Daftar Isi
Hai, siapa bilang cinta itu cuma ada di drama-drama sinetron? Di pesantren yang penuh aturan ini, Daanish dan Naura buktikan kalau cinta bisa tumbuh meski di tengah kitab dan kesunyian. Siap-siap terhibur dengan kisah lucu dan gemesin mereka yang tak terduga! Yuk, langsung aja simak perjalanan cinta diam-diam yang bikin baper ini!
Cinta Islami di Pesantren
Kitab yang Terjatuh di Koridor Asrama
Suara pengajian sore menggema di pesantren Al-Mahabbah. Anak-anak asrama baru saja selesai mengulang hafalan mereka di masjid, satu demi satu bersalaman dengan ustaz dan mengucapkan salam. Di lorong utama menuju asrama putra, Daanish menunduk sambil merapikan kitab yang ia pegang, menekan erat di dada seperti kebiasaan setiap kali ia pulang dari masjid. Jalanan cukup lengang, hanya terdengar langkah para santri yang sesekali berbisik-bisik, terburu-buru menuju kamar masing-masing.
Ketika ia hampir sampai di ujung lorong, tiba-tiba saja seseorang berbelok dengan cepat dari arah yang berlawanan, dan tanpa sempat menghindar, tubuh mereka hampir bertabrakan. Daanish kaget, refleks mundur setengah langkah sambil mengencangkan genggaman di kitabnya. Tapi terlambat—kitab itu terlepas dari tangannya dan jatuh di lantai, persis di depan gadis itu.
Naura, si gadis yang hampir menabraknya, juga tertegun beberapa detik. Dia menatap kitab yang tergeletak di lantai dengan mata membulat, lalu cepat-cepat berjongkok untuk memungutnya, jemarinya sedikit gemetar, mungkin gugup. Dengan pelan, dia menyerahkan kitab itu kembali kepada Daanish, yang menerima dengan kikuk.
“Maaf, tadi aku… nggak lihat,” ujar Naura pelan, menyembunyikan senyum di balik cadarnya. Dia nyaris tak berani menatap langsung pada Daanish. Sementara itu, Daanish hanya bisa mengangguk, berusaha menahan rona merah yang entah kenapa muncul begitu saja di wajahnya.
“Ah… nggak apa-apa. Makasih ya,” jawabnya, mencoba terdengar santai, tapi suaranya agak bergetar. Dia menunduk, merasa aneh dengan dirinya sendiri. Sejak kapan ketemu orang di lorong bikin grogi begini?
Naura tersenyum, samar, kemudian berbalik dan cepat-cepat pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Sementara itu, Daanish menatap punggungnya yang menjauh di lorong, merasa aneh karena dadanya berdebar lebih cepat dari biasanya. “Baru kali ini aku ketemu santriwati yang… begini,” gumamnya, meski tak tahu pasti apa maksud kata “begini” yang ia ucapkan.
Sore berikutnya, Daanish kembali ke masjid untuk mengulang hafalan, tetapi sesekali pikirannya melayang, teringat sosok Naura di lorong. Entah kenapa bayangan wajahnya terlintas ketika ia mencoba menghafal ayat demi ayat, membuatnya beberapa kali harus mengulang ayat yang sama. Dalam hati, ia merasa geli sekaligus heran.
“Ya Allah, fokus, Daanish,” ujarnya pada diri sendiri, meskipun percuma saja karena setiap kali hendak melanjutkan hafalan, pikiran itu kembali datang. Bagaimanapun, hari itu, ia gagal total menghafal dengan sempurna. Alih-alih hafalan lancar, dia malah sibuk mengingat kejadian kemarin.
Beberapa hari berlalu, dan mereka kembali berpapasan di lorong. Kali ini Naura tengah membawa tumpukan kitab tipis, berjalan pelan dengan kepala sedikit tertunduk. Saat melihat Daanish dari kejauhan, langkahnya berhenti, seperti ragu untuk terus maju. Tak ada pilihan lain, karena lorong itu satu-satunya jalan ke asrama. Dengan perlahan, ia melanjutkan langkahnya, dan kali ini ia mencoba tersenyum, meski tertutup cadar.
“Hei… Naura, ya?” tanya Daanish, memberanikan diri, sembari mengangguk singkat.
Naura mengangguk pelan, tak menyangka Daanish ingat namanya.
“Kamu mau ke mana?” tanyanya spontan, tanpa berpikir dua kali. Kemudian dia menyesalinya—mungkin terdengar terlalu ingin tahu, padahal belum tentu Naura nyaman berbincang.
“Oh, aku… eh… mau ke ruang kajian, mau kasih kitab hafalan buat ustazah,” jawab Naura, sedikit gugup.
“Oh, gitu…” Daanish mengangguk, serba salah, dan bingung mau bilang apa lagi. Tapi Naura tiba-tiba berkata, “Kamu juga, Daanish, kan? Dari asrama putra?”
Daanish agak terkejut namanya dikenal. “Eh, iya. Kamu tahu namaku?”
Naura mengangguk lagi, kali ini lebih tenang, dan menjawab singkat, “Iya, kamu sering jadi imam salat jamaah kan, tiap Subuh.”
Mendengar itu, Daanish tersenyum kecil, merasa agak tersanjung. “Oh, ternyata kamu perhatiin, ya?”
Naura menunduk sedikit, terdiam, lalu tertawa pelan. “Hehe, bukan perhatiin… eh, maksudnya, kan kita semua sering ikut jamaah…”
Keduanya terdiam beberapa detik, merasakan keheningan yang tidak canggung, tapi justru menenangkan. Mereka saling menatap sebentar, kemudian Naura menunduk lagi, mencoba menahan tawa kecilnya.
“Baiklah, aku ke ruang kajian dulu ya,” pamit Naura akhirnya. Daanish hanya mengangguk dan menatapnya berjalan pergi.
Sepulang dari masjid malam itu, teman sekamarnya, Abbad, yang terkenal usil, menyenggol bahunya dengan senyum penuh arti.
“Daanish, serius kamu diem-dieman mulu sama si Naura itu?” tanya Abbad langsung, menebak sesuatu yang sudah lama ia curigai. “Kalau iya, ya tinggal sampaikan aja ke langit, biar doa kamu sampai dengan mantap!”
Daanish mengerutkan dahi, berpura-pura tak mengerti. “Apaan sih? Kamu suka sotoy, Bad.”
Abbad cengengesan. “Yaelah, Daanish, biar aman. Cuma lewat doa, siapa tahu dikabulin cepat. Biar ada yang ngedengerin tanpa harus ketahuan, paham kan?”
Daanish hanya menghela napas, tapi senyum kecil muncul di wajahnya. Ada benarnya juga, pikirnya.
Bisikan Hafalan di Balik Tembok
Pagi hari di pesantren, suasana sudah mulai ramai oleh langkah santri yang hendak pergi mengaji. Matahari baru saja muncul, dan embun tipis masih menempel di daun-daun taman asrama. Daanish duduk di beranda masjid, bersandar di pilar sambil menghafal ayat-ayatnya. Pikirannya masih melayang pada pertemuan kecilnya dengan Naura kemarin, membuat hafalannya terasa lebih sulit dari biasanya. Entah bagaimana, setiap kali ia mengulang-ulang ayat, bayangan cadar dan suara lembut Naura terus saja muncul.
Baru saja ia hendak melanjutkan bacaan, terdengar bisikan lirih dari balik tembok masjid. “Surat An-Nur, ayat 35, bunyinya… Allahu nuru as-samawati wa al-ardh…”
Daanish menajamkan pendengarannya. Itu suara Naura. Dia yakin sekali, karena suara itu tak asing baginya. Suara yang kemarin membuat hatinya sempat berdebar. Tanpa sengaja, dia tersenyum kecil, merasa bahwa pagi itu jadi lebih istimewa.
Perlahan, Daanish berdiri dan berjalan mendekat ke tembok. Jarak mereka hanya dibatasi dinding masjid, tapi suara Naura yang lirih dan pelan tetap terdengar.
“Allahu nuru as-samawati wa al-ardh. Mathalu nurihi ka mishkatin fiha misbah…” ulang Naura, berusaha keras untuk melafalkan dengan benar, meskipun terdengar agak ragu. Daanish terdiam mendengarkan, mencoba menahan tawa karena ternyata gadis itu sedang bergumam dan mengulang hafalan dengan nada pelan, seolah takut suaranya terdengar orang lain. Dia tampaknya sedang berjuang untuk menghafal ayat yang sama. Dalam hati, Daanish berbisik, “Ternyata kita sama-sama kesulitan di ayat yang sama.”
Dengan niat ingin membantu, Daanish berdehem pelan, memberi isyarat tanpa mengeluarkan suara terlalu keras. Naura terkejut, lalu terdiam sejenak di balik tembok, tampaknya tak menyangka ada orang di dekat situ.
“Kalau… misbah-nya masih salah, kamu bisa ulangin dari awal ayat. Fokus aja ke makhraj,” ucap Daanish lembut, mencoba memberi masukan tanpa terlihat terlalu menggurui.
Naura terdiam di balik tembok, lalu berdeham pelan, mungkin untuk menghilangkan rasa gugupnya. “Makasih, aku bakal coba ulang.” Ada jeda, lalu suaranya terdengar lagi, lebih mantap dan yakin kali ini, “Mathalu nurihi ka mishkatin fiha misbah. Al-misbahu fi zujajah…”
Daanish mengangguk sambil mendengarkan, merasa sedikit bangga karena Naura berhasil melafalkan ayat itu dengan benar. Setelah menyelesaikan ayatnya, Naura terdiam sejenak, mungkin berpikir bahwa Daanish sudah pergi.
Sebelum Daanish sempat bergerak pergi, suara Naura kembali terdengar, kali ini lebih lirih, seakan hanya untuk dirinya sendiri. “Ya Allah, kalau aku bisa lancar hafalan ini, semoga Engkau ridho padaku… dan padanya…”
Mendengar itu, Daanish tersentak, dan langsung merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Padanya? Maksudnya siapa? Ah, mungkin dia salah dengar. Tapi bisikan lembut itu terngiang di telinganya, membuatnya tak bisa berpaling. Dengan hati-hati, dia menjauh dari tembok, mencoba mengabaikan debar yang tiba-tiba muncul.
Beberapa hari kemudian, pada malam yang sepi, Daanish kembali duduk di beranda masjid, melanjutkan hafalan sebelum tidur. Sementara itu, Naura ternyata juga sedang duduk tak jauh dari situ, tapi kali ini di taman belakang, tampaknya juga tengah mempersiapkan hafalan.
“Assalamu’alaikum…” sapa Daanish pelan, ketika mendengar Naura tengah menghafal ayat yang sama lagi. Meski kali ini mereka tak berada di balik tembok yang sama, Daanish mencoba menyapa.
Naura sedikit kaget, tapi membalas dengan suara yang sama pelannya, “Wa’alaikumsalam… Kamu lagi hafalan juga?”
Daanish tersenyum, merasa senang bisa berinteraksi tanpa harus merasa canggung. “Iya, baru mulai lagi. Surat An-Nur ayat 35 lagi?”
Naura tertawa kecil, meski canggung. “Iya, aku susah banget hafalin bagian itu.”
Daanish mengangguk, seolah memahami perjuangan Naura yang terkesan tulus. “Gini, kalau kamu coba hafal sambil bayangin artinya, mungkin bakal lebih mudah nempelnya,” sarannya.
Naura terdiam sesaat, mungkin sedang mempertimbangkan kata-kata Daanish. “Bayangin artinya, ya?” ulang Naura pelan, kemudian berdeham. “Misalnya ‘Allah cahaya langit dan bumi,’ gitu?”
Daanish tersenyum. “Iya, kira-kira begitu. Sambil kamu hafal, coba bayangin maknanya. Biar terasa lebih dalam.”
Naura mengangguk sambil mengulang hafalan, tampak mulai lancar mengucapkannya. Daanish merasa lega, entah kenapa interaksi kecil ini membuat hatinya senang. Tanpa disadari, Naura pun merasa nyaman setiap kali Daanish memberi petunjuk sederhana. Ada perasaan yang menghangat, seperti kehadiran seseorang yang membuat hafalannya terasa lebih mudah dan berarti.
Suasana semakin tenang ketika waktu hampir larut, tetapi Daanish dan Naura masih berada di area masjid dan taman, masing-masing tenggelam dalam hafalan dan pikiran sendiri. Di suatu titik, Daanish tersenyum sendiri, tak bisa menyembunyikan perasaan aneh yang muncul setiap kali melihat Naura. Sementara itu, Naura juga tak bisa memungkiri bahwa ada sesuatu yang istimewa dalam diri Daanish—ketenangan dan ketulusan yang terpancar, membuatnya merasa nyaman meski hanya berbicara tentang hafalan ayat-ayat suci.
Malam itu, ketika mereka berdua akhirnya kembali ke kamar masing-masing, tak satu pun dari mereka tahu bahwa hati kecil mereka mulai dihiasi rasa yang berbeda.
Doa yang Tak Sengaja Terucap
Hari-hari di pesantren berlalu, namun kehadiran Naura perlahan menambah warna dalam hidup Daanish. Setiap kali mereka bertemu atau sekadar bersisian dalam perjalanan ke masjid, ada keheningan yang menyelipkan debar tak terucap. Bagi Daanish, keberadaan Naura seperti menghadirkan kenyamanan yang tak biasa. Kadang hanya duduk bersisian sambil menghafal ayat, kadang saling bertukar saran dengan singkat—semua seolah cukup.
Pagi itu, Daanish sedang bersandar di pohon besar dekat lapangan, sambil menikmati waktu jeda sebelum waktu mengaji. Di tangannya, sebuah kitab tafsir kecil yang kerap ia baca dalam keheningan. Tapi, pandangannya tak bisa terfokus; pikirannya mengembara jauh, bertanya-tanya tentang Naura.
Daanish tersentak ketika mendengar suara Naura mendekat, meski langkahnya tetap lembut dan hati-hati seperti biasa. “Daanish… lagi baca apa?” tanyanya, sambil mengintip kitab kecil di tangan Daanish.
“Oh, ini tafsir Al-Mulk,” jawab Daanish cepat-cepat, agak salah tingkah ketahuan melamun. Ia terbatuk pelan, menormalkan dirinya. “Kamu kenapa pagi-pagi ke sini? Nggak biasa, kan?”
Naura tersenyum kecil, mengusap ujung jilbabnya dengan gugup. “Mau cari udara segar sebelum ngaji. Lagi… kepikiran hafalan, sih. Kamu tau kan, kalau aku kesulitan di hafalan ayat terakhir Surat An-Nur?”
Daanish mengangguk. Ia ingat betul betapa Naura selalu kesulitan di bagian itu, bahkan sampai mengulang berkali-kali. “Ayat terakhir itu memang berat. Aku juga dulu sering lupa,” jawab Daanish, sambil menahan senyum.
Naura menatap Daanish sejenak, lalu pelan-pelan mengangkat tangan, menunjuk ke arah kitab kecil di tangan Daanish. “Kamu punya tafsir Al-Mulk juga? Bisa pinjem?”
Daanish menatap Naura dengan senyum ringan. “Boleh. Tapi ada syaratnya.”
Naura mengernyit, lalu tertawa pelan. “Oh ya? Syarat apa?”
“Syaratnya… kalau kamu berhasil hafal satu ayat hari ini, aku akan kasih tafsir ini buat kamu belajar. Aku akan tes juga nanti,” sahut Daanish sambil mengangguk mantap, seperti guru yang memberi tantangan ke muridnya.
Naura tersenyum lebar, seolah tak gentar. “Oke, deal!”
Siang harinya, setelah mengaji, Naura kembali menghampiri Daanish di tempat biasa mereka bertemu, di bawah pohon dekat lapangan. Nafasnya terdengar cepat, mungkin habis berlari kecil.
“Daanish!” serunya, sambil menarik napas dalam-dalam. “Aku berhasil hafal ayat yang kamu bilang itu.”
Daanish menatap Naura dengan senyum kagum. “Serius? Boleh dites?”
Naura mengangguk yakin. “Silakan, Ustadz,” candanya sambil tertawa kecil, membuat Daanish ikut tersenyum.
Daanish mengangguk, mulai menyimak saat Naura melafalkan ayat hafalannya dengan suara yang pelan, namun lancar. Tak ada keraguan di sana; dia mengucapkannya dengan tenang, seolah hafalannya sudah melekat kuat. Daanish terdiam sejenak, merasa bangga sekaligus tersentuh.
“Bagus,” sahutnya lirih. “Aku yakin kamu bakal lancar sampai ujian nanti.”
Naura tersenyum lebar, matanya berbinar. “Alhamdulillah, akhirnya bisa. Makasih ya, kamu udah sabar banget bantuin aku,” katanya sambil tersenyum tulus.
Daanish mengangguk, mencoba menenangkan dirinya yang tiba-tiba berdebar saat mendengar kata-kata Naura. Diam-diam, ia berdoa dalam hati agar perasaannya tak berlebihan. Tapi, ketika menatap Naura yang tengah tersenyum puas, ia tak bisa menahan lagi keinginan kecilnya. Dalam hati, ia berbisik lirih, berharap tak ada yang mendengar, “Ya Allah, kalau memang ini adalah awal dari perasaan yang Engkau ridhoi, bimbing aku untuk tetap menjaga hati.”
Tak sengaja, Naura mendengar bisikan itu. Ia sedikit terkejut, namun tak ingin menunjukkannya. Pipinya memerah, dan ia hanya diam, tak tahu harus membalas bagaimana.
Daanish sadar bahwa Naura mungkin mendengar doanya. Raut wajahnya berubah, gugup dan canggung, tak tahu harus berkata apa. Namun, Naura dengan tenang mengangguk, menyambut doa itu dengan senyum tipis yang lembut.
“Kalau memang seperti itu,” ucap Naura pelan sambil menunduk, “aku juga berdoa semoga hati ini tetap terjaga dengan baik, ya, Daanish.”
Kata-kata itu, meski sederhana, menggema di hati Daanish, menguatkan perasaannya yang selama ini hanya terpendam. Tak banyak yang bisa mereka katakan lagi, tapi keduanya tahu, di balik setiap ayat hafalan dan doa, ada cinta yang diam-diam tumbuh—cinta yang mereka titipkan dalam doa, berharap Allah ridho pada setiap rasa yang ada.
Cinta dalam Doa
Malam semakin larut, rembulan bersinar terang di langit pesantren. Daanish duduk di teras masjid, memandangi pemandangan malam yang tenang. Suara gemericik air dari kolam di sampingnya menambah keheningan malam. Pikiran Daanish kembali melayang kepada Naura, pada momen-momen kecil yang telah mereka lalui bersama—senyumnya, tawanya, dan segala ketulusan dalam setiap doa yang terucap.
Hari itu, setelah berhari-hari berusaha, Naura berhasil melewati ujian hafalan dengan baik. Keduanya merasa lega dan bahagia, seolah beban berat telah terangkat. Naura bahkan mendapatkan pujian dari ustazah atas usahanya. Daanish tak pernah meragukan semangatnya.
Ketika matahari tenggelam di ufuk, Naura datang menghampiri Daanish. Dia mengenakan jilbab biru yang dipadu dengan gamis putih. “Hai, Daanish!” serunya dengan senyum cerah. “Lagi ngapain?”
“Cuma merenung dan menikmati malam. Kamu tahu kan, malam yang tenang ini enak untuk berpikir?” jawab Daanish, berusaha menjaga nada suaranya agar tetap santai meski hatinya berdebar.
Naura duduk di sebelahnya, menyilangkan kaki dengan lincah. “Kalau begitu, aku juga mau ikut merenung,” jawabnya sambil menyandarkan punggung ke dinding masjid.
Daanish merasa ada kehangatan di antara mereka. “Malam ini sangat spesial, kan? Mungkin karena kamu berhasil hafal ayat itu. Atau mungkin… karena bulan purnama?”
“Ya, bener!” Naura menjawab dengan semangat. “Aku jadi ingat waktu kita berdoa bareng. Doa itu penting banget, ya? Jadi, kalau kita berdoa dengan ikhlas, pasti Allah dengar.”
Daanish mengangguk, meresapi setiap kata Naura. “Doa itu bukan cuma kata-kata, Naura. Itu adalah harapan yang kita titipkan kepada-Nya. Semakin tulus kita, semakin besar harapan itu,” ujarnya, berusaha menjelaskan sambil menatap ke arah bulan.
“Mungkin kita harus bikin doa khusus,” Naura melanjutkan, “Doa agar kita bisa terus belajar bersama, saling dukung… dan saling menjaga hati.”
Daanish tersenyum, merasakan ada yang berbeda dalam suara Naura. Seolah dia juga merasakan apa yang Daanish rasakan. “Setuju. Doa kita harus selalu saling melindungi, ya.”
“Ayo, kita buat doa itu sekarang!” Naura berkata dengan penuh semangat. “Tapi kita harus berjanji, ya, setiap kali kita berdoa, kita harus bersungguh-sungguh.”
“Deal,” sahut Daanish. Mereka berdua lalu duduk bersisian, saling menatap dengan penuh arti. Keduanya mengangkat tangan, menutup mata, dan mulai berdoa dalam hati. Doa yang tulus, harapan yang tak terucap, namun bergetar dalam jiwa mereka.
Di tengah keheningan malam, mereka merasakan satu sama lain—kedua hati yang bergetar dalam irama yang sama. Naura berdoa agar Allah menjaga hatinya dan hati Daanish, sedangkan Daanish berdoa agar perasaan yang tumbuh dalam dirinya ini adalah jalan yang diridhai-Nya.
“Daanish,” Naura membuka mata dan menatapnya penuh rasa ingin tahu, “kamu percaya nggak, kalau kita bisa saling mendukung dan menjaga hati?”
Daanish menatap Naura, merasakan ada kehangatan yang menyentuh. “Percaya. Kita bisa, insya Allah. Asal kita ingat untuk selalu berdoa dan berusaha.”
Senyum Naura merekah. “Iya, aku merasa itu juga. Terima kasih sudah jadi teman belajar yang baik.”
Daanish merasa hatinya berdebar. “Naura, aku… ingin bilang sesuatu.”
Naura memandangnya dengan penuh perhatian, menunggu kata-kata itu keluar. “Apa itu?”
Daanish menelan ludah, berusaha mengumpulkan keberanian. “Aku… aku suka sama kamu, Naura. Sejak awal kita bertemu. Dan aku berharap kita bisa terus seperti ini—saling mendukung dalam belajar, dan mungkin lebih dari itu.”
Naura terdiam sejenak, dan Daanish merasakan jantungnya berdegup kencang. Tapi senyum di wajah Naura seolah menjawab semua keraguannya. “Daanish, aku juga merasakannya. Namun kita harus ingat, apapun yang terjadi, kita harus tetap menjaga hati.”
Daanish tersenyum lega, merasakan beban yang selama ini dipendam akhirnya terungkap. “Iya, kita akan menjaga hati dan belajar bersama. Semoga Allah memberi kita jalan terbaik.”
Malam itu, mereka menghabiskan waktu bersama, berbagi mimpi dan harapan di bawah sinar rembulan. Doa yang tulus terucap dalam hati, menguatkan ikatan mereka yang sederhana namun penuh arti. Cinta yang terjalin di antara doa-doa, menjadi cahaya dalam perjalanan mereka, di pesantren yang tidak hanya mendidik jiwa, tetapi juga menyatukan dua hati dalam satu harapan.
Satu harapan yang dipelihara dalam setiap doa, menyentuh Tuhan yang Maha Mendengar.
Dan begitulah, di tengah suara gemericik air dan desahan doa, Daanish dan Naura menemukan makna cinta yang lebih dari sekadar kata-kata. Mereka belajar bahwa cinta bukan hanya tentang perasaan, tapi juga tentang saling mendukung, berdoa, dan menjaga hati.
Siapa sangka, di pesantren yang tampaknya kaku, ada kisah manis yang penuh tawa dan harapan. Semoga cinta mereka selalu terjaga, seperti rembulan yang selalu bersinar di malam gelap. Sampai jumpa di cerita selanjutnya, ya!