Cinta Masa Lalu: Kenangan Indah di Usia Tua

Posted on

Hai, kamu pernah nggak sih ngerasa bahwa cinta itu seperti lagu lama yang tiba-tiba terputar lagi di kepala? Nah, di sini kita bakal nyelami cerita tentang Tania dan Rian, dua orang yang udah berpisah jauh tapi ternyata masih terikat dengan kenangan manis di masa lalu.

Di usia tua mereka, semua ingatan itu kembali lagi, bikin mereka bertanya-tanya: Apa bisa cinta yang udah pudar kembali mekar seperti bunga sakura di musim semi? Yuk, kita ikuti perjalanan mereka yang penuh haru dan nostalgia ini!

 

Cinta Masa Lalu

Kenangan yang Terukir

Sore itu, sinar matahari merembes lembut melalui celah-celah dedaunan di halaman rumah tua yang telah banyak menyimpan kenangan. Tania duduk di bangku kayu yang sudah lapuk, mengingat masa-masa ketika dunia terasa lebih cerah. Di sekelilingnya, aroma bunga-bunga yang mekar di kebun mengingatkannya pada senja-senja indah yang dilalui bersama Rian, lelaki yang pernah mengisi setiap sudut hatinya.

Langit berwarna oranye keemasan, sama seperti saat pertama kali mereka bertemu di festival musim semi. Itu adalah saat di mana aroma sakura memenuhi udara, membawa harapan dan kebahagiaan yang tak terduga. Tania masih ingat dengan jelas bagaimana Rian menghampirinya, wajahnya ceria dengan senyuman yang seolah-olah bisa mencairkan salju di puncak gunung.

“Hey, kamu! Ayo ikut aku,” kata Rian dengan bersemangat, meraih tangannya tanpa ragu. “Kita harus menari di bawah pohon sakura!”

Tania tertawa, merasakan getaran aneh di dalam hati. “Nari? Di sini? Semua orang melihat kita, Rian!”

“Siapa peduli? Kita hanya hidup sekali. Ayo!” Rian menggerakkan tangannya, seolah-olah mengajak semua orang di sekitar untuk bergabung dalam kegembiraan mereka.

Satu langkah, dua langkah, dan tak lama kemudian mereka sudah berputar dalam tarian yang hanya mereka berdua yang tahu. Tania merasa seperti terbang, bebas dari segala beban. Di antara gelak tawa dan kegembiraan, ia merasakan ikatan yang tak terputus.

Setelah seharian berlarian, mereka duduk di tepi sungai yang mengalir tenang, memandangi riak air yang berkilau. “Kamu tahu, Tania, aku merasa kita ditakdirkan untuk bertemu di sini,” kata Rian, matanya berbinar.

“Apakah itu termasuk saat kamu menarik tanganku tanpa izin?” Tania membalas, pura-pura kesal.

“Ha! Itu hanya cara untuk memastikan kamu tidak pergi!” Rian menjawab sambil tertawa, menampakkan gigi putihnya yang bersih. “Tapi serius, aku ingin kamu tahu bahwa aku akan selalu ada untukmu.”

Tania tersenyum, hatinya berbunga-bunga. Namun, saat itu juga, ada rasa cemas yang menyelinap. Apakah semua ini akan bertahan? Saat festival berakhir, dan Rian akan pergi ke luar negeri untuk kuliah, semuanya akan berubah.

Hari-hari berlalu, dan saat terakhir mereka bersama semakin dekat. Suatu malam, mereka duduk di tepi sungai yang sama, di bawah cahaya bulan purnama. Air yang tenang memantulkan cahaya bulan, menciptakan suasana magis yang tak terlupakan.

“Tania, aku tidak ingin perpisahan ini terjadi,” kata Rian, wajahnya serius.

“Aku pun tidak. Tapi ini adalah kesempatan besar untukmu,” jawab Tania, berusaha tersenyum meski hatinya bergetar.

“Tapi, bagaimana kalau kita saling berjanji untuk tetap terhubung? Aku akan mengirim surat setiap minggu,” Rian berkata, menggenggam tangannya erat-erat.

“Berjanji?” Tania mengangkat alisnya. “Kamu harus menepati janji itu, Rian.”

“Ya! Aku berjanji. Kita akan menulis cerita kita sendiri, Tania.” Suara Rian penuh keyakinan, seolah-olah itu adalah hal yang paling pasti di dunia.

Malam itu, mereka berpelukan, merasakan kehangatan satu sama lain. Saat bulan bersinar cerah di atas mereka, harapan dan ketakutan bersatu dalam satu pelukan yang tak ingin berakhir.

Namun, esok harinya, saat Rian harus pergi, Tania merasa seluruh dunia seakan runtuh. Kereta yang akan membawanya pergi berderak di kejauhan, dan setiap detik terasa semakin berat. Mereka berdiri di peron, tangan terengkuh erat, tidak ingin melepaskan satu sama lain.

“Tania, ingat, aku akan selalu mencintaimu,” kata Rian, matanya penuh harapan meski ada kesedihan yang menyelubungi wajahnya.

“Aku juga, Rian. Jangan lupakan janji kita,” jawab Tania, air mata mulai menggenang di sudut matanya.

Saat kereta mulai bergerak, Rian melambaikan tangan, dan Tania berusaha menahan isak tangis. Dalam kerumunan, ia merasa seperti terjebak dalam dunia yang kosong.

Tahun demi tahun berlalu, harapan yang pernah bercahaya kini perlahan memudar, digantikan oleh kesedihan yang terus menggerogoti. Meskipun Tania mencoba mengisi hidupnya dengan kesibukan di toko bunga milik orang tuanya, ada celah di hatinya yang tak pernah terisi. Setiap kelopak bunga yang ia sentuh, setiap melodi yang terdengar di radio, selalu mengingatkannya pada Rian.

Namun, di suatu sore yang tenang, saat ia merenung di bangku kayu itu, tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang aneh. Ada suara di kejauhan yang membuat hatinya berdebar kencang. Suara yang sangat dikenal, suara yang membawa kembali semua kenangan itu.

 

Perpisahan yang Menyakitkan

Sore itu, saat Tania masih terbenam dalam kenangan, sebuah bayangan tiba-tiba melintas di depan matanya. Di kejauhan, sosok yang sudah lama ia rindukan berdiri dengan senyum yang sama, meski waktu telah mengubah banyak hal. Hatinya berdebar tak karuan, seolah mengisyaratkan bahwa mungkin, hanya mungkin, cinta mereka belum sepenuhnya berakhir.

Tania mengedipkan matanya, berharap bisa mengusir ilusi yang tampak nyata ini. Namun, saat ia melihat lebih dekat, ia bisa merasakan detak jantungnya yang semakin cepat. Sosok itu tidak menghilang. Rian. Di sana dia, dengan penampilan yang lebih dewasa, tetapi tatapan matanya masih memancarkan kehangatan yang sama.

“Rian!” serunya, suaranya hampir tercekat oleh emosi. Ia berdiri, melangkah maju, menahan langkah seolah dunia ini berputar terlalu cepat.

Rian tersenyum, tetapi ada sesuatu di balik senyumnya yang mengisyaratkan kesedihan. “Tania, aku… aku baru saja kembali.”

“Tapi… kau sudah berjanji akan menulis surat setiap minggu,” Tania mengingatkan, meski suaranya bergetar. Kenangan masa lalu kembali mengisi pikirannya, ketika semua harapan dan impian mereka terasa cerah.

“Aku tahu, dan aku minta maaf. Hidup di luar negeri sangat berbeda. Kadang, aku merasa terasing,” jawab Rian, memandang Tania dengan intens. “Tapi kau selalu ada di pikiranku.”

Mereka berdiri di bawah pohon sakura yang sama, di mana mereka pertama kali menari. Satu pelukan akan menghangatkan kembali perasaan yang sempat pudar, tetapi perpisahan itu tetap membayangi mereka. Tania merindukan semua momen yang telah berlalu, tetapi ia juga tahu bahwa Rian memiliki cerita yang harus diceritakan.

“Kau tampak berbeda,” Tania berkata, berusaha meraih kembali kendali atas perasaannya. “Bisa cerita tentang petualanganmu?”

Rian mengangguk, matanya berbinar dengan kenangan. “Oh, banyak hal yang terjadi. Aku belajar banyak di sana, bertemu banyak orang baru. Tapi, ada satu hal yang selalu membuatku merasa pulang—kau.”

Air mata Tania mengalir di pipinya. Rian, lelaki yang selalu bisa mengubah suasana hatinya dengan kata-kata manis, kini ada di depan mata. “Kau tahu, aku selalu membayangkan kita bersama saat aku melihat bunga-bunga sakura di sana.”

“Dan aku… aku berharap kau tidak akan pernah melupakan semua yang kita alami,” Tania menjawab dengan penuh harap.

Perasaan campur aduk menyelimuti mereka, antara harapan dan ketakutan akan masa depan. Mereka berbagi cerita tentang apa yang telah mereka lalui, namun ada satu hal yang tak terucapkan—perpisahan yang mungkin kembali menghampiri.

Hari-hari berlalu dengan cepat, dan Rian kini tinggal di rumah Tania. Mereka menghabiskan waktu bersama, mengunjungi tempat-tempat yang menyimpan kenangan indah. Di tepi sungai, mereka duduk bersama, berbagi tawa, hingga terbenamnya matahari memecah hening.

“Tania,” Rian memulai, suaranya tiba-tiba terasa serius. “Aku harus kembali ke luar negeri, tapi aku ingin tahu… apakah kau masih ingin bersamaku?”

Tania tertegun. “Aku ingin, Rian, tetapi… bagaimana jika kau pergi lagi? Apa yang akan terjadi dengan kita?”

Rian meraih tangan Tania, menggenggamnya erat. “Kita bisa mencoba, bukan? Kita bisa berkomunikasi lebih baik. Aku tidak ingin kehilanganmu lagi. Dan meski jarak memisahkan kita, aku percaya cinta kita bisa bertahan.”

Sebuah harapan mengalir dalam diri Tania, tetapi rasa cemas pun mengintip. “Tapi, Rian, hati ini tidak akan mampu menanggung perpisahan lagi,” ucapnya lembut.

“Iya, aku tahu. Kita akan melawan semua ini. Dan ketika aku kembali, aku ingin melihatmu menunggu,” Rian menjawab, tatapannya penuh keyakinan.

Malam itu, mereka berpelukan, merasakan kehangatan satu sama lain, berharap bahwa kali ini, semua janji bisa terpenuhi. Namun, saat fajar menyingsing, kenyataan kembali mengetuk pintu hati mereka. Rian harus pergi, dan meski Tania tahu bahwa cinta mereka kuat, ketidakpastian selalu menjadi bayangan yang menghantui.

Hari yang dinanti pun tiba. Di stasiun kereta, suasana terasa berat. Tania berusaha tersenyum, tetapi matanya tak bisa menyembunyikan kesedihan. “Jangan lupa janji kita,” ia berkata, suaranya bergetar.

“Aku tidak akan lupa, Tania. Aku akan kembali untukmu,” Rian menjawab, mengusap lembut pipinya yang basah.

Saat kereta mulai bergerak, Tania melambaikan tangan, berusaha menahan isak tangis yang memburu. Dalam kerumunan penumpang, ia merasa seolah-olah terjebak dalam dunia yang kosong, tanpa Rian di sampingnya.

Hari-hari setelah perpisahan terasa sepi dan hampa. Tania berusaha melanjutkan hidup, tetapi bayang-bayang Rian selalu menghantuinya. Setiap kali dia melihat bunga sakura mekar, hatinya bergetar; mengingat kembali saat-saat manis yang kini hanya tersisa dalam kenangan.

Dari balik jendela toko bunga, Tania melihat orang-orang berlalu-lalang, sementara di dalam dirinya, ada rasa sepi yang tak terlukiskan. Kerinduan itu menggerogoti, membuatnya merasa terjebak dalam waktu yang tidak mau bergerak. Meski hari-hari berjalan, harapannya akan surat-surat yang dijanjikan mulai memudar.

Namun, di suatu pagi yang cerah, ketika Tania sedang menyiram bunga, suara ketukan di pintu toko membangunkannya dari lamunan. Dengan harapan yang tiba-tiba meluap, ia berlari menuju pintu, berharap bahwa mungkin, hanya mungkin, itu adalah Rian yang kembali.

 

Jejak yang Hilang

Saat Tania membuka pintu, harapannya mendidih seolah-olah terbangun dari mimpi. Namun, di depannya berdiri seorang lelaki tua yang membawa sebuah kotak kayu kecil, wajahnya ramah dengan kerutan yang menandakan pengalaman hidup yang panjang. Tania merasa sedikit kecewa, tetapi rasa penasaran mengalahkan kekecewaannya.

“Selamat pagi, Nona. Saya membawa kiriman untukmu,” katanya, mengulurkan kotak kayu itu.

“Untukku?” Tania bertanya, bingung. “Dari siapa?”

“Dari seorang teman lama,” jawabnya. “Aku rasa kamu sudah menunggu lama.”

Dengan tangan bergetar, Tania menerima kotak itu. Ia merasakan jantungnya berdebar. Mungkin ini adalah surat dari Rian. Ia segera membuka kotak tersebut. Di dalamnya terdapat beberapa surat yang terlipat rapi, ditulis dengan tangan yang sangat familiar.

“Apa isi suratnya?” tanya lelaki tua itu, melihat ekspresi wajah Tania yang berganti-ganti.

“Ini… Ini dari Rian,” Tania menjawab, suaranya bergetar penuh harapan. Ia mengabaikan lelaki tua itu dan mulai membaca surat pertama.

Kekasihku,

Jika kamu membaca ini, aku harap kau tidak marah padaku. Hidup di luar negeri tidak semudah yang aku bayangkan. Setiap hari, aku teringat pada senyummu, pada saat kita bersama di bawah pohon sakura. Hatiku selalu kembali ke tempat itu. Aku ingin kau tahu, kamu adalah alasanku untuk terus berjuang.

Tania tak bisa menahan air matanya. Dia menyeka pipinya, merasakan setiap kata mengalir dalam hatinya. Dia melanjutkan membaca surat berikutnya.

Tania,

Waktu berlalu dan aku merasa terasing. Teman-temanku di sini sangat berbeda. Mereka tidak mengerti apa yang kita miliki. Setiap hari, aku menuliskan kenangan kita, berharap suatu saat bisa mengubahnya menjadi kenyataan. Aku berjanji untuk kembali.

Di antara surat-surat itu, ada satu surat yang ditandatangani dengan tulisan tangan yang lebih ceroboh, seolah-olah ditulis dengan tergesa-gesa.

Tania,

Maaf jika aku tidak menulis selama ini. Hidupku di sini sangat sulit. Kadang aku berpikir untuk kembali, tetapi ketakutan akan masa depan menghantuiku. Kembali ke tempat yang sama, ke orang yang sama… apakah itu yang terbaik?

Setiap kata menggoreskan rasa sakit di hati Tania. Dia merindukan Rian, tetapi kini ada keraguan. “Apa dia benar-benar mencintaiku? Kenapa dia tidak kembali?” batinnya bergetar.

“Tania?” suara lelaki tua itu membangunkan lamunan. “Apakah ada masalah?”

“Tidak, tidak ada,” jawabnya cepat, meskipun hatinya gelisah. “Terima kasih banyak atas kiriman ini. Aku sangat menghargainya.”

“Bila kau butuh apa-apa, jangan ragu untuk memanggilku,” katanya sambil tersenyum, lalu melangkah pergi.

Tania menutup pintu, dan kembali duduk di bangku kayu, memegang surat-surat itu erat-erat. Ia memutuskan untuk membaca semua surat yang dikirim Rian. Ia berusaha menepis semua rasa cemas dan keraguan, membiarkan kenangan mengalir kembali ke dalam hidupnya.

Sejak hari itu, setiap hari ia membaca surat-surat Rian, menghidupkan kembali kenangan indah yang sempat redup. Setiap kata menjadi penguat dalam hidupnya, meski di dalam hatinya, ada suara kecil yang terus bertanya, “Apakah dia akan kembali?”

Hari-hari berubah menjadi minggu, dan minggu menjadi bulan. Tania berusaha melanjutkan hidupnya, tetapi ada celah kosong yang tidak pernah bisa ia tutupi. Ia kembali ke rutinitasnya di toko bunga, tetapi pikiran dan hatinya selalu tertaut pada Rian.

Suatu malam, ketika Tania menata bunga di etalase, ia mendengar suara ketukan lembut di pintu. Jantungnya berdegup kencang. “Siapa lagi yang datang?” pikirnya.

Ketika ia membuka pintu, sosok di depannya membuat jantungnya berhenti sejenak. Rian, dengan wajah sedikit lelah tetapi penuh harapan, berdiri di depan pintu. Matanya berbinar, seolah-olah membawa seluruh dunia bersamanya.

“Rian!” seru Tania, air mata meluncur deras di pipinya. Ia tidak bisa mengendalikan perasaannya, memeluk Rian erat-erat, mengabaikan semua keraguan yang pernah ada.

“Tania,” Rian membalas pelukan itu, menghangatkan hatinya yang dingin. “Aku kembali.”

“Kenapa sekarang?” Tania bertanya, suaranya penuh harap. “Kau pergi begitu lama.”

“Aku… aku butuh waktu untuk menemukan diriku sendiri,” Rian menjelaskan, suaranya terdengar parau. “Tetapi selama ini, kau adalah alasan aku bertahan.”

Mereka berdiri di depan pintu, terjebak dalam waktu yang seolah tidak mau berlalu. Semua kenangan, semua janji, kembali terbangun. Namun, di antara harapan yang meluap, ada juga ketakutan akan masa depan yang masih tidak pasti.

“Tapi, Rian, bagaimana dengan semua surat itu? Kenapa kau tidak menulis lebih sering?” tanya Tania, berusaha mengendalikan emosinya.

“Aku tidak tahu. Aku merasa terasing di tempat itu. Dan saat aku kembali, aku ingin memastikan semua ini nyata,” jawab Rian, memegang wajah Tania dengan lembut.

Malam itu, mereka berbagi cerita, berbagi rindu yang terpendam. Tania tahu bahwa perjalanan mereka belum berakhir. Namun, ia juga sadar bahwa cinta mereka harus berjuang melawan waktu dan jarak.

Seiring bulan bersinar di atas mereka, harapan kembali mengalir dalam diri Tania. Tapi di dalam hatinya, ia tahu, ujian sejati baru saja dimulai.

 

Cinta yang Kembali

Malam semakin larut ketika Tania dan Rian duduk berhadapan di bangku kayu di halaman belakang rumahnya. Suasana di sekeliling mereka terasa tenang, hanya ditemani oleh bunyi angin dan suara cicak yang berkepanjangan. Mereka tidak perlu banyak bicara, karena dalam keheningan itu, mereka merasakan bahwa cinta mereka tidak pernah pudar.

“Tania,” Rian mulai, memecah kesunyian. “Setiap detik yang aku habiskan jauh darimu adalah siksaan. Tetapi aku ingin mengubah semua ini. Aku ingin kembali, dan bukan hanya untuk sementara.”

Tania menatap Rian, merasakan kehangatan dari kata-katanya. “Tapi… bagaimana kita bisa yakin ini akan berhasil? Hidup kita sudah sangat berbeda. Apakah kamu siap untuk menghadapi semua itu?”

Rian mengangguk, matanya berkilau penuh keyakinan. “Aku telah berpikir tentang kita setiap hari. Setiap kali aku berusaha melupakan, kenangan kita selalu menghantuiku. Aku sadar, kamu adalah rumahku, Tania. Tanpa kamu, aku merasa hilang.”

Hatinya bergetar mendengar kata-kata Rian. “Tapi apa yang akan kita lakukan? Kita tidak bisa kembali ke masa lalu yang sempurna. Kita harus menghadapi kenyataan,” jawabnya, suaranya bergetar penuh emosi.

Rian menghela napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan semua keberaniannya. “Aku ingin membangun masa depan kita. Kita bisa memulai dengan perlahan. Mungkin kita bisa bekerja sama di toko bunga ini? Mengubahnya menjadi lebih dari sekadar tempat menjual bunga. Kita bisa membuat kenangan baru.”

Tania tersenyum, tetapi ada ketakutan kecil yang menggelayuti pikirannya. “Apa kau yakin? Semua ini tidak akan mudah, Rian. Kita harus bertanggung jawab.”

“Aku tahu, dan aku siap. Apa kau bersedia memberiku kesempatan kedua?” Rian menatapnya dalam-dalam, seolah ingin menghapus semua keraguan dari wajah Tania.

Dengan air mata yang mengalir di pipi, Tania meraih tangan Rian, menggenggamnya erat. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi aku ingin mencoba. Aku ingin kita kembali seperti dulu.”

Rian membalas genggaman tangan Tania dengan lembut. “Jadi, kita mulai dari sini. Dari kenangan yang pernah ada, kita buat yang baru.”

Malam itu, Tania dan Rian berbagi impian dan harapan. Mereka merencanakan toko bunga mereka, membayangkan bagaimana mereka bisa mengubahnya menjadi tempat yang penuh cinta dan keindahan. Di antara bunga-bunga yang harum, mereka membayangkan kebahagiaan yang bisa mereka bagi bersama.

Hari-hari berlalu, dan cinta mereka tumbuh kembali seperti bunga yang mekar. Mereka bekerja keras di toko, menghidupkan kembali suasana yang hangat dan penuh kasih. Tania menemukan kebahagiaan dalam merawat bunga-bunga, dan Rian kembali merasakan semangat hidupnya ketika melihat Tania tersenyum.

Suatu hari, ketika mereka sedang menata bunga di etalase, Rian berkata, “Aku ingin kita menanam bunga sakura di taman ini. Sebuah simbol bagi kita.”

“Kenapa bunga sakura?” Tania bertanya, merasa penasaran.

“Karena bunga sakura adalah lambang harapan dan keindahan. Ia mekar di musim semi, tetapi tidak bertahan lama. Seperti cinta kita, ia memerlukan usaha dan perhatian agar bisa mekar,” jawab Rian, matanya berbinar.

Tania mengangguk, menyetujui ide itu. “Baiklah. Mari kita tanam bunga sakura bersama.”

Mereka menanam pohon sakura di sudut taman, dan seiring waktu, pohon itu mulai tumbuh. Setiap musim semi, bunga-bunga sakura bermekaran dengan indah, menjadi simbol cinta yang tak lekang oleh waktu.

Namun, Tania dan Rian juga memahami bahwa cinta bukan hanya tentang kebahagiaan. Ada saat-saat sulit, saat ketika rindu itu datang kembali, dan keraguan mengintai. Mereka belajar untuk saling mendengarkan, untuk tidak takut berbagi perasaan, dan untuk selalu berusaha memperbaiki diri.

Suatu sore, saat mereka duduk di bawah pohon sakura, Rian meraih tangan Tania. “Kau tahu, setiap kali aku melihat bunga-bunga ini, aku teringat semua kenangan kita. Dan aku berjanji untuk selalu ada di sampingmu, tidak peduli seberapa sulitnya.”

“Tapi kita juga harus menghadapi masa depan, kan?” Tania menambahkan, matanya berbinar.

“Ya. Kita akan berjalan bersama. Apapun yang terjadi, kita hadapi bersama. Cinta kita sudah melewati banyak hal. Sekarang saatnya kita fokus pada yang akan datang,” jawab Rian, penuh percaya diri.

Dan saat itu, Tania merasa seolah semua ketakutan dan keraguan menghilang. Mereka berdua tahu bahwa perjalanan ini tidak akan selalu mulus, tetapi mereka memiliki satu sama lain. Cinta mereka adalah kekuatan yang membuat mereka berani menghadapi masa depan yang tidak pasti.

Dengan bunga sakura yang mekar di sekeliling mereka, Tania dan Rian bersumpah untuk menjaga cinta mereka selamanya. Sebuah cinta yang telah teruji oleh waktu, yang meskipun dipisahkan oleh jarak dan kesulitan, akhirnya bersatu kembali dalam kehangatan harapan dan impian. Cinta mereka adalah bukti bahwa meski masa lalu bisa terasa menyakitkan, cinta yang tulus akan selalu menemukan jalannya untuk kembali.

 

Jadi, siapa bilang cinta itu hanya milik anak muda? Tania dan Rian membuktikan bahwa meski waktu berlalu dan jalan hidup berkelok-kelok, cinta sejati bisa menemukan jalannya kembali. Dengan setiap tawa dan air mata, mereka belajar bahwa kenangan bukan hanya untuk dikenang, tetapi juga untuk dibangun kembali.

Di bawah pohon sakura yang berbunga indah, mereka merasakan bahwa cinta, sama seperti kehidupan, selalu punya cara untuk mekar lagi—dan kadang, justru di saat yang tak terduga. Jadi, jangan ragu untuk menjaga cinta yang ada, karena siapa tahu, mungkin suatu hari nanti, kamu juga akan menemukan kembali cinta yang sudah lama hilang.

Leave a Reply