Cinta Jarak Jauh: Kisah Zafran dan Siska yang Tak Terpisahkan

Posted on

Jadi, kamu pernah ngerasain nggak, gimana rasanya jatuh cinta sama seseorang yang jauh banget dari jangkauan? Nah, ini dia kisah Zafran dan Siska, dua orang yang meskipun terpisah jarak, hati mereka tetap nyambung. Siap-siap baper, karena perjalanan cinta mereka penuh lika-liku dan emosional, bikin kita mikir tentang arti sebenarnya dari cinta sejati!

 

Cinta Jarak Jauh

Jejak Kenangan

Sejak kecil, Zafran dan Siska adalah dua sosok yang tak terpisahkan. Mereka adalah sahabat, bahkan bisa dibilang, satu-satunya teman dekat yang saling memahami tanpa perlu banyak berbicara. Setiap sore, mereka bertemu di halaman belakang rumah Siska, di bawah pohon mangga yang rimbun. Di sana, mereka menghabiskan waktu berimajinasi dan bercita-cita tentang masa depan.

“Zafran, kalau kamu jadi seniman terkenal, aku mau jadi penari yang perform di panggungmu!” Siska berteriak sambil melompat-lompat gembira, rambutnya yang panjang bergetar seiring gerakannya.

Zafran tertawa. “Deal! Tapi kamu harus janji, setiap kali kamu menari, aku yang bakal melukis wajahmu. Siapa tahu jadi terkenal juga!” Dia mengayunkan kuas mainannya, pura-pura melukis di udara.

Siska berhenti sejenak, menatap Zafran dengan serius. “Serius, ya? Kita harus selalu saling mendukung, kan? Seumur hidup!”

Zafran mengangguk dengan penuh keyakinan. “Pasti. Kita nggak bakal terpisah.”

Hari-hari berlalu dan kedekatan mereka semakin kuat. Zafran selalu terpesona dengan gerakan Siska saat menari. Setiap kali Siska berlatih, ia akan berdiri di sudut ruangan, menyaksikan gerakan anggun dan dinamis yang membuat hatinya berdebar. “Kamu harus lihat diri kamu saat menari, Siska. Kamu itu luar biasa,” ucapnya dengan tulus.

“Zafran, kamu juga harus percaya diri dengan lukisanmu. Karya-karyamu itu indah!” balas Siska, sambil tersenyum lebar.

Namun, kebahagiaan itu tak bertahan selamanya. Ketika orang tua Siska mendapatkan tawaran pekerjaan baru di kota lain, segalanya berubah. Suatu sore, di bawah pohon mangga yang sama, Siska menghampiri Zafran dengan ekspresi yang sulit dibaca.

“Zafran, ada yang harus aku bilang,” katanya pelan.

Zafran merasakan sesuatu yang tidak beres. “Apa itu, Siska?”

“Aku… aku harus pindah. Ke kota lain,” ujarnya sambil menunduk.

Hat Zafran seolah terhenti. “Pindah? Kenapa baru bilang sekarang?”

“Orang tuaku mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Aku… aku nggak bisa menolak,” jawab Siska, suaranya bergetar.

“Jadi kita… kita akan terpisah?” tanya Zafran, berusaha menahan air mata.

Siska mengangguk pelan, air matanya mulai menggenang. “Aku tidak mau pergi, Zafran. Tapi aku harus.”

“Bagaimana dengan semua janji kita? Tentang masa depan kita?” Suara Zafran terdengar berat, hampir putus asa.

“Janji itu tidak akan hilang. Aku akan kembali. Kita pasti akan bertemu lagi,” Siska mencoba meyakinkan, meski ia sendiri tidak yakin.

Hari-hari setelah kepergian Siska terasa hampa bagi Zafran. Setiap kali ia berusaha melukis, semua warna seakan memudar. Dia terus mengingat tawa Siska, gerakan tarinya, dan mimpi-mimpi yang mereka bangun bersama. Tanpa sadar, Zafran sering duduk di bangku taman di dekat rumah Siska, mengingat semua kenangan yang telah mereka bagi.

Di malam yang gelap dan sepi, Zafran memutuskan untuk menulis surat kepada Siska. Dengan tinta yang mengalir, ia menuliskan semua perasaannya, berharap surat itu bisa menyampaikan betapa ia merindukannya.

“Dear Siska, aku merindukanmu lebih dari yang bisa kuungkapkan. Setiap malam aku berharap kamu kembali. Semua lukisanku terasa kosong tanpa ada kamu di dalamnya. Kamu adalah inspirasiku…”

Dia menghabiskan berjam-jam menulis, mengingat kembali momen-momen indah yang mereka lalui. Setiap kata terasa berat, namun ia tahu itu adalah satu-satunya cara untuk menghubungkan diri mereka di tengah jarak yang memisahkan.

Zafran menyimpan surat itu di dalam amplop, berencana mengirimkannya ke alamat baru Siska. Namun, saat ia melihat lukisan yang belum selesai di dinding studionya—lukisan yang menggambarkan Siska sedang menari—ia merasa inspirasi dan harapannya kembali lagi.

“Selama kamu ingat, aku akan terus melukis kita di setiap karya,” bisiknya kepada lukisan itu, seolah berharap Siska bisa mendengarnya.

Malam itu, Zafran berjanji pada dirinya sendiri. Ia tidak akan membiarkan jarak memisahkan cinta mereka. Dia akan berjuang untuk terus mengingat dan menunggu, hingga suatu saat nanti, mereka bisa bersatu kembali. Dengan hati yang penuh harapan, ia mulai melukis, menciptakan dunia di mana mereka bisa berada bersama lagi, meski dalam mimpi.

Setelah perpisahan itu, waktu berjalan lambat. Zafran berfokus pada lukisannya, meskipun selalu ada rasa kosong di dalam hati. Sementara itu, Siska mencoba beradaptasi dengan kehidupannya yang baru. Tetapi dalam hatinya, ia tahu, ada bagian dari dirinya yang selalu terikat dengan Zafran.

Berharap suatu hari nanti, mereka bisa kembali berpelukan di bawah pohon mangga, merajut kembali mimpi-mimpi yang sempat terpisah oleh jarak.

 

Perpisahan yang Menyakitkan

Setelah Siska pindah, hari-hari Zafran dipenuhi dengan lukisan yang mencerminkan kerinduannya. Setiap goresan kuas di atas kanvas menjadi tempat pelampiasan rasa sepi yang terus menggerogoti. Dia merasa terjebak dalam kenangan, di mana tawa dan canda Siska selalu menyertainya, membuatnya merasa hampa ketika itu semua pergi.

Dua bulan setelah kepergian Siska, Zafran mulai merasakan kehadiran jarak yang menekan. Dia mencoba menghubungi Siska, tetapi waktu dan kesibukan baru menghalangi mereka untuk berbicara seperti dulu. Setiap kali pesan itu terkirim, hatinya berdebar menunggu balasan, namun sering kali hanya hening yang menyambut.

Suatu malam, Zafran duduk di teras rumah, menatap bintang-bintang yang berkelap-kelip. Dia merindukan suara Siska yang penuh semangat, menceritakan impian dan harapannya. Di saat-saat sepi seperti ini, Zafran sering membayangkan bagaimana Siska menghadapi hidup barunya.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar, menandakan sebuah pesan masuk. Dengan penuh harap, ia melihat layar dan menemukan pesan dari Siska.

Zafran! Maaf banget baru bisa balas. Aku sibuk banget di sini. Semoga kamu baik-baik saja!

Zafran tersenyum membaca pesan itu, namun secepat itu juga, senyumnya memudar saat dia melihat sisa pesan yang mengikutinya.

Aku sudah mendaftar di sekolah tari terbaik di kota ini. Aku senang banget, tapi juga merindukan rumah…

Ia membalas pesan itu, berusaha menunjukkan dukungannya meskipun hatinya berat.

Senang denger itu! Kamu pasti akan jadi penari yang hebat. Aku merindukanmu juga, Siska.

Ketika pesan dikirim, Zafran merasa seperti sedang berbicara dengan bayangannya sendiri. Jarak memisahkan mereka, namun Zafran bertekad untuk tetap mendukung langkah Siska. Dia tahu betapa besarnya impian Siska, dan ia tidak ingin menjadi penghalang.

Hari-hari berlalu, dan Zafran terus menggali dirinya dalam dunia seni. Di balik setiap lukisan, ia menyimpan harapan bahwa suatu saat Siska akan kembali. Namun, satu malam saat ia sedang menatap lukisan Siska yang sudah hampir selesai, sebuah pesan masuk lagi.

Zafran, aku punya kabar baik! Aku dapat kesempatan untuk tampil di acara tahunan sekolah!

Zafran tidak bisa menahan senyumnya. Ia merasakan kebanggaan meluap dalam dirinya. Dia membalas cepat, berusaha menyampaikan semangatnya.

Wow, itu luar biasa! Aku tahu kamu pasti bisa!

Tetapi saat membaca pesan itu, hatinya kembali terasa berat. Mereka berdua hidup dalam dua dunia yang berbeda. Setiap kali Zafran membayangkan Siska berdiri di atas panggung, meraih impiannya, ia merasa terputus dari kehidupan yang mereka jalani bersama.

Beberapa hari kemudian, ia mendapat undangan untuk acara yang akan diadakan di kota Siska. Zafran tahu itu adalah acara di mana Siska akan tampil. Dengan semangat yang menyala, ia memutuskan untuk pergi. “Ini kesempatan untuk melihatnya,” ucapnya pada diri sendiri, bertekad meski perasaan campur aduk menyelimuti.

Saat hari H tiba, jantung Zafran berdegup kencang. Dia mengenakan kaus favoritnya dan membawa kamera, berharap bisa mengabadikan momen berharga. Setelah menempuh perjalanan panjang, Zafran akhirnya tiba di lokasi acara. Suasana ramai dan bersemangat membuatnya merasa tegang.

Ketika melihat panggung, rasa rindu semakin menyengat. Zafran mencari tempat duduk yang strategis, memastikan ia bisa melihat Siska dengan jelas. Acara dimulai, dan penari satu per satu tampil, namun hatinya semakin tidak sabar untuk melihat Siska.

Tiba-tiba, lampu sorot menyala lebih terang, dan pengumuman nama Siska menggema di seluruh ruangan. Zafran menahan napas, tidak percaya. Dia menyesuaikan posisi duduknya, berusaha untuk tidak melewatkan momen berharga ini.

Siska muncul di atas panggung dengan gaun tari yang berkilauan. Gerakan tubuhnya begitu anggun dan luwes, seolah-olah ia terbang di atas panggung. Zafran terpesona, hatinya bergetar melihat Siska yang dulu selalu dia saksikan menari di halaman belakang rumah. Kini, dia berdiri di hadapan ribuan orang, menampilkan bakatnya yang luar biasa.

Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Zafran. Dia tidak bisa menahan emosi yang membanjirinya. Setiap gerakan Siska mengingatkannya pada semua kenangan yang mereka bagi. Dia memfokuskan kamera, berusaha menangkap setiap momen keindahan Siska di panggung.

Ketika Siska menyelesaikan tariannya, tepuk tangan meriah menggema. Zafran berdiri, bertepuk tangan sekuat tenaga. “Kamu luar biasa, Siska!” teriaknya dengan semangat. Di antara kerumunan, Siska mendengar suaranya dan menatapnya sejenak, tersenyum dengan mata bersinar.

Setelah penampilan selesai, Zafran berusaha menunggu di belakang panggung. Ia ingin berbicara langsung dengan Siska, mengungkapkan semua perasaannya. Namun, saat ia berusaha mendekat, kerumunan penonton berkerumun di sekeliling Siska. Rasa cemburu dan frustrasi mulai menyelimuti Zafran saat melihat orang-orang mengelilinginya.

Akhirnya, setelah Siska menerima ucapan selamat dan pujian dari banyak orang, Zafran berhasil mendekatinya. Siska melihat Zafran dan seketika wajahnya bersinar.

“Zafran! Kamu datang!” serunya, melangkah menghampiri.

Zafran merasa seolah dunia berhenti sejenak saat mereka saling memandang. “Aku nggak mau ketinggalan momen berharga ini,” jawabnya dengan senyuman, namun hatinya bergetar, bingung antara kebahagiaan dan kerinduan.

Siska mengulurkan tangannya, dan mereka berpelukan erat. “Aku merindukanmu, Zafran. Setiap hari,” ujarnya, suaranya hampir bergetar.

“Aku juga merindukanmu, Siska. Tapi sekarang aku melihatmu di sini, aku merasa lebih hidup,” Zafran menjawab, hatinya bergetar karena kehadiran Siska yang begitu dekat.

Mereka berdiri di sana, saling menatap, seolah ingin mengucapkan semua yang terpendam. Namun, ketika kerumunan mulai menyusut dan suasana kembali tenang, Zafran tahu bahwa mereka harus berbicara lebih banyak.

“Bagaimana kalau kita cari tempat yang lebih tenang? Aku ingin mendengar semua ceritamu,” usul Zafran, harapannya tak tertahan.

Siska mengangguk, mengerti maksudnya. Mereka berdua berjalan menjauh dari kerumunan, menuju taman di belakang gedung acara. Suasana malam yang tenang dan bintang-bintang di langit menjadi saksi bisu pertemuan mereka.

“Siska, aku… aku tidak tahu harus berkata apa. Aku melihat kamu di atas panggung, dan rasanya seperti mimpi. Kamu begitu luar biasa,” ungkap Zafran, jujur tanpa menahan perasaan.

Siska tersenyum malu, tetapi sorot matanya menunjukkan bahwa dia merasakan hal yang sama. “Zafran, semua ini tidak akan mungkin tanpa dukunganmu. Kamu selalu menjadi inspirasiku.”

Malam itu, Zafran dan Siska mulai berbicara tentang harapan, impian, dan semua yang terjadi di antara mereka. Mereka tahu bahwa meski terpisah oleh jarak, cinta mereka akan selalu menghubungkan satu sama lain. Namun, dalam benak mereka berdua, muncul pertanyaan yang tidak terucap: apakah cinta ini cukup kuat untuk bertahan menghadapi semua tantangan yang akan datang?

Dengan hati yang berdebar, Zafran menatap Siska, bertekad untuk tidak membiarkan jarak memisahkan mereka lagi. Di tengah malam yang tenang, keduanya mulai merajut kembali benang yang pernah terputus, berharap ini bukanlah akhir dari perjalanan mereka.

 

Antara Harapan dan Ketidakpastian

Malam itu, Zafran dan Siska duduk di bangku taman, membiarkan suasana tenang menyelimuti mereka. Di bawah sinar bulan purnama, mereka merasakan kenyamanan yang mendalam meski jarak masih mengintai di antara mereka. Zafran memandang Siska, memperhatikan setiap detail wajahnya—senyumnya yang tulus, mata yang bersinar penuh semangat, dan aura percaya diri yang memancar. Semua itu mengingatkannya betapa berartinya Siska dalam hidupnya.

“Siska,” Zafran mulai, menatap serius. “Apa kamu pernah memikirkan tentang kita? Maksudku, tentang hubungan kita setelah semua ini?”

Siska terdiam sejenak, merenung. “Aku sudah berpikir tentang itu, Zafran. Jujur saja, saat aku di sini, rasanya sulit untuk membayangkan hidup tanpa kamu. Tapi, di sisi lain, aku juga tahu betapa pentingnya untuk mengejar mimpiku.”

Zafran merasakan sebersit kecewa, tetapi ia berusaha memahami. “Aku ingin kamu sukses, Siska. Itu yang terpenting. Tapi aku juga tidak bisa menahan perasaanku. Setiap detik tanpa kamu terasa berat.”

Siska menghela napas, wajahnya serius. “Aku ingin kamu tahu, meskipun kita terpisah, aku selalu membawa kenangan kita di dalam hati. Namun, aku juga takut jika hubungan ini membuatmu merasa tertekan.”

“Jadi, apa kita harus menghentikan semuanya?” tanya Zafran, suaranya bergetar.

“Bukan begitu. Aku hanya berpikir kita perlu mencari cara untuk membuat ini berjalan, meskipun kita terpisah,” jawab Siska, berusaha menenangkan.

Zafran mengangguk, berusaha menelan rasa pahit di tenggorokannya. “Mungkin kita bisa lebih sering berbicara, video call, atau bahkan saling mengirim surat.”

Siska tersenyum mendengar ide itu. “Aku suka sekali! Itu bisa membuat kita merasa lebih dekat meskipun fisik kita terpisah.”

Mereka berdua mulai berdiskusi tentang bagaimana mengatur waktu untuk berbicara dan saling mendukung, meskipun harus berhadapan dengan kesibukan masing-masing.

Selama beberapa minggu ke depan, Zafran dan Siska melakukan apa yang mereka rencanakan. Video call menjadi rutinitas baru mereka, dan setiap kali Zafran melihat senyum Siska di layar, hatinya terasa lebih ringan. Mereka berbagi cerita, impian, dan saling memberi semangat. Meskipun pertemuan fisik tidak mungkin dilakukan setiap saat, kehadiran virtual Siska seolah memberi kehidupan baru bagi Zafran.

Namun, di balik senyuman itu, Zafran mulai merasakan keraguan yang perlahan tumbuh. Siska semakin sibuk dengan latihan tari dan persiapan untuk pertunjukan yang akan datang. Jam-jam berbicara mereka semakin berkurang, dan kadang Zafran merasa seperti mereka sedang kembali terpisah oleh jarak yang sama, hanya dengan cara yang berbeda.

Suatu sore, setelah beberapa hari tanpa kabar dari Siska, Zafran merasa cemas. Dia memutuskan untuk menghubungi Siska, tetapi panggilan video tidak terjawab. Dia mencoba mengirim pesan, tetapi hanya ada tanda centang satu. Rasa khawatir mulai menjalar di dalam dirinya.

Akhirnya, setelah menunggu berjam-jam, Zafran mendapatkan pesan dari Siska.

Zafran, maaf aku tidak bisa membalas. Aku sangat sibuk dengan latihan dan terkadang merasa lelah. Aku harap kamu mengerti.

Zafran merasa lega sekaligus kesal. Aku mengerti, tapi aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja. Aku merindukanmu.

Pesan Zafran terkirim, tetapi balasan dari Siska tidak segera datang. Dia merasakan kegelisahan menyelimuti hatinya. “Apa yang sedang terjadi?” gumamnya, menatap ponsel seolah bisa memanggil Siska kembali.

Hari-hari berlalu, dan semakin lama, komunikasi mereka semakin sporadis. Zafran mencoba untuk tetap positif, tetapi rasa putus asa mulai merayapi pikirannya. Momen-momen berharga yang mereka bagi kini terasa seperti kenangan yang semakin memudar. Suatu malam, setelah menerima pesan singkat yang penuh janji dari Siska bahwa ia akan segera menghubunginya, Zafran memutuskan untuk pergi ke taman tempat mereka berbincang pertama kali.

Di sana, dalam kegelapan malam, Zafran merindukan senyuman Siska yang selalu bisa menghangatkan hati. Ia duduk di bangku yang sama, mengingat kembali setiap kata yang pernah mereka bicarakan, harapan dan impian yang mereka rajut bersama. Namun, di tengah kerinduan itu, terlintas dalam benaknya sebuah pertanyaan yang mengganggu: “Apakah semua ini akan bertahan?”

Saat Zafran mulai merenungkan jawabannya, ponselnya bergetar. Dengan cepat ia mengambilnya, berharap itu dari Siska. Namun, ketika melihat layar, wajahnya tiba-tiba memucat.

Zafran, aku tidak tahu bagaimana harus mengatakannya. Aku terpaksa mengikuti audisi untuk pertunjukan tari di luar kota dan aku tidak bisa kembali ke rumah untuk waktu yang lama. Aku merasa tidak bisa menjanjikan waktu untuk kita.

Hati Zafran terjatuh. Semua harapan dan kebahagiaan yang ia rasakan seolah sirna dalam sekejap. Dia merasa hampa dan bingung. Dia merespons dengan cepat.

Apa maksudmu? Kamu tidak bisa meninggalkan aku, Siska! Kita sudah berjanji untuk saling mendukung!

Aku tahu, dan aku benar-benar minta maaf. Tapi aku harus melakukan ini untuk diriku sendiri. Ini adalah kesempatan seumur hidup bagiku. Dan aku tidak ingin kamu merasa tertekan hanya karena aku.

Zafran terdiam, merasakan air mata hangat mengalir di pipinya. Ia ingin berteriak, tetapi kata-kata terasa terjebak di tenggorokannya. Tiba-tiba, semua kenangan yang mereka buat bersama kembali menghampiri, melukai hatinya lebih dalam.

Jadi, ini akhir dari kita? tanya Zafran, berharap mendengar jawaban yang bisa mengubah keadaan.

Tidak! Ini bukan akhir! Aku harap kita bisa tetap berhubungan. Aku masih mencintaimu, Zafran. Aku hanya butuh waktu untuk diri sendiri saat ini.

Zafran mengusap air matanya, mencoba meredakan kepedihan di hatinya. Aku mencintaimu juga, Siska. Tapi aku tidak bisa hanya menjadi bayangan di belakangmu. Aku ingin menjadi bagian dari hidupmu.

Beberapa detik terasa seperti selamanya. Zafran berharap Siska akan mengerti betapa beratnya perasaannya saat itu.

Aku tahu itu sulit. Tapi izinkan aku mengejar impianku. Dan kita akan selalu menemukan cara untuk kembali ke satu sama lain. Aku janji.

Dengan pesan itu, Zafran merasa seolah dibiarkan dalam kegelapan. Dia tahu Siska memiliki impian yang harus dikejar, tetapi hatinya juga merasakan bahwa mereka sedang berada di jalur yang tidak pasti. Sementara Siska melangkah menuju mimpinya, Zafran tetap terjebak di tempat yang sama, menunggu dengan harapan semu.

Dia menatap langit malam yang berbintang, berusaha merangkum semua perasaan yang terpendam. Dalam hatinya, Zafran tahu satu hal: meskipun cinta mereka terpisahkan oleh waktu dan jarak, ia tidak akan pernah berhenti mencintai Siska.

Malam itu, di taman tempat kenangan mereka dimulai, Zafran berdoa agar waktu tidak akan memisahkan mereka selamanya. Namun, di dalam hatinya, keraguan tetap mengintai, menunggu saat di mana harapan mereka akan diuji.

 

Jarak yang Memisahkan, Cinta yang Menguatkan

Minggu-minggu berlalu, dan hari-hari terasa semakin berat bagi Zafran. Tanpa kehadiran Siska, waktu seolah melambat. Ia merasa seolah ada bagian dari dirinya yang hilang, terperangkap di tempat yang penuh kenangan manis. Setiap kali Zafran melihat pesan dari Siska, ia merasakan campuran kebahagiaan dan kesedihan. Rasa cintanya kepada Siska tidak berkurang, tetapi semakin dalam, semakin kuat.

Suatu sore, saat Zafran duduk di bangku taman yang sama, ia melihat sekelompok anak kecil bermain dengan riang. Mereka tertawa dan berlari tanpa beban, menimbulkan rasa nostalgia akan masa-masa yang lebih sederhana. Zafran menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya. Dia mengeluarkan ponselnya dan membaca kembali pesan-pesan dari Siska. Kata-kata mereka penuh harapan, tetapi juga menghadirkan kerinduan yang mendalam.

Zafran tahu dia harus melakukan sesuatu. Kesedihannya tidak boleh membuatnya terpuruk. Dengan semangat yang terbangun, ia memutuskan untuk melakukan hal yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya: mengunjungi pertunjukan tari di kota tempat Siska berlatih. Dia ingin melihat langsung impian Siska dan memberi dukungan yang ia butuhkan. Meskipun ada rasa cemas, Zafran merasa ini adalah langkah yang tepat.

Hari pertunjukan tiba, dan Zafran berdiri di luar gedung teater yang megah. Jantungnya berdegup kencang saat memasuki ruangan yang dipenuhi cahaya dan sorakan penonton. Ia mencari tempat duduknya dengan cepat, merasa cemas akan reaksi Siska saat melihatnya. Ketika lampu redup dan pertunjukan dimulai, Zafran tidak bisa mengalihkan pandangannya dari panggung.

Ketika Siska muncul, mengenakan kostum tari yang berkilau, semuanya terasa seperti mimpi. Ia menari dengan anggun, setiap gerakan penuh dengan emosi dan kebebasan. Zafran merasakan air mata menggenang di pelupuk matanya. Melihat Siska bersinar di atas panggung, dia menyadari betapa hebatnya wanita yang dia cintai. Dia tidak hanya ingin mendukungnya; dia ingin menjadi bagian dari perjalanan ini, betapapun sulitnya.

Setelah pertunjukan selesai, Zafran menunggu di belakang panggung, harap-harap cemas. Ketika Siska keluar dari ruang ganti, wajahnya bersinar, namun tatapan matanya terkejut saat melihat Zafran berdiri di sana.

“Zafran!” serunya, terkejut dan bahagia sekaligus. “Apa kamu di sini?”

Zafran tersenyum, merasa lega dan bahagia bisa melihatnya secara langsung. “Aku tidak ingin melewatkan pertunjukan ini. Kamu luar biasa, Siska.”

Mereka berpelukan, dan Zafran merasakan kehangatan yang selama ini ia rindukan. “Aku benar-benar merindukanmu,” Siska berkata, suaranya bergetar.

“Aku juga. Aku ingin mendukungmu, melihat impianmu terwujud,” jawab Zafran tulus.

Siska menggenggam tangan Zafran, menatap matanya dengan penuh harapan. “Terima kasih sudah datang. Ini sangat berarti bagiku.”

Di momen itu, Zafran menyadari bahwa meskipun mereka terpisah oleh waktu dan jarak, cinta mereka tidak akan pernah pudar. “Kita bisa melakukan ini bersama-sama. Aku percaya kita bisa menemukan cara untuk membuatnya berhasil,” Zafran mengatakan, yakin akan komitmennya.

Siska mengangguk, wajahnya penuh semangat. “Aku ingin kita berusaha, meskipun harus menghadapi tantangan. Aku tidak ingin kehilanganmu.”

Mereka berbagi cerita tentang perjalanan masing-masing, tentang bagaimana mereka menghadapi kerinduan dan kesedihan. Zafran merasa bahagia bisa mendengar suara Siska, mendengarkan cerita-ceritanya dan melihat bagaimana dia tumbuh menjadi sosok yang lebih kuat.

Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan video call yang penuh tawa dan canda, saling menguatkan meski jarak memisahkan. Zafran merasa bahwa cinta mereka semakin mendalam. Dengan setiap perbincangan, mereka menegaskan komitmen untuk saling mendukung, meskipun jalan ke depan penuh tantangan.

Suatu malam, setelah menyelesaikan video call yang penuh emosi, Zafran teringat pada sesuatu yang penting. Dia segera mengirim pesan kepada Siska.

“Aku ingin membuat sebuah pengingat untuk kita. Setiap kali kita merasa kehilangan, kita akan melihatnya.”

Siska membalas, penasaran. “Apa itu?”

“Aku akan menulis surat untukmu setiap bulan, tentang apa yang aku rasakan, tentang harapan kita. Dan kamu juga harus melakukan hal yang sama.”

Siska mengirimkan emotikon hati. “Itu ide yang bagus! Kita akan memiliki kenangan untuk diingat dan kekuatan untuk maju.”

Dengan semangat baru, Zafran dan Siska mulai menulis surat-surat satu sama lain, saling berbagi impian dan harapan. Setiap surat menjadi jembatan penghubung, mengingatkan mereka bahwa cinta tidak hanya tentang kehadiran fisik, tetapi juga tentang saling mendukung dari jarak jauh.

Waktu berlalu, dan meskipun mereka menghadapi berbagai rintangan, Zafran merasa yakin bahwa cinta mereka akan selalu menjadi kekuatan untuk terus melangkah. Jarak mungkin memisahkan, tetapi hati mereka tetap terhubung, seolah-olah ada benang tak terlihat yang mengikat mereka dalam satu ikatan yang kuat.

Dengan keyakinan dan harapan baru, Zafran menatap langit malam yang berbintang, bersyukur atas cinta yang telah mengajarinya arti kesabaran dan keberanian. Dia tahu bahwa setiap detik menunggu adalah investasi untuk masa depan mereka, sebuah janji untuk tetap bersatu meskipun terpisah oleh jarak. Cinta mereka adalah petualangan, dan mereka berkomitmen untuk menjalani setiap langkah dengan sepenuh hati, membuktikan bahwa cinta sejati tidak akan pernah pudar.

 

Jadi, Zafran dan Siska akhirnya paham bahwa cinta sejati itu bukan tentang seberapa sering mereka ketemu, tapi lebih tentang bagaimana mereka saling mendukung meski jarak memisahkan.

Setiap surat yang mereka tulis jadi pengingat bahwa cinta itu bisa bikin kuat, dan selama mereka terus percaya satu sama lain, mereka bisa lewatin semua rintangan. Di dunia yang serba nggak pasti ini, satu hal yang pasti: cinta mereka bakal terus bersinar, nggak peduli seberapa jauh jarak memisahkan.

Leave a Reply