Daftar Isi
Siapa yang sangka, cinta itu bisa bersemi di antara tumpukan buku dan lantunan suara mengaji? Dari pesantren yang penuh kenangan sampai ke kampus yang ramai, kisah Fawwaz dan Aliyah bikin kamu pengen ikutan terbang bersama mereka. Siap-siap baper, karena ini bukan sekadar cerita cinta biasa—ini adalah perjalanan penuh tawa, harapan, dan pelajaran yang tak terlupakan!
Cinta Islami
Pertemuan di Pesantren
Pesantren Darul Hikmah selalu punya ritme yang sama setiap pagi. Suara burung bersahutan dengan kumandang adzan subuh, dan udara pagi yang sejuk menyelimuti setiap sudut pesantren. Aku sudah terbiasa dengan kehidupan di sini. Kegiatan menghafal Al-Qur’an, kajian agama, hingga diskusi panjang soal fiqih—semua sudah jadi rutinitas. Tapi ada satu hal yang akhir-akhir ini selalu menarik perhatianku, dan itu bukan sekadar tentang hafalan atau kajian yang rumit.
Setiap kali langkah kaki berderap menuju masjid setelah subuh, selalu ada satu sosok yang mencuri pandanganku—Aliyah. Aku tidak tahu apa yang membuatnya begitu menonjol di mataku. Mungkin karena cadar biru langit yang selalu ia kenakan, atau mungkin juga caranya yang selalu menundukkan pandangan ketika berjalan. Yang jelas, dia berbeda dari santri lainnya. Dia selalu tampak tenang, seperti ada aura damai yang mengelilinginya.
Pagi itu, ketika aku baru selesai menyusun buku-buku tafsir di rak perpustakaan, suasana tiba-tiba terasa ramai. Rupanya, Aliyah baru saja masuk untuk meminjam beberapa kitab. Aku melihatnya dari kejauhan, tetap menjaga jarak seperti biasa. Dia tampak serius memeriksa satu per satu kitab di rak, dengan gerakan yang lembut dan tenang. Aku terdiam beberapa saat, entah kenapa ada dorongan untuk menyapanya, tapi lidahku kelu.
Saat makan malam tiba, para santri berkumpul di ruang makan. Suasana ramai seperti biasa, dan aku memilih duduk di sudut dekat jendela, menikmati nasi hangat yang baru saja dihidangkan. Tak lama kemudian, Aliyah datang dengan langkahnya yang anggun, membawa nampan berisi makanan. Dia duduk di seberang meja, dengan jarak yang cukup jauh, namun pandanganku tertuju padanya.
Aku meneguk teh hangat yang ada di depanku, tapi sialnya… tangan ini sepertinya tak ingin bekerja sama. Gelas tehku tiba-tiba miring dan menumpahkan isinya ke arah sajadah yang ada di depannya. “Astaghfirullah…” gumamku sambil cepat-cepat mengambil tisu untuk membersihkannya. Aliyah menoleh, wajahnya tetap tertutup cadar, tapi aku bisa merasakan tatapannya yang heran.
“Maaf, maaf… ini benar-benar tidak sengaja!” ucapku, sedikit panik sambil mengangkat tangan. Beberapa santri yang melihat kejadian itu menahan tawa, tapi Aliyah hanya mengangguk pelan.
“Iya, nggak apa-apa,” katanya dengan suara lembut. Aku menarik napas lega, tapi tetap saja malu karena semua mata tertuju padaku.
Sejak kejadian itu, aku berusaha lebih hati-hati saat di dekat Aliyah. Setiap kali kami bertemu di lorong atau perpustakaan, aku hanya tersenyum canggung. Dia selalu membalas dengan anggukan ringan sebelum melanjutkan langkahnya. Ada sesuatu dalam kesederhanaan itu yang membuatnya begitu… menarik.
Pagi itu, kami ada kegiatan bersih-bersih masjid. Aku dan beberapa santri lainnya ditugaskan untuk membersihkan bagian luar, termasuk taman kecil di depan masjid. Saat sedang sibuk menyapu daun-daun yang berguguran, aku melihat Aliyah datang membawa ember berisi air. Dia dengan telaten membersihkan bagian depan teras masjid. Aku memperhatikannya diam-diam dari jarak aman, mencoba untuk tidak membuat kekacauan lagi.
“Hati-hati, jangan sampai tehmu tumpah lagi,” salah satu temanku, Haris, berbisik sambil menyikut lenganku. Aku hanya tertawa kecil, walau dalam hati sebenarnya agak canggung mengingat insiden sebelumnya.
Sepertinya takdir senang bermain-main denganku, karena tiba-tiba ada angin kencang yang menerbangkan beberapa lembar daun kering ke arah tempat Aliyah berdiri. Dia tampak kesulitan karena daunnya menyangkut di hijabnya. Aku, tanpa berpikir panjang, segera menghampiri dan membantu membersihkan daun itu.
“Maaf, ini… anginnya agak bandel,” kataku sambil tersenyum canggung, berusaha melepas daun yang tersangkut di ujung cadarnya.
Aliyah menundukkan kepala, mungkin sedikit terkejut. “Terima kasih,” jawabnya singkat, lalu melanjutkan pekerjaannya tanpa banyak bicara. Aku hanya mengangguk, berusaha terlihat normal padahal jantungku berdebar cukup kencang.
Setelah kegiatan bersih-bersih selesai, aku kembali ke asrama dan terbaring di kasur, memikirkan apa yang baru saja terjadi. Ada perasaan aneh yang mulai tumbuh, sesuatu yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Perasaan yang membuatku ingin lebih tahu tentang dirinya—bukan hanya sekadar gadis bercadar yang selalu menjaga kehormatannya, tapi juga tentang apa yang ia pikirkan, apa yang ia impikan.
Malam itu, ada kajian tentang “Adab Berinteraksi dengan Lawan Jenis” di masjid. Aku dan para santri duduk bersila di lantai, mendengarkan ustadz menyampaikan tausiyah. Setiap kata yang disampaikan terasa mengena, seolah-olah ditujukan langsung padaku. Aku tersenyum kecil, merasa sedikit bersalah karena mungkin terlalu banyak berpikir tentang Aliyah akhir-akhir ini.
Saat kajian selesai, aku berpapasan dengannya di depan pintu masjid. Aku tidak tahu bagaimana caranya, tapi tiba-tiba mulutku bergerak sendiri. “Aliyah, aku mau minta maaf soal kejadian waktu itu… yang teh tumpah.”
Aliyah menoleh, sejenak terdiam, sebelum akhirnya menjawab dengan lembut, “Sudah aku bilang, nggak apa-apa. Jangan terlalu dipikirkan.”
Aku mengangguk, sedikit lega mendengar jawaban itu. “Tapi… kalau boleh tahu, kamu sering baca buku di perpustakaan, ya? Kitab-kitab yang berat-berat itu?”
Aliyah tersenyum kecil, meski tertutup cadar, aku bisa merasakan ketulusan di matanya. “Iya, aku suka buku-buku sejarah Islam dan tafsir. Kamu sendiri?”
Aku tertegun, tidak menyangka dia akan balik bertanya. “Aku… lebih suka buku tentang hadits dan tafsir juga. Tapi kadang suka selipkan bacaan yang lebih ringan, biar nggak terlalu tegang,” jawabku sambil menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal.
Aliyah hanya tertawa kecil, suaranya lembut tapi terasa hangat. “Memang seharusnya begitu, kan? Kadang kita perlu istirahat dari hal-hal yang terlalu serius.”
Aku hanya tersenyum. Entah kenapa, obrolan singkat itu membuatku merasa lebih dekat dengannya.
Hijrah ke Dunia Kampus
Waktu terus berjalan, dan masa-masa di pesantren akhirnya mencapai titik akhir. Setelah menyelesaikan ujian akhir dan mendapat izin dari orang tua, aku akhirnya memutuskan untuk melanjutkan kuliah di universitas Islam ternama di kota. Tak pernah terbayang sebelumnya, kehidupan pesantren yang tenang akan digantikan oleh hiruk-pikuk dunia kampus yang begitu dinamis. Tapi, aku siap menghadapi tantangan baru.
Hari pertama di kampus, aku masih belum terbiasa dengan gedung-gedung tinggi dan keramaian mahasiswa yang memenuhi koridor. Semua terasa berbeda. Di pesantren, kami selalu mengenakan pakaian serba tertutup dengan lingkungan yang seragam. Tapi di sini, meski masih dalam aturan syar’i, suasananya terasa lebih bebas. Aku berjalan di antara mahasiswa lain dengan perasaan campur aduk, mencoba menyesuaikan diri.
Di tengah-tengah keramaian aula, mata ini menangkap sosok yang tidak asing—Aliyah. Dia tampak seperti biasanya, tetap dengan cadar biru langitnya, tapi ada sesuatu yang berbeda. Mungkin karena ini kampus, dia terlihat lebih… percaya diri. Takdir sepertinya memang suka mempermainkan kami berdua. Aku bahkan tidak tahu kalau dia juga melanjutkan kuliah di sini.
“Fawwaz?” Suara lembutnya membuatku terhenti sejenak. Aku menoleh, sedikit terkejut karena dia berdiri tak jauh dariku. Rupanya, dia juga melihatku terlebih dahulu.
“Aliyah…,” jawabku sambil tersenyum, merasa agak canggung. “Kamu juga kuliah di sini?”
Aliyah mengangguk, matanya bersinar cerah di balik cadar. “Iya. Jurusan Tafsir dan Hadits. Kamu?”
“Fiqih,” jawabku singkat, mencoba menahan senyum yang tiba-tiba muncul tanpa permisi. “Rasanya aneh, ya? Ketemu lagi di tempat yang sama sekali berbeda.”
Dia hanya mengangguk, lalu berkata dengan nada yang lebih lembut, “Mungkin memang sudah jalannya, kita ketemu lagi di sini.”
Aku menahan tawa kecil. “Mungkin saja. Dunia ini memang sempit.”
Kami berbincang sejenak, membicarakan kesan pertama tentang kampus ini dan kesulitan menyesuaikan diri. Percakapan terasa mengalir alami, seperti dua teman lama yang akhirnya bertemu setelah sekian lama. Tapi, aku tahu kami harus hati-hati. Interaksi di kampus berbeda dengan di pesantren, apalagi saat ada banyak mata yang memperhatikan.
Aku mulai terbiasa dengan rutinitas kampus. Kuliah fiqih yang kadang terasa berat, diskusi kelompok yang memakan waktu, hingga kegiatan kajian ekstra di masjid kampus. Setiap kali ada kesempatan, aku dan Aliyah sering bertemu di perpustakaan. Dia selalu berada di sudut favoritnya, tenggelam dalam tumpukan buku tebal. Aku tidak pernah mengganggu, tapi kami punya semacam kesepakatan tidak tertulis; kalau salah satu dari kami selesai membaca dan ingin berbincang, kami akan duduk di bangku panjang dekat jendela.
Suatu sore, aku melihatnya sedang menutup sebuah kitab tebal tentang tafsir. Wajahnya tampak lelah, tapi tetap berseri. Aku menghampiri dan duduk di sebelahnya, menjaga jarak yang aman. Dia menoleh, sedikit terkejut.
“Kamu sudah selesai baca?” tanyaku, membuka percakapan.
Aliyah mengangguk, “Iya, ini kitab terakhir untuk tugas minggu ini. Kamu sendiri?”
“Baru mau mulai. Tapi lihat kamu sudah selesai duluan, aku jadi merasa tertantang,” jawabku sambil tertawa kecil.
Aliyah tersenyum di balik cadarnya. “Mungkin aku memang harus lebih cepat, supaya bisa kasih tahu kamu tentang apa yang aku temukan.”
Percakapan seperti itu menjadi rutinitas kecil kami di kampus. Tidak ada hal yang terlalu mendalam, tapi cukup untuk membuatku merasa ada seseorang yang memahami perjuangan dan kesulitan yang aku hadapi di dunia perkuliahan.
Suatu hari setelah kuliah sore, aku melihat Aliyah duduk sendiri di taman kampus, membaca buku kecil berjudul “Sejarah Kebudayaan Islam.” Angin sore menerpa dedaunan, dan sinar matahari yang lembut memantul di permukaan kolam dekat taman. Aku mengambil keberanian untuk menghampirinya.
“Boleh aku duduk?” tanyaku sambil menunjuk bangku kayu di sebelahnya.
Aliyah mengangguk. “Silakan, ini kampus kita bersama.”
Aku tersenyum, lalu duduk. Rasanya sudah cukup lama sejak kami bisa berbincang tanpa tergesa-gesa. “Kenapa sendirian di sini? Lagi merenung?” godaku pelan.
“Bukan merenung, hanya menikmati suasana. Taman kampus ini mengingatkanku pada pesantren dulu,” jawabnya sambil menutup bukunya.
Aku mengangguk, merasa ada rasa nostalgia yang sama. “Iya, aku juga sering merasa begitu. Tapi, kampus ini juga punya pesonanya sendiri.”
Aliyah tertawa kecil. “Benar. Tapi pesonanya lebih dinamis, ya? Kita harus lebih banyak belajar dan beradaptasi.”
Aku mengangguk setuju. “Iya. Dan, kita harus menghadapi segala macam perbedaan pandangan. Kadang sulit menahan diri.”
“Betul. Tapi selama kita tetap berpegang pada prinsip Islam, insyaAllah tidak akan tersesat,” katanya sambil menatap jauh ke arah pohon-pohon yang berjajar rapi.
Obrolan itu terus berlanjut, dari topik perkuliahan hingga pandangan tentang tantangan menjalankan kehidupan Islami di tengah-tengah masyarakat kampus yang plural. Aku merasa percakapan kami bukan hanya sekadar berbincang, tapi semacam diskusi yang membuka wawasan baru—bukan hanya tentang agama, tapi juga tentang kehidupan yang lebih luas.
Di semester kedua, aku mulai aktif di organisasi dakwah kampus. Aku sering mengisi kajian atau jadi moderator dalam diskusi ilmiah. Di beberapa kesempatan, Aliyah juga terlibat, terutama dalam program kajian wanita. Rasanya, takdir benar-benar sering mempertemukan kami di berbagai kesempatan, meski tanpa rencana.
Pada satu malam di aula kampus, aku dan Aliyah ditunjuk untuk jadi pembicara dalam diskusi panel tentang “Tantangan Menjaga Identitas Islam di Kampus.” Aku tidak bisa menyangkal rasa gugup yang muncul, tapi di sisi lain, ada perasaan bangga bisa berdiri di sampingnya, berjuang bersama dalam dakwah.
Diskusi berlangsung seru. Aku berbicara tentang pentingnya menjaga adab di lingkungan kampus, sementara Aliyah dengan tenang menjelaskan tantangan yang dihadapi muslimah di era modern. Saat sesi tanya jawab, ada beberapa pertanyaan yang sulit dan sedikit sensitif, tapi kami bisa menjawabnya dengan baik. Sorak sorai dan tepuk tangan menutup acara malam itu.
Setelah acara selesai, aku duduk di tangga depan aula, menikmati udara malam yang sejuk. Aliyah menghampiriku, dengan langkah yang pelan.
“Kamu luar biasa tadi, Fawwaz. Jawabanmu lugas dan mengena,” katanya dengan nada hangat.
Aku tersenyum sambil menggaruk kepala. “Kamu juga. Aku tidak menyangka kita akan jadi tim yang baik.”
Dia hanya tertawa kecil. “Semoga kita bisa terus belajar dan berbagi, ya?”
Aku mengangguk penuh semangat. “InsyaAllah. Aku juga berharap kita bisa menghadapi segala tantangan yang ada di kampus ini, sama-sama.”
Malam itu terasa istimewa. Tidak ada yang spesial dalam hal romantis, tapi ada semacam ikatan yang semakin kuat, yang membuatku yakin, bahwa ini bukan sekadar pertemuan biasa.
Diskusi di Bawah Langit Kampus
Malam itu, setelah diskusi yang sukses, aku tahu ada sesuatu yang berubah. Bukan pada Aliyah, bukan juga pada situasi, tapi pada caraku memandang semua ini. Diskusi panel itu seperti menyalakan sebuah semangat baru di dalam diri—semangat untuk belajar lebih dalam, untuk berbagi lebih banyak, dan mungkin, untuk mengenal Aliyah lebih dekat, meski aku tetap menjaga jarak yang seharusnya.
Kehidupan kampus semakin padat, apalagi dengan berbagai kegiatan organisasi yang mulai menyita waktu. Aliyah dan aku semakin sering bertemu, baik di kelas, di perpustakaan, atau di kegiatan-kegiatan dakwah. Meski kami tidak pernah berdua, selalu ada kelompok yang menemani, tapi setiap interaksi singkat kami membawa makna tersendiri.
Satu malam, selepas isya, aku mendapat pesan dari ketua organisasi dakwah kampus untuk menghadiri kajian kecil di bukit belakang kampus. Tempat itu adalah salah satu spot favorit mahasiswa untuk mengadakan acara santai, terutama karena pemandangannya yang menampilkan seluruh kota dengan lampu-lampu yang berkelap-kelip.
Saat aku sampai di sana, beberapa teman sudah berkumpul, termasuk Aliyah. Aku tidak tahu kenapa, tapi ketika melihatnya, ada rasa nyaman yang tiba-tiba memenuhi hatiku. Kami duduk melingkar, mendengarkan kajian dari salah satu ustadz muda yang juga dosen di kampus.
“Fawwaz, kamu jadi moderator malam ini, ya,” ujar ketua organisasi tiba-tiba.
Aku terkejut, tidak menyangka akan ditunjuk mendadak. “Eh, aku?” tanyaku ragu.
“Tenang saja, kamu sudah sering jadi moderator,” katanya sambil tersenyum meyakinkan.
Aliyah menoleh, memberikan anggukan pelan seolah memberi dukungan. Aku menarik napas dalam-dalam dan memulai tugas itu dengan hati-hati. Diskusi malam itu berlangsung lancar, kami membahas tentang pentingnya menjaga ikatan ukhuwah Islamiyah di tengah perbedaan yang ada.
Saat acara berakhir, beberapa teman masih bercengkerama. Aku memilih menjauh sedikit, duduk di pinggiran bukit dengan pemandangan kota yang memukau di hadapan. Tidak lama kemudian, Aliyah menghampiri, kali ini tanpa bicara. Dia duduk beberapa langkah dariku, menjaga jarak yang sudah menjadi kesepakatan tak tertulis di antara kami.
“Kamu hebat tadi,” katanya akhirnya, memecah keheningan.
Aku tersenyum samar. “Hanya mengikuti arus. Kamu tahu, kadang-kadang aku merasa masih banyak hal yang belum aku pahami tentang Islam, tentang kehidupan… tentang semuanya.”
Aliyah tertawa kecil. “Kita semua belajar, Fawwaz. Tidak ada yang sempurna. Kamu juga mengajariku banyak hal.”
Aku menatap langit yang penuh bintang, mencoba menyusun kata-kata di kepalaku. “Aku cuma takut terjebak dalam rutinitas. Pesantren dulu memberikan aturan yang jelas, tapi di sini… semuanya lebih kompleks. Aku harus berhati-hati dengan setiap langkah.”
“Aku mengerti,” katanya, nadanya penuh pengertian. “Kadang-kadang, aku juga merasa seperti kehilangan arah. Tapi… mungkin di situlah letak keindahan belajar.”
Kami terdiam lagi, membiarkan angin malam yang sejuk berbicara di antara kami. Aku tidak tahu berapa lama kami duduk di sana, tapi saat kulihat Aliyah mulai bangkit, aku pun ikut berdiri. Malam itu, di bawah langit kampus yang terbentang luas, aku merasa bahwa aku tidak sendiri dalam pencarian ini.
Hari demi hari berlalu, dan kehidupan kampus mulai terasa lebih akrab. Aku semakin sibuk dengan kuliah, kegiatan organisasi, dan kajian-kajian di masjid kampus. Meski begitu, setiap ada waktu luang, aku selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi perpustakaan, mencari sudut tempat biasa di mana aku dan Aliyah sering duduk bersama.
Satu siang, aku menemukan Aliyah sedang duduk sendirian di sana, mencatat sesuatu di bukunya. Aku menghampirinya perlahan, membawa beberapa kitab yang ingin kupelajari.
“Sedang apa?” tanyaku sambil meletakkan buku-buku di mejaku.
Aliyah menoleh dan tersenyum, lalu menutup bukunya. “Sedang menulis tugas untuk diskusi minggu depan. Kamu sendiri?”
Aku menghela napas panjang. “Sedang mencoba memahami satu kitab yang menurutku sulit. Tafsir Al-Mawardi ini benar-benar membuat kepalaku pusing.”
Aliyah tertawa pelan. “Aku juga merasa begitu waktu pertama kali membacanya. Tapi kalau kamu mau, kita bisa bahas bersama.”
Aku mengangguk senang. “Boleh. Mungkin dengan begitu aku bisa lebih mengerti.”
Hari itu, kami duduk bersebelahan, membahas setiap halaman dengan detail. Aliyah menjelaskan beberapa konsep yang sulit, dan aku ikut berusaha menguraikannya dengan bahasa yang lebih mudah. Ada keakraban yang terasa, meski tanpa harus ada kontak fisik atau kata-kata yang berlebihan.
Suatu ketika, ada tugas kelompok dari mata kuliah Fiqih, dan aku kebetulan sekelompok dengan Aliyah. Kami sepakat untuk mengadakan pertemuan di salah satu ruang baca kampus. Saat hari yang ditentukan tiba, teman-teman kelompokku datang satu per satu, hingga akhirnya hanya tersisa aku dan Aliyah yang masih menyelesaikan bagian akhir tugas.
“Aku pikir kita tidak akan bisa menyelesaikan ini tepat waktu,” kataku sambil merapikan beberapa catatan yang berserakan.
Aliyah menggeleng pelan. “Kita hanya perlu fokus. Meskipun ini tugas kelompok, tanggung jawab kita sebagai mahasiswa tetap harus dituntaskan.”
Aku tersenyum, merasa kagum dengan dedikasinya. “Kamu benar. Kadang aku merasa tugas-tugas ini begitu berat, tapi entah kenapa, kalau mengerjakannya bersama, rasanya jadi lebih ringan.”
Aliyah menunduk sejenak, mungkin tersipu, meskipun aku tidak bisa melihat wajahnya yang tertutup cadar. “Karena kita punya niat yang sama, insyaAllah.”
Saat itu, aku merasa ada sesuatu yang terucap tanpa kata-kata. Sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kerjasama. Tapi aku memilih menyimpannya dalam hati, karena aku tahu, perjalanan ini masih panjang.
Semester berikutnya, kami mengadakan acara dakwah terbesar di kampus, yang melibatkan berbagai organisasi Islam dari seluruh universitas. Aku dan Aliyah kembali ditunjuk sebagai panitia inti, dengan tugas utama mengoordinasikan seluruh rangkaian acara. Tugas ini jelas bukan perkara mudah, apalagi dengan segala keterbatasan waktu dan sumber daya.
Saat hari H tiba, aula kampus dipenuhi oleh mahasiswa. Suasana riuh, penuh semangat. Aku dan Aliyah berusaha memastikan semuanya berjalan lancar. Dan saat acara selesai, aku merasa lega. Acara besar itu sukses, lebih baik dari yang diharapkan.
Di sela-sela acara, aku melihat Aliyah berdiri sendiri di pinggir aula, seolah sedang menikmati suasana yang damai setelah hiruk-pikuk persiapan. Aku menghampirinya.
“Kamu baik-baik saja?” tanyaku, mencoba menyelami pikirannya.
Aliyah menoleh dan tersenyum lembut. “Alhamdulillah, akhirnya selesai juga. Aku tidak menyangka kita bisa melakukannya dengan baik.”
Aku mengangguk, merasakan kehangatan dari keberhasilan bersama. “Terima kasih sudah jadi tim yang luar biasa. Aku tidak bisa bayangkan kalau harus melakukannya sendiri.”
Dia menatapku sejenak, lalu berkata dengan nada serius tapi lembut, “Kamu juga. Mungkin kita memang harus bekerja sama untuk hal-hal yang lebih besar lagi di masa depan.”
Aku terdiam, merasa ada makna yang lebih dalam dari kata-kata itu. Tapi sebelum aku sempat membalas, seorang teman menghampiri kami, mengajak Aliyah bergabung dengan kelompok lain. Dia pamit, meninggalkanku dengan pikiran yang melayang-layang.
Malam itu, aku pulang dengan hati yang terasa penuh, seperti ada sesuatu yang mulai tumbuh, meski aku belum berani memberi nama pada perasaan ini.
Kisah yang Belum Tuntas
Waktu bergulir cepat, dan tanpa terasa, semester akhir sudah tiba. Kegiatan kampus semakin padat, beban tugas kian berat, dan persiapan untuk skripsi mulai menjadi prioritas utama. Aku dan Aliyah jarang bertemu, bukan karena sengaja menjauh, tapi karena kesibukan kami masing-masing. Kami masih aktif di organisasi, namun kali ini ada batas yang tak terucap—seperti keinginan untuk menyelesaikan sesuatu yang lebih besar sebelum melangkah lebih jauh.
Suatu sore, aku sedang duduk di pojok perpustakaan dengan tumpukan buku di meja, mencoba menulis proposal skripsiku yang tak kunjung rampung. Saat aku hendak menyeruput teh yang mulai dingin, tiba-tiba Aliyah muncul di hadapanku, membawa setumpuk buku yang tebal.
“Boleh duduk?” tanyanya, suaranya lembut seperti biasa.
Aku mengangguk sambil tersenyum. “Tentu, silakan.”
Dia duduk di depanku, membuka salah satu buku, dan mulai membaca. Ada suasana tenang yang terasa berbeda saat kami berdua berada di tempat ini. Aku tak bisa menahan diri untuk bertanya, “Kamu sudah mulai menulis skripsi?”
Aliyah mengangguk, masih menatap bukunya. “Iya, aku sedang mencari referensi. Tapi… aku butuh bantuanmu.”
Aku menaikkan alis, terkejut dengan permintaannya. Selama ini, Aliyah adalah sosok yang selalu terlihat mandiri, jarang meminta bantuan. “Bantuan apa?”
“Bisakah kamu membacakan bagian tafsir ini?” ujarnya, mendorong buku tebal itu ke arahku. “Aku sedang mengalami kesulitan memahami beberapa istilah.”
Aku mengambil buku itu, membolak-balik halamannya sejenak, lalu mulai membacakan. Kami berdiskusi panjang, memeriksa kata demi kata, makna demi makna. Suasana berubah menjadi lebih serius, tapi aku menikmati setiap detiknya. Ini bukan sekadar membantu, tapi seperti perjalanan bersama menuju pemahaman yang lebih dalam.
Setelah berjam-jam, kami menyelesaikan pembahasan itu. Aliyah tersenyum lega. “Terima kasih, Fawwaz. Kamu selalu membuat hal sulit menjadi lebih mudah.”
Aku hanya tersenyum, merasa ada kehangatan yang aneh saat dia mengucapkan itu.
Minggu berikutnya, ada sebuah undangan pernikahan dari salah satu teman dekat kami di kampus. Teman-teman dari organisasi sepakat untuk datang bersama. Hari itu adalah hari yang cerah, dan kami berangkat beramai-ramai dengan tawa yang memenuhi mobil.
Sesampainya di tempat acara, suasana begitu meriah. Teman-teman saling bercanda dan mengobrol, menikmati momen kebersamaan yang mungkin akan semakin jarang terjadi setelah kami lulus. Aku menyadari bahwa ini adalah salah satu momen terakhir di mana kami semua bisa berkumpul tanpa tekanan tugas akhir.
Di tengah-tengah acara, Aliyah berdiri agak menjauh dari keramaian, memandangi dekorasi yang indah. Aku menghampirinya dengan hati-hati.
“Kamu suka acaranya?” tanyaku ringan.
Dia mengangguk pelan. “Suka. Pernikahan selalu membuatku berpikir tentang kehidupan. Tentang bagaimana setiap orang punya perjalanan masing-masing.”
Aku mengangguk, merasakan beban dalam suaranya. “Benar, kita semua punya jalan yang berbeda. Tapi aku yakin, jalan yang kita pilih selalu akan membawa kita ke tempat yang terbaik.”
Aliyah menatapku, kali ini lebih dalam. Ada sesuatu di matanya yang tidak pernah kulihat sebelumnya, seperti ada rahasia yang ingin diungkapkan tapi ditahan. “Fawwaz, setelah lulus, aku akan pulang ke kampung. Ada tanggung jawab keluarga yang harus kuselesaikan.”
Pernyataannya terasa seperti petir di siang bolong. Aku terdiam, tidak tahu harus berkata apa. “Kamu… sudah memutuskan?”
Dia tersenyum tipis. “Iya. Ini bukan keputusan yang mudah, tapi aku sudah berdoa lama tentang ini.”
Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha mengerti. “Kalau begitu, aku hanya bisa mendoakan yang terbaik untukmu, Aliyah.”
Kami terdiam lagi. Suasana di sekitar terasa semakin riuh, tapi di antara kami berdua, hanya ada keheningan. Aku tahu ini bukan saatnya untuk mengatakan apa pun, bukan saatnya untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya aku rasakan.
Hari-hari setelah pernikahan itu berlalu dengan cepat. Aku semakin fokus pada skripsi, mencoba menuntaskan semua yang harus kuselesaikan sebelum waktu berpisah tiba. Aliyah pun semakin jarang terlihat, mungkin karena kesibukannya sendiri atau karena dia memilih menjauh perlahan. Kami tetap bertegur sapa, tapi tidak ada lagi diskusi panjang atau momen-momen bersama seperti sebelumnya.
Suatu sore, ketika aku sedang merapikan barang-barang di ruang organisasi, aku menemukan catatan kecil yang tertinggal di mejaku. Aku tahu itu dari Aliyah, karena tulisannya begitu khas.
“Fawwaz, terima kasih untuk semua pembelajaran, kebaikan, dan kenangan indah di kampus ini. Semoga Allah selalu membimbing langkah kita masing-masing.”
Aku tertegun, membaca pesan singkat itu berulang kali. Tidak ada salam perpisahan yang dramatis, hanya ucapan yang tulus, sederhana, tapi penuh makna. Aku tahu, mungkin ini adalah akhirnya—akhir dari sebuah cerita yang tidak pernah benar-benar dimulai.
Hari wisuda tiba, dan kampus dipenuhi wajah-wajah yang bahagia. Aku mengenakan toga, berdiri di antara ratusan teman-teman yang lain. Saat namaku dipanggil, aku maju dengan hati yang berdebar, mengambil ijazah sebagai simbol dari perjuanganku selama ini.
Di tengah keramaian itu, aku melihat Aliyah berdiri bersama keluarganya di sudut aula. Matanya mencari-cari sesuatu, dan ketika akhirnya bertemu pandang denganku, dia tersenyum. Aku membalas senyum itu dengan anggukan pelan, merasa ada salam perpisahan yang tak terucapkan.
Setelah acara selesai, aku berdiri di luar gedung, memandangi langit yang cerah. Sebuah pesan masuk ke ponselku—pesan singkat dari Aliyah.
“Fawwaz, aku akan berangkat malam ini. Semoga kita bisa bertemu lagi di masa depan, jika Allah mengizinkan.”
Aku menghela napas, merasakan angin sore yang lembut menerpa wajahku. Ini bukan akhir dari segalanya, tapi awal dari babak baru dalam hidup kami masing-masing. Aku tahu, perjalanan ini belum benar-benar selesai, karena setiap kenangan yang kami ukir di kampus ini akan selalu melekat di hati.
Aliyah pergi malam itu, meninggalkan kampus yang penuh dengan kenangan. Aku melanjutkan kehidupanku, meraih kesempatan kerja yang kutunggu-tunggu. Meskipun jalan kami mungkin berbeda, aku yakin bahwa setiap langkah yang kami ambil telah ditentukan oleh takdir.
Di suatu pagi, aku masih bisa merasakan jejaknya di dalam setiap kegiatan dakwah, di dalam semangat belajar yang dia tinggalkan. Dan aku tahu, di mana pun dia berada, Aliyah juga membawa semangat yang sama, berjuang dengan segala yang dia miliki.
Mungkin, cinta yang tidak terungkap adalah cinta yang paling tulus—cinta yang tidak meminta balasan, hanya berharap agar orang yang kita cintai mendapatkan yang terbaik dalam hidupnya. Dan dalam setiap doa, aku selalu menyebut namanya, meski hanya dalam hati, berharap agar Allah mempertemukan kami lagi, entah kapan, entah di mana, dengan jalan yang telah digariskan-Nya.
Di bawah langit yang sama, aku melangkah dengan keyakinan bahwa apa yang Allah takdirkan, selalu membawa hikmah yang tidak bisa kulihat saat ini. Dan mungkin, di suatu waktu, di satu titik dalam perjalanan hidup, aku akan menemukan jawabannya.
Jadi, meski jarak memisahkan dan waktu terus bergulir, Fawwaz dan Aliyah tahu bahwa cinta yang tulus tidak akan pernah pudar. Mereka mungkin menempuh jalan masing-masing, tapi setiap kenangan yang mereka ciptakan adalah jembatan menuju takdir yang lebih indah.
Siapa tahu, di suatu hari yang cerah, mereka akan dipertemukan kembali. Hingga saat itu tiba, mereka akan terus melangkah, membangun mimpi, dan berharap Allah selalu membimbing setiap langkah mereka. Cinta sejati memang seperti itu, tak selalu harus bersatu, tapi selalu ada dalam hati.