Daftar Isi
Hai, guys! Siap-siap deh buat ngebayangin serunya cinta monyet di sekolah! Di sini, ada Kinan dan Aro yang bakal bikin kamu senyum-senyum sendiri. Dari momen konyol sampai yang bikin hati berdebar, semuanya terekam dalam warna putih biru yang ceria. Yuk, ikuti perjalanan mereka yang penuh tawa dan cinta yang menggemaskan. Siapa tahu, kamu bisa ngambil inspirasi buat kisah cintamu sendiri!
Cinta Kasih di Putih Biru
Sapaan di Bangku Taman
Aku masih ingat hari itu, waktu pertama kali melihat sosoknya dari dekat. Suara riuh anak-anak lain di taman sekolah, aroma jajanan kantin yang melayang-layang, semua terasa seperti latar belakang yang samar ketika aku duduk di bangku taman, asyik menggambar seekor kucing kecil di pojok buku tulis. Kupikir hari itu akan sama seperti hari-hari lain di sekolah baruku: tenang, sepi, dan… sedikit membosankan. Sampai tiba-tiba seseorang duduk tepat di sebelahku, dengan jarak yang cukup dekat sampai aku bisa mendengar suara napasnya.
“Eh, gambarnya bagus juga.”
Aku refleks mengangkat kepala, dan di sana, dia sudah duduk, dengan seragam yang sama seperti punyaku. Rambutnya sedikit berantakan, tapi ada senyum di wajahnya yang, entah kenapa, bikin aku jadi gugup.
“Ah… terima kasih,” jawabku cepat, berusaha kelihatan biasa saja. Kupikir dia bakal pergi, tapi ternyata dia malah semakin mendekat, memperhatikan gambarku dengan serius.
“Kayaknya aku kenal deh sama gaya gambar kayak gini,” katanya sambil miring-miringkan kepala, “Kamu suka gambar anime, ya?”
Aku agak kaget dia bisa nebak. “Iya… Lumayan, sih,” jawabku, berusaha tetap kalem. Tapi dia malah semakin antusias.
“Wah, sama dong! Aku juga suka anime, apalagi yang tentang basket. Ada tuh yang karakter utamanya selalu keren banget. Kalo aku kayak gitu, aku pasti jadi bintang, deh,” ujarnya sambil nyengir lebar.
Aku nggak bisa menahan senyum mendengar omongannya yang begitu percaya diri. “Bukan jaminan, sih,” balasku sambil sedikit tertawa.
“Oh iya, aku Aro!” katanya sambil mengulurkan tangannya. “Alvaro Wiranata, tapi semua orang manggil aku Aro. Kamu, siapa?”
“Kinanthy Adara. Tapi aku biasa dipanggil Kinan,” jawabku sambil berjabat tangan pelan.
Seketika itu, Aro seperti sudah menganggap kami teman lama. Dia terus bercerita sambil tertawa-tawa sendiri. Katanya, dia punya impian jadi bintang basket di sekolah, biar semua orang tahu siapa dia. Dan, aku harus akui, semangatnya itu menular. Setiap kali dia mengeluarkan ekspresi semangat, aku ikut tertawa, bahkan sampai lupa waktu.
Saat bel berbunyi, tanda istirahat berakhir, Aro beranjak dari bangku sambil memberi tatapan seolah-olah dia baru saja memenangkan sesuatu.
“Kamu tau nggak, aku biasanya nggak suka ngobrol lama sama orang yang baru kenal. Tapi, hari ini pengecualian,” katanya sambil nyengir lebar, membuat aku tertawa lagi.
Aku cuma mengangguk. “Sampai ketemu di kelas, Aro.”
Tapi saat aku melangkah ke arah kelas, aku denger dia berseru lagi. “Eh, Kinan! Jangan lupa kalau aku ini… calon bintang sekolah, ya!”
Aku pura-pura nggak dengar, tapi sebenarnya senyumku nggak bisa berhenti muncul sampai aku duduk di bangkuku.
Keesokan harinya, aku pikir pertemuan singkat kemarin bakal selesai begitu saja, tapi ternyata aku salah. Aro selalu muncul, di mana pun aku berada. Mulai dari kantin, perpustakaan, sampai koridor. Setiap kali melihatku, dia nggak pernah lupa menyapa dengan cara yang… ya, unik.
Di kantin, misalnya, aku sedang beli bakso ketika tiba-tiba ada yang menepuk bahuku.
“Eh, Kinan, ternyata bakso favorit kita sama, ya!” katanya dengan nada bangga, seolah itu sebuah pencapaian besar.
“Loh, emang iya? Baru kali ini kita ketemu di kantin,” jawabku sambil menahan tawa.
“Nggak penting itu. Pokoknya, kalo kita suka hal yang sama, artinya kita… cocok!” katanya sambil tersenyum lebar, dan entah kenapa, pipiku langsung terasa panas.
Aku cuma nyengir dan buru-buru nyari tempat duduk, berharap dia nggak ngikutin aku. Tapi, jelas itu hanya harapanku. Dia duduk di bangku tepat di depanku, menyeruput baksonya dengan ekspresi penuh semangat.
“Kamu kenapa suka makan sendirian, sih?” tanyanya tiba-tiba.
Aku bingung harus jawab apa. “Hmm, aku lebih nyaman aja,” jawabku jujur.
Aro mengangguk seolah itu adalah jawaban yang sangat mendalam. “Tapi kalau makan bareng temen, lebih seru, kan?”
Sejak saat itu, setiap kali aku berada di kantin, Aro selalu ada. Dia akan datang entah dari mana, menepuk bahuku atau tiba-tiba duduk di depanku, bercerita tentang hal-hal konyol yang terjadi di sekolah.
Di suatu sore, kami nggak sengaja ketemu di perpustakaan. Aku lagi asyik baca buku, dan tiba-tiba terdengar suara khasnya yang sedang mencoba berbisik tapi gagal.
“Eh, Kinan! Apa kabar?”
Aku refleks nengok ke arah suaranya dan menemukan dia berdiri di belakangku sambil tersenyum lebar, meski petugas perpustakaan melirik kami dengan tatapan tajam.
“Aro, ini perpustakaan,” bisikku, berusaha menahan tawa.
“Oh iya, iya.” Dia memasang jari telunjuk di bibir, berusaha terlihat serius, tapi nggak lama dia malah mengangkat alis sambil menunjuk buku di tanganku. “Lagi baca buku soal apa tuh?”
“Fiksi. Ceritanya seru, sih.”
“Oh, keren! Aku jadi penasaran mau baca buku kayak gitu juga.”
Aku tertawa pelan. “Kalo gitu, cari tempat duduk, jangan gangguin aku.”
Dia nyengir, “Oke, Kinan. Nanti, cerita dikit ya soal bukunya.”
Sore itu, aku nggak bisa fokus sama sekali. Setiap kali aku melihat ke arah Aro, dia menatap balik dan memasang ekspresi pura-pura serius yang jelas bikin aku nyengir sendiri.
Sepertinya, hari-hariku yang awalnya tenang, sekarang jadi lebih ramai. Dan setiap kali aku berada di sekitar Aro, hatiku sedikit lebih ringan. Entah karena tawanya yang mudah, atau caranya melihatku seperti aku adalah teman lama, bukan sekadar teman sekelas baru.
Satu hal yang aku tahu pasti, sejak aku duduk di bangku taman itu, aku nggak pernah merasa sendirian lagi.
Pertandingan dan Kedipan Mata
Hari itu cuaca mendung, tapi semangat anak-anak kelas 7B seperti nggak terpengaruh sama sekali. Mereka semua berbaris rapi di lapangan basket, siap untuk pelajaran olahraga. Aku sendiri berdiri agak di belakang, sedikit canggung karena belum terlalu kenal banyak orang di kelas ini. Sementara itu, di depan sana, Aro sudah siap dengan seragam olahraga, matanya berbinar-binar dan ekspresinya penuh antusiasme.
“Semua siap buat tanding?” seru Pak Isman, guru olahraga kami, sambil menyemangati kami. “Kelas 7B bakal main tanding basket antar-kelompok, dan kita perlu beberapa orang jadi juri, ya!”
Tiba-tiba, mataku bertemu dengan mata Pak Isman, dan sebelum aku bisa berkata apa-apa, dia sudah menunjuk ke arahku. “Kinan, kamu jadi juri, ya? Kamu keliatan tenang dan teliti.”
Aku kaget, tapi nggak bisa menolak, jadi aku mengangguk patuh. Semua teman-teman di lapangan langsung heboh mempersiapkan diri, sedangkan aku mengambil posisi di pinggir lapangan, siap mengamati pertandingan mereka. Dan di sanalah aku melihat Aro, yang sedang sibuk mengikat tali sepatunya sambil nyengir, mengedipkan mata ketika dia melihatku.
“Aku bakal tunjukin skill, nih! Kamu siap ngeliat aku main, kan?” katanya dengan ekspresi yakin.
Aku nggak bisa menahan tawa. “Coba aja dulu,” jawabku singkat, mencoba terlihat serius.
Peluit pertandingan berbunyi, dan permainan dimulai. Semua anak langsung berlari ke arah bola, kecuali Aro. Dia berdiri sebentar di tengah lapangan, seolah-olah sedang menunggu sorakan penonton yang nggak ada. Setelah itu, dia mulai berlari, meliuk-liuk melewati lawan dengan gaya yang… agak berlebihan. Setiap kali dia mengoper bola atau mencoba menggiringnya, dia akan memiringkan bahunya sedikit dan membuat gerakan yang dramatis.
Dan benar saja, temannya yang mencoba menerima bola jadi bingung sendiri.
Aku hanya bisa menggelengkan kepala, tertawa kecil dari pinggir lapangan sambil terus mengamati permainan. Aro memang punya gaya main yang unik. Meski sedikit berlebihan, dia tetap punya skill yang bikin dia menonjol dibanding teman-temannya yang lain. Begitu akhirnya dia mendekati ring lawan dan berhasil melempar bola, kami semua menahan napas, menunggu hasilnya.
Bola memantul sekali di tepi ring sebelum akhirnya jatuh masuk dengan sempurna. Semua teman-teman bersorak keras, tapi Aro justru lari ke pinggir lapangan dan berhenti di depanku, ekspresinya puas sambil berbisik, “Lihat, Kinan? Aku bilang aku bakal nunjukin sesuatu, kan?”
Aku tersenyum, menahan malu, karena teman-teman lain sudah mulai melirik-lirik kami berdua. “Bagus, Aro. Kamu hebat.”
“Tentu dong!” katanya bangga sambil kembali ke lapangan, wajahnya berseri-seri.
Pertandingan itu berjalan seru, dan Aro beberapa kali mencetak poin dengan gaya yang penuh percaya diri. Setiap kali berhasil mencetak angka, dia nggak pernah lupa untuk menoleh ke arahku, seolah menunggu pujian atau sekadar anggukan. Aku yang hanya menjadi juri pinggiran, entah kenapa jadi merasa terlibat di setiap poin yang dia buat.
Saat pertandingan selesai, tim Aro menang tipis, dan dia lari ke pinggir lapangan sambil menyeka keringatnya. “Kinan, kamu nggak keberatan kan kalau kita lanjut ke kantin? Aku haus banget.”
Aku hanya mengangguk, sedikit heran dengan cara dia selalu mencari alasan untuk ngajak aku jalan. Tapi di kantin, semuanya terasa lebih santai. Kami duduk di bangku dekat jendela, memesan minuman dingin, dan Aro terus bercerita tentang mimpinya jadi atlet basket sekolah.
“Kinan, kamu tau nggak, aku tuh selalu suka main basket karena… ya, basket bikin aku ngerasa keren!” katanya sambil tertawa lepas.
Aku mengangguk sambil mendengarkan cerita-cerita kecilnya. Tanpa sadar, aku pun mulai nyaman berbagi cerita tentang hobiku menggambar, kenapa aku suka anime, bahkan tentang mimpiku yang sebenarnya cuma sederhana—mungkin, suatu hari, aku bisa bikin buku gambar sendiri.
Saat itu, aku nggak sadar bahwa Aro memperhatikanku dengan serius. “Jadi… kamu mau jadi ilustrator, gitu?”
Aku mengangguk, sedikit ragu. “Iya, sih. Aku tau nggak gampang, tapi aku pengin nyoba. Mungkin nanti, setelah lulus SMA.”
Aro tersenyum sambil meneguk minumannya. “Aku yakin kamu bisa, Kinan. Nanti kalau kamu udah jadi ilustrator terkenal, kamu bisa bilang kalau kamu punya temen yang keren di SMP.”
Aku tertawa, menendang kakinya pelan di bawah meja. “Ngimpi, kamu.”
Tapi entah kenapa, aku merasa ada kehangatan yang tumbuh di antara obrolan ringan kami. Meski baru mengenalnya, aku merasa dekat dengan Aro. Dia bisa bikin aku nyaman, membuat aku percaya diri, dan ya… meski aku malu mengakuinya, dia membuat hariku lebih berwarna.
Kami terus ngobrol di kantin sampai akhirnya bel berbunyi, tanda kelas akan dimulai lagi. Sebelum berpisah, Aro tersenyum lebar dan berkata, “Jangan lupa, Kinan. Aku ini… bintang sekolah!”
Aku menggeleng, nyengir. “Oke, bintang sekolah. Jangan lupa juga kembalikan buku perpustakaan yang kemarin.”
Aro tertawa, tapi ekspresinya berubah agak kikuk. “Oh iya, itu… Eh, aku harus balik ke kelas. Nanti ketemu lagi ya, Kinan!”
Dan dengan gaya khasnya yang sedikit tergesa-gesa, dia langsung kabur, meninggalkan aku di kantin sambil tersenyum geli. Hari itu, aku tahu bahwa kisah kami mungkin baru saja dimulai, dan siapa yang tau, mungkin ada hal-hal lain yang lebih seru menunggu di depan.
Tanpa aku sadari, Aro sudah mulai mengisi hari-hariku dengan cara yang begitu sederhana tapi berkesan.
Cerita yang Tak Terduga
Hari-hari setelah pertandingan basket di kantin jadi lebih seru. Aro mulai sering ngajak aku ngobrol di luar kelas, dan meskipun kami belum benar-benar dekat, ada rasa nyaman yang tumbuh di antara kami. Kadang, dia datang ke tempat dudukku hanya untuk sekadar bercerita tentang hari-harinya di sekolah, atau bahkan menggoda aku tentang hobi menggambar yang selalu aku sebutkan.
“Jadi, Kinan, kapan nih kamu mau pamer gambar-gambar kamu? Aku janji nggak akan ketawa,” Aro berkata, menyunggingkan senyum lebar sambil berusaha menahan tawanya.
“Haha, kamu yakin? Soalnya, kadang aku bikin gambar yang aneh-aneh,” jawabku sambil menyandarkan punggung di kursi, sedikit malu.
“Eh, aneh atau nggak, yang penting kamu berani bikin karya. Itu yang paling penting!” Aro menjawab dengan semangat, membuat aku merasa sedikit lebih percaya diri.
Satu hari, saat kami sedang menunggu bel masuk kelas, Aro mendekat. Dia terlihat sedikit cemas. “Kinan, ada sesuatu yang pengen aku tanya. Tapi… ini agak aneh.”
“Anu… tanya aja. Nggak ada yang aneh-aneh kok,” jawabku sambil berusaha terlihat tenang, padahal hatiku berdebar-debar.
“Jadi gini, minggu depan ada acara perpisahan di sekolah kita. Kamu tahu kan? Nah, aku… ehm… mau ngajak kamu jadi pasangan aku di acara itu. Gimana?” Aro menatapku dengan serius, seolah-olah menunggu jawabanku dengan penuh harapan.
Aku terdiam, terkejut dengan tawaran yang tiba-tiba ini. Pikiran-pikiranku berputar. Kenapa tiba-tiba Aro ngajak aku? Kami masih belum terlalu dekat. “Maksud kamu, pasangan dalam arti partner di acara itu, atau…” aku mulai ragu.
“Iya, partner! Bukan yang lain, haha!” Aro tertawa, mencoba meringankan suasana. “Tapi, siapa tahu kita bisa jadi partner yang lebih dari sekadar teman, kan?”
Aku mendengus pelan, berusaha menahan senyum. “Oke, aku mau. Tapi kamu harus janji nggak bikin aku malu di depan banyak orang.”
“Janji! Aku bakal jaga reputasi kamu!” katanya dengan semangat, lalu menepuk dadanya seperti pahlawan.
Hari-hari berikutnya di sekolah dipenuhi dengan kesibukan mempersiapkan acara perpisahan. Kami berdua bekerja sama dalam latihan tarian yang akan ditampilkan, dan seiring waktu, semakin banyak momen lucu dan ceria yang kami lalui. Aro, dengan kepribadiannya yang ceria dan konyol, sering membuatku tertawa.
Suatu siang, saat kami berlatih di lapangan, Aro tiba-tiba melakukan gerakan yang konyol, membuatku hampir terjatuh saking terkejutnya. “Aro! Kamu kenapa sih?” aku berseru sambil tertawa.
“Aku mau bikin suasana lebih hidup, Kinan! Lagian, kamu kan bilang pengen tarian kita jadi lebih seru,” jawabnya dengan senyum lebar.
Ketika kami berlatih, kami jadi sering berpapasan, dan setiap kali itu terjadi, ada detak jantung yang lebih cepat. Rasa canggung antara kami perlahan menghilang, digantikan oleh momen-momen lucu yang membuatku merasa lebih dekat dengannya.
Di tengah kesibukan kami, Aro mengajakku untuk menggambar di taman sekolah setelah jam pulang. “Ayo, Kinan! Aku pengen liat bagaimana kamu menggambar!”
“Gambar? Di taman? Kenapa nggak kita makan es krim aja?” tawarku, ingin menghindari rasa malu saat menunjukkan gambarku.
“Nggak, kita gambar! Itu bisa jadi momen penting. Lagipula, aku mau kasih ide-ide baru buat kamu,” jawabnya penuh semangat.
Akhirnya, aku mengalah dan setuju. Kami duduk di bangku taman, dan aku mulai menggambar pemandangan di sekitar kami. Sementara Aro, dengan penuh perhatian, memperhatikan setiap goresanku. “Wow, Kinan! Ini keren banget! Gimana bisa kamu bikin detailnya sempurna kayak gini?” puji Aro.
“Ah, itu cuma kebetulan. Masih banyak yang harus aku pelajari,” jawabku dengan rendah hati, tapi di dalam hati, aku merasa senang mendengar pujiannya.
Setelah selesai menggambar, Aro mulai menggambar juga. Lucunya, dia menggambar karakter superhero dengan wajah yang mirip banget sama dia sendiri. “Nah, ini aku! Super Aro! Siapa yang berani menantangku?” dia berpose dengan gaya dramatis.
Aku nggak bisa menahan tawa. “Keren, Super Aro! Siap-siap deh jadi pahlawan kita!”
Kami terus bercanda dan menggambar hingga sore. Ketika pulang, ada perasaan hangat yang menyelimuti hatiku. Sepertinya, Aro mulai menjadi seseorang yang lebih dari sekadar teman.
Sehari sebelum acara perpisahan, Aro mendatangiku di kelas dengan ekspresi gugup. “Kinan, ada hal yang pengen aku omongin.”
“Hah? Ada apa?” tanyaku, sedikit khawatir.
“Aku… eh, aku pengen minta maaf kalau selama ini aku terlalu konyol. Aku cuma pengen bikin kamu senang dan lebih dekat. Aku harap kamu nggak salah paham tentang semua ini.” Dia menunduk, seolah-olah baru menyadari betapa konyolnya semua yang dia lakukan.
“Kenapa kamu minta maaf? Justru aku suka! Kamu bikin hariku lebih ceria, Aro. Mungkin kita bisa saling mendukung, kan?” ujarku, mencoba membuatnya merasa lebih baik.
“Aku… ya, kita kan partner. Jadi harus saling support, kan?” jawabnya, perlahan senyumnya kembali muncul.
Tiba-tiba, bel berbunyi, dan kami terpaksa berpisah untuk pelajaran berikutnya. Tetapi saat aku melangkah keluar kelas, aku merasakan semangat baru. Hari itu akan menjadi awal dari banyak momen manis dan lucu yang akan kami lalui bersama, dan aku sudah tidak sabar menunggu apa yang akan terjadi di acara perpisahan besok.
Dengan pikiran itu, aku melangkah dengan ringan, penuh harapan akan hari yang lebih baik.
Akhir yang Indah
Hari perpisahan tiba dengan suasana ceria yang menyelimuti sekolah. Seluruh siswa mengenakan pakaian terbaik mereka, dan dekorasi putih biru menghiasi aula yang menjadi lokasi acara. Aku merasa deg-degan sekaligus bersemangat, terlebih ketika tahu Aro akan menjadi pasanganku di acara ini.
Saat aku berdandan di depan cermin, pikiranku melayang kembali pada semua momen lucu dan manis yang kami lalui selama ini. Dari menggambar di taman hingga latihan tarian yang penuh tawa, semuanya terasa seperti mimpi. Aro, dengan kepribadiannya yang konyol, membuatku merasa bersemangat menjalani hari ini.
Ketika aku tiba di sekolah, suasana sudah ramai. Teman-teman sekelas sedang berbincang dan mengambil foto. Di tengah keramaian, aku melihat Aro mengenakan setelan jas putih yang membuatnya terlihat lebih dewasa dan menawan. Jantungku berdebar saat dia melambaikan tangan ke arahku.
“Kinan! Kamu kelihatan cantik sekali!” Aro berkomentar, membuatku tersipu malu. “Siapa yang bikin kamu makin kece gini? Aku jadi terpesona.”
“Haha, terima kasih, Aro! Kamu juga keren banget!” balasku sambil tersenyum lebar. Dalam sekejap, semua rasa canggung seolah lenyap begitu saja.
Acara dimulai dengan sambutan dari kepala sekolah, diikuti oleh penampilan tari yang kami latih bersama. Saat giliran kami tampil, aku merasa jantungku berdegup kencang. Aro menatapku dengan penuh semangat dan mengangguk seolah memberiku semangat.
“Jangan khawatir, kita pasti bisa!” katanya, lalu melangkah maju ke panggung. Musik mulai dimainkan, dan kami bergerak mengikuti irama, terhanyut dalam gerakan yang sudah kami latih dengan keras. Semua tampak terhibur, dan suasana menjadi semakin meriah.
Selama pertunjukan, aku tidak bisa menahan tawa saat Aro melakukan gerakan yang berlebihan, tapi itu justru membuat penampilan kami semakin hidup. Di akhir pertunjukan, kami mendapat tepuk tangan meriah dari teman-teman dan guru-guru. Aku merasa bangga bisa tampil bersamanya.
Setelah penampilan, kami bergabung dengan teman-teman yang lain untuk menikmati makanan dan foto bersama. Aro selalu di sampingku, sesekali menggodaku dengan lelucon yang membuatku tertawa hingga perutku sakit. Suasana semakin hangat ketika kami berkumpul, bercanda, dan berbagi cerita.
Ketika malam tiba, acara memasuki bagian yang lebih emosional. Para siswa dipanggil untuk memberikan ucapan perpisahan. Saat tiba giliranku, aku merasa ragu. Namun, ketika aku melihat Aro yang tersenyum memberi dukungan, aku pun melangkah maju.
“Halo semuanya, aku Kinan. Di momen terakhir ini, aku cuma mau bilang terima kasih untuk semua kenangan yang sudah kita buat bersama. Khususnya untuk kalian semua yang sudah menjadi bagian dari hidupku. Aku harap, meskipun kita harus berpisah, kita bisa tetap ingat semua hal lucu dan indah yang pernah kita alami.”
Suara tepuk tangan dan teriakan dukungan mengalun. Aku melihat Aro berdiri di sudut, tersenyum lebar seolah memberikan semangat padaku. Ketika aku turun dari panggung, dia langsung menghampiriku.
“Kamu keren banget, Kinan! Gimana rasanya tampil di depan semua orang?” tanyanya dengan antusias.
“Aku deg-degan, tapi rasanya menyenangkan! Apalagi pas kamu senyum,” jawabku sambil menatap matanya.
Saat malam semakin larut, dan acara hampir selesai, Aro menarikku menjauh dari kerumunan. Dia tampak sedikit serius, dan aku mulai merasa jantungku berdebar lagi. “Kinan, aku mau ngomong sesuatu.”
“Ngomong apa? Kamu bikin aku penasaran,” balasku, sedikit was-was.
“Aku tahu kita udah banyak menghabiskan waktu bareng, dan aku merasa kita udah jadi teman yang dekat. Tapi… aku pengen lebih dari itu,” katanya, menghela napas dalam-dalam.
“Aku juga merasa gitu, Aro,” kataku tanpa ragu. “Maksudku, aku suka saat kita bareng. Kamu bikin aku merasa nyaman.”
Dengan mata berbinar, Aro berkata, “Kalau gitu, mau nggak kamu jadi pacarku?” Ucapan itu membuatku tertegun. Rasanya seperti dunia berhenti sejenak.
Tanpa berpikir panjang, aku mengangguk. “Ya, aku mau!”
Dia tersenyum lebar, lalu dengan perlahan meraih tanganku. “Akhirnya! Sekarang kita resmi!”
Kami tertawa, dan saat itu, semua kebisingan di sekitar kami seolah menghilang. Di bawah langit malam yang penuh bintang, aku merasa seperti dalam kisah romantis yang selama ini aku impikan.
Ketika acara berakhir dan semua orang bersiap untuk pulang, Aro dan aku berjalan beriringan. Tangan kami saling menggenggam erat. “Jadi, kita harus merayakan hubungan baru kita ini!” Aro mengusulkan dengan semangat.
“Aku setuju! Kita harus cari waktu untuk bertemu lagi dan merencanakan sesuatu yang seru!” ujarku, senang dengan gagasannya.
“Bagaimana kalau kita pergi ke taman bermain akhir pekan ini?” Aro memberi ide yang membuatku terperangah. “Kita bisa main bianglala dan makan cotton candy!”
“Sounds fun! Aku suka itu!” jawabku, tak sabar menunggu akhir pekan.
Malam itu, saat kami berpisah di depan rumahku, Aro menatapku dengan serius. “Kinan, terima kasih sudah mau jadi bagian dari hidupku. Semoga kita bisa terus bersama.”
Aku mengangguk, merasakan rasa hangat yang mengalir dalam diriku. “Aku juga, Aro. Kita akan membuat kenangan lebih banyak lagi.”
Saat aku melangkah ke dalam rumah, senyum lebar tak bisa kuhentikan. Ini bukan akhir dari cerita kami, melainkan awal dari petualangan baru yang penuh warna. Dengan Aro di sisiku, aku yakin, semuanya akan jadi lebih berwarna, lebih ceria, dan lebih penuh cinta.
Aku menatap keluar jendela, melihat bintang-bintang bersinar. “Terima kasih, semesta, untuk hari yang indah ini,” bisikku dalam hati, berharap perjalanan kami ke depan akan selalu secerah langit malam ini.
Jadi, itulah kisah Kinan dan Aro! Siapa sangka cinta di bangku SMP bisa seasyik ini, ya? Dari tawa konyol sampai momen-momen manis, mereka buktikan bahwa cinta itu nggak harus serius. Terimakasih ya, sudah mengikuti kisah manis mereka berdua! Siapa tahu, kamu juga bisa nemuin cinta yang bikin baper di tempat paling nggak terduga. Sampai jumpa di cerita berikutnya, ya!