Cinta Dua Dunia: Kisah Misteri, Horor, dan Takdir yang Terhubung

Posted on

Pernah nggak sih, ngerasa kayak hidupmu itu nggak cuma sekadar rutinitas biasa? Kayak ada dunia lain yang tersembunyi, dunia yang gelap, penuh rahasia, dan entah kenapa selalu terhubung sama hidupmu. Nah, cerpen ini bakal ngajak kamu nyemplung ke dunia itu.

Cinta, misteri, horor, dan takdir yang saling tumpang tindih—semuanya bercampur jadi satu. Dan kamu bakal tahu, nggak ada yang biasa-biasa aja kalau sudah soal pilihan yang bisa merubah segalanya. Kalau siap, yuk ikutin perjalanan ini!

 

Cinta Dua Dunia

Bayangan di Tepi Sungai

Malam itu, desa tampak begitu sunyi. Hanya suara angin yang sesekali menerpa dedaunan dan nyanyian serangga yang terdengar dari kejauhan. Namun, di antara keheningan itu, ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang aneh, tapi juga terasa familiar—seperti sebuah perasaan yang datang kembali setelah sekian lama hilang.

Aku berdiri di tepi sungai, menatap permukaan air yang berkilau diterpa cahaya bulan purnama. Matahari telah lama tenggelam, dan bulan memancarkan sinar yang begitu lembut, seolah menyelimuti malam dengan kedamaian. Tapi ada sesuatu di dalam diriku yang tidak bisa tenang.

Langkahku terasa berat, meskipun aku tahu siapa yang akan aku temui. Aku sudah mengenal tempat ini—tempat di mana aku selalu bertemu dengannya, meski tak pernah benar-benar tahu siapa dia. Sosok yang hanya muncul di malam hari, dengan wajah yang begitu asing, namun seolah aku telah mengenalnya sepanjang hidup.

Aku menoleh ke kanan, dan di sanalah dia, berdiri di bawah pohon besar, dengan bayangannya yang tampak lebih jelas di bawah cahaya bulan. Wajahnya yang pucat dan mata yang penuh misteri, membuatku merasa seperti terperangkap dalam dunia yang tak pernah aku mengerti. Tapi entah kenapa, meskipun semua ini terasa aneh, aku tak pernah merasa takut.

“Kamu datang lagi malam ini?” suaranya lembut, hampir seperti bisikan angin.

Aku mengangguk pelan, menatapnya tanpa tahu harus berkata apa. Entah kenapa, meskipun aku sudah sering bertemu dengannya, setiap kali aku bertemu, rasa canggung itu selalu muncul. Seperti ada jarak tak kasat mata yang menghalangi antara aku dan dia.

“Aku selalu datang,” jawabku akhirnya, mencoba menyembunyikan perasaan aneh yang muncul setiap kali aku melihatnya. “Kamu, kenapa selalu ada di sini?”

Elian tersenyum tipis, namun ada kesedihan yang terlihat di matanya. “Aku… hanya bisa berada di sini,” jawabnya singkat.

“Di sini? Maksudnya, di dunia ini?” tanyaku, sedikit bingung. Aku selalu merasa ada yang aneh dengan dirinya, seperti dia bukan bagian dari dunia ini. Namun, dia selalu ada, tepat di sini, menemani aku setiap malam.

Dia mengangguk pelan. “Ya, di dunia ini. Namun… hanya di sini. Di tempat ini. Di antara dunia yang berbeda.”

Aku tidak mengerti apa maksudnya, tapi aku tidak bertanya lebih lanjut. Ada perasaan yang selalu mengalir ketika aku bersamanya, sesuatu yang sulit dijelaskan, seperti ada aliran yang menghubungkan kami meski aku tak tahu bagaimana caranya.

Aku melangkah mendekat, merasa semakin penasaran. “Kenapa selalu di sini? Apa yang membuat tempat ini begitu spesial?”

Elian menatapku dengan tatapan yang dalam, seolah dia sedang memikirkan sesuatu yang jauh. “Tempat ini… adalah tempat di mana dua dunia bertemu. Dunia manusia dan dunia yang lebih gelap. Kita berdua ada di sini karena alasan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.”

Suasana menjadi semakin berat. Aku bisa merasakan ketegangan yang terbangun di udara. Angin yang berhembus tiba-tiba terasa lebih dingin, dan suara air yang mengalir di sungai terdengar semakin jelas. Sesuatu yang tidak pernah aku sadari sebelumnya mulai terasa—ada sesuatu yang terpendam, sesuatu yang tak terungkapkan antara kami.

“Kenapa kamu selalu datang? Apa yang kamu inginkan dariku?” Aku tidak bisa menahan pertanyaan itu. Perasaan yang sudah lama tertahan akhirnya keluar.

Elian menunduk, seolah tidak bisa menatapku. “Aku tidak tahu,” jawabnya pelan. “Aku hanya… merasakan ada ikatan. Sebuah perasaan yang tidak bisa aku jelaskan. Seperti ada bagian dari diriku yang hilang, dan aku merasa… aku menemukannya di sini, denganmu.”

Aku terdiam. Ada sesuatu dalam kata-katanya yang membuat hatiku berdebar lebih cepat. Sepertinya dia merasakan hal yang sama—sesuatu yang tidak bisa dijelaskan, tapi begitu nyata di antara kami. Tapi kenapa? Kenapa dia bisa merasakannya, sementara aku… merasa ada sesuatu yang hilang dari diriku juga?

Namun, sebelum aku bisa melanjutkan pertanyaan itu, Elian melangkah mundur sedikit. Wajahnya berubah serius, seolah dia merasakan sesuatu yang tak bisa dia tahan.

“Aku harus pergi sekarang,” katanya, suaranya lebih berat dari sebelumnya. “Malam ini, kita tak bisa bersama seperti biasanya.”

Aku merasa cemas. “Kenapa? Apa yang terjadi?”

“Karena ada sesuatu yang berubah,” jawabnya, seolah tidak ingin mengungkapkan lebih banyak. “Aku tidak bisa menjelaskan semuanya. Tapi kita tidak bisa bertemu seperti biasa lagi.”

Aku merasa terkejut, dan ada sedikit rasa takut yang merayap di hatiku. “Apa maksudmu? Kamu akan pergi?”

Elian mengangguk perlahan, tatapannya penuh dengan perasaan yang tak bisa aku pahami. “Aku harus pergi. Dunia kita tidak bisa saling bertemu untuk selamanya.”

Perasaan aneh itu kembali datang—perasaan kehilangan yang tiba-tiba, meskipun aku tahu ini adalah pertama kalinya aku merasakannya secara nyata. “Tunggu, Elian! Jangan pergi. Aku…” kata-kataku terhenti di tengah jalan, karena tiba-tiba dia menghilang, seperti kabut yang menyatu dengan malam.

Hanya ada kesunyian yang membungkus seluruh dunia, dan aku berdiri di sana, dengan hati yang semakin berat. Sesuatu yang tak bisa dijelaskan mengalir dalam diriku. Ada ketakutan, ada kehilangan, dan ada perasaan aneh lainnya yang tak bisa aku bendung.

Aku merasa kehilangan, meskipun aku tahu dia akan kembali lagi. Tapi entah mengapa, malam itu terasa berbeda. Seperti sesuatu yang lebih besar sedang mengintai di balik bayangannya.

 

Bisikan yang Membawa Kehilangan

Pagi datang tanpa ada perubahan. Matahari yang terbit perlahan memecah kegelapan malam, namun rasa sepi yang ku alami semalam masih membekas. Seperti ada bayangan yang terus mengikuti jejak langkahku, walau tak ada yang melihatnya. Aku mencoba menjalani hariku seperti biasa—ke sekolah, berbicara dengan teman-teman, dan menjalani rutinitas yang tak pernah berubah. Namun, hati ini terasa berat, lebih dari biasanya.

Setiap langkahku terasa lebih lambat, seolah beban yang tak terlihat mengikatku. Aku sering melamun, menatap kosong ke luar jendela, berharap bisa melihat wajahnya di tengah keramaian. Namun yang kutemui hanya pemandangan biasa, suara-suara yang riuh, dan kehidupan yang tak bisa menghentikan langkahnya. Semua orang di sekitarku tampak seperti tak terganggu oleh apapun, namun aku merasa ada sesuatu yang hilang.

Pulang sekolah, aku melangkah ke rumah dengan perasaan yang semakin kacau. Seperti ada sebuah kekosongan yang tak bisa terisi, meskipun aku tahu aku harus bisa melupakan semuanya. Tapi, entah mengapa, pikiranku selalu kembali padanya. Elian. Pria misterius yang selalu ada di malam hari, yang hilang begitu saja tanpa memberikan penjelasan apapun.

Saat aku sampai di rumah, aku tidak langsung masuk. Aku berdiri di halaman depan, menatap langit yang kini cerah dengan awan putih. Ada rasa gelisah yang terus merayap, dan meskipun aku berusaha untuk fokus pada hal-hal biasa, ada perasaan yang menyelimuti diriku.

Tiba-tiba, aku mendengar suara angin berdesir dengan cepat, dan seketika itu juga, tubuhku terasa seperti ditarik. Aku menoleh ke kiri, dan di sanalah dia—Elian, berdiri di bawah pohon besar di dekat pagar rumah. Sekali lagi, wajahnya yang pucat tampak lebih jelas, lebih nyata dari sebelumnya. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Seperti ada sesuatu yang mengubah dirinya.

Langkahku terhenti. Aku merasa cemas, tak tahu harus berkata apa. Elian menatapku dengan tatapan yang tak bisa aku tafsirkan.

“Aku tahu kamu merasa ada yang hilang,” katanya, suaranya penuh dengan kerisauan. “Tapi ada hal yang jauh lebih besar yang sedang terjadi.”

Aku menelan ludah, perasaan cemas itu semakin menguat. “Apa yang terjadi? Kenapa kamu tidak menjelaskan semuanya?”

Elian menghela napas, matanya menatapku dengan kesedihan yang begitu mendalam. “Karena dunia kita tidak bisa bersatu, Liora. Aku datang dari tempat yang berbeda—dari dunia yang tidak bisa menyentuh dunia manusia.”

Aku bisa merasakan kehadirannya yang semakin jauh, seperti ada tembok yang tak terlihat menghalangi kami. “Tapi aku bisa melihatmu. Aku bisa merasakannya. Kamu… kamu nyata,” kataku, berusaha mengungkapkan perasaan yang terus menggangguku.

“Benar,” jawabnya, namun suaranya semakin pelan. “Tapi itu hanya sementara. Kamu dan aku berasal dari dua dunia yang tidak bisa saling berhubungan. Aku… tidak bisa tetap berada di sini.”

“Jadi, kamu akan pergi lagi?” tanyaku, suara ini penuh dengan keputusasaan yang sulit kubendung. Aku tidak ingin dia pergi. Aku tidak bisa membayangkan malam tanpa ada dia di sana.

Dia mengangguk, dan ada kesedihan di matanya yang semakin dalam. “Aku harus pergi. Ada peraturan yang tidak bisa kita langgar. Kita sudah melanggar batas yang tidak seharusnya kita sentuh. Kalau kita terus bertemu, segala hal akan hancur. Dunia kita akan saling menghancurkan.”

Aku merasa bingung. Tidak tahu apa yang harus kupikirkan. Segala yang dia katakan terasa begitu aneh, tapi juga sangat nyata. Aku bisa merasakan bahwa setiap kata yang diucapkan Elian bukan sekadar omong kosong. Dia berbicara dengan rasa takut yang mendalam, dan entah kenapa, aku merasa takut juga.

“Kenapa tidak ada yang memberitahuku tentang ini? Kenapa aku baru tahu sekarang?” aku bertanya dengan nada yang penuh kebingungan.

Elian menghela napas dalam-dalam, seolah berat sekali untuk menjelaskan semuanya. “Karena kamu tidak siap untuk tahu. Kamu akan tahu saat saatnya tiba. Tapi aku tidak ingin kamu merasakannya sekarang. Tidak dalam kondisi ini.”

“Kenapa tidak?” aku mendekat, semakin merasa tidak bisa melepaskan dirinya. “Kenapa kita tidak bisa bersama? Kenapa semuanya harus seperti ini?”

Dia menatapku dengan tatapan penuh penyesalan. “Karena kita berasal dari dunia yang berbeda, Liora. Tidak ada yang bisa mengubah itu. Aku datang untuk memberitahumu tentang ini, agar kamu bisa memahami. Kita tidak bisa bersama selamanya, bahkan jika kita ingin.”

Aku ingin sekali berteriak, ingin sekali menolak kenyataan itu. Tapi aku tahu, di dalam hatiku yang paling dalam, ada sesuatu yang memaksa aku untuk menerima kenyataan pahit ini. Kami memang tidak bisa bersama. Dunia kami berbeda, dan tak ada cara untuk menyatukannya.

Tiba-tiba, angin berhembus semakin kencang, dan bayangan Elian mulai kabur, seolah tertarik oleh kekuatan yang tak bisa dilawan. “Aku harus pergi, Liora,” katanya pelan. “Ingat, meskipun kita terpisah oleh dua dunia, aku akan selalu ada di sini. Dalam hatimu.”

Aku terdiam, tak mampu berkata apa-apa. Sosok Elian perlahan menghilang, menyatu dengan bayangan malam yang datang begitu cepat. Aku berdiri di sana, terisak, dengan hati yang hampa. Sesuatu yang tak bisa aku jelaskan terus mengalir dalam diriku—rasa kehilangan yang mendalam.

Dengan langkah lemah, aku kembali ke dalam rumah, namun hatiku tetap kosong, seperti ada bagian dari diriku yang telah hilang selamanya.

 

Di Antara Kedamaian dan Kegelapan

Hari-hari berlalu begitu lambat, dan aku merasa seperti hidup dalam dua dunia yang berbeda. Dunia yang penuh dengan rutinitas—sekolah, teman-teman, keluarga—dan dunia lain yang hanya muncul dalam mimpiku, di mana Elian selalu ada, meskipun dia tak pernah benar-benar ada di sini. Semakin aku mencoba mengabaikan perasaan itu, semakin kuat ia menghantui.

Aku mulai merasakan keanehan yang semakin mendalam. Sesekali, saat aku berjalan di sekitar desa, aku merasa seperti ada mata yang mengamatiku, ada bayangan yang terus mengikuti langkahku. Tak ada yang bisa kulihat, namun aku merasakannya dengan sangat jelas. Rasanya seperti dunia ini tidak sepenuhnya nyata, seperti ada sesuatu yang tersembunyi, sesuatu yang menunggu untuk terungkap.

Suatu malam, saat aku duduk di kamar, sebuah suara memanggil namaku dengan lembut. Nama yang begitu akrab, namun begitu jauh.

“Liora…” suara itu terdengar samar, seperti bisikan angin yang datang dari luar jendela.

Aku mendekati jendela, membuka tirai dengan perlahan. Hanya ada kegelapan di luar, namun di kejauhan, ada cahaya bulan yang menerangi jalan setapak yang berkelok. Tiba-tiba, aku merasakan desiran angin yang lebih dingin, seolah ada sesuatu yang mendekat.

“Liora, kamu mendengarku?” Suara itu terdengar lagi, lebih jelas, lebih dekat.

Aku berbalik, dan di sana dia—Elian. Kali ini, dia tidak tampak seperti biasanya. Wajahnya yang pucat tampak lebih serius, lebih gelisah. Matanya yang biasanya penuh dengan misteri kini dipenuhi kecemasan yang mendalam.

Aku menatapnya dengan bingung. “Elian… apa yang terjadi? Kenapa kamu ada di sini lagi?”

Dia melangkah lebih dekat, matanya tidak pernah lepas dariku. “Aku datang untuk memperingatkanmu, Liora. Semua yang kita alami… semuanya bukan kebetulan. Kamu harus tahu bahwa ada sesuatu yang jauh lebih besar yang mengancam kita.”

Aku merasa sebuah ketegangan yang semakin meningkat, sebuah perasaan yang membuatku tidak bisa bernapas dengan lega. “Apa maksudmu? Apa yang mengancam kita? Apa yang sebenarnya terjadi, Elian?”

Elian menggenggam kedua tanganku, matanya menatapku penuh dengan urgensi. “Dua dunia kita—dunia manusia dan dunia yang lebih gelap—sudah mulai saling bercampur. Batas antara keduanya semakin tipis. Jika kita tidak berhati-hati, semuanya akan runtuh. Tidak hanya dunia kita, tapi juga segala hal yang kita kenal akan hancur.”

Aku merasa bingung dan takut. “Tapi apa yang harus kita lakukan? Bagaimana kita bisa mencegahnya?”

Dia menggelengkan kepalanya pelan. “Aku tidak tahu. Tidak ada yang tahu. Tapi ada sesuatu yang harus kamu lakukan, Liora. Sesuatu yang akan membuat segalanya kembali seperti semula. Kamu harus menemukan cara untuk menghentikan semuanya sebelum terlambat.”

Aku merasa hatiku berdegup kencang. “Apa itu? Apa yang harus aku lakukan?”

Elian menarik napas dalam-dalam, seolah kata-katanya begitu sulit untuk diungkapkan. “Ada kunci, Liora. Sebuah kunci yang dapat mengembalikan keseimbangan antara dunia kita. Tapi untuk menemukannya, kamu harus mengikuti petunjuk yang ada di dalam dirimu. Kamu sudah merasakannya, bukan?”

Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-katanya. Aku merasa seperti ada bagian dari diriku yang selalu hilang, sebuah perasaan yang tak bisa aku pahami, namun selalu ada di sana. “Apa maksudmu? Bagaimana bisa aku menemukan kunci itu? Aku tidak tahu apa-apa tentang itu.”

“Karena kunci itu ada dalam dirimu, Liora,” jawab Elian dengan suara yang hampir tak terdengar. “Aku sudah memberitahumu sebelumnya—kita terhubung. Kamu adalah bagian dari dua dunia ini. Kamu yang akan menyelamatkan semuanya, meskipun kamu tidak tahu bagaimana.”

Aku ingin berteriak, ingin bertanya lebih banyak, tapi entah mengapa, kata-kata itu tersangkut di tenggorokanku. Ada sesuatu yang memaksaku untuk diam, untuk mendengarkan tanpa bertanya lebih jauh. Mungkin ini adalah saat yang tak bisa ditunda lagi.

“Apakah ini yang dimaksud dengan takdir?” tanyaku, suara bergetar.

Elian mengangguk pelan, wajahnya penuh dengan penyesalan. “Takdir, atau mungkin lebih tepatnya, pilihan. Kamu memiliki pilihan, Liora. Pilihan yang akan menentukan masa depan kita, masa depan dua dunia yang tidak bisa bersatu.”

Aku merasa seperti terperangkap, antara keputusan yang tak bisa kuambil dan perasaan yang semakin kacau. “Apa yang harus aku pilih? Apa yang harus aku lakukan?”

Elian menatapku dengan mata yang penuh dengan kesedihan, namun juga sebuah harapan. “Hanya kamu yang bisa menjawabnya. Hanya kamu yang bisa membuat pilihan itu.”

Saat itu, sepertinya dunia di sekitar kami menjadi semakin gelap. Cahaya bulan yang sebelumnya terang mulai memudar, dan angin yang semula berhembus pelan kini berhembus kencang, membawa keheningan yang mencekam.

“Elian, jangan pergi,” kataku, suara penuh dengan permohonan. “Aku tidak bisa melakukannya sendirian. Aku butuh bantuanmu.”

Namun, seperti sebelumnya, sosok Elian mulai menghilang, menyatu dengan bayangan malam yang semakin pekat. “Kamu tidak sendirian, Liora. Ingat itu.”

Aku berdiri di sana, dengan hatiku yang dipenuhi rasa takut dan kebingungan. Segalanya semakin tidak jelas, namun satu hal yang pasti—aku harus menemukan jawaban untuk semua ini. Dan jawaban itu, entah bagaimana, ada di dalam diriku.

Aku menutup mataku sejenak, mencoba menenangkan diri. Tapi saat mataku terbuka, bayangan Elian sudah hilang, dan yang tersisa hanya keheningan yang semakin menekan. Mungkin malam ini, aku harus memulai pencarian itu. Pencarian yang akan mengubah segala hal.

 

Kunci untuk Mengubah Takdir

Pagi itu, kabut masih menyelimuti desa, menyembunyikan wajah-wajah yang sedang sibuk dengan rutinitas mereka. Namun, di dalam diriku, dunia yang biasa terasa begitu jauh. Setiap langkah terasa seperti berjalan di atas tali yang rapuh, seakan dunia yang satu sedang menatapku, menunggu aku untuk memilih—antara kegelapan dan cahaya, antara dua dunia yang tidak bisa lagi berjalan berdampingan.

Aku berjalan menuju tempat yang terasa sangat familiar, meskipun aku tahu itu tidak benar-benar milikku. Hutan yang penuh dengan pohon-pohon tua, daun-daun yang berjatuhan, dan suara angin yang seolah berbisik. Di sanalah aku merasa diawasi, di sanalah aku merasa Elian masih ada, meskipun aku tidak bisa melihatnya.

Tiba di sebuah gua tersembunyi di balik semak-semak, aku merasakan sesuatu yang aneh. Suasana di dalam gua itu sunyi, dan hanya ada cahaya yang berasal dari kristal-kristal putih yang berkilau, seakan menyambut kedatanganku. Aku tahu, ini adalah tempat yang dimaksudkan Elian. Tempat di mana aku akan menemukan kunci untuk mengubah takdir.

Tangan kiriku meraba dinding gua, menemukan celah yang tersembunyi. Di dalam celah itu, ada sebuah batu berbentuk segitiga yang terlihat sangat berbeda dari batu-batu lainnya. Seperti ada kekuatan yang mengalir dari dalamnya. Aku menggenggam batu itu dengan hati-hati, dan tiba-tiba, segalanya mulai terasa begitu nyata. Di sekelilingku, bayangan mulai berputar, menciptakan lingkaran tak kasat mata.

“Liora…” suara Elian kembali terdengar, kali ini bukan dari mulutnya, tapi seperti datang dari dalam diriku sendiri. “Kamu sudah sampai di sini. Sekarang, kamu harus membuat pilihan terakhir.”

Aku menatap batu itu, merasakannya menghangat di tanganku. Ada sesuatu yang luar biasa di dalamnya—sebuah kekuatan yang membuatku merasa seolah aku bisa menghancurkan atau membangun kembali dunia ini dengan sekejap mata.

“Pilihan ini bukan untuk dirimu sendiri, Liora,” suara Elian melanjutkan. “Kamu harus memikirkan dunia yang ada di luar sana, dunia yang terhubung denganmu. Pilihanmu akan menentukan apakah dunia ini akan tetap ada, ataukah semuanya akan hancur.”

Aku memejamkan mata, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Aku tahu, pilihan ini bukan hanya tentang aku, bukan hanya tentang Elian. Ini adalah tentang dua dunia yang saling berinteraksi—dunia manusia dan dunia yang lebih gelap itu. Jika aku memilih dengan egois, dunia ini bisa lenyap, terperangkap dalam kegelapan yang tak terhindarkan. Tapi jika aku memilih untuk melepaskan diri dari keinginan pribadi, mungkin saja ada harapan untuk masa depan yang lebih baik.

Aku menarik napas panjang, merasakan setiap hembusannya menyatu dengan angin yang berputar di sekitar gua. Ini adalah saat yang tak bisa aku hindari lagi.

Dengan hati yang penuh keteguhan, aku menekan batu itu lebih dalam. Seketika, sebuah cahaya yang sangat terang menyembur keluar, melingkupi seluruh tubuhku. Aku merasakan seluruh tubuhku seperti terangkat dari tanah, seolah-olah aku menjadi satu dengan alam semesta. Di dalam cahaya itu, bayangan-bayangan mulai terbentuk—bayangan yang lebih familiar, yang mengingatkanku pada semua yang telah terjadi. Elian muncul kembali, kali ini tidak lagi sebagai sosok yang jauh, tetapi sebagai bagian dari kekuatanku, bagian dari pilihanku.

“Kamu memilih, Liora,” katanya dengan senyum yang penuh harapan, meskipun ada kesedihan yang terselip di dalamnya. “Sekarang, dunia kita akan berubah, dan kita akan menghadapi konsekuensinya bersama-sama.”

Saat cahaya itu mulai meredup, aku tahu satu hal pasti—aku telah membuat pilihan yang tidak hanya mempengaruhi diriku, tetapi juga seluruh dunia yang ada di sekitarku. Dunia yang dulu terpisah, kini saling terhubung dengan cara yang lebih kuat dari sebelumnya.

Aku melangkah keluar dari gua itu, diiringi oleh angin yang membawa keheningan dan kedamaian baru. Dunia ini, meskipun penuh misteri dan kegelapan, kini terasa lebih jelas. Ada harapan di dalam setiap langkahku. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi satu hal yang aku tahu: aku tidak akan pernah kembali lagi ke dunia yang dulu. Dunia itu sudah berubah, dan aku—aku adalah bagian dari perubahan itu.

Di antara dunia yang saling bercampur, aku memilih untuk berjalan, dengan Elian di sisiku, meskipun tak selalu bisa kulihat. Takdir sudah digenggam dalam tanganku, dan aku siap untuk menghadapi apa pun yang datang.

 

Jadi, begitulah kisah yang nggak cuma soal cinta, tapi juga tentang pilihan yang bisa mengubah hidup kita selamanya. Kadang, kita nggak tahu apa yang bakal terjadi setelah kita memilih, tapi satu yang pasti—setiap langkah, setiap keputusan, bakal membawa kita lebih dekat dengan takdir yang udah digariskan.

Gimana pun juga, dunia ini selalu punya cara buat menghubungkan kita, meskipun kita nggak bisa ngeliatnya. Jadi, mau kamu pilih tetap di dunia yang sekarang atau terjun ke dunia yang tak terduga, ingat aja: takdir itu selalu punya kejutan.

Leave a Reply