Cinta Kakak Kelas Cuek: Cerita Romansa Komedi yang Menggugah Hati

Posted on

Jadi, bayangkan kamu adalah seorang cewek biasa yang terjebak dalam dunia penuh drama, dengan kakak kelas cuek yang tiba-tiba bikin jantungmu berdebar.

Gimana rasanya? Nah, di sini ada cerita lucu dan manis tentang Aria dan Damar, di mana cinta bisa datang dari tempat yang paling nggak terduga. Siap-siap tertawa, terharu, dan mungkin sedikit baper saat mereka berdua menjelajahi cinta yang penuh warna!

 

Cinta Kakak Kelas Cuek

Pertemuan yang Tak Terduga

Di perpustakaan yang sunyi, suara gemerisik kertas dan desiran nafas menjadi satu-satunya teman bagi Aria. Di tengah tumpukan buku tebal dan aroma lemari kayu yang khas, dia duduk dengan penuh konsentrasi. Mata bulatnya terfokus pada catatan sejarah yang berserakan di depannya. Tapi, pikirannya tidak sepenuhnya terikat pada tugas itu. Di sudut ruangan, di meja yang cukup jauh, ada sosok yang selalu menarik perhatian—Damar.

Damar, kakak kelas yang terkenal dengan sikap cueknya, duduk dengan tenang. Rambutnya yang sedikit berantakan dan kacamata hitam yang menggantung di ujung hidungnya memberi kesan misterius. Dia sedang membaca buku tebal yang sepertinya sangat membosankan bagi kebanyakan orang, tetapi entah kenapa, Aria merasa buku itu menjadi menarik karena ada Damar di sana.

“Kenapa dia selalu terlihat begitu dingin?” pikir Aria sambil melirik Damar yang tampak serius. “Apa dia tidak pernah merasakan hal-hal konyol di sekitarnya?”

Tanpa sadar, Aria mengeluarkan suara kecil saat berusaha mengatur posisi duduknya. Semua perhatian seolah-olah terarah kepadanya. Damar menoleh, memperhatikan Aria dengan tatapan datar, seolah bertanya, Apa yang kau lakukan?

Aria menggelengkan kepala dan kembali fokus pada bukunya, tetapi hatinya berdebar. “Oke, Aria, fokus! Tugas ini lebih penting daripada sekadar mengagumi seseorang yang tidak akan pernah kamu dapatkan,” ujarnya dalam hati.

Namun, takdir sepertinya punya rencana lain. Tanpa sengaja, Aria menjatuhkan buku catatannya. “Aduh!” serunya, saat buku itu terjatuh dan kertas-kertasnya berhamburan ke seluruh meja.

Damar, yang sebelumnya fokus pada bukunya, kini mengalihkan pandangannya. Dengan sikap cueknya, dia bangkit dan berjalan mendekati Aria. “Kau butuh bantuan?” tanyanya singkat, seolah tidak ada yang istimewa terjadi.

Aria terkejut. “Eh… iya, makasih!” jawabnya, berusaha terdengar tenang meski wajahnya sudah memerah. “Aku ini ceroboh banget. Kertas-kertasnya berantakan.”

Damar mulai membantu mengumpulkan kertas-kertas yang berserakan. Saat tangannya menyentuh kertas yang penuh coretan doodle milik Aria, dia berhenti sejenak dan membaca. “Ini catatan yang sangat… detail,” katanya sambil mengangkat alis, nada suaranya masih datar.

Aria merasa wajahnya semakin memerah. “Iya, itu hanya catatan tentang bagaimana cara mencuri perhatian orang yang cuek,” jawabnya, sedikit berlebihan, sambil menyipitkan mata ke arah Damar, berharap bisa melihat sedikit perubahan ekspresi di wajahnya.

Damar hanya menanggapi dengan anggukan, seolah tidak menganggap serius apa yang Aria katakan. “Sepertinya itu sulit dilakukan,” balasnya dengan nada datar.

“Apa kau sudah mencoba?!” Aria menatapnya penuh harap. “Atau mungkin kau memang sudah melakukannya dan tidak mau mengakuinya?”

Damar hanya terdiam, menatap Aria sejenak dengan wajah tanpa ekspresi. “Mungkin aku hanya terlalu sibuk dengan buku-buku,” jawabnya singkat.

Kedua mata Aria melebar. “Tapi, tidak mungkin hidup hanya dengan buku, kan?” Aria berusaha menggodanya. “Kamu harus melakukan sesuatu yang… menyenangkan!”

Damar mengangkat bahu. “Menyenangkan itu relatif. Apa yang menyenangkan bagimu mungkin tidak untukku.”

Aria merasa sedikit kesal. “Kamu tahu, aku sangat suka menggambar. Itu menyenangkan, kan?” Dia menunjukkan sketsa yang ada di kertasnya.

Damar memandang sketsa itu, dan untuk pertama kalinya, Aria melihat sinar kecil di mata Damar. “Kau memang punya bakat,” ujarnya, kali ini suaranya sedikit lebih lembut.

Aria tidak bisa menahan senyum. “Jadi, kamu mau ikut menggambar? Kita bisa buat proyek seni bersama!” tawarnya dengan semangat. Damar memandangnya sejenak, lalu kembali ke ekspresi datarnya.

“Proyek seni? Apa itu bisa menarik perhatian yang cuek?” Damar bertanya, nada suaranya tidak menunjukkan ketertarikan, tetapi Aria merasa ini adalah kesempatan.

“Bisa saja! Kita bisa menggambar yang lucu-lucu atau… atau apa pun yang membuat orang tertawa!” Aria berusaha meyakinkannya.

Damar berpikir sejenak. “Mungkin,” katanya pelan, seolah menimbang-nimbang. “Tapi aku tidak yakin.”

“Jangan bilang kamu takut!” tantang Aria dengan nada menggoda. “Aku janji, kau tidak akan menyesal!”

Damar tersenyum tipis, tetapi hanya sebentar. “Baiklah, kita lihat saja nanti,” jawabnya, kembali ke tempat duduknya dengan nada yang tidak bersemangat.

Aria merasa hatinya berdegup kencang. “Ini adalah langkah pertama! Sekarang, aku punya peluang untuk mengenalnya lebih dekat,” batinnya.

Sore itu berlalu dengan penuh harapan. Aria pulang dengan senyum lebar di wajahnya, membayangkan berbagai cara untuk membuat Damar lebih terlibat dalam hidupnya.

“Siapa tahu, mungkin suatu hari aku bisa membuatnya tertawa?” Aria bertekad, meski tantangan masih banyak menunggu di depan.

 

Usaha yang Konyol

Keesokan harinya, Aria tidak bisa menahan rasa semangatnya. Dia merancang rencana untuk membuat Damar lebih terlibat, lebih dari sekadar proyek seni yang sederhana. Dalam pikirannya, semua hal bisa menjadi konyol dan menyenangkan jika ditangani dengan cara yang tepat.

Setibanya di sekolah, Aria memutuskan untuk memulai dengan pendekatan yang lebih langsung. Dia mendekati teman-teman sekelasnya yang lain dan mengusulkan untuk mengadakan “Hari Seni” di sekolah. Dengan menggambar sebagai tema utama, Aria berharap bisa menarik perhatian Damar dan juga menampilkan bakatnya kepada semua orang.

“Jadi, aku pikir kita bisa adakan hari di mana semua orang bisa menggambar dan memamerkan karya mereka. Bagaimana?” Aria menjelaskan dengan bersemangat. Teman-teman sekelasnya tampak tertarik, dan beberapa bahkan mulai menggoda untuk berpartisipasi.

Saat bel berbunyi, Aria melangkah ke kelas dengan penuh keyakinan. Namun, saat dia melihat Damar sudah duduk di sudut, rasa percaya dirinya sedikit goyah. “Oke, ini saatnya,” gumamnya, berusaha meyakinkan diri.

Dia mendekati Damar, yang sedang membaca buku lagi. “Hey, Damar! Jadi, bagaimana kalau kita buat Hari Seni di sekolah? Aku butuh partner untuk menggambar!” serunya, berusaha terdengar semangat.

Damar menutup bukunya, menatap Aria dengan alis terangkat. “Hari Seni? Sepertinya tidak terlalu menarik.”

“Eh, tapi itu bisa jadi seru! Kita bisa menggambar apa pun yang kita mau, dan semua orang akan terlibat!” Aria berusaha meyakinkan Damar.

“Aku tidak yakin. Aku lebih suka bekerja sendiri,” jawab Damar datar, kembali membuka bukunya.

Aria merasa frustrasi. “Tapi… kalau kamu ikut, kamu pasti bisa menggambar sesuatu yang keren! Dan mungkin… bisa jadi cara kita berdua lebih dekat!” Dia menambahkan kalimat terakhir dengan harapan bisa membujuknya.

Damar menatapnya sejenak, lalu mengalihkan pandangannya. “Aku tidak perlu dekat dengan siapa pun, Aria,” ujarnya pelan, membuat hati Aria sedikit terluka.

“Yah, kamu tidak akan tahu sampai mencobanya!” Aria bersikeras. “Lagipula, bisa jadi aku bisa membuatmu tertawa!”

Damar menggelengkan kepala. “Tertawa bukan untukku.”

Aria menarik napas dalam-dalam, berusaha mengatur kata-katanya. “Coba deh sekali ini! Aku akan membuatmu tertawa, dan kamu tidak akan menyesal!”

Damar menatap Aria dengan serius, tetapi kali ini, ada sedikit kilau di matanya. “Baiklah, aku akan ikut. Tapi, kalau ini gagal, jangan salahkan aku.”

Dengan senyuman lebar, Aria merasa kemenangan kecil telah diraih. “Yay! Kita akan membuat proyek ini jadi luar biasa!”

Selama beberapa hari berikutnya, Aria dan Damar mulai bekerja sama untuk mempersiapkan Hari Seni. Aria yang penuh energi merencanakan berbagai aktivitas, sementara Damar hanya mengikuti tanpa banyak berkomentar. Meski demikian, ada sedikit kehangatan yang mulai muncul di antara mereka.

Suatu sore, saat mereka sedang menggambar di taman sekolah, Aria mencoba mencairkan suasana. “Kamu tahu, Damar, menggambar itu seperti berkomunikasi tanpa kata. Kau bisa mengekspresikan dirimu dengan cara yang unik!”

Damar menoleh, sedikit terkejut. “Kau tampaknya sangat bersemangat.”

“Ya! Ini seperti… saat kita menceritakan cerita kita kepada dunia,” Aria menjelaskan dengan penuh semangat. “Kamu pasti punya cerita yang ingin diceritakan, kan?”

Damar tersenyum tipis. “Mungkin. Tapi, kadang aku merasa orang tidak akan mengerti.”

“Cobalah! Kamu pasti bisa. Mungkin gambarmu bisa memberi inspirasi!” Aria berusaha mendorongnya lebih jauh.

Malam itu, saat mereka menyelesaikan gambar mereka untuk Hari Seni, Damar tiba-tiba berkomentar. “Kau tahu, kadang aku tidak mengerti kenapa kau selalu berusaha begitu keras.”

Aria terkejut, tetapi dia tidak menyerah. “Karena aku percaya bahwa di balik setiap orang yang terlihat dingin, ada cerita yang menarik. Dan mungkin, aku ingin tahu ceritamu.”

Damar terdiam, dan untuk sekejap, mereka berdua hanya saling menatap.

Akhirnya, dengan nada lebih lembut, Damar berkata, “Kau memang berbeda, Aria. Mungkin itu yang membuatmu menarik.”

Aria tersenyum lebar. “Nah, itu baru Damar yang aku kenal! Dan lihat, kita sudah berhasil menggambar bersama. Kau mungkin akan menyukai Hari Seni ini!”

Saat Hari Seni tiba, sekolah dipenuhi dengan berbagai karya seni yang kreatif. Aria dan Damar memasang gambar mereka dengan bangga. Aria merasa sangat bersemangat, apalagi saat melihat teman-temannya berinteraksi dan menikmati hasil karya mereka.

Ketika mereka berdua berdiri di samping gambar mereka, Aria merasakan ada sesuatu yang berbeda. Damar tampak lebih santai dan mulai tersenyum pada teman-teman yang mengagumi karya mereka.

“Hai, Damar! Karya kalian keren banget!” salah satu teman sekelasnya berkomentar.

Damar terlihat sedikit tersipu, dan Aria bisa merasakan perubahan kecil dalam diri Damar. “Terima kasih,” jawabnya, suara yang tidak sedatar sebelumnya.

Akhirnya, Aria mengambil kesempatan itu untuk memulai percakapan. “Nah, lihat! Kau sudah mulai menikmati perhatian, kan?”

Damar menatap Aria dengan ekspresi bingung. “Mungkin sedikit. Tapi ini bukan tentang perhatian.”

Aria tertawa. “Tentu saja! Tapi, kita tidak bisa mengabaikan sisi menyenangkannya, kan?”

Hari itu berjalan dengan penuh tawa dan keceriaan. Aria tahu bahwa usahanya mulai membuahkan hasil. Damar, yang sebelumnya hanya sosok dingin, kini mulai menunjukkan sisi hangatnya. Meski tantangan masih ada, Aria merasa optimis bahwa mereka akan terus berkembang bersama.

Saat matahari terbenam, Aria tersenyum lebar, merasakan bahwa langkah-langkah kecil yang diambilnya membawa mereka lebih dekat. “Satu langkah lagi, dan kita akan menjadi duo seni yang hebat!” dia berjanji dalam hati, menantikan petualangan baru yang akan datang.

 

Kejutan yang Tidak Terduga

Hari Seni meninggalkan kesan mendalam bagi Aria dan Damar. Setelah perayaan itu, Damar tampak lebih sering tersenyum, dan Aria merasa hubungan mereka mulai lebih akrab. Meskipun Damar masih memiliki sifat cuek dan misteriusnya, Aria bisa merasakan ada keinginan untuk membuka diri.

Suatu pagi di sekolah, Aria mendapati dirinya berdiri di depan kelas sambil mengatur poster-poster seni yang baru mereka buat. Ketika dia memasang poster terakhir, dia mendengar suara Damar di belakangnya.

“Aku tidak tahu kamu bisa seaktif ini,” ucap Damar sambil menatap poster-poster itu.

Aria berbalik dengan senyum lebar. “Tentu saja! Ini semua berkat kita berdua! Lagipula, seni itu seharusnya menyenangkan, kan?”

Damar mengangguk, tetapi wajahnya tetap datar. “Mungkin. Tapi, kadang seni juga bisa membuat orang merasa tertekan.”

“Oh, tidak! Jangan katakan itu. Jika seni membuatmu merasa tertekan, berarti kamu melakukannya dengan cara yang salah!” Aria menjawab dengan semangat. “Cobalah nikmati prosesnya.”

“Aku akan berpikir tentang itu,” Damar menjawab, meskipun Aria bisa melihat ketidakpastian di matanya.

Setelah sekolah, Aria mendapat ide. “Bagaimana kalau kita pergi ke kafe seni di dekat sini? Mungkin bisa menginspirasi kita untuk proyek selanjutnya!”

Damar tampak ragu sejenak. “Apakah itu ide yang baik?”

“Kenapa tidak? Kita bisa melihat karya seni dari seniman lain, dan itu bisa memberi kita perspektif baru!” Aria berusaha meyakinkannya.

Akhirnya, Damar setuju, dan mereka berdua berjalan menuju kafe seni yang terletak tidak jauh dari sekolah. Di dalam kafe, suasana sangat hidup, dengan berbagai lukisan dan kerajinan yang dipamerkan. Aria merasa jantungnya berdebar melihat semua karya yang mengagumkan itu.

“Lihat, Damar! Ini karya yang luar biasa! Aku ingin menggambar sesuatu yang bisa seindah ini!” Aria berkomentar sambil menunjuk ke arah lukisan besar yang berwarna-warni.

Damar mengamati lukisan itu dengan serius. “Menarik, tetapi aku tidak yakin kita bisa mencapai tingkat itu.”

“Eh, jangan berpikir begitu! Seni itu tentang bereksperimen. Jika kamu tidak mencoba, kamu tidak akan pernah tahu hasilnya!” Aria menjelaskan dengan semangat.

Sambil mereka berjalan, Aria terpesona oleh berbagai karya yang ada. Dia pun mulai memotret beberapa karya dengan ponselnya. Damar tampak lebih rileks sekarang, bahkan tersenyum saat melihat Aria yang bersemangat.

Setelah beberapa saat, mereka menemukan sudut kafe yang tenang, di mana mereka bisa duduk dan berbicara. Aria mengambil kesempatan itu untuk mengajukan pertanyaan.

“Damar, aku penasaran. Apa yang sebenarnya kamu inginkan dari seni?”

Damar terdiam sejenak, lalu menjawab. “Aku ingin menggambarkan dunia seperti yang aku lihat. Tapi, kadang aku merasa tidak ada yang akan memahami.”

Aria merasa terharu mendengar jawaban itu. “Kamu harus percaya pada dirimu sendiri. Setiap orang memiliki cara pandang yang berbeda. Jika kamu mengekspresikannya, pasti akan ada yang merasakan hal yang sama.”

Damar menatap Aria, tampak merenungkan kata-kata itu. “Kamu benar. Mungkin aku perlu lebih percaya diri.”

Setelah menghabiskan waktu di kafe, Aria dan Damar kembali ke sekolah dengan semangat baru. Namun, keesokan harinya, Aria dikejutkan dengan pesan dari Damar yang mengatakan dia tidak bisa datang ke sekolah karena sakit.

Aria merasa cemas. Dia tidak ingin Damar merasa sendirian, jadi dia memutuskan untuk mengunjungi rumahnya. “Aku akan membawakan sesuatu untuknya,” pikirnya. Dia menyiapkan beberapa camilan manis dan sebuah sketsa kecil yang dia buat untuk Damar.

Saat sampai di rumah Damar, Aria mengetuk pintu. Setelah beberapa saat, Damar membuka pintu dengan wajah sedikit pucat, tetapi senyum tipis tetap terlihat di bibirnya.

“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya, terlihat kaget.

“Aku datang untuk mengantarmu makanan dan menghiburmu! Lagipula, kamu tidak boleh sendirian saat sakit,” jawab Aria dengan ceria.

Damar terkejut, tetapi dia tidak bisa menahan senyum. “Kamu sangat tidak terduga, Aria.”

“Mungkin, tapi itu adalah bagian dari pesonaku,” Aria membalas dengan canda, masuk ke rumah Damar.

Mereka duduk di ruang tamu, dan Aria mengeluarkan makanan yang dibawanya. Damar memandang camilan itu dengan sedikit bingung. “Kamu membuat ini sendiri?”

“Tidak, aku beli di kafe. Tapi, aku sudah memilih yang terbaik untuk kamu!” Aria menjelaskan sambil menyodorkan camilan.

Damar mulai mencicipi makanan itu, dan sepertinya dia menyukainya. “Ini enak. Terima kasih,” ucapnya, suaranya terdengar lebih hangat.

Aria merasa bahagia melihat Damar sedikit ceria. “Oh, dan aku juga membawa sketsa yang aku buat. Ini mungkin bisa membuatmu lebih baik,” katanya sambil menunjukkan sketsa yang dia buat.

Damar melihat sketsa itu, dan wajahnya menyiratkan kekaguman. “Wow, ini keren! Kamu sangat berbakat, Aria.”

Aria merasa sedikit malu. “Terima kasih! Ini adalah gambaran dari harimu yang lebih baik.”

Mereka mulai berbicara lebih banyak, dan Aria melihat sisi lain dari Damar. Dia mulai berbagi cerita-cerita lucu dan kenangan masa kecilnya. Damar terlihat lebih terbuka, dan Aria merasa sangat senang bisa berbagi momen seperti itu.

Ketika waktu berlalu, Damar merasa lebih baik. “Terima kasih sudah datang. Rasanya lebih baik ketika ada teman di sampingku,” katanya, merasakan kehangatan dari kehadiran Aria.

“Aku selalu ada untukmu, Damar! Kita adalah tim,” jawab Aria dengan penuh semangat.

Damar tersenyum, dan untuk pertama kalinya, Aria merasakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan di antara mereka. Dia tahu, perjalanan mereka baru saja dimulai, dan banyak kejutan yang masih menunggu di depan.

 

Akhir yang Manis

Hari-hari berlalu, dan Damar mulai pulih. Dia kembali ke sekolah, dan kehadirannya membuat suasana terasa lebih ceria. Aria merasa senang melihat Damar kembali bersemangat, dan mereka semakin akrab. Setiap kali mereka bertemu, ada tawa dan obrolan yang mengalir dengan mudah, seolah-olah mereka telah berteman sepanjang hidup.

Suatu sore, saat mereka duduk di taman sekolah, Aria mengusulkan, “Bagaimana kalau kita mengadakan pameran kecil seni di sekolah? Kita bisa mengundang teman-teman untuk melihat karya kita!”

Damar tampak berpikir sejenak. “Pameran seni? Itu ide bagus, Aria. Tapi, aku tidak yakin karyaku cukup baik.”

“Damar, ingat apa yang aku bilang? Setiap karya memiliki nilai. Ini tentang bagaimana kita mengekspresikan diri. Lagipula, kamu sudah menunjukkan kemajuan yang luar biasa,” Aria meyakinkannya.

Akhirnya, mereka sepakat untuk mengadakan pameran seni kecil. Selama dua minggu ke depan, mereka bekerja sama, mengumpulkan karya-karya mereka dan merencanakan setiap detailnya. Aria merasa semakin dekat dengan Damar, dan dalam prosesnya, dia menyadari bahwa perasaannya terhadapnya semakin dalam.

Hari pameran pun tiba. Ruangan kelas diubah menjadi galeri seni, dengan lukisan dan kerajinan dipajang di dinding. Aria merasa jantungnya berdebar ketika melihat karya mereka dipamerkan.

“Wow, Aria! Karya kita terlihat luar biasa!” Damar berkomentar, matanya bersinar saat melihat hasil kerja mereka.

“Ya, aku tidak sabar untuk melihat reaksi teman-teman kita,” jawab Aria, merasa antusias.

Ketika acara dimulai, banyak teman-teman mereka yang datang untuk melihat pameran. Aria dan Damar menjelaskan setiap karya, dan reaksi positif mengalir deras. Mereka saling bertukar cerita, membuat suasana semakin hangat.

Saat menjelang akhir pameran, Damar terlihat semakin percaya diri. Dia bahkan berani berdiri di depan kelas untuk menjelaskan makna dari salah satu lukisannya. Aria menyaksikan dengan bangga, merasa seperti melihat teman baiknya benar-benar bersinar.

Setelah semua orang meninggalkan ruang pameran, Damar menghampiri Aria. “Terima kasih sudah membantuku, Aria. Aku tidak akan bisa melakukan ini tanpa kamu,” katanya dengan tulus.

Aria tersenyum lebar. “Ini semua berkat kerja sama kita. Kita adalah tim yang hebat!”

Damar mendekat, wajahnya serius. “Tapi, ada satu hal yang ingin aku bicarakan.”

Aria menatapnya penasaran. “Apa itu?”

“Aku tahu kita sudah menjadi teman baik, dan aku sangat menghargai itu. Tapi, aku merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan di antara kita,” Damar mengungkapkan perasaannya.

Jantung Aria berdebar. “Kamu… kamu juga merasakannya?” tanyanya, suaranya bergetar sedikit.

Damar mengangguk. “Aku ingin kita lebih dari sekadar teman. Apa kamu mau?”

Aria merasa seolah-olah semua bintang di langit berkumpul untuk merayakan momen ini. “Aku mau, Damar! Aku sudah menyukaimu sejak lama, tetapi aku tidak berani mengatakannya.”

Damar tersenyum, senyum yang membuat hati Aria berdebar. Dia mendekat dan mengambil tangan Aria, membuatnya merasa hangat dan nyaman. “Kalau begitu, kita harus mulai menjelajahi ini bersama-sama. Kita bisa menciptakan seni dari hubungan kita.”

Aria tertawa kecil, merasa bahagia. “Aku suka itu. Kita akan menciptakan seni terindah dalam hidup kita!”

Dari hari itu, Aria dan Damar tidak hanya menjadi pasangan, tetapi juga mitra dalam seni dan kehidupan. Mereka terus mendukung satu sama lain, menjelajahi dunia seni, dan merasakan indahnya cinta yang tumbuh di antara mereka.

Ketika mereka berjalan pulang, tangan mereka saling menggenggam erat, Aria menyadari bahwa hidupnya kini dipenuhi warna yang lebih cerah. Dan siapa sangka, kakak kelas yang cuek bisa menjadi segalanya bagi seorang Aria yang berani bermimpi.

Begitulah, perjalanan cinta mereka baru saja dimulai, penuh kejutan dan keindahan yang tak terduga.

 

Jadi, begitulah kisah Aria dan Damar, dari saling menggodai hingga menjadi pasangan yang saling mendukung. Cinta memang bisa datang dengan cara yang lucu dan tak terduga, mengubah hidup kita menjadi lebih ceria.

Siapa sangka, kakak kelas yang cuek bisa jadi pahlawan hati? Yuk, jangan ragu untuk merasakan cinta dalam warna-warna ceria, karena hidup terlalu singkat untuk dilewatkan tanpa senyuman dan tawa! Sampai jumpa dicerita seru lainnya, ya!

Leave a Reply