Daftar Isi
Gimana rasanya jatuh cinta di tempat yang penuh doa dan kebaikan? Di pesantren, di mana cinta bukan cuma soal perasaan, tapi juga tentang niat tulus dan saling menjaga. Di sini, cinta itu ditempa dengan ilmu, doa, dan pengorbanan.
Kalau kamu pikir cinta di pesantren itu kaku dan penuh aturan, coba deh baca cerita ini. Karena siapa bilang, cinta yang bermula dengan niat baik, nggak bisa jadi cerita yang manis dan penuh warna? Yuk, ikutin perjalanan cinta yang nggak biasa, antara Zahra dan Zayd, yang tumbuh di antara doa dan harapan.
Cinta Islami di Pesantren
Cinta yang Bersemi di Tengah Doa
Pagi itu, angin semilir menyusup masuk melalui jendela kamarku, membawa aroma tanah basah setelah hujan semalam. Di luar, suasana pesantren mulai hidup dengan iringan langkah-langkah santri yang bersiap melaksanakan sholat subuh berjamaah. Tentu saja, aku tidak mau melewatkan momen itu. Meskipun mataku sedikit berat, aku tahu bahwa di pesantren ini, setiap detik yang terlewatkan adalah kesempatan untuk mendekatkan diri pada Allah.
Aku menyusuri lorong-lorong pesantren yang sepi, hanya terdengar suara langkah kaki yang tertata rapi. Sesampainya di masjid, aku langsung bergabung dengan santri lainnya yang sudah mulai mengatur saf. Pemandangan yang tak pernah gagal membuatku merasa tenang—kesatuan, kebersamaan, dan tentunya, keikhlasan yang terpancar dari setiap wajah.
Namun, ada satu hal yang selalu mengusik pikiranku. Setiap kali aku mengangkat kepala dalam sholat, ada satu sosok yang tak bisa kuhindari. Zayd. Seorang santri yang selalu tampak fokus, khusyuk dalam setiap ibadah, namun entah mengapa selalu membuatku merasa sedikit canggung. Mungkin karena senyumnya yang tiba-tiba itu, atau tatapannya yang kadang-kadang terasa lebih lama dari yang seharusnya.
Aku berusaha mengabaikan perasaan itu, karena aku tahu, di sini aku ada untuk belajar, bukan untuk memikirkan hal-hal seperti itu. Tetapi siapa yang bisa menepis perasaan yang tumbuh begitu saja? Aku tak bisa menyangkalnya, meski aku berusaha menenangkan diri dengan berfokus pada setiap gerakan sholat.
Setelah sholat subuh selesai, kami semua duduk untuk mendengarkan tausiyah dari ustazah. Suara Ustazah Fariha yang lembut menyentuh hati, mengingatkan kami semua tentang pentingnya menjaga hati, tentang bagaimana kita harus saling mendukung dalam kebaikan. Aku teringat perkataan beliau yang selalu menghujam langsung ke dalam jiwa: “Cinta yang paling mulia adalah cinta yang mendekatkan kita pada Allah. Jangan biarkan perasaan duniawi merusak tujuan kita.”
Saat tausiyah selesai, aku bergegas kembali ke ruang asramaku, tetapi sebelum aku sempat menuruni anak tangga, aku mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Aku menoleh dan hampir terjatuh kaget—Zayd.
“Zahra,” panggilnya pelan, dengan wajah yang sedikit tegang. “Boleh bicara sebentar?”
Aku terdiam sejenak, mencoba menenangkan diri. Zayd bukanlah orang yang mudah bicara sembarangan. Kalau dia meminta berbicara, berarti itu sesuatu yang penting.
“Ada apa, Zayd?” tanyaku, sedikit ragu, meski aku berusaha terlihat santai.
Zayd menghela napas dalam-dalam, matanya terlihat serius. “Sebenarnya, aku sudah lama ingin mengatakannya, tapi aku bingung bagaimana cara mengungkapkannya.”
Aku menatapnya, agak bingung dengan pernyataannya. “Apa yang ingin kamu katakan?”
Dia menunduk sejenak, seolah berusaha mencari kata-kata yang tepat. Aku bisa merasakan ketegangan di udara. Rasanya, aku tak bisa berkedip menunggu apa yang akan keluar dari mulutnya.
“Aku… suka padamu, Zahra,” akhirnya dia berkata, dengan suara yang pelan, namun cukup jelas untukku dengar. “Aku tahu ini mungkin terdengar aneh, mengingat kita di sini untuk belajar dan mendekatkan diri pada Allah, tapi… perasaan ini sudah lama ada, dan aku nggak bisa mengabaikannya lagi.”
Hatiku berdegup lebih cepat. Ada rasa canggung yang menyelubungi dada, seperti ada yang menekan-nekan. Aku menundukkan wajahku, mencoba untuk berpikir jernih.
“Zayd,” jawabku pelan, “kita di pesantren ini untuk tujuan yang lebih besar, kan? Untuk mencari ilmu, mendekatkan diri pada Allah. Cinta seperti ini…” Aku berhenti sejenak, mencari kata-kata yang tepat, “Harus kita jaga. Kita nggak boleh terbawa perasaan begitu saja.”
Zayd tampaknya tidak kecewa, malah ada rasa kesungguhan yang semakin terlihat di wajahnya. “Aku tahu, Zahra. Aku nggak berharap apa-apa sekarang. Aku cuma ingin kamu tahu. Aku berdoa pada Allah, agar cinta ini menjadi cinta yang bisa membawa kita lebih dekat pada-Nya.”
Aku menatapnya, merasa ada kedalaman dalam kata-katanya. Benar, cinta yang seperti itu—yang mendekatkan kita pada Allah—adalah cinta yang paling mulia. Tapi, aku juga tahu bahwa banyak hal yang harus kami jaga.
“Aku juga berdoa yang sama, Zayd. Aku hanya ingin kita berdua menjaga hati ini, agar tetap dalam kebaikan,” jawabku, sambil tersenyum lembut. “Mari kita berusaha jadi lebih baik, menjadi pribadi yang lebih dekat dengan Allah. Kalau Allah mengizinkan, kita akan bertemu di waktu yang tepat.”
Zayd tersenyum, dan dalam senyum itu aku bisa merasakan ketulusan yang dalam. “InshaAllah, Zahra. Semoga Allah memberikan jalan yang terbaik.”
Setelah itu, kami berjalan kembali ke asrama masing-masing, dalam diam, namun ada kedamaian yang mengalir di dalam hati. Mungkin ini adalah awal dari perjalanan yang penuh doa dan harapan. Mungkin juga, cinta yang tumbuh di sini bukanlah cinta yang biasa. Cinta yang lahir di tengah doa dan harapan, di antara langkah-langkah yang membawa kami lebih dekat pada Allah.
Saat aku berbaring di tempat tidurku, rasa itu masih ada. Bukan rasa cinta yang melulu tentang dunia, melainkan rasa yang lebih dalam, yang mengarah pada harapan akan masa depan yang penuh dengan kebaikan. Aku tahu, perjalanan kami masih panjang, dan apa pun yang terjadi, kami akan tetap menjaga hati ini, berdoa agar segala sesuatu yang terjadi adalah yang terbaik di mata Allah.
Dan aku, dalam diam, berharap bahwa cinta yang bersemi di pesantren ini akan terus tumbuh, dengan segala kebaikan yang menyertainya.
Senyuman di Balik Ayat-ayat
Hari-hari di pesantren berlalu dengan cepat. Setiap pagi, kami selalu disibukkan dengan kegiatan rutin: sholat berjamaah, mengaji, dan mengikuti berbagai kajian. Meski begitu, ada satu hal yang membuat hari-hariku sedikit berbeda belakangan ini—perasaan yang muncul setiap kali aku bertemu Zayd. Cinta yang sederhana, namun penuh makna. Sesuatu yang tumbuh dalam diam, di antara doa dan harapan yang selalu kami panjatkan.
Suatu pagi, setelah sholat Dhuha, aku sedang duduk di salah satu sudut masjid, memegang Al-Qur’an dengan tenang. Matahari yang baru saja muncul memberikan cahaya lembut, seakan menambah ketenangan di dalam hati. Tiba-tiba, aku merasakan kehadiran seseorang di sebelahku.
“Zahra,” suara Zayd terdengar pelan namun hangat.
Aku menoleh, dan seperti biasa, ada senyum tulus di wajahnya. Senyum yang entah kenapa selalu berhasil membuat hati ini berdebar.
“Ada apa, Zayd?” tanyaku, berusaha menjaga nada bicara agar terdengar biasa saja, meski perasaan tak bisa bohong.
Zayd duduk di sampingku, membuka kitab kecil yang selalu dibawanya. “Aku sedang mencari tafsir tentang ayat ini,” katanya sambil menunjuk sebuah ayat di Al-Qur’an yang ada di tanganku. “Aku pikir, kita harus lebih banyak memahami makna dari setiap kalimat-Nya.”
Aku tersenyum, merasa hangat di hati mendengar kata-kata Zayd. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuatku merasa nyaman. Mungkin karena dia selalu berbicara dengan penuh perhatian, tidak tergesa-gesa, dan sangat menghargai setiap momen yang ada. Bahkan dalam diam, aku merasa dia selalu ada untukku.
“Kamu memang selalu serius dalam belajar, ya,” ujarku sambil membalikkan halaman Al-Qur’an dengan lembut.
Zayd tertawa kecil, “Mungkin. Tapi, aku selalu merasa ada kedamaian di sini, di tengah-tengah ayat-ayat-Nya. Dan aku ingin kamu merasakannya juga, Zahra.”
Aku menatapnya dengan sedikit terkejut, namun Zayd hanya tersenyum lagi, seakan tahu apa yang ada dalam pikiranku. “Jangan khawatir, aku nggak akan mengganggumu. Aku cuma… ingin kamu tahu bahwa aku selalu ada, untuk belajar bersama.”
Perasaan itu datang lagi. Sesuatu yang lebih dari sekadar pertemuan biasa. Mungkin memang benar, kadang-kadang Allah mengirimkan seseorang yang membuat kita merasa tenang, hanya dengan keberadaannya. Aku tak tahu harus berkata apa, tapi aku merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar percakapan ini.
Kami berdua mulai membaca tafsir bersama, berbagi pemahaman tentang ayat-ayat yang ada. Sesekali, Zayd bertanya tentang tafsir yang aku baca, dan aku menjelaskan sesuai dengan pemahamanku. Tak jarang, dia memberikan penjelasan yang lebih dalam, membuatku terkesan dengan pemikirannya.
Di tengah perbincangan itu, aku merasakan sesuatu yang berbeda. Setiap kata yang diucapkannya bukan hanya tentang ilmu, tapi juga tentang bagaimana ia menghargai setiap hal kecil. Dia tidak terburu-buru, tidak menganggap semuanya sekadar rutinitas. Ada ketulusan dalam setiap ucapannya, dalam setiap tindakannya.
“Zahra,” Zayd memanggilku lagi setelah beberapa waktu. “Aku ingin berdoa bersama. Boleh?”
Aku terdiam sejenak, terkejut. Zayd yang selama ini hanya terlihat tenang dan serius, tiba-tiba mengajakku berdoa. Bukan doa untuk hal-hal besar atau duniawi, tapi doa yang lebih mengarah pada harapan yang tulus, harapan akan segala kebaikan.
“Tentu saja, Zayd. Mari,” jawabku, sambil menutup Al-Qur’an yang kami baca bersama.
Kami berdua duduk di atas sajadah, saling berhadapan. Tanpa kata-kata, hanya ada keheningan yang penuh makna. Zayd memulai doa dengan suara yang lembut, memohon pada Allah agar diberikan petunjuk, kebaikan, dan keberkahan dalam setiap langkah hidup kami. Aku mengikuti dengan khusyuk, merasakan setiap kata yang diucapkan menyentuh hatiku.
Doa kami sederhana, namun penuh harapan. Di dalamnya ada doa untuk diri kami, untuk keluarga kami, dan untuk semua orang yang kami sayangi. Namun, lebih dari itu, ada doa agar segala langkah kami bisa membawa kebaikan, dan agar hati kami tetap terjaga dalam kebaikan-Nya.
“Zahra,” Zayd melanjutkan setelah doa selesai, matanya masih tertunduk, “Aku tahu kita berada di tempat yang benar, di jalan yang benar. Tapi aku ingin kamu tahu, aku ingin selalu mendampingi kamu. Dalam kebaikan, dalam belajar, dalam berdoa.”
Aku tidak bisa berkata banyak. Hanya sebuah senyuman yang keluar dari bibirku, senyum yang mencoba mengungkapkan betapa aku menghargai doa dan perasaan yang dia miliki. “Aku juga ingin selalu menjaga hati ini, Zayd. Dan semoga, kita bisa terus bersama-sama dalam kebaikan, dalam ilmu dan doa.”
Kami berdua saling menatap dalam keheningan yang penuh makna. Ada perasaan yang tak terucapkan, perasaan yang lebih dari sekadar kata-kata. Kami tahu, meski tidak bisa langsung terungkapkan, cinta ini bukan hanya tentang dunia. Ini tentang bagaimana kami bisa tumbuh bersama, dalam keikhlasan dan doa, dengan harapan bahwa Allah akan selalu membimbing kami.
Ketika kami akhirnya bangkit dari tempat duduk kami, aku merasa ada sesuatu yang lebih dalam dalam hubungan ini. Bukan sekadar pertemuan antara dua insan, tetapi juga pertemuan hati yang saling menjaga, saling mendoakan, dan saling mengingatkan dalam kebaikan.
Langkah kami beriringan kembali ke asrama, namun kali ini ada rasa yang berbeda—lebih dalam, lebih tulus, dan lebih penuh harapan akan masa depan yang diridhai oleh Allah. Dan aku, dalam diam, berharap bahwa Allah akan terus menjaga cinta ini dalam kebaikan-Nya.
Di Balik Doa dan Harapan
Hari-hari di pesantren semakin terasa penuh warna. Meskipun rutinitas kami sama, perasaan yang tumbuh di hati ini membawa kehangatan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Zayd, dengan segala ketenangannya, selalu ada di sisiku, memberi warna baru dalam setiap langkahku. Kami saling berbagi ilmu, berbagi doa, dan seakan merangkai setiap momen dengan penuh perhatian.
Pagi itu, setelah sholat subuh berjamaah, aku kembali duduk di sudut masjid. Ada rasa tenang yang selalu datang setelah setiap doa, tetapi pagi ini, ada satu hal yang membuatku lebih berpikir. Zayd yang biasanya selalu hadir, kini tak tampak di tempat kami biasa bertemu.
Aku mengusap wajahku perlahan, merasakan hembusan angin pagi yang sejuk. Apakah aku terlalu berharap? Apakah semua yang terjadi ini hanya sekadar kebetulan? Aku tersenyum, mencoba meyakinkan diri bahwa aku hanya perlu bersabar. Cinta yang tumbuh di dalam pesantren ini tak bisa dipaksakan. Mungkin Zayd pun merasakan hal yang sama, atau mungkin tidak. Siapa yang tahu?
Tiba-tiba, sebuah suara memanggilku dari belakang. “Zahra!”
Aku menoleh dan melihat Zayd berjalan mendekat, wajahnya sedikit merah, seolah-olah baru saja berlari. Ia memegang selembar kertas di tangan. Aku segera bangkit dari dudukku, merasakan sesuatu yang membuatku lebih penasaran.
“Ada apa, Zayd?” tanyaku dengan senyum tipis.
Zayd berhenti di depanku, agak terengah-engah. “Aku… aku ada tugas dari ustaz,” katanya, sambil menyerahkan kertas itu. “Ini tugas untuk kajian hari ini, tentang hadist-hadist yang mengajarkan tentang sabar dan tawakal.”
Aku menerima kertas itu dengan tanganku, mataku menatapnya sekilas. “Tugas kajian, ya? Sepertinya berat,” kataku sambil memandangnya dengan penuh rasa ingin tahu.
Zayd tertawa kecil. “Nggak berat kok, kalau kita ikhlas. Tapi aku berharap bisa belajar bareng kamu. Aku merasa, kalau kita belajar bersama, akan lebih mudah dipahami.”
Aku terdiam sejenak, meresapi kalimat itu. “Kamu benar, Zayd. Belajar bersama memang lebih mudah, terutama kalau kita bisa saling mendukung.”
Zayd tersenyum, senyum yang sangat tulus, senyum yang rasanya bisa membuat hati ini melambung tinggi. “Kalau begitu, kita mulai sekarang saja,” katanya sambil duduk di sebelahku. “Bagaimana kalau kita membahas hadist ini dulu?”
Kami pun mulai membuka kertas yang diberikan Zayd, membahas hadist tentang sabar dan tawakal, dua hal yang sangat penting dalam hidup seorang muslim. Zayd menjelaskan dengan penuh perhatian, memecah setiap kalimat hadist menjadi pemahaman yang lebih dalam. Sambil berbicara, matanya penuh ketulusan, seakan ingin memastikan aku memahami setiap kata yang diucapkannya.
“Aku merasa,” Zayd berkata, “bahwa sabar itu bukan hanya tentang menahan diri dalam keadaan sulit, tapi juga tentang bagaimana kita bisa tetap bersyukur dalam segala keadaan. Kadang-kadang, saat kita merasa kesulitan, kita malah lupa untuk bersyukur atas hal-hal kecil yang telah kita terima.”
Aku terdiam, memikirkan apa yang Zayd katakan. Aku tahu, dia benar. Seringkali, kita terjebak dalam masalah dan kesulitan, hingga lupa bahwa ada banyak hal yang perlu kita syukuri. Bahkan dalam segala kesulitan, ada pelajaran yang bisa kita ambil, ada kesempatan untuk tumbuh lebih baik.
“Kamu benar, Zayd,” jawabku setelah beberapa saat. “Sabar itu bukan hanya menahan diri, tapi juga bisa berarti tetap bersyukur. Kita harus belajar untuk melihat kebaikan di balik setiap ujian.”
Zayd mengangguk, senyum kecil menghiasi wajahnya. “Dan tawakal, Zahra, itu adalah menyerahkan semuanya kepada Allah, setelah kita berusaha sebaik mungkin.”
Aku mengangguk setuju, merasa semakin dekat dengan pemahaman yang lebih dalam tentang makna sabar dan tawakal. Kami berbicara lebih lanjut tentang hadist itu, saling berbagi pendapat dan pemahaman, hingga akhirnya kajian pagi itu selesai. Meskipun tugas kajian itu selesai, perasaan kami tetap tertinggal di udara, seakan-akan ada sesuatu yang tumbuh di antara kami.
Setelah kajian, kami berdua berjalan bersama menuju ruang makan. Langkah kami ringan, penuh dengan tawa ringan dan pembicaraan santai. Aku merasa senang bisa berbicara dengan Zayd, merasa nyaman dalam kebersamaan yang sederhana ini.
“Zahra,” Zayd berkata dengan suara lembut, “aku ingin kita terus belajar bersama. Aku merasa, dengan kamu, aku bisa lebih memahami banyak hal.”
Aku tersenyum, hati ini terasa begitu hangat. “Aku juga merasa begitu, Zayd. Aku senang bisa berbagi ilmu denganmu.”
Kami berdua melangkah lebih jauh, semakin dekat, dan aku mulai merasakan sesuatu yang lebih. Sesuatu yang lebih dari sekadar pertemuan antara dua insan. Ini adalah ikatan yang tumbuh dalam doa dan harapan, sebuah perjalanan yang penuh dengan keikhlasan dan saling mendukung. Di tengah-tengah kebersamaan ini, aku tahu bahwa Allah sedang merancang jalan-Nya dengan cara yang sangat indah.
Setelah makan, Zayd mengajakku untuk berdoa bersama. Aku setuju, tanpa ragu. Kami duduk di atas sajadah, saling berhadapan, dan mulai mengangkat doa. Aku merasa, setiap kali berdoa bersama Zayd, ada kedamaian yang tak terungkapkan. Doa kami selalu sederhana, namun penuh dengan harapan yang tulus.
“Ya Allah, semoga kami diberikan petunjuk dalam setiap langkah, dan dijauhkan dari godaan yang menyesatkan,” Zayd berdoa dengan suara yang lembut. “Semoga hati kami selalu dijaga dalam kebaikan, dan kami bisa terus tumbuh dalam ilmu dan amal.”
Aku mengaminkan doa itu dengan khusyuk, merasa setiap kata yang terucap membawa kedamaian dalam hatiku. Aku tahu, ini adalah perjalanan yang baru dimulai. Sebuah perjalanan bersama Zayd, yang penuh dengan doa, cinta, dan harapan.
Di balik setiap doa, aku merasa ada sesuatu yang indah sedang terbentuk, sesuatu yang mungkin tak pernah aku duga sebelumnya. Cinta ini, yang tumbuh dalam diam, dalam doa, dan dalam harapan, adalah anugerah yang begitu berharga. Aku tahu, ini bukan sekadar cerita biasa. Ini adalah kisah yang Allah tulis dengan cara-Nya yang paling indah.
Jalan yang Diridhoi
Hari-hari di pesantren terus bergulir, membawa banyak pelajaran tak hanya untuk akal, tetapi juga hati. Kebersamaan dengan Zayd menjadi salah satu hal yang selalu aku syukuri. Di setiap perbincangan, kajian, dan doa yang kami jalani, aku merasa bahwa cinta ini bukan hanya sekadar rasa suka, tetapi juga tanggung jawab yang harus dirawat dengan ketulusan dan niat yang lurus.
Namun, ada sesuatu yang berbeda pagi itu. Setelah kajian dhuha, Zayd menghampiriku di taman pesantren. Ia tampak lebih serius dari biasanya, meskipun senyumnya tetap lembut seperti biasa.
“Zahra, boleh aku bicara sebentar?” tanyanya dengan nada pelan.
Aku mengangguk, merasa sedikit gugup namun berusaha tetap tenang. “Tentu, ada apa, Zayd?”
Ia menarik napas dalam-dalam, seolah sedang mencari kata-kata yang tepat. “Zahra, aku ingin kamu tahu sesuatu… sesuatu yang mungkin penting untuk kita berdua.”
Aku menatapnya dengan penuh perhatian, menunggu apa yang akan ia katakan. Hati ini terasa berdebar, seolah tahu bahwa apa yang akan diucapkannya akan mengubah banyak hal.
“Aku tahu… hubungan kita selama ini terasa spesial,” ia memulai, suaranya sedikit gemetar. “Tapi aku ingin memastikan bahwa apa yang aku rasakan, dan mungkin kamu juga rasakan, tetap berada di jalan yang diridhoi Allah.”
Aku mengangguk perlahan, meskipun kata-katanya membuat hatiku bergetar. “Aku juga ingin begitu, Zayd. Aku ingin apa pun yang kita jalani ini tidak hanya baik untuk kita, tapi juga sesuai dengan apa yang Allah kehendaki.”
Zayd tersenyum, kali ini lebih lega. “Aku sudah berbicara dengan ustaz tadi malam. Aku menceritakan tentang perasaanku, tentang kita. Aku ingin memastikan bahwa apa yang kita rasakan ini tidak melampaui batas, bahwa kita tetap menjaganya dalam kebaikan.”
Aku terkejut mendengar pengakuannya. Zayd berbicara dengan ustaz? Itu adalah langkah yang besar, dan aku tahu betapa seriusnya dia menjalani semua ini.
“Apa yang ustaz katakan?” tanyaku, mencoba menahan rasa gugup.
“Ustaz bilang,” jawab Zayd, “jika perasaan ini memang tulus, maka sebaiknya kita membawanya ke dalam doa, menyerahkannya pada Allah. Dan jika kelak kita benar-benar yakin bahwa ini adalah jalan-Nya, kita bisa melangkah lebih jauh, dengan niat yang suci.”
Aku terdiam, meresapi setiap kata yang Zayd ucapkan. Ada ketenangan yang anehnya memenuhi hatiku, meskipun situasinya terasa begitu serius.
“Zayd,” kataku akhirnya, “aku berterima kasih karena kamu sudah berusaha menjaga semuanya tetap dalam kebaikan. Aku juga ingin kita tetap seperti ini, saling mendukung, saling menguatkan, tanpa melampaui batas.”
Zayd tersenyum kecil, dan aku bisa melihat kelegaan di matanya. “Terima kasih, Zahra. Aku tahu ini mungkin tidak mudah, tapi aku percaya, jika ini jalan yang diridhoi Allah, kita akan sampai pada tujuan kita.”
Percakapan itu menjadi awal dari perubahan besar dalam hubungan kami. Kami semakin berhati-hati dalam setiap interaksi, memastikan bahwa semua yang kami lakukan tidak melampaui batas yang seharusnya. Namun, itu tidak membuat kebersamaan kami menjadi kaku atau canggung. Justru, hubungan kami terasa semakin bermakna, karena kami tahu bahwa setiap langkah yang kami ambil adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Waktu berlalu, dan hari terakhir sebelum libur pesantren pun tiba. Ada kebiasaan di pesantren kami, di mana seluruh santri berkumpul untuk berbagi cerita dan harapan. Aku duduk di barisan perempuan, mendengarkan satu per satu santri berbicara. Ketika tiba giliranku, aku berdiri, merasa sedikit gugup tetapi berusaha untuk tetap tenang.
“Aku ingin berterima kasih kepada semua orang di sini,” kataku dengan suara lembut. “Terutama untuk teman-temanku, ustaz dan ustazah, yang selalu membimbing kami dengan penuh kesabaran. Di sini, aku belajar banyak hal, termasuk bagaimana mencintai dengan cara yang benar—cinta kepada Allah, cinta kepada sesama, dan cinta kepada ilmu.”
Aku duduk kembali setelah selesai, merasa lega bisa mengungkapkan isi hatiku. Di sisi lain, aku melihat Zayd berdiri, mengambil gilirannya untuk berbicara.
“Di pesantren ini, aku belajar bahwa cinta bukan hanya tentang perasaan,” katanya dengan suara tenang. “Tapi juga tentang bagaimana kita menjaga orang yang kita sayangi tetap berada di jalan yang benar. Terima kasih kepada semua yang telah menjadi bagian dari perjalanan ini. Semoga Allah selalu meridhoi langkah kita.”
Aku merasa mataku sedikit berkaca-kaca mendengar kata-katanya. Ada banyak hal yang ingin aku katakan, tetapi aku tahu, semuanya sudah tersampaikan dalam doa-doa kami.
Ketika libur tiba, Zayd dan aku kembali ke rumah masing-masing. Kami berjanji untuk tetap saling mendoakan, tetap saling mendukung meskipun jarak memisahkan. Aku tahu, perjalanan ini masih panjang, tetapi aku percaya, jika Allah meridhoi, kami akan bertemu lagi, dalam keadaan yang lebih baik, lebih siap, dan lebih diberkahi.
Cinta di pesantren ini telah mengajarkan aku banyak hal—tentang kesabaran, tentang keikhlasan, dan tentang bagaimana menyerahkan segalanya kepada Allah. Dan meskipun cerita ini belum berakhir, aku tahu bahwa akhirnya akan indah, karena semua ini berada di bawah kuasa-Nya.
Dan begitulah, cinta di pesantren bukan sekadar kisah antara dua hati, tapi juga perjalanan untuk mencari ridho-Nya. Di setiap langkah, di setiap doa, cinta ini tumbuh dengan cara yang berbeda.
Terkadang, kita harus menunggu dengan sabar, menjaga niat dengan ikhlas, dan menyerahkan semuanya pada Allah. Karena pada akhirnya, cinta yang dilandasi kebaikan dan doa akan selalu menemukan jalannya, meskipun lewat cara yang tak terduga.