Daftar Isi
Pernah nggak sih kamu ngerasa jatuh cinta sama seseorang, tapi nggak berani buat deketin? Cuma bisa ngeliatin dari jauh, senyum-senyum sendiri tanpa bisa bilang apa-apa?
Nah, cerpen ini bakal ngebahas gimana rasanya jadi orang yang jatuh cinta diam-diam, nungguin momen yang nggak pernah dateng, dan cuma bisa berharap tanpa berani ngungkapin. Kadang, jatuh cinta itu nggak perlu ribet, cukup diam-diam aja udah bikin hati bahagia.
Cinta Diam-Diam
Di Sudut Perpustakaan
Perpustakaan kampus itu sunyi, seperti tempat yang tidak pernah diizinkan untuk bersuara. Setiap sudutnya dibiarkan sepi, hanya ada tumpukan buku dan lembaran kertas yang berbisik pelan, mengingatkan setiap orang yang datang bahwa mereka harus menjaga ketenangan. Aku selalu suka berada di sini. Dikelilingi oleh deretan buku yang lebih banyak dari jumlah orang yang benar-benar peduli. Sepertinya semua orang lebih tertarik dengan dunia maya dan layar mereka, sementara aku… Aku lebih suka menenggelamkan diri dalam halaman-halaman itu.
Ada satu sudut yang menjadi tempat favoritku—di dekat jendela besar yang memberikan cahaya alami sepanjang hari. Tidak ada yang pernah terlalu memperhatikannya. Kecuali dia.
Keyara.
Namanya kadang-kadang terdengar samar di telingaku, dibicarakan dengan gumaman oleh teman-temannya, tetapi aku tidak peduli pada apa yang mereka katakan. Aku hanya peduli pada cara dia selalu ada di sana, di sudut yang sama, memegang buku yang hampir tidak pernah dia baca, seperti dia sedang mencari alasan untuk tetap bertahan di tempat itu.
Dia bukan tipe orang yang mudah dikenali. Tidak seperti gadis-gadis lain yang dengan jelas membuat perhatian tertuju pada mereka. Keyara adalah kebalikannya—diam, tenang, seperti bayangan yang selalu ada namun tidak pernah benar-benar dilihat.
Aku pernah beberapa kali berpikir tentang apa yang dia pikirkan saat duduk di sana, mengenakan kacamata dengan rambutnya yang tergerai acak, seakan dunia ini tidak ada artinya selain buku yang ada di tangannya. Kadang dia tersenyum sendiri, hanya karena menemukan kalimat yang dia sukai, kadang mengernyitkan dahi seperti bingung dengan isi halaman-halaman itu.
Pernah sekali aku hampir mendekatinya. Hanya untuk bertanya apa yang dia baca. Tapi aku tidak pernah berani. Aku hanya bisa berdiri di sana, jauh, menatapnya diam-diam.
Hari itu seperti biasa. Aku duduk di meja yang sama, menyandarkan buku yang tidak pernah bisa aku selesaikan, mencoba melawan godaan untuk sekadar mengalihkan pandanganku ke arahnya. Tapi aku tidak bisa. Mataku selalu tertarik, terikat pada sosoknya yang duduk dengan tenang di sudut perpustakaan itu.
Suara langkah kaki terdengar, dan sejurus kemudian, dia masuk. Keyara mengenakan jaket oversized berwarna hitam, matanya sedikit lelah, tapi tetap tampak fokus. Aku bisa melihat itu dari sudut mataku. Ketika dia melangkah lebih dalam ke ruangan, aku berusaha untuk tidak terlihat terlalu jelas. Hanya menundukkan wajahku, berpura-pura sibuk dengan buku yang sudah aku baca berkali-kali, dan tidak ada gunanya.
Namun, tiba-tiba dia menghentikan langkahnya tepat di depanku.
“Hey,” suaranya datang lembut, seperti angin yang lewat. “Kamu lagi baca apa?”
Aku terkejut, hampir terjatuh dari kursiku karena tidak siap untuk mendengarnya. “Eh, ini… nggak ada apa-apa, cuma buku lama,” jawabku gugup. Aku tidak pernah tahu apa yang harus dikatakan saat aku berhadapan langsung dengannya.
Keyara tersenyum tipis. Senyum yang terasa ringan, namun entah kenapa membuat dadaku sedikit sesak. “Oh, aku pikir kamu baca yang lebih berat dari ini. Biasanya kamu ada di sini lama banget, jadi aku pikir mungkin kamu lagi baca karya berat.”
Aku merasa wajahku memerah sedikit. “Cuma… yah, aku suka buku-buku yang tenang. Yang nggak bikin pusing.”
Dia tertawa kecil, suara itu hampir tidak terdengar, namun cukup bagi aku untuk merasa seolah-olah dunia di sekitarku berhenti sejenak. “Mungkin aku harus coba juga,” katanya pelan. Lalu ia melangkah menuju rak buku yang lebih jauh, meninggalkan aku yang masih terperangah di tempatnya.
Aku menatapnya, memandang tubuhnya yang bergerak di antara rak-rak penuh buku, dan aku sadar… aku tidak pernah benar-benar tahu siapa dia. Tidak tahu bagaimana hidupnya di luar perpustakaan ini. Tidak tahu apa yang dia pikirkan setiap hari, atau kenapa dia selalu memilih sudut yang sama untuk duduk.
Aku kembali ke bukuku yang kosong, tidak ada satu pun kata yang bisa aku cerna. Keyara, dengan segala ketenangannya, telah membuatku melupakan semua hal yang sebelumnya penting. Tidak ada yang lebih menarik saat ini selain dia.
Aku menyandarkan kepala ke kursi, menatap langit-langit yang sudah mulai gelap. Mungkin inilah yang disebut dengan jatuh cinta diam-diam—perasaan yang tidak perlu diungkapkan, yang hanya bisa dipelihara dalam hati dan disembunyikan di dalam pikiran. Tidak ada yang perlu tahu, karena ini adalah bagian dari dunia pribadiku yang aku pilih untuk tidak pernah dibagikan.
Tapi saat aku menatap kembali ke arah rak buku tempat Keyara berdiri, aku merasa ada sesuatu yang berubah. Sepertinya aku tidak sendirian di dalam cerita ini. Ada rasa yang sama, meski tidak terucap, yang mungkin juga dia rasakan.
Mawar yang Tertinggal
Hari-hari setelah pertemuan singkat itu berlalu dengan cara yang biasa. Aku kembali ke rutinitasku di perpustakaan, duduk di sudut yang sama, dengan buku yang sama, meskipun kali ini rasanya berbeda. Aku merasa seperti ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang belum aku pahami sepenuhnya. Keyara—ya, dia—mungkin hanya datang sekali untuk mengajakku bicara, tetapi perasaanku terhadapnya semakin tidak bisa dibendung.
Pagi itu, aku datang lebih pagi dari biasanya, dengan harapan bisa membaca lebih lama sebelum suara-suara di luar perpustakaan mulai mengganggu kedamaian yang aku cari. Namun, saat aku masuk, mataku langsung tertuju pada meja yang biasa dia tempati. Kosong.
Aku merasa sedikit kecewa. Mungkin dia sedang sibuk dengan tugas lain, atau mungkin dia tidak datang hari ini. Tapi, seperti ada dorongan dalam diriku untuk tetap duduk di sana, menunggu. Mungkin dia akan datang nanti.
Aku membuka buku yang ada di tangan, namun kata-katanya seolah tidak bisa aku tangkap. Pikiranku terus melayang ke arah Keyara, berpikir tentang apa yang dia lakukan, mengapa dia selalu memilih sudut itu untuk duduk, mengapa dia lebih suka diam dan menyimpan semua perasaannya di dalam. Apakah aku sama?
Lama-kelamaan, aku merasa jenuh. Buku di tanganku terasa semakin berat, dan dunia di sekitar terasa semakin hening. Lalu, saat aku hendak menutup bukuku dan bangkit, langkah pelan terdengar di pintu. Aku menoleh, dan aku melihatnya—Keyara, masuk dengan langkah pelan seperti biasa.
Dia tampak berbeda hari ini. Tidak ada jaket oversized hitam yang biasanya ia kenakan, hanya kaos putih sederhana dan celana panjang jeans. Sesuatu tentang dirinya terasa lebih ringan, lebih terbuka. Namun ada sesuatu yang aneh di tangannya—sebuah setangkai mawar putih, yang sepertinya ia bawa dengan hati-hati.
Dia berjalan mendekat, matanya berkeliling seperti mencari sesuatu. Ketika matanya bertemu dengan mataku, aku merasa sebuah kejutan kecil menghentikan aliran darahku.
“Oh, kamu sudah datang,” ucapnya, suara yang ringan namun penuh arti.
Aku hanya bisa mengangguk pelan, tidak tahu apa yang harus aku katakan. Hanya tatapannya yang membuatku merasa sangat kecil dan besar sekaligus.
Keyara duduk di kursi sebelahku, meletakkan mawar putih itu di atas meja. “Ini… mungkin bukan untukmu,” katanya dengan senyum kecil yang lebih dalam daripada biasanya. “Tapi aku rasa, aku ingin membagikannya dengan seseorang.”
Aku menatap bunga itu, bingung. Apa maksudnya? Mengapa dia memberi bunga ini? Apakah ini untuk seseorang yang lain? Atau apakah ini hanya sebuah isyarat kecil yang tidak perlu diambil terlalu serius?
Keyara melanjutkan, tampak sedikit ragu. “Aku sering datang ke sini karena suka suasananya yang tenang. Kadang… aku merasa ada banyak hal yang bisa dipikirkan hanya dengan duduk di sini. Kadang aku merasa sepi, tapi ada hal aneh yang membuatku terus kembali.”
Aku terdiam, mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulutnya. “Aku tahu apa yang kamu maksud,” kataku akhirnya, suaraku hampir bisu, seperti mencoba untuk tidak mengganggu suasana yang begitu intim ini. “Aku sering merasa begitu juga.”
Keyara tersenyum lagi, senyum yang kali ini tidak sekadar senyum biasa. “Mungkin kita berdua sama-sama menginginkan ruang untuk diri kita sendiri. Tidak terlalu banyak bicara, hanya berada di tempat yang tepat.”
Aku mengangguk, merasa sangat lega dengan kata-katanya. Seperti sebuah koneksi yang tidak terucap, tapi ada. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan, hanya bisa dirasakan.
Namun, setelah beberapa saat, dia mengangkat mawar putih itu dan menatapnya sejenak. “Mawar ini… sebenarnya aku temukan di luar. Aku kira ini hanya bunga biasa. Tapi, ketika aku melihatnya lebih dekat, aku merasa ada yang berbeda. Seperti ada cerita di dalamnya.”
Aku tersenyum, merasa tidak perlu lagi bertanya. “Mungkin kita bisa menemukan cerita itu bersama.”
Dia menatapku, agak terkejut, tapi senyumannya semakin lebar. “Mungkin.”
Ketika aku melihat Keyara mengambil bunga itu kembali, aku tahu satu hal—aku akan selalu ada di sini. Meskipun hanya untuk melihatnya datang dan pergi, meskipun hanya berdiri di sudut ruangan ini, aku merasa cukup. Itu lebih dari yang bisa aku harapkan.
Keyara meninggalkan meja itu beberapa saat setelahnya, tanpa berkata banyak. Aku tetap duduk di sana, mataku masih menatap ke arah mawar putih itu yang kini tergeletak di meja, seperti sebuah pesan yang belum selesai. Namun, tidak masalah. Aku sudah cukup bahagia melihatnya, cukup senang karena tahu, mungkin dia merasakan hal yang sama.
Dan itu, lebih dari cukup.
Senyum yang Tidak Terungkap
Minggu-minggu setelah itu berjalan dengan cara yang aneh, seolah-olah dunia memperlambat langkahnya, memberikan lebih banyak waktu untuk aku merenung. Keyara tetap datang ke perpustakaan setiap hari, dengan mawar putih yang semakin jarang aku lihat di tangannya. Namun, setiap kali dia datang, entah mengapa, aku merasa lebih hidup—meskipun hanya dengan melihatnya dari kejauhan.
Aku tidak pernah berani mendekat lebih jauh, tidak pernah cukup percaya diri untuk memulai percakapan lebih banyak dari sekadar sapaan singkat. Tetapi dia, Keyara, sepertinya selalu menemukan cara untuk membuat semuanya terasa lebih ringan. Setiap senyumnya, setiap tatapannya yang samar, seperti memberikan jawaban yang aku tidak bisa temukan di dalam kata-kata.
Suatu sore, setelah aku selesai membaca—atau lebih tepatnya, berpura-pura membaca—aku menatap langit yang mulai berwarna oranye keemasan. Aku hampir merasa ingin pulang, ketika suara langkah kaki yang tidak terlalu keras terdengar, mengalihkan perhatianku.
Keyara masuk, seperti biasa, dengan langkahnya yang ringan. Tapi hari ini, ada sesuatu yang berbeda. Dia tidak langsung menuju ke sudut yang biasa. Kali ini, dia melihat ke sekeliling, dan kemudian matanya bertemu dengan mataku.
Aku hanya bisa terdiam, sedikit terkejut, karena aku jarang sekali mendapat perhatian langsung darinya. Sepertinya, hari ini, ada sesuatu yang ingin dia sampaikan.
Dia berjalan ke arahku, dan aku merasakan jantungku mulai berdebar lebih cepat. “Hei,” sapanya, suara yang selalu terdengar seperti melodi yang menenangkan. “Kamu lagi baca apa? Kelihatannya cukup serius.”
Aku tertawa kecil, meskipun dalam hatiku merasa sedikit canggung. “Cuma baca sesuatu yang biasa aja. Nggak ada yang terlalu menarik.” Aku menutup buku itu dengan sedikit terburu-buru, berusaha menutupi betapa cemasnya aku.
Keyara menarik kursi dan duduk di sebelahku, tanpa banyak bicara. Aku merasa tidak nyaman, tapi juga anehnya merasa bahagia. Aku tidak pernah berharap bisa duduk berdekatan dengannya seperti ini, dengan suasana yang sangat intim. Seperti ada sesuatu yang belum diungkapkan, seperti ada perasaan yang dipendam di antara kami.
Dia menatap langit dari jendela besar, dan aku mengikuti arah pandangannya. Matahari sudah hampir tenggelam, meninggalkan cahaya lembut di luar. “Pernahkah kamu merasa, seperti ada sesuatu yang ingin kamu katakan, tapi tidak bisa keluar dari mulutmu?” katanya, suaranya lembut dan penuh makna.
Aku terdiam, mencoba mencerna kata-katanya. “Aku… sering merasa begitu.” Aku tidak tahu kenapa kata-kata itu keluar begitu mudah. Mungkin karena Keyara juga sedang merasakannya, atau mungkin karena aku terlalu ingin berbicara dengan seseorang yang akhirnya mengerti apa yang aku rasakan.
Dia tersenyum tipis, senyum yang lebih dalam dari sebelumnya. “Aku sering merasa seperti itu. Kadang, sepertinya ada banyak hal yang ingin aku katakan, tapi malah justru aku lebih memilih diam.”
Aku menatapnya, tidak bisa menghindari perasaan yang tiba-tiba muncul. “Kenapa?” tanyaku, meskipun aku tahu itu mungkin pertanyaan yang terlalu pribadi.
Keyara menghela napas pelan, dan matanya kembali tertuju ke luar jendela. “Karena… kadang, ada sesuatu yang lebih indah jika tidak diungkapkan. Seperti senyum yang bisa berbicara lebih banyak daripada kata-kata. Atau, seperti perasaan yang hanya bisa dirasakan, tanpa perlu diterjemahkan ke dalam bentuk kalimat.”
Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku hanya bisa duduk di sana, merasakan setiap kata yang keluar darinya, yang membuat aku merasa seperti aku sudah lama mengenalnya, padahal kenyataannya, aku bahkan tidak tahu apa yang ada di pikirannya.
“Aku paham,” jawabku akhirnya, dan aku merasa kata-kataku itu cukup untuk menggambarkan bagaimana aku merasa. Karena aku tahu, Keyara juga merasakan hal yang sama. Kami berdua berada di dunia yang sama, meskipun kami tidak pernah mengungkapkannya.
Ketika kami duduk dalam keheningan itu, aku merasa tidak perlu lagi berkata lebih banyak. Kadang, tidak ada kata-kata yang perlu diucapkan. Cukup dengan berada di dekatnya, cukup dengan merasakan keberadaannya, itu sudah lebih dari cukup.
Keyara menoleh dan melemparkan senyum lembut kepadaku, senyum yang aku tahu tidak akan pernah aku lupakan. “Mungkin kita sama-sama menikmati keheningan ini, ya?” katanya, masih dengan tatapan yang tidak bisa aku artikan sepenuhnya.
Aku hanya mengangguk, karena aku tahu ini adalah bagian dari cerita kami yang tidak perlu diungkapkan dengan kata-kata. Sesuatu yang lebih indah ada di sini, di antara kami yang saling mengagumi tanpa perlu mendekat lebih jauh.
“Kadang, sebuah senyum adalah segala yang kita butuhkan,” lanjutnya pelan. “Dan aku rasa, aku sudah cukup senang dengan ini.”
Dan aku pun merasa begitu. Cukup senang hanya dengan melihatnya tersenyum, cukup senang hanya dengan duduk di sampingnya tanpa perlu kata-kata, karena aku tahu, kami berdua mengerti.
Cinta yang Terungkap
Waktu terus bergerak, dan aku merasa hari-hari semakin menjadi kenangan yang tak terucapkan. Perpustakaan menjadi tempat yang penuh dengan kebiasaan, suara langkah kaki yang lembut, dan bayang-bayang Keyara yang selalu hadir tanpa aku harus memintanya. Semua terasa begitu tenang, begitu damai, dan aku mulai menyadari bahwa aku telah jatuh lebih dalam tanpa sadar.
Tapi, ada sesuatu yang membuatku ragu. Aku tidak tahu harus bagaimana dengan perasaan ini. Aku sudah terbiasa dengan kebisuan, dengan cinta yang terpendam dalam diam. Keyara—dia, dengan segala ketenangannya—terus hadir dalam hidupku, tanpa pernah benar-benar dekat, namun cukup untuk membuat hatiku berdetak lebih cepat.
Malam itu, setelah hujan reda dan langit kembali cerah, aku memutuskan untuk datang lebih awal ke perpustakaan. Tentu saja, aku sudah tahu, Keyara akan datang seperti biasa. Hanya saja, kali ini, aku merasakan bahwa sesuatu harus berubah. Mungkin ini saatnya, untuk sesuatu yang lebih dari sekadar tatapan diam dan senyum yang tidak terungkap.
Aku duduk di tempat biasa, dengan buku yang sepertinya sudah tidak aku baca lagi. Pikiran dan perasaanku terfokus pada satu hal saja: bagaimana jika aku mengungkapkan semua yang aku rasakan? Aku tidak ingin hidup dalam ketidakpastian ini lagi. Aku ingin tahu, apakah Keyara merasakan hal yang sama.
Langkah kaki terdengar lagi, dan aku menoleh. Keyara datang, dengan senyum yang hampir tidak aku pahami. Dia terlihat berbeda, lebih cerah, lebih hidup. Mungkin ini juga waktunya. Aku merasa jantungku berdetak lebih cepat, lebih keras.
Dia duduk di sampingku, tanpa kata-kata. Hanya ada keheningan yang mengisi ruang di antara kami. Aku memutuskan untuk tidak menunggu lebih lama lagi. “Keyara,” aku memanggilnya dengan suara pelan, namun pasti.
Dia menoleh, matanya bertemu mataku. Ada sesuatu dalam tatapan itu, seperti ada pemahaman yang mendalam, yang aku tidak bisa ungkapkan dengan kata-kata.
“Aku…,” aku terdiam sejenak, berusaha mencari kata-kata yang tepat. “Aku merasa ada sesuatu yang lebih besar di antara kita. Sesuatu yang… aku tidak bisa hanya diam saja.”
Keyara menatapku lebih dalam, dan aku bisa melihat ada keraguan di matanya. “Apa maksudmu?” tanya Keyara, suaranya lembut namun ada sedikit kebingungan yang terselip.
Aku menggenggam tanganmu, meskipun aku ragu. Ini adalah saat yang aku tunggu-tunggu, dan aku tahu ini bisa menjadi momen yang mengubah segalanya. “Aku tidak tahu harus mulai dari mana, tapi yang jelas, aku merasa sangat terikat denganmu. Selama ini, aku hanya bisa melihatmu dari jauh, tapi sekarang… aku ingin tahu, apakah kamu merasakan hal yang sama?”
Keyara terdiam sejenak. Mata kami saling bertemu, dan aku merasa seolah waktu berhenti sejenak. Tapi, bukan waktu yang berhenti, melainkan perasaan kami yang seperti saling terhubung dalam keheningan ini.
Lalu, Keyara menghela napas pelan, dan aku tahu itu adalah napas yang penuh dengan jawaban yang sudah lama terpendam. “Aku juga merasa begitu,” katanya dengan suara lembut yang menenangkan. “Aku hanya tidak tahu bagaimana mengungkapkannya. Terkadang, aku merasa lebih nyaman dengan diam, lebih aman dengan tidak mengatakan apa-apa. Tapi, aku juga ingin tahu, apakah ini memang yang kita inginkan.”
Aku tidak bisa menahan senyum yang terbit begitu saja. “Kita bisa mencari tahu bersama-sama,” kataku dengan penuh keyakinan. “Aku tidak ingin hanya melihatmu dari jauh lagi. Aku ingin lebih dekat denganmu, Keyara.”
Dia tersenyum, senyum yang kali ini penuh makna. “Aku juga ingin itu.”
Keheningan yang biasanya memenuhi ruang di antara kami kini terasa berbeda. Tidak ada lagi ketegangan atau rasa ragu yang mengganggu. Hanya ada kedamaian yang mendalam, seperti dua orang yang akhirnya saling mengerti tanpa perlu banyak kata. Aku merasa seperti dunia ini lebih indah hanya dengan berada di sampingnya, dan aku tahu, ini bukan lagi hanya tentang cinta diam-diam.
Kami berdua tahu, cinta yang terpendam selama ini akhirnya menemukan jalannya. Dan meskipun mungkin masih banyak hal yang belum kami ungkapkan, kami sudah cukup. Karena kami mengerti satu hal yang lebih penting dari segala kata-kata: kadang, cinta bukan tentang apa yang diucapkan, tetapi tentang bagaimana perasaan itu tumbuh, diam-diam, menjadi sesuatu yang lebih besar.
Dan malam itu, aku tahu, perasaan kami sudah saling terungkap tanpa perlu banyak kata. Kami duduk bersama, merasakan cinta yang akhirnya ada di antara kami, dengan cara yang sangat sederhana namun penuh makna.
Dan mungkin, kadang memang cinta itu nggak perlu diungkapin dengan kata-kata. Cukup dengan diam, cukup dengan perhatian yang terselip dalam setiap tatapan, kita bisa merasain segala yang nggak bisa diucapin. Karena, pada akhirnya, cinta yang terpendam pun bisa jadi cerita yang indah, meskipun cuma kita yang tahu.