Daftar Isi
Kadang, cinta nggak cukup buat bikin dua orang bisa terus bersama. Ada hal-hal yang lebih besar dari sekadar rasa sayang—restu orang tua, keadaan, atau bahkan takdir yang nggak memihak. Ini kisah tentang dua hati yang udah lama saling mencintai, tapi akhirnya harus berpisah karena keadaan.
Tentang seseorang yang terpaksa menjauh, bukan karena nggak cinta, tapi karena nggak punya pilihan lain. Dan tentang seseorang yang harus belajar merelakan, meskipun itu adalah hal paling sulit yang pernah ia lakukan.
Kisah Perpisahan yang Menyakitkan
Janji di Bawah Langit
Angin sore berhembus pelan, menyapu helaian rambut Naraya yang jatuh di bahunya. Langit berwarna jingga keemasan, perlahan bertransisi menuju senja. Di bawah langit yang sama, di tempat yang sama, mereka berdua duduk berdampingan di tepi danau, seperti yang selalu mereka lakukan selama lima tahun terakhir.
Arvel duduk bersandar pada kedua tangannya yang menopang tubuhnya ke belakang. Matanya menatap langit tanpa ekspresi, tapi Naraya tahu, jauh di dalam sana, pikirannya melayang entah ke mana.
“Aku suka langit di jam segini,” gumam Naraya pelan. “Warnanya hangat, tapi ada rasa sedihnya juga.”
Arvel melirik sekilas, lalu tersenyum tipis. “Kamu suka hal-hal yang menyedihkan, ya?”
Naraya mengangkat bahu. “Bukan gitu. Aku cuma suka sesuatu yang punya makna lebih. Kayak langit sore, dia cantik tapi juga tanda kalau hari hampir berakhir.”
Arvel tidak langsung merespons. Ia hanya mengangguk kecil, seperti sedang menyimpan sesuatu di pikirannya. Naraya memperhatikannya lama, lalu bersuara lagi.
“Kamu kenapa?” tanyanya pelan.
Arvel menoleh dan tersenyum, seolah menepis pertanyaan itu. “Nggak apa-apa.”
Naraya mendengus pelan. “Jangan bohong.”
Lelaki itu tertawa kecil, tapi nadanya hambar. Ia menoleh ke arah danau, menatap permukaan air yang mulai berkilauan karena pantulan cahaya lampu taman.
“Kita udah lama bareng, ya?” gumam Arvel tiba-tiba.
Naraya mengerutkan kening, sedikit heran dengan arah pembicaraan ini. “Jelas. Lima tahun bukan waktu yang sebentar.”
Arvel tersenyum lagi, tapi kali ini samar. Ada sesuatu di matanya, sesuatu yang tidak biasa. Naraya merasakan ada yang janggal, tapi ia tidak mau berasumsi dulu.
“Aku ingat banget dulu kita pertama kali ke sini pas tahun pertama pacaran,” lanjut Arvel. “Kamu marah-marah karena aku telat datang, terus pas akhirnya nyampe, aku bawa es krim buat kamu biar nggak ngambek.”
Naraya tertawa kecil, mengingat kenangan itu. “Ya, kamu nyebelin banget waktu itu. Aku udah nunggu lama di sini sendirian, hampir mutusin buat pulang.”
Arvel ikut tertawa, tapi tidak lama. “Tapi kamu nggak pulang.”
Naraya menoleh, tersenyum tipis. “Tentu aja nggak. Aku tahu kamu bakal datang.”
Seketika, keheningan menyelimuti mereka. Arvel tampak ingin mengatakan sesuatu, tapi ia ragu. Matanya yang biasanya tenang kini penuh dengan sesuatu yang sulit diartikan.
“Kamu percaya kalau seseorang bisa mencintai tapi harus melepaskan?” tanyanya tiba-tiba.
Naraya menatapnya lama. Pertanyaan itu terdengar asing, tapi juga menakutkan. “Kenapa kamu tiba-tiba ngomong kayak gitu?”
Arvel menghela napas pelan. Ia mengambil batu kecil di sampingnya, lalu melemparkannya ke danau. Riak air muncul di permukaan, semakin membesar sebelum akhirnya memudar.
“Aku cuma penasaran,” katanya akhirnya.
Naraya mengernyit. “Cinta harusnya diperjuangkan, bukan dilepaskan.”
Arvel tersenyum, kali ini lebih nyata. “Kamu selalu punya jawaban pasti untuk segalanya.”
“Tentu saja. Kalau kita nggak yakin sama cinta kita sendiri, siapa lagi?”
Arvel tidak menjawab. Ia hanya menatap Naraya lama, seolah ingin mengingat setiap detail wajah gadis itu. Rambut hitam yang selalu ia sukai, sorot mata yang penuh keyakinan, dan bibir yang selalu berbicara dengan penuh ketegasan.
Naraya merasakan sesuatu bergejolak di dalam dadanya. Ada yang tidak beres.
“Arvel,” panggilnya pelan. “Kamu nggak akan pergi, kan?”
Lelaki itu terdiam. Jemarinya mengepal di atas lututnya, lalu perlahan mengendur. Ia tersenyum kecil, mengulurkan tangan untuk menyentuh ujung rambut Naraya dengan lembut.
“Kita udah janji buat tetap bareng, kan?” katanya lirih.
Naraya menelan ludah, tiba-tiba merasa cemas. Ia ingin percaya. Tapi entah kenapa, kali ini, janji itu terdengar seperti perpisahan yang tertunda.
Pilihan yang Menyakitkan
Naraya duduk di pinggir ranjangnya, jemarinya menggenggam ponsel yang sejak tadi tak bergetar. Sudah hampir seminggu sejak percakapannya dengan Arvel di tepi danau, tapi lelaki itu semakin sulit dihubungi. Pesan-pesan yang dikirimnya hanya dibaca tanpa balasan, panggilan yang ia buat berulang kali selalu berakhir dengan nada tunggu yang panjang sebelum akhirnya beralih ke voicemail.
Tidak biasanya Arvel seperti ini.
Selama lima tahun bersama, Arvel bukan tipe yang menghilang tanpa kabar. Ia selalu ada, selalu memastikan Naraya baik-baik saja. Bahkan di hari-hari tersibuknya, ia tetap meluangkan waktu untuk sekadar mengirim pesan atau menelepon. Tapi sekarang, semuanya berubah.
Naraya menggigit bibirnya, menekan nomor yang sudah dihafalnya di luar kepala. Panggilan tersambung. Namun, lagi-lagi, tak ada jawaban.
Ia merasakan sesuatu meremas dadanya.
Sesuatu yang tidak ia mengerti.
Atau mungkin ia mengerti, tapi tidak ingin mengakuinya.
Hari itu, Naraya memutuskan untuk mendatangi Arvel. Setelah berjam-jam menunggu sesuatu yang tak pasti, ia tidak bisa lagi diam di tempat. Ia perlu jawaban.
Apartemen Arvel berada di kawasan yang cukup tenang, tidak terlalu jauh dari tempat Naraya tinggal. Setibanya di depan pintu unitnya, ia menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk.
Satu ketukan.
Dua ketukan.
Tak ada jawaban.
Naraya mengernyit, mencoba lagi. Kali ini, lebih keras.
Beberapa detik kemudian, suara langkah terdengar dari dalam. Pintu terbuka sedikit, dan muncullah Arvel.
Naraya hampir tidak mengenali lelaki itu.
Mata Arvel terlihat lelah, rambutnya berantakan, dan wajahnya jauh lebih pucat dari biasanya. Ada sesuatu dalam sorot matanya—sesuatu yang bukan dirinya.
“Naraya?” suaranya serak, seolah ia baru bangun dari tidur yang tidak nyenyak.
Naraya menatapnya, mencoba mengabaikan debaran di dadanya. “Kenapa kamu menghindar?”
Arvel terdiam sejenak, lalu menoleh ke dalam, seperti memastikan sesuatu sebelum akhirnya keluar dan menutup pintu di belakangnya.
“Aku nggak menghindar,” katanya akhirnya.
Naraya menatapnya tajam. “Jangan bohong.”
Arvel mengusap wajahnya, menghela napas berat. “Naraya, aku…”
“Ada apa?” potong Naraya. “Kamu berubah. Aku tahu ada sesuatu yang nggak kamu kasih tahu ke aku. Jadi sekarang, tolong jawab, kenapa kamu—”
“Aku harus menikah.”
Naraya terdiam.
Dunia seakan berhenti berputar.
“Kamu… apa?” suaranya nyaris berbisik.
Arvel menatapnya, matanya penuh luka yang tersembunyi. “Aku harus menikah,” ulangnya.
Naraya tertawa kecil, tawa yang dipenuhi ketidakpercayaan. “Jangan bercanda, Arvel.”
“Aku nggak bercanda.”
Naraya menggeleng, mencoba memproses kata-kata itu. “Apa maksudnya? Maksudnya… kamu dijodohkan?”
Arvel tidak menjawab. Tapi dari ekspresinya, Naraya tahu ia benar.
“Aku nggak percaya,” gumamnya. “Arvel, ini bukan abad pertengahan. Kamu bisa nolak.”
“Aku udah coba,” kata Arvel pelan. “Aku udah berusaha. Tapi…”
Naraya menatapnya tak percaya. “Tapi kamu milih buat nerima?”
“Apa pilihanku?” suara Arvel terdengar serak, penuh kelelahan. “Aku udah bilang ke mereka kalau aku cinta sama kamu. Aku udah bilang kalau aku nggak mau sama siapa pun selain kamu. Tapi kamu tahu mereka gimana.”
Naraya merasakan perutnya bergejolak. Ia tahu. Keluarga Arvel bukan orang biasa. Mereka punya kuasa, punya nama, dan yang paling buruk… mereka tidak mengenal kata ‘tidak’.
Naraya merasakan dadanya sesak.
“Lalu kenapa kamu nggak bilang apa-apa ke aku?” tanyanya, suaranya sedikit bergetar.
“Apa yang bisa aku bilang?” Arvel menatapnya, matanya gelap. “Kalau aku akan meninggalkanmu? Kalau aku nggak bisa memperjuangkan kita?”
Air mata mulai berkumpul di pelupuk mata Naraya, tapi ia menahannya.
“Jadi, ini akhirnya?” bisiknya.
Arvel menunduk, tangannya mengepal di sisi tubuhnya.
“Aku nggak mau ninggalin kamu, Naraya,” katanya pelan. “Tapi kalau aku tetap bertahan, aku cuma bakal nyakitin kamu lebih banyak.”
Naraya menggeleng, menggigit bibirnya, mencoba menahan emosi yang meluap. “Bodoh! Aku nggak butuh kamu buat melindungi aku dari rasa sakit! Kamu nggak ngerti? Aku cuma butuh kamu buat tetap di sini!”
Arvel menutup matanya, seolah ingin menahan sesuatu dalam dirinya.
“Aku nggak bisa,” katanya akhirnya.
Naraya terisak, tapi ia tidak membiarkan dirinya jatuh sepenuhnya. “Jadi, ini keputusan kamu?”
Arvel mengangguk pelan. “Maaf.”
Naraya menatapnya lama, mencoba mencari sesuatu di wajah itu—sesuatu yang bisa meyakinkannya kalau ini semua hanya mimpi buruk.
Tapi tidak ada.
Hanya ada keheningan yang memisahkan mereka.
Naraya menghela napas panjang, lalu tersenyum getir.
“Baik,” katanya, suaranya nyaris mati. “Kalau itu yang kamu mau.”
Lalu, tanpa menunggu jawaban, ia berbalik dan pergi.
Arvel tetap berdiri di tempatnya, tidak mencoba mengejarnya, tidak mencoba menghentikannya.
Dan di saat itu, Naraya tahu—cinta mereka telah berubah menjadi sesuatu yang tidak bisa lagi diperjuangkan.
Perpisahan yang Tak Terucap
Naraya tidak ingat kapan terakhir kali ia tidur nyenyak. Setiap kali menutup mata, suara Arvel terus berputar di kepalanya. Kata-katanya, ekspresinya, caranya menatapnya dengan mata penuh luka—semua itu menghantuinya lebih dari yang ia duga.
Seminggu telah berlalu sejak pertemuan mereka terakhir kali. Seminggu penuh dengan pesan yang ia ketik lalu dihapus, panggilan yang ia buat lalu segera dimatikan. Naraya ingin bertanya apakah semua ini masih bisa diperbaiki. Tapi ia juga tahu, tidak ada jawaban yang ingin ia dengar.
Sementara itu, Arvel tetap hilang.
Tidak ada pesan, tidak ada telepon, tidak ada jejak seolah-olah ia tidak pernah ada.
Dan itu yang paling menyakitkan.
Naraya mencoba menenangkan dirinya dengan berpikir mungkin Arvel butuh waktu. Mungkin ini hanya fase sebelum semuanya kembali normal. Tapi semakin lama, semakin jelas bahwa tidak ada yang akan kembali seperti dulu.
Ia benar-benar kehilangan Arvel.
Hari itu, hujan turun deras. Naraya duduk sendirian di kafe yang biasa mereka datangi. Tangannya menggenggam cangkir kopi yang sudah dingin, tapi ia tidak meminumnya. Ia hanya duduk, memandangi jalanan di luar dengan pikiran kosong.
Lalu, entah bagaimana, ia melihat sosok yang begitu ia kenal melintas di seberang jalan.
Arvel.
Dengan payung hitam di tangannya, berjalan perlahan di tengah gerimis.
Naraya hampir tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Jantungnya berdegup kencang saat ia berdiri, tangannya gemetar saat meraih tasnya.
Tanpa berpikir panjang, ia berlari keluar.
“Arvel!”
Lelaki itu berhenti di tengah langkahnya. Ia tidak langsung menoleh, tapi bahunya menegang, seolah ragu apakah harus menghadapi ini atau tidak.
Naraya berlari menyeberangi jalan tanpa memedulikan rintik hujan yang mulai membasahi tubuhnya. Saat ia akhirnya sampai di depan Arvel, napasnya tersengal.
“Kenapa?” tanyanya, suaranya penuh kepedihan. “Kenapa kamu tiba-tiba menghilang?”
Arvel masih berdiri diam, payung di tangannya sedikit miring. Ia menatap Naraya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.
“Apa kamu benar-benar nggak peduli lagi?” suara Naraya melemah. “Apa kamu benar-benar mau pergi begitu aja tanpa bilang apa-apa?”
Arvel menghela napas. “Naraya…”
Naraya menggeleng, matanya mulai memanas. “Aku butuh jawaban, Arvel. Aku butuh tahu kalau semua ini benar-benar berakhir. Aku butuh tahu kalau kamu nggak akan kembali.”
Arvel menatapnya lama. Hujan terus turun, menciptakan irama samar di antara keheningan mereka.
“Aku nggak bisa kembali,” akhirnya ia berkata, suaranya nyaris tenggelam di antara suara hujan.
Naraya mengatupkan bibirnya erat, menahan isakan yang hampir keluar.
“Kamu bohong,” bisiknya. “Aku tahu kamu masih cinta.”
Arvel tidak menjawab. Ia hanya berdiri di sana, basah oleh hujan yang tak terhalang payungnya.
“Kamu cuma ingin aku membencimu, kan?” suara Naraya bergetar. “Kamu ingin aku berpikir kalau kamu nggak pernah benar-benar peduli, supaya aku bisa lebih mudah melepaskan?”
Arvel mengepalkan jemarinya, seolah menahan sesuatu dalam dirinya.
“Aku melakukan ini buat kamu,” katanya akhirnya. “Supaya kamu bisa berhenti menunggu sesuatu yang nggak akan pernah terjadi.”
Naraya tersenyum miris. “Kamu pikir aku nggak tahu? Kamu juga terluka. Kamu juga nggak mau semua ini terjadi.”
Arvel menatapnya, matanya penuh sesuatu yang tidak ia ucapkan. Tapi kemudian, ia menghela napas panjang dan tersenyum tipis—senyum yang begitu asing di wajahnya.
“Kamu salah,” katanya pelan. “Aku baik-baik saja.”
Dan di saat itu, Naraya merasa dunianya runtuh.
Karena untuk pertama kalinya, Arvel berbohong padanya.
Lelaki itu menyesap napas dalam, lalu melangkah mundur.
“Jangan cari aku lagi, Naraya,” katanya sebelum berbalik dan berjalan pergi.
Naraya tidak bisa bergerak. Ia hanya berdiri di sana, membiarkan hujan membasahi seluruh tubuhnya, membiarkan dingin menusuk kulitnya.
Satu hal yang ia sadari saat itu adalah, cinta tidak selalu berakhir dengan kebersamaan. Kadang, cinta juga berarti harus melepaskan, bahkan ketika itu menghancurkan segalanya.
Hanya Kenangan yang Tinggal
Setahun telah berlalu sejak hari itu.
Naraya masih mengingat dengan jelas bagaimana Arvel pergi, bagaimana punggungnya perlahan menghilang di balik hujan. Itu adalah terakhir kalinya ia melihat lelaki itu. Tidak ada pertemuan lain, tidak ada kebetulan yang mempertemukan mereka kembali, tidak ada kesempatan kedua.
Arvel benar-benar pergi.
Pada awalnya, ia tidak bisa menerima kenyataan itu. Ia mencoba mencari tahu kabar lelaki itu melalui teman-teman mereka, tapi tidak ada yang benar-benar tahu ke mana Arvel pergi. Beberapa bilang ia pindah ke luar negeri, yang lain mengatakan ia masih di kota, tapi memilih untuk menjauh dari semua orang yang mengenalnya.
Naraya berhenti mencari setelah tiga bulan.
Bukan karena ia menyerah, tapi karena ia sadar—Arvel tidak ingin ditemukan.
Dan ia harus menghormati itu.
Hari ini, Naraya kembali ke kafe tempat mereka biasa bertemu. Ia duduk di sudut ruangan, tempat favoritnya dan Arvel dulu.
Bedanya, kali ini ia sendirian.
Ia menyesap kopi di hadapannya pelan, membiarkan aromanya memenuhi indra penciumannya. Ada yang berbeda dari rasa kopi ini. Tidak berubah, tapi terasa asing. Mungkin karena dulu, kopi ini selalu terasa lebih nikmat ketika Arvel ada di depannya, menggodanya dengan lelucon receh yang tidak pernah gagal membuatnya tertawa.
Ia menghela napas.
Hidupnya terus berjalan. Hari-hari berlalu, dan ia mulai terbiasa dengan kenyataan bahwa Arvel tidak lagi menjadi bagian dari dunianya. Tapi tetap saja, ada saat-saat di mana ia berharap semua ini hanya mimpi buruk yang bisa ia bangun dan kembali ke pelukan lelaki itu.
Namun, kenyataan tidak sebaik itu.
Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari seorang teman.
“Naraya, aku baru dengar kabar tentang Arvel. Dia sudah menikah.”
Dunia Naraya terasa berhenti sejenak.
Ia menatap layar ponselnya lama, memastikan bahwa ia tidak salah membaca pesan itu.
Arvel… menikah?
Jari-jarinya terasa kaku saat mengetik balasan.
“Kamu yakin?”
Tidak butuh waktu lama sebelum pesan lain masuk.
“Iya, aku dapat undangan digitalnya. Pernikahannya nggak besar, cuma dihadiri keluarga dan teman dekat.”
Naraya terdiam.
Jadi, ini benar-benar sudah berakhir.
Tidak ada lagi harapan yang tersisa. Tidak ada lagi kemungkinan bahwa suatu hari Arvel akan kembali.
Ia tersenyum kecil, meskipun hatinya terasa hancur.
Mungkin ini memang takdirnya.
Mungkin Arvel bukan ditakdirkan untuk menjadi akhir dari kisahnya, melainkan hanya seseorang yang pernah singgah untuk mengajarkan arti mencintai dan melepaskan.
Naraya menyesap kopinya sekali lagi, kali ini dengan perasaan yang berbeda.
Entah kenapa, meski sakit, ada ketenangan yang ia rasakan.
Mungkin, akhirnya, ia bisa benar-benar merelakan.
Dan mungkin, di suatu tempat yang jauh, Arvel juga melakukan hal yang sama.
Tapi satu hal yang ia tahu pasti—cinta mereka mungkin tidak bertahan selamanya, tapi kenangan tentangnya akan tetap hidup di dalam hatinya.
Untuk selamanya.
Cinta nggak selalu berakhir dengan kebersamaan. Kadang, cinta juga berarti membiarkan seseorang pergi, meskipun itu menghancurkan segalanya. Bukan karena nggak sayang, tapi justru karena terlalu sayang. Kisah ini mungkin udah selesai, tapi rasa itu… mungkin nggak akan pernah benar-benar hilang. Karena yang pergi hanyalah orangnya, tapi kenangannya? Tetap tinggal, selamanya.


