kita bisa menjelajahi lebih banyak tempat bersama.”
“Jadi, bagaimana kalau kita merencanakan pendakian berikutnya?” Finn mengusulkan, nada suaranya lebih lembut. “Dan aku akan memastikan kita membawa lebih banyak kue-kue.”
Mata Nara berbinar, dan dia mengangguk bersemangat. “Kesepakatan! Siapa tahu kita bisa menjadi tim yang hebat. Tim ‘Nara dan Finn’!”
“Suatu saat, kita bisa jadi tim pendaki terkenal,” Finn menjawab, dan wajahnya berseri-seri. “Dengan banyak cerita menarik untuk dibagikan.”
Saat mereka terus berjalan, Nara menyadari bahwa meski perjalanan mereka dimulai dengan saling bersaing, mereka telah menemukan sesuatu yang lebih berharga—persahabatan, dan mungkin cinta yang tumbuh di antara mereka.
Setelah beberapa saat, mereka sampai di tempat parkir, dan Finn menghentikan langkahnya. “Nara, terima kasih untuk hari ini. Ini bukan hanya tentang pendakian, tapi lebih kepada apa yang kita alami bersama.”
Nara merasakan getaran hangat di hatinya. “Finn, aku pun berterima kasih. Mungkin ini adalah awal dari sesuatu yang lebih baik.”
Finn mengangguk, dengan tatapan yang lebih dalam dari sebelumnya. “Aku ingin melihat ke mana perjalanan ini akan membawa kita.”
Nara tersenyum, merasa bahwa semua ini bukan hanya sekadar pendakian, tetapi juga langkah menuju masa depan yang lebih cerah. Mereka berdua berpelukan dengan hangat, dan saat itu, rasa permusuhan yang lama akhirnya lenyap. Kini, mereka berdiri di ambang hubungan baru yang tidak terduga, siap menghadapi setiap tantangan bersama.
Dengan senyum lebar di wajah, mereka melangkah pulang, membayangkan petualangan berikutnya. Jalan di depan mereka terbuka lebar, penuh dengan harapan dan janji—satu petualangan ke petualangan lainnya, bersama.
Jadi, siapa sangka kalau permusuhan yang selama ini mereka jalin bisa berubah jadi cinta yang manis? Nara dan Finn bukan hanya menemukan jalan ke puncak gunung, tetapi juga jalan menuju hati satu sama lain.
Dari pertengkaran yang penuh tawa hingga momen-momen berharga yang tak terduga, mereka belajar bahwa cinta sering kali muncul di tempat-tempat yang paling tidak terduga. Dan saat langkah mereka melangkah pulang, satu hal pasti: petualangan ini baru saja dimulai. Sampai jumpa dicerita cinta lainnya, ya!!