Cinta Islami: Bidadari di Sepertiga Malam yang Mengubah Hidupku

Posted on

Pernah nggak sih, kamu ngerasa ada seseorang yang bikin malam-malam kamu terasa lebih istimewa? Nah, cerita ini tentang Zaidan dan Nashira, dua orang yang menemukan cinta di sepertiga malam yang penuh berkah. Dari pertemuan biasa di masjid, sampai momen-momen manis yang bikin baper. Yuk, ikuti perjalanan mereka menemukan cinta yang mengubah hidup!

 

Cinta Islami

Cinta dalam Senyap

Malam itu, bulan bersinar cerah di atas langit, menerangi jalanan yang sepi di sekitar masjid. Suara cengkerik mengisi keheningan malam, sementara angin lembut berbisik membawa aroma bunga dari taman dekat masjid. Di dalam, Zaidan duduk bersila di sudut ruangan yang tenang. Ia tenggelam dalam pikirannya, melafalkan doa-doa yang sering kali terbersit dalam hatinya.

Hari-hari ini, hatinya dipenuhi oleh keinginan untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Ia merasakan kekosongan yang sulit dijelaskan, seakan ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya. Dalam momen-momen hening ini, ia berharap agar Allah memberikan petunjuk. Siapa yang bisa mengisi kekosongan itu? Di dalam benaknya, satu nama mulai muncul: Nashira.

Nashira adalah gadis yang belakangan ini sering terlihat di masjid. Ia memiliki aura yang berbeda, membuat Zaidan selalu merasa terpesona saat melihatnya. Keceriaan dan semangatnya dalam menuntut ilmu membuat Zaidan tidak bisa berpaling. Setiap kali Nashira berbicara kepada anak-anak yang datang ke masjid, Zaidan merasakan getaran yang membuat jantungnya berdegup kencang.

Ketika Zaidan mengangkat kepalanya dari doa, matanya terfokus pada pintu masjid yang terbuka. Nashira muncul dengan langkah ringan, menyapa para jamaah dengan senyumnya yang menawan. Jilbab putihnya melambai lembut di udara, seolah menjadikannya sosok yang datang dari surga. Zaidan berusaha menahan tatapannya agar tidak terlihat terlalu menyala, tetapi hatinya seakan berlari kencang.

“Hai, Zaidan,” sapanya lembut sambil melangkah mendekat.

“Hai, Nashira,” jawab Zaidan, berusaha terdengar santai meski hatinya berdebar. “Kamu datang untuk belajar lagi?”

“Iya, aku mau mengajari anak-anak di sini. Mereka butuh bimbingan, kan?” Nashira tersenyum, senyumnya membuat Zaidan lupa sejenak akan segala keraguan dalam dirinya.

“Bagus sekali. Anak-anak pasti senang kalau ada kamu,” sahut Zaidan, berusaha menambahkan sedikit obrolan.

Nashira melangkah ke arah papan tulis yang sudah disiapkan di sudut masjid. Dengan sabar, ia mulai menjelaskan pelajaran. Zaidan duduk mendengarkan, meskipun pikirannya sering kali melayang pada sosoknya. Ia terpikat oleh cara Nashira mengajar, penuh perhatian dan penuh kasih. Ada kehangatan dalam suaranya yang membuat semua orang terpesona.

Setelah sesi belajar usai, anak-anak pulang dengan senyuman ceria. Nashira mengemas barang-barangnya dengan rapi. Zaidan melihat ke arah jendela, memperhatikan bulan yang kini mulai tinggi di langit. “Nashira,” Zaidan memanggil, berusaha mengumpulkan keberanian. “Kamu suka mengajar ya?”

“Ya, aku sangat menyukainya. Rasanya seperti memberi sedikit cahaya dalam hidup mereka,” jawab Nashira sambil tersenyum. “Bagaimana denganmu? Apa yang kamu lakukan di sini setiap malam?”

Zaidan terdiam sejenak, tidak ingin mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya. “Aku sering datang untuk berdoa dan merenung. Kadang aku merasa ada hal yang lebih besar dari kehidupan ini,” ungkapnya, sedikit ragu.

“Merenung itu baik. Kadang kita butuh waktu untuk mendengar suara hati kita,” kata Nashira dengan bijak. “Apa kamu merasa ada yang hilang?”

Zaidan menatapnya, terkejut dengan pertanyaan langsung dari Nashira. “Mungkin,” jawabnya jujur. “Aku merasa ada kekosongan yang tidak bisa dijelaskan. Seperti ada sesuatu yang kurang, gitu.”

Nashira mengangguk, seolah memahami apa yang Zaidan rasakan. “Mungkin kamu perlu menemukan tujuanmu. Setiap orang punya jalan yang harus dilalui, kan?”

Zaidan merasa senang bisa berbicara seperti ini dengan Nashira. “Kamu benar. Kadang aku berpikir, mungkin tujuan itu akan datang seiring berjalannya waktu,” ujarnya, berusaha menunjukkan ketenangan meski hatinya bergetar.

Malam semakin larut, dan Zaidan merasa waktu begitu cepat berlalu. “Aku harus pulang sekarang,” kata Nashira, mengumpulkan barang-barangnya. “Semoga kita bisa belajar bersama lagi di lain waktu.”

“Ya, aku juga berharap begitu,” jawab Zaidan, dengan sedikit kecewa karena harus berpisah. “Jaga dirimu, Nashira.”

Setelah Nashira pergi, Zaidan masih duduk di sana, merenungkan pembicaraan mereka. Perasaannya semakin kuat, dan ia menyadari bahwa Nashira bukan hanya bidadari yang menjelma di depan matanya, tetapi juga seseorang yang mampu mengerti isi hatinya.

Dengan satu harapan di hati, Zaidan melangkah keluar dari masjid, menatap bulan purnama yang bersinar cerah. Malam itu, ia berdoa lebih dalam, berharap agar Allah memberinya petunjuk dan mengarahkan hatinya ke jalan yang benar.

Zaidan tahu, perjalanan ini baru saja dimulai, dan ia sangat berharap bisa melihat Nashira lagi, berbagi mimpi dan harapan yang sama dalam sepertiga malam yang penuh berkah.

 

Doa di Sepertiga Malam

Malam-malam berikutnya berlalu, dan Zaidan menemukan dirinya semakin sering mengunjungi masjid. Ia tak hanya berdoa untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk Nashira. Momen-momen ketika mereka belajar bersama dan saling berbagi cerita terus berputar dalam ingatannya. Ia merindukan senyum manisnya dan harapan-harapan yang terucap di antara mereka.

Suatu malam, Zaidan tiba di masjid lebih awal dari biasanya. Ia duduk di sudut ruangan yang sama, merenung sambil memandangi karpet masjid yang bersih dan rapi. Lampu-lampu kecil di dinding memancarkan cahaya lembut, menciptakan suasana tenang yang sangat ia butuhkan. Ketika adzan Isya berkumandang, hatinya bergetar penuh rasa syukur, merasa beruntung bisa berada di tempat yang penuh berkah ini.

Setelah shalat, Zaidan mengambil tempat duduk kembali dan mulai memanjatkan doa. “Ya Allah,” ujarnya dalam hati, “berikanlah aku petunjuk. Jika Nashira adalah takdirku, dekatkanlah hati kami. Tapi jika tidak, tunjukkanlah jalan terbaik untukku.”

Sementara itu, Nashira juga tidak henti-hentinya teringat pada Zaidan. Setiap kali ia melihat ke arah masjid, hatinya bergetar. Ia merasakan ketulusan dalam diri Zaidan, dan itu sangat mengagumkannya. Meski mereka hanya bertemu sebentar, perasaan itu tumbuh menjadi harapan yang ingin ia jaga.

Suatu malam, ketika Zaidan sedang merenung, suara langkah kaki terdengar mendekat. Ia menoleh dan melihat Nashira memasuki masjid. Senyumnya menyinari ruang tersebut. “Zaidan, kamu datang lebih awal hari ini!” ucapnya ceria.

“Iya, aku merasa ingin menghabiskan lebih banyak waktu di sini,” jawab Zaidan, berusaha menunjukkan ketenangan meskipun hatinya berdebar. “Kamu sendiri, kenapa datang malam-malam?”

“Aku ingin mempersiapkan beberapa pelajaran untuk anak-anak,” jelas Nashira sambil mengeluarkan buku-buku dari tasnya. “Tapi, aku juga ingin berdoa. Rasanya, malam-malam seperti ini sangat spesial.”

Mereka duduk bersama di salah satu sudut masjid, membicarakan berbagai hal. Nashira menjelaskan dengan antusias tentang pelajaran yang ia rencanakan untuk anak-anak, dan Zaidan mendengarkan dengan seksama. Setiap kali Nashira berbicara, Zaidan merasa hatinya bergetar. Dia tidak bisa tidak memikirkan betapa beruntungnya ia bisa mengenal gadis ini.

“Zaidan,” tiba-tiba Nashira memanggilnya. “Apa kamu pernah merasa bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari kita, yang mengarahkan jalan hidup kita?”

“Kadang, ya. Aku sering merasa begitu, terutama saat berdoa di sepertiga malam,” jawab Zaidan dengan jujur. “Seperti saat ini, aku merasa sangat dekat dengan Allah, seakan Dia mendengar setiap doaku.”

“Benar! Aku juga merasakannya. Dan setiap kali aku berdoa, aku berharap agar Allah memberikan petunjuk yang jelas,” tambah Nashira. “Kita memang hanya bisa berusaha, kan?”

Zaidan mengangguk. “Iya, kita harus tetap berusaha dan percaya pada-Nya. Aku harap Allah menunjukkan jalan yang terbaik untuk kita semua.”

Setelah beberapa saat berbincang, mereka pun sepakat untuk berdoa bersama. Dalam keheningan malam, mereka mengangkat tangan, memanjatkan doa dengan tulus. Zaidan merasakan kedekatan yang luar biasa saat berdoa di samping Nashira. Suara lembutnya yang menyebut nama-Nya membuat hatinya tenang.

“Ya Allah, lindungi kami dan berikan kami petunjuk. Jaga hati kami dalam kebaikan,” Zaidan mengucapkan doanya dalam hati, berharap agar perasaan ini bukan sekadar ilusi.

Setelah berdoa, Nashira menatap Zaidan. “Terima kasih, Zaidan, untuk malam ini. Rasanya, berbagi doa itu sangat berarti,” katanya dengan tulus.

“Begitu juga dengan aku, Nashira. Aku merasa malam ini penuh berkah,” jawab Zaidan, merasa bahagia bisa berbagi momen ini.

Malam semakin larut, dan Zaidan merasakan waktu berjalan cepat. Ia tahu, perasaan ini semakin kuat dan tidak bisa disembunyikan lagi. Dalam hati, ia berdoa agar Allah memberinya keberanian untuk mengungkapkan perasaannya kepada Nashira. Ia tidak ingin pertemuan ini berlalu begitu saja tanpa mengambil langkah lebih lanjut.

Sebelum berpamitan, Nashira berkata, “Aku akan datang lagi ke sini. Mungkin kita bisa belajar bersama lebih sering.”

“Iya, aku harap begitu,” balas Zaidan, dengan senyum yang tidak bisa ia sembunyikan. “Sampai jumpa, Nashira.”

“Selamat malam, Zaidan. Jaga dirimu,” ucapnya sambil melangkah keluar dari masjid.

Zaidan menatap kepergian Nashira dengan perasaan haru. Ia berjanji dalam hati untuk berdoa lebih lagi dan mencari cara agar bisa lebih dekat dengan Nashira. Setiap malam yang dilalui di masjid kini terasa lebih berharga, seperti bidadari yang menuntunnya menuju cahaya.

Dengan keyakinan dan harapan yang semakin menguat, Zaidan melangkah keluar, menatap bulan purnama yang bersinar cerah. Malam itu, harapan di dalam hatinya semakin menggelora. Dia tahu, perjalanan ini baru saja dimulai, dan ada banyak doa yang akan terucap dalam sepertiga malam yang penuh berkah ini.

 

Langkah Menuju Harapan

Hari-hari berlalu, dan Zaidan dan Nashira semakin sering bertemu di masjid. Momen-momen kebersamaan mereka dipenuhi dengan tawa dan pembelajaran, membuat Zaidan merasa seolah hidupnya telah berubah. Ia tidak hanya menemukan teman dalam Nashira, tetapi juga sosok yang membangkitkan rasa cintanya yang selama ini terpendam.

Suatu sore, mereka sepakat untuk melakukan kegiatan belajar mengajar di taman dekat masjid. Cuaca cerah, dengan sinar matahari yang hangat menerangi wajah mereka. Anak-anak datang berlarian, senyum ceria menghiasi wajah mereka saat melihat Nashira. Zaidan, yang berada di sampingnya, merasa senang melihat kegembiraan anak-anak.

“Zaidan, ayo kita mulai!” seru Nashira sambil mengumpulkan anak-anak. “Hari ini, kita akan belajar tentang pentingnya bersyukur!”

Zaidan menyaksikan dengan penuh perhatian saat Nashira menjelaskan dengan antusias. Ketika dia berbicara, semuanya tampak hidup. Ia bisa merasakan betapa besar cintanya terhadap ilmu dan bagaimana ia ingin menularkan semangat itu kepada anak-anak.

Setelah sesi belajar selesai, Zaidan mengambil kesempatan untuk berbicara lebih pribadi dengan Nashira. “Nashira, aku sangat terkesan dengan caramu mengajar. Kamu memiliki kemampuan yang luar biasa untuk membuat semua orang tertarik,” ujarnya tulus.

“Terima kasih, Zaidan. Aku hanya mencoba melakukan yang terbaik. Aku ingin anak-anak itu tahu betapa pentingnya belajar dan bersyukur,” jawab Nashira, matanya berbinar dengan semangat.

Zaidan merasa tergerak oleh kata-katanya. “Kamu benar. Setiap hari adalah kesempatan baru untuk bersyukur dan belajar. Aku harap aku bisa lebih seperti kamu.”

Mereka melanjutkan obrolan ringan, membahas cita-cita dan impian masing-masing. Nashira menceritakan keinginannya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, sementara Zaidan berbagi tentang harapannya untuk bisa membantu masyarakat melalui kegiatan sosial.

Namun, di dalam hati Zaidan, ada satu harapan yang lebih besar—keberanian untuk mengungkapkan perasaannya kepada Nashira. Ia tahu bahwa perasaannya bukan sekadar ketertarikan biasa; itu adalah cinta yang tulus, yang ingin ia jaga dan bangun dengan baik.

Suatu malam, saat mereka duduk di teras masjid setelah shalat, Zaidan mengumpulkan keberaniannya. “Nashira, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan,” ujarnya, suaranya terdengar sedikit ragu.

Nashira menoleh, memperhatikan dengan penuh perhatian. “Apa itu, Zaidan? Kamu terlihat serius.”

Zaidan menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan jantungnya yang berdegup kencang. “Aku… aku merasa kita memiliki ikatan yang istimewa. Setiap kali kita bersama, aku merasa nyaman dan bahagia. Aku tidak bisa mengabaikan perasaan ini.”

Nashira terdiam, tampak berpikir sejenak. “Zaidan, aku juga merasakan hal yang sama. Tapi… aku tidak tahu bagaimana cara mengungkapkannya.”

Mendengar jawabannya, hati Zaidan melompat penuh harapan. “Jadi, kamu juga merasakannya?” Ia berusaha tersenyum, meski ada keraguan di sudut hatinya.

“Ya, aku merasakannya. Tapi kita harus berhati-hati. Kita berada di jalan yang sama, dan aku ingin menjaga hubungan ini dengan baik,” ujar Nashira, wajahnya terlihat serius.

“Benar, aku sepenuhnya setuju,” kata Zaidan, merasa lega. “Aku ingin kita bisa mendekatkan diri satu sama lain, belajar lebih banyak tentang satu sama lain, dan yang terpenting, saling mendukung dalam hal-hal yang baik.”

Mereka melanjutkan percakapan itu hingga larut malam, berbagi mimpi, harapan, dan rasa syukur. Zaidan merasakan ada energi positif yang mengalir di antara mereka, seolah Tuhan telah mengatur takdir ini untuk mempertemukan mereka.

Setelah perbincangan itu, mereka semakin akrab. Zaidan berusaha menunjukkan perhatiannya kepada Nashira dengan cara yang sederhana, seperti membantunya membawa buku atau menawarkan diri untuk membantu dalam kegiatan belajar mengajar. Nashira, di sisi lain, selalu menyemangati Zaidan dalam setiap langkahnya, memberi motivasi agar ia terus berjuang mencapai impian-impian yang diidamkan.

Malam-malam di masjid semakin berharga. Zaidan dan Nashira sering berdoa bersama di sepertiga malam, memanjatkan harapan dan impian mereka kepada Sang Pencipta. Zaidan merasa kedekatan mereka semakin kuat, dan ia berharap bahwa Allah memberikan jalan yang terang untuk hubungan ini.

Suatu malam, ketika mereka berdua sedang berdoa, Zaidan merasakan momen yang sangat istimewa. Dengan lembut, ia menggenggam tangan Nashira, merasakan kehangatan yang membuatnya semakin yakin. “Nashira,” katanya lembut, “aku berharap kita bisa menjalani perjalanan ini bersama-sama, dan semoga Allah memberkati kita dengan kebahagiaan dan petunjuk.”

Nashira menatapnya, senyumnya membuat jantung Zaidan berdegup lebih cepat. “Amin, Zaidan. Semoga Allah selalu melindungi kita.”

Malam itu menjadi saksi bagi harapan dan cinta yang mulai tumbuh antara mereka. Zaidan tahu, ini adalah langkah awal menuju perjalanan yang lebih indah. Dengan penuh rasa syukur, ia melangkah kembali ke dalam masjid, menatap bulan purnama yang bersinar cerah, berharap agar semua harapan dan impian mereka terwujud dalam waktu yang tepat.

 

Cahaya di Ujung Jalan

Waktu berlalu dengan cepat, dan Zaidan serta Nashira semakin tenggelam dalam rutinitas kebersamaan mereka. Setiap malam, mereka terus bertemu di masjid, berbagi ilmu, dan saling menguatkan. Ikatan yang mereka bangun terasa semakin kuat, seolah terjalin oleh takdir yang telah ditentukan oleh-Nya. Namun, di balik kebahagiaan itu, ada satu pertanyaan yang terus menggelayuti pikiran Zaidan: kapan saat yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya secara langsung kepada Nashira?

Suatu sore, setelah sesi belajar di taman, Zaidan memutuskan bahwa sudah saatnya. Dengan keberanian yang diperolehnya dari kehangatan cinta yang terjalin, ia mengajak Nashira untuk berjalan-jalan di pinggir danau yang indah di dekat masjid.

“Zaidan, tempat ini selalu membuatku tenang,” kata Nashira, memandangi air danau yang berkilau diterpa cahaya senja. “Sungguh indah.”

“Iya, Nashira. Tempat ini cocok untuk kita berbagi cerita,” jawab Zaidan, mencoba mengumpulkan keberaniannya.

Mereka duduk di tepi danau, menyaksikan matahari terbenam yang memancarkan warna-warna lembut di langit. Keindahan alam seakan memberi dukungan bagi Zaidan untuk mengungkapkan perasaannya.

“Nashira,” ia memulai, “aku tahu kita sudah lama berbagi banyak hal, dan aku merasa kita saling memahami. Namun, ada yang ingin aku sampaikan.”

Nashira menatapnya dengan perhatian, menunggu kelanjutan kata-kata Zaidan.

“Aku sudah lama merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan. Aku mencintaimu, Nashira. Cinta yang tulus, yang ingin aku jaga dengan segenap hatiku,” ungkapnya, suaranya penuh harap dan ketulusan.

Hati Zaidan berdegup kencang, menunggu reaksi Nashira. Beberapa detik terasa seperti selamanya, tetapi ketika akhirnya Nashira tersenyum, Zaidan merasa beban yang selama ini mengganggu pikirannya seolah terangkat.

“Aku juga merasakan hal yang sama, Zaidan,” Nashira menjawab, suaranya lembut dan hangat. “Tapi kita perlu memastikan bahwa hubungan ini bukan hanya tentang cinta, melainkan juga tentang komitmen dan saling mendukung.”

Zaidan mengangguk, merasa lega dan bahagia mendengar jawaban itu. “Aku ingin menjalin hubungan yang sejalan dengan ajaran agama kita. Kita bisa saling membantu untuk tumbuh menjadi lebih baik.”

Mereka berbicara lebih banyak tentang harapan dan impian masa depan. Nashira mengungkapkan keinginannya untuk melanjutkan pendidikan, dan Zaidan berjanji untuk mendukungnya. Di sisi lain, Zaidan juga menceritakan rencananya untuk aktif dalam kegiatan sosial, dan Nashira berkomitmen untuk bersamanya.

Hari-hari berlalu, dan hubungan mereka semakin kuat. Zaidan merasa tenang ketika bersama Nashira. Setiap malam, mereka selalu berdoa bersama, memohon petunjuk dan berkah dari Allah untuk masa depan mereka.

Suatu malam, di sepertiga malam yang penuh berkah, Zaidan dan Nashira berada di masjid, menyelesaikan shalat malam bersama. Setelah berdoa, Zaidan menggenggam tangan Nashira, merasakan kehangatan dan harapan di dalamnya.

“Nashira, aku berjanji akan selalu berusaha menjadi yang terbaik untukmu. Semoga kita bisa membangun hubungan ini atas dasar cinta dan saling percaya,” kata Zaidan dengan penuh tekad.

“Zaidan, aku juga berjanji untuk selalu ada untukmu. Mari kita terus belajar dan tumbuh bersama,” balas Nashira, matanya bersinar dengan semangat.

Malam itu, mereka merasa lebih dekat daripada sebelumnya. Mereka menghabiskan waktu dengan berbincang tentang impian dan harapan, bercanda, dan tertawa. Zaidan tahu bahwa cinta yang mereka miliki bukan sekadar perasaan sesaat; itu adalah fondasi untuk masa depan yang lebih cerah.

Beberapa minggu kemudian, Zaidan memutuskan untuk berbicara dengan orang tua Nashira. Ia ingin melangkah lebih jauh dalam hubungan ini dengan niat yang jelas. Setelah mendapat izin dari orang tua, Zaidan merasa bahwa setiap langkah yang mereka ambil adalah langkah yang penuh berkah.

Ketika Zaidan kembali ke masjid, ia menemukan Nashira menunggu di tempat yang sama, di tepi danau yang indah. Senyumnya menyambutnya, seolah menandakan bahwa segalanya akan baik-baik saja.

“Zaidan, bagaimana hasilnya?” tanya Nashira penuh rasa ingin tahu.

“Alhamdulillah, semuanya berjalan dengan baik. Orang tuamu menyetujui niatku untuk lebih serius denganmu,” jawab Zaidan, merasa bangga.

Nashira terharu mendengar kabar itu. “Aku sangat senang, Zaidan. Ini adalah langkah yang besar.”

Dengan penuh harapan, mereka duduk di tepi danau, menyaksikan cahaya bintang yang bersinar di malam yang tenang. Mereka berdua tahu bahwa perjalanan cinta mereka baru saja dimulai, tetapi dengan iman dan ketulusan, Zaidan yakin bahwa mereka akan mampu menghadapi segala rintangan.

“Zaidan, aku percaya ini adalah awal yang baik. Kita akan selalu saling mendukung, bukan?” Nashira bertanya, matanya memancarkan keyakinan.

“Selamanya, Nashira. Kita akan menjalani semua ini bersama,” jawab Zaidan, menggenggam tangan Nashira dengan erat.

Malam itu menjadi saksi janji mereka untuk saling mendukung dan membangun masa depan yang penuh berkah. Di dalam hati, mereka merasa bahwa cinta yang mereka miliki adalah anugerah terindah dari Tuhan, yang akan membawa mereka menuju jalan yang penuh cahaya.

Dengan harapan yang bersinar, mereka pulang dari danau, siap untuk menjalani segala tantangan dan meraih impian bersama. Di sepertiga malam, ketika bidadari di malam hari datang untuk memberikan berkah, mereka tahu bahwa cinta mereka adalah jalan menuju kebahagiaan yang hakiki.

 

Jadi, begitulah kisah Zaidan dan Nashira, dua jiwa yang menemukan cinta di sepertiga malam yang penuh berkah. Dalam setiap doa dan harapan, mereka belajar bahwa cinta bukan hanya soal perasaan, tetapi juga tentang komitmen dan saling mendukung. Siapa tahu, di luar sana, bidadari malam menunggu kita semua, menanti untuk mengubah hidup kita menjadi lebih indah. Selamat berdoa dan menemukan cintamu!

Leave a Reply