Cinta LDR yang Terhalang Waktu: Kisah Perpisahan yang Tak Terhindarkan

Posted on

Kamu pernah nggak ngerasa bahwa cinta itu bisa sesederhana itu tapi juga sesakit itu? Kadang, kita ngeliat hubungan yang udah lama terjalin, terpisah cuma karena jarak dan waktu. Kayak kisah ini, yang dimulai dari perasaan manis dan berakhir dengan kepahitan.

Gimana nggak? Jarak jauh bukan cuma soal kilometer, tapi juga soal hati yang pelan-pelan pudar. Jadi, siap-siap aja, kamu bakal ngerasain gimana rasanya jatuh cinta, kehilangan, dan akhirnya ngelepasin seseorang yang dulu jadi segalanya.

 

Cinta LDR yang Terhalang Waktu

Rindu di Balik Jarak

Aksara masih ingat dengan jelas, pertemuan pertamanya dengan Melati di sebuah galeri seni di Jogja. Saat itu, di antara lalu lalang pengunjung, tatapannya tertambat pada seorang gadis yang tengah memperhatikan lukisan abstrak dengan saksama. Matanya, yang berbingkai bulu mata lentik, menyiratkan kekaguman yang tak dibuat-buat. Dalam keramaian itu, seperti ada magnet yang menarik langkah Aksara mendekatinya.

“Hei, menurutmu lukisan ini menggambarkan apa?” suara Melati yang ceria membuka percakapan mereka.

Aksara mengangkat bahu dan tersenyum tipis. “Sepertinya ini… entahlah. Mungkin cuma kekacauan yang indah?”

Melati tertawa, dan suara tawanya itu membuat Aksara tersenyum semakin lebar. Entah bagaimana, percakapan yang berawal dari seni berubah menjadi diskusi hangat tentang hidup, ambisi, dan berbagai hal lain yang membuat mereka lupa waktu. Mereka habiskan hari itu bersama, menjelajahi sudut-sudut Jogja, tak henti berbincang seolah telah lama saling mengenal. Dan dari situlah semuanya bermula.

Beberapa bulan setelah pertemuan mereka, Aksara dan Melati berkomitmen untuk menjalani hubungan jarak jauh. Aksara harus kembali ke Jakarta untuk pekerjaannya, sementara Melati tetap di Bali untuk kariernya di bidang desain. Mereka berjanji untuk setia, walau terpisah oleh laut dan waktu.

Awal-awal hubungan itu penuh gairah dan keseruan. Setiap malam, mereka berbincang lewat telepon atau panggilan video hingga larut. Tak ada yang lebih menyenangkan bagi Aksara selain melihat wajah Melati di layar ponselnya, melihat matanya berbinar ketika berbicara tentang hal-hal kecil di hidupnya. Ia akan mendengarkan cerita Melati tentang kliennya yang unik atau tentang kucing liar yang selalu menunggu di depan pintu kantornya setiap pagi. Aksara akan mendengarkan semua itu dengan perhatian penuh, tertawa pada setiap cerita, dan selalu mengakhirinya dengan, “Aku kangen kamu, Mel.”

Saat-saat akhir pekan, Aksara sering menempuh perjalanan ke Bali. Ia datang membawa setangkai bunga dan senyum lelah yang berubah jadi cerah begitu melihat Melati menyambutnya di bandara. Di sana, di setiap kunjungan, mereka habiskan waktu untuk menjelajah pantai, berbagi kehangatan di bawah matahari senja, atau sekadar duduk di kafe kecil sambil mendengarkan musik akustik yang lembut. Aksara selalu merasa, tak peduli sejauh apapun mereka terpisah, cinta ini akan terus bertahan.

Namun, lambat laun, jadwal kerja Aksara mulai menyulitkan. Kunjungan ke Bali tak lagi semudah dulu. Setiap kali merencanakan akhir pekan bersama, selalu saja ada pekerjaan yang tak bisa ia tinggalkan. Jadwal video call pun mulai berkurang, dan sering kali ia hanya bisa membalas pesan Melati dengan singkat, sekadar memberi tahu bahwa ia sibuk dan akan menghubunginya nanti. Dan meskipun Melati berusaha mengerti, Aksara tahu ada perasaan rindu yang perlahan tak terobati.

Suatu malam, saat sedang bekerja lembur di kantor, ponsel Aksara bergetar. Nama Melati muncul di layar. Ia tahu, sudah lama sekali mereka tidak berbicara dengan panjang lebar. Aksara meraih ponselnya, menatap nama Melati yang berkedip, tapi ragu untuk mengangkatnya. Akhirnya, ia hanya menghela napas panjang dan kembali berkonsentrasi pada pekerjaannya. Ia tahu betul, ada banyak hal yang seharusnya ia sampaikan pada Melati, tapi setiap kali kesempatan itu tiba, selalu ada sesuatu yang membuatnya menunda.

Beberapa hari kemudian, saat makan siang, Aksara ditemani Nara, rekan kerjanya. Nara, dengan kepribadiannya yang ramah dan penuh perhatian, sering menemani Aksara di sela-sela kesibukannya. Tanpa disadari, kehadiran Nara mulai memberikan sedikit kenyamanan di tengah kesibukan dan tekanan pekerjaan. Suatu ketika, mereka berdua duduk di kafe, berbagi cerita dan tawa. Nara menatap Aksara dengan senyum tulus, sementara Aksara mendapati dirinya tenggelam dalam tatapan itu.

“Kas, kamu kelihatan lelah. Semuanya baik-baik aja kan?” tanya Nara, nada suaranya lembut.

Aksara terdiam sejenak, bingung antara berkata jujur atau mengabaikannya. Tapi akhirnya ia mengangguk, sambil tersenyum tipis.

“Ya, mungkin cuma butuh waktu lebih buat istirahat,” katanya, seolah membenarkan perasaannya sendiri.

Obrolan itu, meski sederhana, meninggalkan kesan yang sulit diabaikan. Aksara merasakan ada sesuatu dalam dirinya yang berubah, ada perasaan nyaman bersama Nara yang belum pernah ia sadari sebelumnya. Namun, setiap kali perasaan itu muncul, ia selalu merasa bersalah. Ada Melati di Bali, seseorang yang telah ia janjikan untuk tetap setia, seseorang yang telah mempercayainya sepenuh hati. Tapi seiring waktu, bayang-bayang Melati mulai terasa jauh, hanya berupa rindu yang samar.

Malam berikutnya, Melati kembali menelpon. Kali ini, Aksara tak bisa lagi menghindar. Dengan napas dalam, ia mengangkat ponselnya dan mendengar suara Melati di ujung sana.

“Aksara, apa kamu masih sayang aku?” tanya Melati tiba-tiba, nadanya penuh keraguan.

Aksara terdiam, suara itu terdengar lebih menyakitkan dari yang ia duga. Ia ingin menjawab secepatnya, meyakinkan Melati bahwa semuanya baik-baik saja. Tapi kata-kata itu terasa berat, seolah tersangkut di tenggorokannya. Ia mengumpulkan keberanian, lalu menjawab perlahan.

“Tentu, Mel. Aku sayang kamu,” jawabnya, meski ia tahu kata-kata itu tak lagi terasa meyakinkan, bahkan bagi dirinya sendiri.

Melati menarik napas panjang. “Kamu nggak kangen sama aku? Udah lama kita nggak ngobrol kayak dulu.”

Aksara mencoba tersenyum, meski ia tahu Melati tak akan melihat. “Aku kangen, Mel… cuma aku… aku sibuk banget di sini. Kadang aku nggak tahu gimana harus nyari waktu.”

Percakapan mereka malam itu terasa dingin. Tak ada tawa seperti dulu, tak ada antusiasme yang dulu selalu ada. Ketika telepon berakhir, Aksara merasa ada sesuatu yang hilang. Rasa cinta yang dulu mereka jaga kini mulai rapuh, tergerus oleh waktu dan jarak yang tak pernah berhenti menguji. Meski tak pernah terucap, mereka berdua tahu bahwa hubungan ini mulai retak, perlahan kehilangan maknanya.

Di sisi lain, di Bali, Melati menatap layar ponselnya yang hening. Hatinya penuh dengan tanya dan rasa yang tak terjawab. Ada rasa sakit yang tak bisa ia ungkapkan, seolah cinta ini tak lagi menjadi milik mereka sepenuhnya. Perlahan, Melati menyadari bahwa jarak yang ada bukan hanya antara kota, tetapi antara hati mereka. Jarak itu yang perlahan-lahan mulai memisahkan perasaan mereka.

 

Sepi yang Menjauhkan

Waktu terus berlalu, dan kesibukan di Jakarta semakin menyita perhatian Aksara. Di sela-sela pekerjaan yang tiada habisnya, ada jeda yang sebenarnya bisa ia gunakan untuk menghubungi Melati, sekadar bertanya kabar atau menceritakan hal-hal kecil yang terjadi di sekitarnya. Namun, setiap kali kesempatan itu datang, selalu ada alasan untuk menundanya. Rasanya, hubungan mereka seperti sebuah buku yang terlalu sering ia letakkan di rak tanpa pernah membuka lembarannya lagi.

Melati di Bali juga mulai terbiasa dengan kesunyian yang tiba-tiba hadir dalam hidupnya. Setiap malam ia menunggu pesan atau telepon dari Aksara, tapi ia tahu, menunggu kadang hanya berujung pada kekecewaan. Lama-kelamaan, ia belajar untuk tidak berharap lagi. Hari-hari Melati terasa lebih sepi, dan dalam kesepian itu, ia mulai memikirkan segala keputusan yang pernah mereka buat bersama. Mengingat janji-janji yang sekarang terdengar seperti kata-kata kosong.

Di sela-sela harinya, Melati menemukan dirinya semakin sering meluangkan waktu untuk berjalan sendirian di pantai. Ombak yang datang dan pergi seperti mengingatkannya pada perasaannya sendiri. Cinta yang dulu deras mengalir, kini hanya bergulung-gulung, datang dan pergi tanpa tujuan. Seringkali, ia mendapati dirinya berdiri di tepi pantai saat senja, menatap langit yang perlahan berubah warna, berharap jarak di antara mereka bisa semudah itu memudar.

Suatu hari, di tengah kesibukan Aksara, Nara mengajaknya untuk makan malam setelah lembur. Aksara ragu sejenak, tapi akhirnya mengiyakan. Nara adalah salah satu orang yang mengerti beban kerjanya, dan kehadirannya selalu membawa sedikit kenyamanan yang kini ia sadari semakin ia butuhkan.

Malam itu, mereka memilih restoran kecil di sudut kota, jauh dari hiruk pikuk kantor. Suasana di sana hangat, dengan lampu kuning remang yang memantulkan bayangan lembut di wajah Nara. Mereka mengobrol seperti biasa, tentang pekerjaan, rencana proyek, hingga hal-hal sepele yang membuat mereka tertawa.

Di sela-sela obrolan, Nara menatap Aksara dengan tatapan yang tak biasa. Ada kehangatan yang terpancar dari matanya, dan Aksara menyadari betapa selama ini ia menikmati perhatian yang diberikan Nara. Saat mereka berbicara, Nara tiba-tiba menyentuh tangan Aksara, hanya sejenak, tapi cukup untuk membuat Aksara menyadari betapa rapuhnya perasaannya saat ini.

“Kamu tahu nggak, Kas?” Nara berkata pelan, senyumnya tak pernah hilang. “Kadang, orang yang selalu kita harapkan ada untuk kita… justru bisa jadi alasan kenapa kita merasa kosong.”

Aksara terdiam, menyadari bahwa mungkin ia dan Nara sedang merasakan kekosongan yang sama. Namun, ia tahu bahwa di balik semua ini, ada Melati, seseorang yang ia pernah janjikan untuk setia. Ada rasa bersalah yang perlahan mulai menggerogoti hatinya, tapi di saat yang sama, ada kenyamanan di dekat Nara yang tak lagi bisa ia abaikan.

Sementara itu, Melati semakin sering merasa kehilangan, meski ia tahu Aksara masih di sana, di kota lain yang jauh, sibuk dengan dunianya. Pada malam-malam tertentu, Melati mendapati dirinya merenung sendirian di balkon apartemennya, menatap bintang-bintang yang seakan tak pernah berubah, walau perasaannya sendiri kini tak lagi sama.

Pada suatu malam, ketika ia akhirnya memberanikan diri untuk menghubungi Aksara, panggilan itu tak kunjung diangkat. Ia menunggu, menatap layar ponselnya yang hanya menampilkan nama Aksara tanpa balasan. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya ia menyerah. Melati merasa bodoh, seolah telah lama menggenggam sesuatu yang tak nyata.

Keesokan harinya, Melati memutuskan untuk bercerita kepada Sarah, sahabatnya yang selalu bisa diandalkan. Mereka duduk di sebuah kafe dengan suasana yang tenang, aroma kopi memenuhi udara. Melati mencoba tersenyum, meski hatinya terasa berat. Ia butuh seseorang untuk mendengarkan, dan Sarah selalu menjadi pendengar yang baik.

“Kamu tahu nggak, Ra? Kadang aku merasa dia nggak benar-benar ada buat aku lagi,” ujar Melati, sambil memainkan cangkir kopi di tangannya.

Sarah menatapnya, lalu menghela napas panjang. “Kamu yakin dia masih mau mempertahankan hubungan ini, Mel? Atau mungkin… dia udah punya hidupnya sendiri di sana?”

Pertanyaan Sarah itu menghantam Melati tepat di hatinya, tapi ia tahu, ada kebenaran di dalamnya. Melati merasa takut, takut bahwa cinta yang dulu begitu kuat kini hanya tinggal kenangan yang terus ia pegang erat. Tapi di saat yang sama, ada perasaan bahwa ia tak lagi sanggup bertahan dalam kesepian ini. Ia mulai berpikir, mungkin jarak bukan sekadar soal rindu, tapi tentang apakah mereka masih saling menginginkan.

Beberapa hari kemudian, Aksara menerima pesan dari Melati, pesan yang sederhana tapi menyiratkan keresahan yang selama ini dipendam Melati.

“Kas, kapan kamu ke Bali lagi?”

Aksara membaca pesan itu dengan perasaan bersalah yang tak bisa ia ungkapkan. Ia tahu sudah lama sekali ia tak menemui Melati, dan ia tahu bahwa seharusnya ia bisa mengatur waktu lebih baik. Tapi entah mengapa, kali ini ia merasa sulit untuk memberi kepastian. Di sisi lain, perasaannya terhadap Nara semakin sulit diabaikan. Ia merasakan sebuah tarikan yang kuat, sesuatu yang tak ia duga akan ia rasakan di tengah hubungan yang telah ia jalani dengan Melati.

Dengan berat hati, ia mengetikkan balasan yang sederhana. “Maaf, Mel. Belum bisa kasih kepastian kapan ke Bali. Pekerjaan lagi padat banget di sini.”

Pesan itu terasa hampa, bahkan bagi dirinya sendiri. Setelah mengirimkan pesan itu, ia hanya bisa terdiam, merasakan sepi yang semakin menyesakkan. Ia tahu, cinta yang mereka bagi dulu tak lagi terasa sama. Ada sesuatu yang berubah, perlahan namun pasti, seolah jarak itu bukan sekadar ruang di antara mereka, tetapi sebuah jurang yang tak lagi bisa ia seberangi.

Di Bali, Melati membaca balasan itu dengan mata berkaca-kaca. Ia merasa hampa, seolah perjuangannya selama ini sia-sia. Ia berusaha bertahan, berusaha menjaga cinta mereka tetap hidup, namun balasan Aksara yang dingin hanya membuatnya merasa lelah. Cinta yang dulu mereka bangun dengan sepenuh hati kini mulai runtuh, digerogoti oleh jarak dan perasaan yang pudar. Mungkin, pikir Melati, inilah saatnya untuk menerima kenyataan bahwa cinta mereka sudah tak lagi sama.

 

Rasa yang Menyisakan Luka

Hidup terus berjalan, begitu pula dengan rutinitas Aksara yang kian sibuk di Jakarta. Ia masih sesekali melihat pesan-pesan lama dari Melati yang kini tersimpan di sudut folder percakapan mereka—pesan-pesan yang dulunya penuh cinta, harapan, dan janji. Namun, kini pesan-pesan itu terasa seperti catatan dari kehidupan lain. Seperti kenangan yang semakin jauh dari jangkauannya.

Di tengah rutinitas yang monoton itu, perasaannya terhadap Nara justru semakin intens. Entah bagaimana, setiap kali mereka bertemu, percakapan dan kebersamaan mereka selalu terasa begitu alami dan ringan. Aksara sadar bahwa kehadiran Nara telah menjadi semacam pelarian dari segala kesepian yang selama ini ia rasakan. Meskipun demikian, di setiap tawa dan percakapan dengan Nara, ada perasaan bersalah yang perlahan tapi pasti mulai menumpuk di sudut hatinya.

Suatu malam, setelah lembur bersama, Aksara dan Nara memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak di sekitar kantor. Jalanan Jakarta yang ramai namun lengang di malam hari memberi mereka sedikit ruang untuk berbicara lebih leluasa. Saat mereka berhenti di tepi jembatan penyeberangan, Nara menatap Aksara dengan tatapan penuh arti.

“Aksara… kalau suatu saat kamu harus memilih antara bertahan dengan yang sudah lama ada, atau mulai dari awal dengan sesuatu yang lebih pasti, kamu akan pilih yang mana?” tanya Nara pelan, nyaris berbisik.

Pertanyaan itu menusuk langsung ke hati Aksara. Ia terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Tapi Nara, seolah mengerti, hanya tersenyum samar dan menepuk bahu Aksara lembut.

“Kadang, melangkah maju berarti harus berani meninggalkan sesuatu,” lanjut Nara, dengan nada penuh pengertian. “Kamu nggak bisa terus terjebak dalam apa yang kamu sendiri nggak yakin mau kamu pertahankan atau tidak.”

Kata-kata Nara terngiang di pikiran Aksara sepanjang malam. Mungkin, ia sudah lama tahu jawaban dari semua keraguannya ini. Namun, keberanian untuk mengakui perasaannya terhadap Nara dan perasaan hampa yang perlahan menggerogoti cintanya pada Melati adalah sesuatu yang tak pernah benar-benar ia siapkan. Bagaimanapun, ia pernah berjanji setia pada Melati. Janji yang sekarang semakin terasa berat dan seolah hanya menjadi beban.

Di Bali, Melati mencoba mengalihkan hatinya dari kesedihan yang semakin hari semakin membesar. Ia mulai bergaul lebih sering dengan teman-temannya, berusaha menemukan kebahagiaan di tengah luka yang perlahan merenggut ketenangannya. Namun, jauh di lubuk hati, Melati tahu bahwa hubungan mereka semakin renggang dan cinta yang dulu menjadi bagian terbesar dari hidupnya kini perlahan memudar.

Malam itu, di sebuah acara reuni kecil bersama teman-teman SMA-nya, Melati bertemu dengan Banyu. Banyu adalah teman lama yang pernah menyukainya di sekolah, tetapi mereka tidak pernah benar-benar dekat. Sejak pertemuan itu, Banyu mulai sering mengajak Melati mengobrol dan berusaha menjadi sahabat yang bisa ia andalkan. Perlahan tapi pasti, Melati mulai merasakan kenyamanan yang tak lagi ia temukan dalam hubungannya dengan Aksara.

Ketika Banyu mulai menjadi bagian dari keseharian Melati, ia merasa hidupnya kembali memiliki warna. Meski hubungan mereka masih sebatas teman, Melati tahu bahwa kehadiran Banyu sedikit demi sedikit mengisi kekosongan yang ditinggalkan Aksara. Di tengah kebersamaannya dengan Banyu, Melati menyadari bahwa dirinya perlahan mulai melepaskan Aksara. Hatinya yang dulu hanya ada untuk Aksara kini mulai mencari sandaran yang lebih nyata.

Kembali ke Jakarta, di tengah-tengah keraguan dan perasaan bersalah yang semakin berat, Aksara menerima pesan dari Melati. Pesan yang singkat tapi penuh makna:

“Kas, aku rasa kita perlu bicara, langsung. Kalau kamu masih peduli, datanglah ke Bali. Sekali saja, beri aku kejelasan.”

Pesan itu membuat Aksara terdiam lama. Ada perasaan yang tak bisa ia jelaskan. Ketakutan, mungkin. Ia sadar bahwa Melati juga merasakan apa yang selama ini berusaha ia abaikan. Cinta mereka sedang berada di ujung tanduk, dan mungkin, kata-kata Melati adalah kesempatan terakhir mereka untuk menyelamatkannya—atau mungkin, untuk mengakhirinya.

Dengan hati yang berat, Aksara memutuskan untuk menerima permintaan itu. Ia berjanji akan terbang ke Bali pada akhir pekan, bertemu Melati untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan lamanya hanya berhubungan lewat layar.

Beberapa hari kemudian, di Bali, Melati menanti kedatangan Aksara dengan perasaan campur aduk. Ia telah mempersiapkan dirinya untuk segala kemungkinan. Di satu sisi, ia masih menyimpan harapan bahwa hubungan mereka bisa diperbaiki, namun di sisi lain, ia sudah siap untuk melepaskan, jika itu yang terbaik.

Saat Aksara tiba di Bali, suasana hati keduanya penuh dengan kebingungan. Mereka bertemu di sebuah kafe kecil yang pernah mereka kunjungi dulu, di awal hubungan mereka. Di sana, di tengah suasana yang seharusnya akrab, keduanya hanya duduk dalam keheningan yang terasa berat dan canggung.

Aksara mencoba membuka percakapan. “Maaf, Mel, kalau aku bikin kamu nunggu lama. Aku tahu aku kurang hadir buat kamu belakangan ini.”

Melati tersenyum pahit. “Iya, Kas. Tapi aku udah bukan Melati yang sama seperti dulu, yang bisa cuma nunggu dan berharap kamu ada buat aku. Aku udah capek, Kas… capek merasa sendiri.”

Kata-kata itu menghantam Aksara, namun ia tahu Melati benar. Mereka sudah lama terpisah, bukan hanya oleh jarak, tapi juga oleh perasaan yang tak lagi sama.

“Mel, aku nggak tahu harus bilang apa,” Aksara menghela napas, menunduk, mengumpulkan keberanian. “Aku juga nggak bisa terus berpura-pura kalau semuanya masih baik-baik aja di antara kita.”

Melati menatapnya dalam-dalam, dan dalam tatapan itu ada keikhlasan yang sudah lama ia cari.

“Aku rasa… ini memang waktunya buat kita buat melepaskan, Kas,” kata Melati dengan suara yang sedikit bergetar. “Kita udah terlalu jauh. Cinta kita bukan lagi cinta yang sama.”

Aksara hanya bisa mengangguk pelan, menahan perasaan bersalah yang kini terasa begitu nyata. Keduanya terdiam, menyadari bahwa mereka baru saja sampai di akhir dari perjalanan panjang yang dulu mereka mulai dengan begitu banyak impian dan harapan.

Di akhir percakapan itu, mereka berpisah dengan cara yang sunyi, tanpa drama. Keduanya tahu, perpisahan ini bukanlah tentang siapa yang salah atau siapa yang benar. Cinta mereka hanya tak lagi mampu bertahan di tengah jarak dan waktu yang telah menjauhkan mereka.

Di bandara, sebelum kembali ke Jakarta, Aksara memandang Bali yang semakin menjauh dari pandangannya. Ia menyadari, cinta yang dulu menjadi segalanya kini hanya menyisakan luka. Meski begitu, ia tahu, luka itu akan menjadi bagian dari kisahnya, mengajarinya untuk lebih bijak dalam menjaga hati di masa depan.

 

Akhir yang Tak Terhindarkan

Aksara kembali ke Jakarta dengan perasaan hampa yang hampir tak tertahankan. Selama penerbangan, ia hanya menatap keluar jendela pesawat, menyaksikan awan yang melintas dengan cepat, seakan mencoba melarikan diri dari kenyataan yang harus ia hadapi. Bagaimana bisa sesuatu yang begitu indah bisa berubah begitu cepat? Bagaimana ia bisa begitu ceroboh, membiarkan dirinya terlena oleh jarak dan kebingungannya?

Hari-hari setelah kepulangan itu terasa semakin berat. Melati sudah menghapus dirinya dari kehidupan Aksara, dan meskipun mereka berdua belum saling mengungkapkan kata perpisahan yang sepenuhnya, Aksara tahu bahwa segala sesuatu telah berakhir. Melati sudah mengikhlaskan perpisahan itu dengan caranya sendiri, menjalani hidupnya tanpa dirinya.

Di Jakarta, Aksara kembali tenggelam dalam pekerjaannya, mencoba mencari makna dalam rutinitas yang kian hari semakin terasa kosong. Setiap kali ia berjalan melewati tempat-tempat yang dulu pernah mereka kunjungi bersama, hatinya terasa seperti diinjak, seolah setiap sudut kota ini menuntutnya untuk mengingat semua kenangan itu, kenangan yang kini hanya bisa ia simpan dalam lembaran-lembaran berdebu di sudut pikirannya.

Aksara berusaha beradaptasi dengan hidup yang baru, tapi ada yang hilang. Sesuatu yang tak bisa ia jelaskan, sesuatu yang dulu membuatnya merasa hidup, membuatnya merasa dibutuhkan. Kini, ia hanya terjebak dalam bayang-bayang yang mengingatkannya pada segala yang telah hilang.

Di sisi lain, Melati juga tidak jauh berbeda. Bali telah memberinya ketenangan, tetapi ada bagian dalam dirinya yang tetap merasa kosong. Mungkin, seiring berjalannya waktu, ia akan terbiasa dengan kenyataan bahwa cinta yang dulu ia miliki telah pergi, namun kenyataan itu tetap menyakitkan. Setiap kali ia bangun di pagi hari, ada perasaan hampa yang tak bisa ia hilangkan begitu saja.

Banyu, yang sudah mulai dekat dengannya, tampaknya memang bisa mengisi sebagian kekosongan itu, tapi dia bukan Aksara. Tidak ada yang bisa menggantikan sosok Aksara, meskipun Melati berusaha untuk membiarkan dirinya terbuka pada kemungkinan baru. Banyu baik, perhatian, dan selalu ada untuknya. Namun, dalam hatinya, Melati tahu bahwa ia tidak bisa dengan mudah berpaling dari seseorang yang telah begitu lama menjadi bagian dari hidupnya.

Aksara akhirnya mengirimkan pesan singkat pada Melati, setelah berbulan-bulan mereka tak berkomunikasi. Pesan yang terasa hampa dan penuh penyesalan, tapi juga sebuah pengakuan bahwa mereka berdua telah menjalani jalan yang berbeda.

“Mel, aku cuma mau bilang… aku minta maaf. Aku nggak pernah bermaksud untuk menyakitimu. Kalau ada kesempatan, aku ingin kita bisa berteman. Bukan untuk kembali, tapi untuk menghargai kenangan yang pernah kita buat.”

Melati menerima pesan itu dengan tenang, namun ada rasa hangat yang menyelinap di dadanya. Kenangan indah mereka bersama tak bisa hilang begitu saja. Meskipun telah banyak waktu berlalu, meskipun perasaan mereka telah terkikis oleh jarak dan waktu, tetap ada tempat khusus di hatinya untuk Aksara. Mungkin perasaan itu tidak akan pernah benar-benar menghilang, tetapi ia tahu bahwa hidup harus terus berjalan.

Beberapa minggu kemudian, Aksara bertemu Nara lagi. Mereka duduk di kafe yang sama, minum kopi bersama setelah sekian lama. Namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Aksara merasa tidak lagi terikat pada perasaan yang dulu sempat tumbuh untuk Nara. Mereka berbicara dengan lebih santai, tanpa tekanan, tanpa beban perasaan yang sebelumnya selalu melingkupi mereka.

“Nara, aku rasa aku nggak bisa terus berlarut-larut dengan masa lalu,” kata Aksara pelan, menatap mata Nara dengan lebih dalam. “Aku harus bergerak maju, entah itu dengan kamu atau dengan siapa pun.”

Nara hanya tersenyum dan mengangguk. “Aku mengerti. Aku juga nggak mau menjadi penghalangmu untuk mencari apa yang sebenarnya kamu butuhkan.”

Aksara dan Melati tidak lagi saling menghubungi setelah pesan singkat itu. Mereka berdua terus melanjutkan hidup mereka masing-masing, meskipun ada luka yang akan selalu ada di hati mereka. Mereka mungkin tidak bisa kembali bersama, tapi keduanya akhirnya menemukan kedamaian dengan kenyataan bahwa hidup mereka sudah berlanjut, dengan atau tanpa satu sama lain.

Aksara duduk sendiri di balkon apartemennya suatu malam, menatap langit yang mulai gelap. Ada bulan yang bersinar terang, namun ia tidak merasa seindah dulu saat ia dan Melati melihat bulan itu bersama. Bulan itu, meski begitu terang, seolah menyimpan kenangan yang tak bisa ia raih lagi.

“Aku harus bisa menerima ini, kan?” gumam Aksara, lebih pada dirinya sendiri. “Kadang, kita harus kehilangan sesuatu untuk menemukan apa yang sebenarnya kita butuhkan.”

Ia menghela napas panjang, menyadari bahwa meskipun cinta mereka telah berakhir, mereka berdua tetap belajar untuk melepaskan dan melanjutkan hidup. Perasaan itu, seperti langit malam yang gelap dan penuh bintang, tetap ada—meskipun tak lagi bisa digapai.

Dan dengan itu, Aksara menutup babak kehidupan lamanya, membuka halaman baru yang penuh dengan ketidakpastian, tetapi juga dengan harapan.

 

Ya, kadang cinta itu nggak harus berakhir bahagia, kan? Mungkin kita cuma perlu menerima bahwa nggak semua hubungan bisa bertahan. Kadang, melepaskan itu yang paling bener buat diri sendiri. Meskipun rasanya berat, setidaknya kita bisa move on dan terus jalan maju.

Mungkin kita nggak bakal barengan, tapi setidaknya kita belajar dari semuanya. Cinta emang aneh, ya? Bisa bikin kita senang, bisa juga bikin sakit. Tapi yang penting, kita tetep bisa hidup dan belajar untuk nyari kebahagiaan lain.

Leave a Reply