Daftar Isi
Kadang, cinta nggak selalu harus berakhir bahagia. Ada kalanya kita harus ngelepasin orang yang pernah jadi segalanya buat kita, cuma karena jarak yang terlalu jauh, atau karena kita berdua udah nggak bisa nyambung lagi.
Ini cerita tentang Riandra dan Alendra, dua orang yang dulu saling jatuh cinta banget, tapi ternyata nggak semua cerita punya akhir yang manis. Yuk, simak gimana cinta mereka yang dulu hangat akhirnya memudar begitu aja.
Kisah Perpisahan Tak Terucapkan
Jarak yang Menjauhkan
Malam itu, suasana di kamar apartemen Riandra terasa sunyi. Kamar mungil dengan lampu temaram itu hanya diterangi layar ponsel di genggamannya, yang terus menampilkan notifikasi pesan dari teman-temannya di grup kantor. Namun, bukan itu yang ingin dilihatnya. Riandra hanya menunggu satu pesan, pesan dari seseorang yang telah memenuhi ruang hidupnya sejak bertahun-tahun lalu—Alendra.
Sudah hampir dua minggu Riandra merasa ada yang berbeda dalam hubungan mereka. Di awal-awal perpisahan mereka saat Riandra memutuskan pindah ke luar kota untuk pekerjaan impiannya, Alendra selalu memberinya dukungan penuh. Janji-janji kecil, seperti pulang setiap akhir pekan atau berbicara di video call setiap malam, sempat menjadi alasan bagi Riandra untuk bertahan. Tapi janji-janji itu perlahan berubah menjadi sekadar kata-kata yang sulit dipenuhi, tenggelam dalam kesibukan dan rutinitas yang berbeda.
Riandra menatap layar ponselnya lagi, merasa gelisah. Ia sudah mengirim pesan kepada Alendra beberapa jam lalu, tetapi belum ada balasan. Biasanya, dulu, Alendra selalu cepat merespons. Kini, seiring waktu berjalan, responsnya semakin lambat, dan jawabannya semakin singkat.
Perlahan, Riandra menarik napas panjang, mencoba meredakan kerisauan yang semakin menghantui benaknya. Ia tak bisa berpura-pura tenang. Jarak yang awalnya hanya fisik kini terasa semakin menjalar, merenggut rasa nyaman yang dulu pernah ada.
Pikirannya kembali pada percakapan terakhir mereka di telepon.
“Kamu kok jadi makin jarang ngabarin?” tanya Riandra beberapa hari yang lalu dengan nada agak menuntut.
Di seberang telepon, suara Alendra terdengar berat dan jauh. “Maaf, aku cuma lagi banyak kerjaan, Ran. Mungkin kamu juga lagi sibuk?”
Sebenarnya Riandra ingin bilang kalau kesibukannya bukan alasan untuk berhenti memberi kabar atau mengabaikan perhatian. Namun, ia hanya mampu menjawab, “Iya, tapi aku selalu berusaha nyempetin buat hubungi kamu.”
Ada jeda sejenak sebelum Alendra menjawab, “Aku tahu, Ran… tapi, kayaknya kita perlu waktu buat nyari ritme baru.”
“Ritme baru?” batin Riandra. Kata-kata itu terdengar aneh dan asing, seolah hubungan mereka ini hanya sekadar rutinitas yang bisa diatur-atur sesuai kebutuhan.
Kembali ke malam itu, Riandra mencoba menyibukkan diri dengan pekerjaan, tetapi pikirannya terus berkelana pada kemungkinan-kemungkinan yang menakutkan. Ketidakpastian membuat dirinya semakin ragu. Ia mulai memikirkan, apakah benar Alendra masih mencintainya seperti dulu? Ataukah jarak dan waktu telah mengubah perasaan mereka?
Beberapa hari kemudian, saat Riandra sedang di tengah rapat virtual, ponselnya bergetar. Ia menoleh sejenak, melihat nama Alendra muncul di layar, dan segera merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Setelah rapat selesai, ia buru-buru menghubungi balik. Suara Alendra terdengar biasa saja, seolah tidak ada yang salah.
“Halo, maaf tadi aku lagi di tengah meeting. Kamu tadi nyari aku?” Riandra mencoba terdengar riang meski sedikit was-was.
Alendra terdengar menghela napas, “Iya, Ran. Aku cuma… aku ngerasa, kita kayak makin jauh aja.”
Riandra terdiam. Meskipun ia sudah menduga ini, mendengarnya langsung dari mulut Alendra terasa lebih menyakitkan dari yang dibayangkannya.
“Apa kamu ngerasa aku kurang berusaha buat ngejar kamu, Len?” tanya Riandra pelan, berusaha menahan getaran di suaranya.
“Enggak, bukan gitu. Kamu udah berusaha, tapi… rasanya beda aja. Kita jarang ketemu, jarang bicara, semua kayak makin hampa aja.”
“Apa cuma aku yang ngerasa… kita masih bisa jalanin ini?” Riandra tak mampu menahan kata-kata yang keluar dari bibirnya. Ia sadar, itu adalah bentuk dari kerentanannya, sesuatu yang tak pernah ingin ia tunjukkan pada Alendra.
“Tidak, aku juga ngerasa begitu. Tapi, kadang aku merasa kita cuma saling bertahan buat sesuatu yang mungkin udah nggak sama lagi, Ran. Apa nggak capek?”
Kata-kata Alendra itu membuat Riandra tertegun, seolah dadanya terhantam keras. Selama ini, ia berpikir bahwa cintanya cukup kuat untuk mengalahkan jarak. Tetapi, rupanya, cintanya mungkin tak cukup bagi keduanya untuk tetap bertahan. Apakah ini artinya… semua usaha yang ia lakukan tak pernah cukup bagi Alendra?
Mereka berdua terdiam lama. Riandra memejamkan mata, mendengarkan detak jantungnya yang kacau. Ia berharap Alendra akan membatalkan semua keraguannya, namun yang ia dengar hanyalah hening panjang yang semakin membuat hati Riandra teriris.
“Ran, aku… aku nggak tahu lagi harus gimana. Jarak ini bikin kita berubah, atau mungkin dari awal, kita hanya berpikir hubungan ini akan baik-baik aja…”
“Kamu… kamu masih cinta sama aku, kan?” Riandra mencoba meyakinkan dirinya, berharap Alendra masih memiliki jawaban yang sama seperti dahulu.
“Aku… aku nggak tahu, Ran. Mungkin ini memang waktunya kita buat mempertanyakan semuanya. Kita nggak bisa terus begini.”
Riandra merasakan air mata mulai menggenang di sudut matanya. Keberanian yang tadi ia coba kumpulkan perlahan runtuh. “Kalau begitu… aku nggak mau cuma mempertanyakan ini sendirian. Mungkin… mungkin kamu benar. Tapi aku juga masih pengen kita cari jalan buat bareng-bareng.”
Namun, jawaban Alendra masih tetap hening. Tanpa mengucapkan sepatah kata, percakapan itu berakhir dalam keheningan yang berat dan menyakitkan. Riandra tahu, ini bukan akhir dari pembicaraan mereka, tapi ada sesuatu yang hilang. Sebuah nyala yang pernah ada di antara mereka kini seolah padam oleh jarak dan keheningan yang semakin sulit dijembatani.
Malam itu, Riandra terjaga lama. Ada ketidakpastian dan kegelisahan yang tak bisa ia ungkapkan dalam kata-kata, hanya sebuah kekosongan yang mengisyaratkan berakhirnya sesuatu yang selama ini ia jaga.
Sisa Kata dalam Diam
Malam berganti minggu, dan di setiap detiknya, Riandra merasa seperti terjebak di antara harapan dan keputusasaan. Alendra jarang sekali menghubungi. Percakapan yang biasanya mengisi malam mereka kini berganti menjadi kesunyian yang menekan. Riandra masih menyimpan setiap pesan yang pernah mereka tukar, tetapi saat membacanya kembali, ia merasakan kekosongan, seolah-olah mereka hanyalah bayangan dari dua orang yang dulu saling mencintai.
Suatu malam, tanpa diduga, Alendra menelepon. Suara berat di ujung sana terdengar jauh, seolah ada tembok yang tak terlihat antara mereka.
“Aku pikir kamu udah nggak akan menghubungi aku lagi,” Riandra membuka percakapan, suaranya pelan, menyimpan rindu yang sulit dijelaskan.
Alendra terdiam sejenak sebelum menjawab. “Aku cuma… nggak tahu apa yang harus aku katakan. Rasanya, semua yang kita obrolin… kayak cuma berputar di tempat yang sama.”
Riandra menarik napas panjang, berusaha menahan diri agar tak terdengar terlalu emosional. “Apa yang sebenarnya kamu mau, Len? Apa kamu benar-benar mau hubungan ini selesai?”
Di ujung sana, Alendra tak langsung menjawab. Ada jeda panjang yang menyakitkan bagi Riandra. “Aku nggak tahu, Ran. Aku cuma ngerasa lelah. Setiap kali aku berpikir buat ngobrol sama kamu, rasanya kayak beban. Bukan lagi kebahagiaan seperti dulu.”
Kalimat itu memukul hati Riandra keras, seakan seluruh dunianya runtuh. Dulu, berbicara dengan Alendra adalah obat bagi segalanya. Kini, kenyataan telah berubah, dan ia tak lagi bisa berpura-pura semuanya baik-baik saja.
“Len… apa kamu masih ingat waktu kita janji buat saling nunggu? Waktu kamu bilang, ‘kita pasti bisa lewatin ini’? Apa kamu lupa?”
“Bukan lupa, Ran. Aku cuma ngerasa… janji itu nggak lagi berarti. Mungkin kita dulu terlalu percaya diri, ngerasa cinta kita cukup buat lawan segalanya. Tapi… kenyataannya nggak sesederhana itu.”
Riandra merasakan air matanya jatuh. Ia sudah lama menahan perasaan ini, tetapi mendengar langsung kata-kata itu dari Alendra terasa seperti tamparan keras. Semua usahanya, perjuangannya untuk tetap bertahan, seolah tak berarti lagi.
“Jadi, sekarang apa? Kamu mau kita berhenti, gitu aja?” suara Riandra bergetar. “Kalau iya, kenapa nggak kamu bilang aja dari awal?”
“Aku nggak bilang kita harus berhenti, Ran… cuma, kalau kita terus kayak gini, mungkin kita berdua malah makin ngerasa hampa. Kamu pasti ngerasa juga, kan? Kalau hubungan ini udah nggak sama lagi.”
Riandra diam, menatap ke arah jendela kamar yang gelap. Setiap kalimat yang Alendra katakan membuatnya tersadar bahwa hubungan mereka tak lagi berada di tempat yang sama. Mereka seperti terperangkap dalam hubungan yang dulu penuh cinta, tetapi kini berubah menjadi beban yang sulit dijelaskan.
“Aku ngerasa, kalau kita sama-sama udah berubah. Tapi apa berarti itu salah? Apa berarti kita nggak bisa terus berusaha buat saling ngertiin?” Riandra mencoba berjuang, meski ia tahu hatinya semakin rapuh.
“Aku udah mencoba, Ran. Aku benar-benar sudah. Tapi entah kenapa, selalu ada jarak yang makin hari makin besar. Kamu sibuk dengan duniamu, aku juga begitu. Jarak ini bikin kita nggak lagi punya waktu untuk benar-benar ada satu sama lain.”
Hening kembali menyelimuti percakapan mereka. Riandra tahu, tak ada kata-kata yang bisa mengubah keadaan ini. Tapi, di lubuk hatinya, ia masih berharap Alendra bisa melihat bagaimana ia berusaha untuk mempertahankan semua ini.
Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Riandra berkata, “Len, aku nggak tahu apa kamu masih merasakan yang sama. Tapi aku masih berharap, mungkin… mungkin ada cara buat kita untuk kembali.”
Alendra menghela napas panjang. “Ran, mungkin masalahnya bukan kita nggak cinta lagi. Tapi kita nggak lagi percaya kalau cinta ini masih cukup untuk mempertahankan segalanya.”
Riandra menutup matanya, mencoba mengusir perih yang semakin menghantam dadanya. Mereka saling mencintai, tetapi cinta itu sendiri telah kehilangan kekuatannya, perlahan terkikis oleh jarak, waktu, dan kehidupan yang kini berjalan sendiri-sendiri.
“Aku butuh waktu, Ran,” kata Alendra akhirnya. “Mungkin kita berdua butuh waktu untuk berpikir. Kita nggak harus buru-buru bikin keputusan. Tapi mungkin kita harus jujur sama diri sendiri… tentang apa yang sebenarnya kita inginkan.”
Riandra tak tahu harus menjawab apa. Satu-satunya yang ia tahu adalah bahwa hatinya masih ingin bertahan, meski kenyataannya semakin tidak sesuai harapan.
“Oke, Len. Aku… aku ngerti. Kita berdua sama-sama butuh waktu buat nyari tahu apa yang sebenarnya kita inginkan.”
Malam itu, mereka mengakhiri percakapan tanpa kejelasan, tanpa janji untuk bertemu lagi atau usaha untuk memperbaiki keadaan. Mereka hanya menyisakan rasa kosong di antara mereka, masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Riandra kembali menatap ponselnya yang hening. Pesan terakhir dari Alendra masih ada di sana, satu kalimat sederhana yang menghantui pikirannya: “Mungkin kita butuh waktu untuk memahami perasaan ini.”
Kata-kata itu terasa seperti akhir yang tak terucapkan, sebuah penundaan yang tak memberi kejelasan, hanya menyisakan ruang kosong yang semakin besar di hatinya.
Sepi yang Saling Menguji
Hari-hari setelah percakapan terakhir itu berjalan dengan berat bagi Riandra. Setiap malam, ia sering mendapati dirinya terjaga, menatap layar ponsel yang sunyi. Pesan dari Alendra sudah tak ada lagi—tak ada “Selamat pagi,” atau “Hati-hati di jalan.” Keheningan itulah yang membuatnya merasa semakin kehilangan.
Hubungan yang dulunya hangat dan penuh perhatian kini terasa kosong, sepi seperti ruang hampa yang mencekam. Ia mencoba mengisi kekosongan itu dengan berbagai cara—lebih banyak berkumpul dengan teman-teman, menekuni hobi yang dulu ia sukai, tetapi tetap saja, ada ruang dalam hatinya yang masih menunggu kabar dari Alendra.
Suatu malam, saat ia sedang membereskan kamarnya, Riandra menemukan kotak kecil berisi semua benda-benda kenangan mereka. Foto-foto yang diambil saat liburan bersama, tiket bioskop, dan gelang kecil yang Alendra pernah berikan sebagai tanda perayaan setahun hubungan mereka.
Tangannya terhenti pada sebuah foto di mana Alendra tersenyum lebar sambil merangkulnya. Mereka tampak bahagia, seakan tak ada yang bisa merusak kebersamaan mereka. Riandra mendesah panjang, mengenang betapa momen itu dulu terasa abadi. Namun, kini, semuanya terasa seperti mimpi yang memudar.
Riandra tak bisa menahan diri untuk menulis pesan singkat, mengetik dan menghapusnya berulang kali sebelum akhirnya mengirimkannya.
“Len, aku cuma mau bilang… semoga kamu baik-baik aja di sana.”
Ia tak berharap jawaban segera. Sebenarnya, ia tak tahu apa yang ia harapkan. Mungkin hanya untuk memastikan bahwa dirinya dan Alendra masih ada di bawah langit yang sama, walau mungkin tak lagi berada di jalan yang sama.
Beberapa saat kemudian, ponselnya berbunyi.
“Aku baik, Ran. Kamu sendiri gimana?”
Riandra terdiam, menatap layar dengan perasaan yang bercampur aduk. Ada kehangatan kecil yang kembali menyala, tetapi di saat yang sama, ia tahu bahwa jawaban singkat itu tak lagi membawa kehangatan seperti dulu.
“Aku baik juga,” jawabnya, meskipun hatinya terasa kosong.
Mereka saling bertukar pesan sejenak, tetapi obrolan itu tak lebih dari sekadar basa-basi. Tak ada pembicaraan mendalam, tak ada pertanyaan tentang kabar atau cerita hari-hari yang terlewat. Semua terasa begitu formal, seperti dua orang asing yang kebetulan pernah mengenal satu sama lain.
Setelah percakapan singkat itu, Riandra menyadari sesuatu yang tak ingin ia akui: mereka berdua semakin menjauh. Jarak yang dulu sekadar fisik kini menjelma menjadi jurang emosional. Ia merasa Alendra tak lagi sama, begitu juga dirinya.
Seminggu berlalu. Dalam waktu yang singkat itu, Riandra berusaha untuk menemukan kembali dirinya yang lama. Ia mencoba menjalani hari-harinya tanpa memikirkan Alendra, namun perasaan kosong selalu menghantuinya.
Di satu sisi, ia ingin memperjuangkan hubungan mereka. Di sisi lain, ia tak bisa mengabaikan kenyataan bahwa hubungan mereka telah kehilangan arah. Mereka tak lagi saling memahami, dan yang tersisa hanya kenangan yang kian membekas, tetapi tak memberi kepastian.
Malam itu, tanpa direncanakan, Riandra kembali menghubungi Alendra. Ia menunggu panggilan tersambung, dan ketika Alendra mengangkatnya, Riandra bisa merasakan jeda yang menyakitkan di antara mereka.
“Aku nggak tahu sampai kapan kita kayak gini, Len,” katanya dengan suara pelan, mencoba menahan tangis.
Alendra terdiam sejenak, kemudian menarik napas panjang. “Aku juga ngerasa kayak gitu, Ran. Aku nggak pengen kita terus-terusan kayak gini, tapi aku juga nggak tahu cara buat semuanya jadi lebih baik.”
“Jadi, apa ini artinya kita… menyerah?” Riandra bertanya, dengan rasa takut dan ragu.
“Aku nggak mau nyerah, Ran. Tapi aku nggak bisa bohong kalau aku nggak ngerasa ada yang berubah,” jawab Alendra dengan nada berat.
Malam itu, mereka berbicara lebih lama dari sebelumnya. Mereka bicara tentang kenangan, tentang saat-saat yang dulu membuat mereka bahagia, tentang harapan-harapan yang kini tinggal serpihan. Riandra menyadari bahwa keduanya sama-sama terluka, tetapi luka itu bukan karena kebencian atau pengkhianatan—hanya akibat jarak yang perlahan mengikis cinta yang dulu mereka jaga.
Percakapan itu berakhir dengan keheningan panjang, keheningan yang lebih jujur daripada kata-kata manis yang dulu mereka tukarkan. Mereka tak mengucapkan perpisahan secara langsung, tetapi keduanya tahu bahwa malam itu mungkin adalah akhir yang tak terucap.
Saat telepon berakhir, Riandra merasa seolah-olah dunia di sekitarnya runtuh. Ia menutup ponsel dan duduk dalam gelap, mencoba menerima kenyataan bahwa hubungan yang dulu ia pikir akan bertahan selamanya telah tiba di titik akhir. Hubungan yang perlahan menjadi asing itu akhirnya memudar, seperti api kecil yang akhirnya mati tertiup angin.
Akhir yang Tak Terucapkan
Waktu berlalu, dan Riandra mulai merasa bahwa kehidupan tanpa Alendra—meskipun terasa asing—adalah hal yang harus ia terima. Setiap pagi, ia bangun dengan perasaan kosong, tetapi semakin lama, kekosongan itu mulai terasa lebih ringan, meskipun tak pernah sepenuhnya hilang.
Ia kembali fokus pada dirinya sendiri, mengejar impian-impian yang sempat tertunda, menikmati waktu bersama teman-temannya, dan mulai menyusun kembali bagian-bagian dari hidupnya yang dulu terpusat pada Alendra. Meski begitu, ada hari-hari ketika kesepian datang begitu tiba-tiba, menghampirinya dengan cara yang tak terduga. Seperti malam ini, ketika ia duduk di balkon kamar, memandangi langit yang gelap. Hujan mulai turun, rintiknya membawa angin dingin yang menusuk kulit. Tiba-tiba, ia merasa kehilangan sesuatu yang penting, sesuatu yang tak bisa diisi dengan apa pun.
Riandra membuka ponselnya, masih ada beberapa foto lama mereka, beberapa pesan yang pernah ia simpan sebagai kenangan. Tanpa berpikir panjang, ia membuka percakapan terakhir mereka, mencari-cari kata-kata yang pernah mereka ucapkan. Namun, saat ia menatap layar, hatinya terasa beku. Semua kata yang pernah tertulis seakan menjadi kabut yang perlahan menghilang. Begitu banyak harapan yang dipendam, tapi ternyata semuanya memudar seiring berjalannya waktu.
Dan sekarang, Riandra tahu bahwa ia harus melepaskan. Tidak ada lagi gunanya menunggu sesuatu yang mungkin tidak akan kembali. Mereka berdua sudah berubah, sudah bergerak menuju jalan masing-masing, meskipun masih ada sedikit bagian dari diri mereka yang tetap terikat pada masa lalu.
Hari berikutnya, saat ia sedang duduk di kafe favoritnya, Riandra melihat seorang teman lama. Mereka berbincang-bincang, bercerita tentang hidup, tentang impian yang dulu pernah mereka bagi. Temannya bertanya tentang Alendra, dan Riandra hanya tersenyum pahit.
“Dia baik-baik saja. Kita berdua baik-baik saja,” jawabnya singkat, meskipun dalam hatinya ia tahu ada lebih banyak yang tersembunyi.
Temannya mengangguk, tampaknya memahami, tanpa perlu bertanya lebih lanjut. Riandra merasa sedikit lega. Keputusan untuk melepaskan bukanlah hal yang mudah, tetapi ia tahu itu adalah langkah yang benar.
Malam itu, saat ia berbaring di tempat tidurnya, Riandra berpikir tentang semuanya. Cinta yang dulu ia rasakan, yang selalu membuatnya merasa hidup, kini tinggal kenangan. Ia tak bisa mengelak dari kenyataan bahwa hubungan mereka sudah berakhir, meskipun tak ada kata perpisahan yang diucapkan. Ia hanya merasakan jarak yang semakin besar, semakin nyata.
Malam itu, Riandra menulis satu pesan terakhir untuk Alendra. Pesan yang tak lagi dipenuhi dengan harapan atau penyesalan, hanya sebuah kalimat sederhana yang ia rasa perlu dikatakan.
“Terima kasih, Len. Terima kasih untuk setiap kenangan yang pernah kita buat.”
Ia menatap layar ponselnya untuk beberapa detik, sebelum akhirnya menekan tombol kirim. Tidak ada harapan untuk balasan, karena ia tahu, mereka berdua sudah cukup dewasa untuk mengerti bahwa tak semua hubungan bisa berakhir dengan kata-kata manis atau janji-janji yang tak pasti. Kadang, melepaskan adalah hal terbaik yang bisa kita lakukan.
Malam itu, Riandra tidur dengan tenang. Mungkin untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir, ia merasa bahwa hidupnya mulai kembali ke jalurnya sendiri. Ia telah belajar bahwa tidak semua cinta dimaksudkan untuk bertahan selamanya, dan bahwa kebahagiaan bisa ditemukan meski tanpa seseorang yang pernah sangat berarti dalam hidup kita.
Di luar sana, hujan masih turun, dan langit malam itu terasa lebih luas dari sebelumnya. Seperti hidup yang harus terus berjalan, meskipun terkadang kita harus melepaskan apa yang kita cintai.
Dan mungkin, itu yang namanya hidup. Kadang kita harus menerima kenyataan bahwa tidak semua yang kita inginkan akan bertahan. Cinta, meskipun dulu terasa kuat, bisa saja hilang begitu saja tanpa ada yang bisa kita lakukan.
Riandra dan Alendra mungkin sudah berpisah, tapi mereka akan selalu membawa kenangan itu dalam langkah masing-masing. Dan siapa tahu, di jalan yang berbeda, mereka akan menemukan kebahagiaan mereka yang baru, meski tanpa satu sama lain.