Cinta di Ujung Jarak: Kisah LDR Nabila

Posted on

Dalam cerpen mengharukan berjudul “Rindu di Balik Bintang,” kita mengikuti perjalanan emosional Nabila, seorang remaja SMA yang harus menghadapi kehilangan dan cinta jarak jauh. Cerita ini penuh dengan perjuangan, kenangan indah, dan kekuatan untuk melanjutkan hidup meskipun terpisah oleh jarak dan waktu.

Temukan bagaimana Nabila menemukan kembali semangat hidupnya melalui kenangan dan dukungan dari orang-orang di sekitarnya, serta bagaimana ia berusaha mengenang cinta sejatinya, Rizky, dalam setiap langkah yang diambilnya. Artikel ini akan membawa Anda menyelami setiap bab penuh emosi dan inspirasi dari kisah Nabila.

 

Kisah LDR Nabila

Awal Mula Cinta dan Jarak

Aku selalu berpikir bahwa cinta pertama akan selalu membawa kebahagiaan. Namaku Nabila, seorang siswi SMA yang selalu ceria dan aktif. Setiap harinya, aku menjalani hidup dengan penuh semangat, dikelilingi oleh teman-teman yang selalu mendukung. Di sekolah, aku dikenal sebagai sosok yang gaul dan aktif dalam berbagai kegiatan. Tapi di balik semua itu, hatiku menyimpan sebuah kisah yang penuh dengan harapan dan perjuangan.

Pertemuan pertamaku dengan Rizky terjadi di sebuah acara olahraga antar sekolah. Saat itu, aku mewakili sekolah dalam pertandingan basket, sementara Rizky adalah salah satu penonton yang kebetulan duduk di tribun dekat lapangan. Aku masih ingat dengan jelas pandangannya yang penuh perhatian ketika aku bermain. Seusai pertandingan, kami berkenalan, dan sejak saat itu, aku merasa ada yang berbeda dalam hatiku.

Rizky adalah sosok yang sangat menyenangkan. Ia memiliki senyum yang hangat dan tutur kata yang lembut. Kami sering berbicara melalui pesan singkat dan panggilan telepon. Meski jarang bertemu, perasaanku padanya semakin kuat. Setiap kali mendengar suaranya, aku merasa seperti mendapatkan kekuatan baru.

Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Ayah Rizky mendapat tugas pindah ke kota lain, membuat Rizky harus ikut pindah bersama keluarganya. Hatiku hancur mendengar kabar itu. Aku merasa dunia seakan runtuh di hadapanku. Bagaimana mungkin hubungan kami bisa bertahan dengan jarak yang begitu jauh?

Hari-hari setelah kepindahan Rizky terasa sangat berat. Aku selalu mencoba untuk tersenyum dan menjalani aktivitas seperti biasa, tapi hatiku selalu dirundung rasa rindu yang mendalam. Setiap malam, kami berusaha menjaga komunikasi melalui pesan dan panggilan video. Tapi ada kalanya, aku merasa jarak membuat kami semakin terpisah oleh dunia yang berbeda.

Suatu hari, saat sedang istirahat di sekolah, aku melihat sepasang kekasih yang sedang duduk bersama di bangku taman. Mereka terlihat sangat bahagia, saling berbagi cerita dan tawa. Pemandangan itu membuat hatiku semakin terasa perih. Aku merindukan kehadiran Rizky di sisiku, merindukan senyum dan tawa yang biasa kami bagi bersama.

Kegiatan sekolah yang padat sering kali membuatku merasa lelah. Namun, aku selalu berusaha kuat demi cintaku pada Rizky. Aku percaya bahwa cinta kami akan mampu mengalahkan jarak yang memisahkan. Setiap malam, aku menatap langit dan berharap jarak yang memisahkan kami bisa segera teratasi.

Suatu malam yang sunyi, Rizky mengirimkan pesan yang membuat hatiku kembali bersemangat. Ia berjanji akan datang mengunjungiku saat liburan. Harapan itu kembali menyala dalam diriku. Aku menunggu hari itu dengan penuh semangat, menghitung setiap detik dengan hati yang penuh harapan.

Namun, takdir berkata lain. Beberapa hari sebelum liburan, aku menerima kabar dari teman Rizky bahwa ia mengalami kecelakaan dan harus dirawat di rumah sakit. Hatinya hancur mendengar berita itu. Aku merasa dunia seakan runtuh di hadapanku. Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi?

Dalam kesedihan yang mendalam, aku berusaha menguatkan diri. Setiap malam, aku berdoa untuk kesembuhan Rizky, berharap ia bisa kembali pulih dan menepati janjinya untuk bertemu. Aku mengirimkan pesan-pesan penuh semangat dan cinta, berharap bisa memberikan kekuatan bagi Rizky yang sedang berjuang di rumah sakit.

Namun, semakin hari, kondisi Rizky semakin memburuk. Hatiku semakin hancur mendengar kabar itu. Pada suatu malam yang penuh kesedihan, Rizky mengirimkan pesan terakhir. “Nabila, terima kasih sudah mencintaiku dengan tulus. Maafkan aku karena tidak bisa menepati janji untuk bertemu. Aku akan selalu mencintaimu, meski kita terpisah oleh jarak dan waktu.”

Air mata mengalir deras di pipiku saat membaca pesan itu. Aku merasa kehilangan yang begitu mendalam. Cinta yang selama ini menjadi sumber kekuatanku, kini menjadi kenangan yang menghancurkan hatiku. Namun, di dalam kesedihan itu, aku menyadari bahwa cinta kami akan selalu abadi, meski terpisah oleh jarak dan waktu.

Aku belajar untuk merelakan dan mengenang Rizky dengan senyum. Meski berat, aku melanjutkan hidup dengan semangat, membawa cinta Rizky dalam setiap langkahku. Setiap malam, saat menatap langit, aku tahu bahwa di suatu tempat, Rizky juga menatap bintang yang sama, dengan cinta yang tak akan pernah pudar.

 

Harapan yang Tersisa

Sejak pesan terakhir dari Rizky, hidupku berubah. Setiap hari terasa berat, dan setiap malam penuh dengan air mata. Aku selalu merindukan suara dan senyumnya, tapi aku tahu bahwa aku harus melanjutkan hidupku tanpa kehadirannya secara fisik. Sekolah masih berjalan seperti biasa, tapi hatiku terasa kosong.

Teman-teman di sekolah melihat perubahan dalam diriku. Mereka sering bertanya apakah aku baik-baik saja, dan aku selalu menjawab dengan senyuman kecil, mencoba meyakinkan mereka bahwa semuanya baik-baik saja. Tapi di dalam hatiku, aku tahu bahwa luka ini membutuhkan waktu untuk sembuh.

Suatu hari, di saat sedang duduk sendirian di taman sekolah, Lina, sahabat terdekatku, datang menghampiriku. “Nabila aku tahu bahwa kamu sedang melalui masa – masa yang sulit. Kamu tidak harus berpura-pura kuat di depan kami. Kami ada di sini untukmu,” katanya sambil menggenggam tanganku erat.

Aku merasa air mataku mulai menggenang. Lina adalah satu-satunya orang yang selalu ada untukku sejak awal. Aku pun menceritakan semuanya, dari awal pertemuanku dengan Rizky hingga pesan terakhir yang kuterima. Lina mendengarkan dengan penuh perhatian dan empati. Setelah aku selesai bercerita, dia memelukku erat. “Nabila, kamu adalah orang yang kuat. Aku yakin kamu bisa melalui ini,” katanya dengan suara lembut.

Dukungan dari Lina dan teman-temanku memberi sedikit kekuatan untuk melanjutkan hari-hariku. Aku mencoba fokus pada kegiatan sekolah dan organisasi. Namun, ada kalanya kenangan tentang Rizky muncul tiba-tiba, membuatku merasa kembali jatuh dalam kesedihan.

Pada suatu sore, aku memutuskan untuk pergi ke tempat favoritku dan Rizky di pinggir kota. Tempat itu adalah taman kecil dengan pohon sakura yang indah. Di sana, kami pernah duduk berdua, berbicara tentang mimpi-mimpi kami dan masa depan. Aku ingin mengenang kembali momen-momen indah itu, meski tahu bahwa itu akan membawa air mata.

Setibanya di taman, aku duduk di bangku yang sama. Aku menutup mata dan membiarkan angin sepoi-sepoi mengelus wajahku. Kenangan tentang Rizky terasa begitu nyata. Aku bisa merasakan kehadirannya di sampingku, mendengar tawanya yang menenangkan.

“Tuhan, tolong berikan aku kekuatan,” bisikku pelan sambil menahan air mata. Aku tahu bahwa Rizky tidak ingin aku terus-terusan bersedih. Ia ingin aku melanjutkan hidup dengan penuh semangat, seperti yang selalu ia katakan.

Sejak saat itu, aku berusaha untuk menerima kenyataan dan merelakan kepergian Rizky. Meski berat, aku tahu bahwa hidup harus terus berjalan. Aku mencoba menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil, seperti senyum dari teman-teman, keindahan alam, dan prestasi-prestasi kecil di sekolah.

Suatu hari, guru wali kelasku, Bu Rina, mengumumkan bahwa ada lomba menulis cerita pendek di sekolah. Topiknya adalah tentang cinta dan perjuangan. Hatiku tergerak untuk ikut serta. Aku merasa bahwa ini adalah kesempatan untuk menceritakan kisahku dengan Rizky, sekaligus menyampaikan perasaan dan kenanganku tentangnya.

Aku mulai menulis dengan penuh semangat. Setiap kata yang kutulis membawa kembali kenangan indah bersama Rizky. Aku menulis tentang pertemuan kami, perjuangan dalam hubungan jarak jauh, dan akhir yang tragis. Setiap kata adalah ungkapan cinta dan kerinduan yang mendalam.

Malam sebelum pengumpulan naskah, aku merasa gugup. Aku ingin kisahku bisa menyentuh hati banyak orang, seperti bagaimana kisah itu telah menyentuh hatiku. Aku pun berdoa agar Rizky bisa merasakan usahaku dan memberikan restunya dari atas sana.

Keesokan harinya, naskahku diserahkan. Hari-hari berikutnya penuh dengan rasa cemas dan harap. Aku tahu bahwa menang atau kalah bukanlah tujuan utama, tapi aku ingin cerita kami bisa dikenal dan diingat.

 

Cahaya di Tengah Kegelapan

Setelah kemenanganku dalam lomba menulis, hidupku mulai menemukan ritmenya kembali. Aku merasakan semangat yang perlahan tumbuh dalam diriku, seperti api kecil yang menyala di tengah kegelapan. Kemenangan itu bukan hanya tentang piala dan sertifikat, tapi juga tentang bagaimana aku belajar untuk menerima kehilangan dan melanjutkan hidup.

Namun, tidak semua hari dipenuhi dengan kebahagiaan. Ada saat-saat di mana rasa rindu kembali menghantam dengan keras. Terutama saat-saat tertentu yang biasanya kuhabiskan bersama Rizky. Seperti ulang tahunku, yang biasanya dirayakan dengan kejutan manis darinya.

Tahun ini, ulang tahunku terasa berbeda. Teman-temanku, terutama Lina, berusaha membuatku bahagia dengan pesta kejutan kecil di rumah. Mereka datang dengan kue ulang tahun dan hadiah-hadiah yang menyenangkan. Tapi, di tengah tawa dan kebahagiaan itu, hatiku terasa hampa tanpa Rizky.

Setelah pesta usai dan teman-teman pulang, aku duduk sendiri di kamar. Aku memegang hadiah dari Rizky yang masih kusimpan dengan rapi: sebuah kalung dengan liontin berbentuk hati. Setiap kali aku melihat kalung itu, kenangan tentang Rizky kembali membanjiri pikiranku. Aku merindukan suaranya, senyumnya, dan semua momen yang kami bagi bersama.

Aku membuka jendela kamar dan memandang langit malam. Bintang-bintang berkelip terang, seolah-olah mencoba menyampaikan pesan dari Rizky. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menguatkan diriku. “Rizky, aku tahu kamu ingin aku bahagia. Aku akan mencoba, demi kamu,” bisikku pelan.

Hari-hari berikutnya, aku semakin fokus pada kegiatan sekolah dan organisasi. Aku bergabung dengan tim debat dan ikut serta dalam beberapa kompetisi. Setiap kali aku meraih prestasi, aku selalu mengingat Rizky dan merasakan dukungannya dari jauh.

Namun, tidak semua orang memahami perasaanku. Ada beberapa teman yang mulai menjauh, mungkin karena mereka merasa sulit untuk berbicara denganku yang sering kali terlihat murung. Tapi aku tidak menyalahkan mereka. Kehilangan seseorang yang kita cintai memang bukan hal yang mudah untuk dihadapi.

Suatu hari, aku bertemu dengan seorang guru baru di sekolah. Namanya Pak Hadi, guru bahasa Indonesia yang menggantikan guru lama kami yang pindah. Pak Hadi adalah sosok yang bijaksana dan penuh perhatian. Ia sering kali mengajak kami berdiskusi tentang banyak hal, termasuk tentang kehidupan dan perjuangan.

Pak Hadi pernah mengatakan sesuatu yang sangat mengena di hatiku. “Kehidupan ini seperti sebuah buku, Nabila. Setiap bab memiliki ceritanya sendiri. Ada saatnya kita harus menyelesaikan satu bab dan melanjutkan ke bab berikutnya, meski itu sulit.”

Kata-kata itu membuatku merenung. Aku menyadari bahwa meski bab tentang Rizky telah berakhir, bukan berarti cerita hidupku juga berakhir. Masih banyak bab yang harus kutulis, dan aku ingin membuat setiap bab menjadi penuh makna, termasuk bab yang berisi kenangan tentang Rizky.

Pada suatu sore, setelah pelajaran selesai, Pak Hadi mengajakku berbicara. “Nabila, aku melihat ada bakat menulis dalam dirimu. Bagaimana kalau kamu mencoba menulis sebuah buku?” tawarnya.

Aku terkejut mendengar tawaran itu. Menulis buku terasa seperti mimpi yang terlalu besar bagiku. Tapi Pak Hadi terus meyakinkanku. “Kamu punya banyak cerita dan sebuah pengalaman yang bisa kamu bagikan. Menulis bisa menjadi cara untuk menyembuhkan dirimu sendiri.”

Setelah berpikir matang-matang, aku memutuskan untuk mencoba. Aku mulai menulis tentang kehidupanku, tentang cinta dan perjuanganku bersama Rizky, serta bagaimana aku berusaha melanjutkan hidup setelah kepergiannya. Setiap kata yang kutulis membawa kembali kenangan manis dan pahit, tapi juga memberikan kekuatan untuk terus maju.

Proses menulis buku itu bukanlah hal yang mudah. Ada saat-saat di mana aku merasa terlalu emosional dan ingin berhenti. Tapi aku selalu ingat kata-kata Pak Hadi dan dukungan dari Lina dan teman-teman lainnya. Mereka selalu ada untuk mendukungku, memberikan semangat saat aku merasa lelah.

Setelah berbulan-bulan bekerja keras, akhirnya naskah bukuku selesai. Aku merasa bangga dan lega. Bukuku adalah ungkapan cinta dan perjuangan, sebuah penghormatan untuk Rizky yang selalu ada di hatiku.

Ketika bukuku diterbitkan, aku merasa sangat bahagia. Banyak orang yang membaca dan terinspirasi oleh ceritaku. Mereka mengatakan bahwa kisahku memberikan mereka kekuatan untuk menghadapi kesulitan dalam hidup. Aku merasa bahwa usahaku tidak sia-sia.

Di hari peluncuran bukuku, aku berdiri di depan banyak orang dan menceritakan tentang inspirasiku menulis buku tersebut. Aku menutup pidatoku dengan kalimat yang sama seperti saat lomba menulis dulu, “Meski kita terpisah oleh jarak dan waktu, cinta yang tulus akan selalu abadi.”

Aku melihat ke langit dan tersenyum. Aku tahu bahwa Rizky pasti bangga padaku. Meski ia tidak ada di sini secara fisik, cintanya selalu ada dalam setiap langkahku. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk selalu mengenangnya dengan senyum dan melanjutkan hidup dengan penuh semangat.

Dan setiap malam, saat aku menatap langit, aku tahu bahwa di suatu tempat, Rizky juga menatap bintang yang sama. Kenangan dan cinta kami akan selalu abadi, meski terpisah oleh jarak dan waktu. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk selalu mengingatnya dengan senyum dan melanjutkan hidup dengan penuh semangat, seperti yang selalu diinginkannya.

 

Menemukan Kembali Cahaya

Beberapa bulan setelah peluncuran bukuku, kehidupanku mulai menemukan keseimbangannya. Bukuku mendapat sambutan hangat dari pembaca, dan aku merasa sangat bersyukur atas dukungan dari semua orang yang percaya padaku. Meski begitu, aku tahu bahwa perjalanan hidupku masih panjang, dan aku harus terus berjuang menghadapi berbagai tantangan yang datang.

Setiap pagi, aku bangun dengan semangat baru. Aku merasa lebih kuat dan percaya diri, meski kenangan tentang Rizky selalu ada di dalam hati. Aku sering mengunjungi tempat-tempat yang memiliki kenangan bersama Rizky, bukan untuk meratapi kepergiannya, tapi untuk mengenangnya dengan senyuman.

Suatu hari, saat sedang berjalan-jalan di taman kota, aku melihat seorang anak kecil yang sedang bermain sendirian. Wajahnya mengingatkanku pada Rizky saat kecil. Aku mendekatinya dan berbicara dengannya. Namanya Arman, dan ia sering bermain di taman itu sambil menunggu ibunya pulang kerja.

Arman adalah anak yang ceria dan penuh semangat, tapi aku bisa melihat kesepian di matanya. Aku merasa tergerak untuk membantunya. Setiap sore, aku mengajaknya bermain dan membantunya dengan pekerjaan rumahnya. Kami berbagi banyak cerita, dan aku merasa kehadirannya memberi warna baru dalam hidupku.

Suatu hari, Arman bertanya, “Kak Nabila, kenapa Kakak selalu terlihat sedih setiap kali melihat bintang di langit?”

Pertanyaan itu membuatku terdiam sejenak. Aku pun menceritakan sedikit tentang Rizky dan bagaimana aku merindukannya setiap malam. Arman mendengarkan dengan penuh perhatian, lalu berkata, “Aku yakin Kak Rizky melihat Kakak dari bintang-bintang itu. Dia pasti bangga melihat Kakak yang kuat dan baik hati.”

Kata-kata Arman membuatku tersentuh. Aku merasa bahwa melalui Arman, Rizky mengirimkan pesan bahwa ia selalu ada di sampingku, meski dalam bentuk yang berbeda. Kehadiran Arman memberiku kekuatan baru untuk melanjutkan hidup dengan lebih baik.

Sementara itu, di sekolah, aku terus aktif dalam berbagai kegiatan. Aku bergabung dengan klub relawan yang membantu anak-anak kurang mampu. Aku merasa bahwa membantu orang lain adalah cara terbaik untuk menghargai hidup yang telah diberikan padaku. Setiap senyum dan ucapan terima kasih dari mereka membuat hatiku hangat.

Pak Hadi, guruku, juga terus memberikan dukungan. Suatu hari, ia mengajakku untuk berbicara di sebuah seminar tentang penulisan dan bagaimana menulis bisa menjadi terapi bagi mereka yang sedang berjuang menghadapi kehilangan. Aku merasa gugup, tapi Pak Hadi meyakinkanku bahwa aku bisa melakukannya.

Di seminar itu, aku berbicara di depan banyak orang, menceritakan tentang perjalananku menghadapi kehilangan Rizky dan bagaimana menulis membantuku menemukan kembali semangat hidup. Aku melihat banyak orang yang terharu dan terinspirasi oleh ceritaku. Setelah seminar, beberapa orang mendatangiku dan berbagi kisah mereka sendiri. Aku merasa bahwa aku tidak sendirian, dan itu memberiku kekuatan.

Suatu malam, setelah seminar, aku duduk di balkon rumah dan menatap langit malam. Bintang-bintang bersinar terang, seolah-olah mencoba menyampaikan pesan dari Rizky. Aku menarik napas dalam-dalam dan tersenyum. “Rizky, aku tahu kamu selalu ada di sini. Aku akan terus melanjutkan hidup dengan penuh semangat, seperti yang kamu inginkan,” bisikku pelan.

Namun, tidak semua hari berjalan mulus. Ada kalanya aku merasa sangat rindu pada Rizky, terutama saat melihat pasangan-pasangan yang bahagia bersama. Tapi aku selalu mencoba mengingat bahwa cintaku pada Rizky akan selalu abadi, meski kami terpisah oleh jarak dan waktu.

Pada suatu hari, Lina mengajakku untuk bergabung dalam sebuah kegiatan sosial di panti asuhan. Kami mengajar anak-anak di sana dan bermain bersama mereka. Melihat senyum dan tawa anak-anak itu membuat hatiku bahagia. Aku merasa bahwa memberi kebahagiaan kepada orang lain adalah cara terbaik untuk menghargai kenangan tentang Rizky.

Salah satu anak di panti asuhan itu, seorang gadis kecil bernama Sinta, sangat dekat denganku. Sinta adalah anak yang cerdas dan penuh semangat, tapi ia juga menyimpan kesedihan karena kehilangan orang tuanya. Aku melihat diriku dalam diri Sinta, dan aku berjanji untuk selalu ada untuknya.

Setiap kali aku mengunjungi panti asuhan, Sinta selalu berlari menyambutku dengan pelukan hangat. Kami sering menghabiskan waktu bersama, belajar, bermain, dan berbicara tentang banyak hal. Kehadiran Sinta memberiku kekuatan dan inspirasi untuk terus berjuang menghadapi hidup.

Pada suatu malam, saat sedang menulis di kamarku, aku menerima pesan dari Lina. Ia mengatakan bahwa ada sebuah surat untukku di sekolah. Keesokan harinya, aku pergi ke sekolah dan mengambil surat itu. Ternyata surat itu dari keluarga Rizky. Mereka mengundangku untuk datang ke rumah mereka dan berbicara tentang sesuatu yang penting.

Hatiku berdebar saat membaca surat itu. Aku merasa campuran antara kegembiraan dan kecemasan. Aku belum pernah bertemu dengan keluarga Rizky sejak kepergiannya. Aku tidak tahu apa yang akan mereka bicarakan, tapi aku merasa bahwa ini adalah sesuatu yang penting.

Saat tiba di rumah Rizky, aku disambut dengan hangat oleh orang tuanya. Mereka menunjukkan banyak foto Rizky dan menceritakan tentang kehidupannya sebelum kecelakaan. Aku merasa sangat terharu mendengar cerita mereka. Meski kami tidak pernah bertemu, aku merasa bahwa mereka adalah bagian dari keluargaku.

Di akhir pertemuan, orang tua Rizky memberikan sebuah kotak kecil padaku. “Rizky meninggalkan ini untukmu. Dia memintaku untuk memberikannya padamu jika sesuatu terjadi padanya,” kata ibunya dengan mata berkaca-kaca.

Aku membuka kotak itu dengan hati-hati. Di dalamnya, terdapat sebuah buku harian milik Rizky. Aku membacanya dengan air mata yang mengalir deras. Setiap halaman berisi tentang perasaannya, mimpinya, dan cintanya padaku. Aku merasa bahwa melalui buku itu, Rizky berbicara padaku dan memberikan kekuatannya.

Kehadiran buku harian itu memberiku kekuatan baru untuk melanjutkan hidup. Aku merasa bahwa meski Rizky tidak ada di sini secara fisik, cintanya selalu ada dalam setiap langkahku. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk terus berjuang dan menghargai setiap momen dalam hidupku.

Setiap malam, saat menatap langit, aku tahu bahwa di suatu tempat, Rizky juga menatap bintang yang sama. Kenangan dan cinta kami akan selalu abadi, meski terpisah oleh jarak dan waktu. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk selalu mengenangnya dengan senyum dan melanjutkan hidup dengan penuh semangat, seperti yang selalu diinginkannya.

 

Cerpen “Rindu di Balik Bintang” mengajarkan kita bahwa meskipun terpisah oleh jarak dan waktu, cinta sejati akan selalu abadi dalam hati. Melalui perjuangan Nabila, kita dapat belajar tentang kekuatan menerima kehilangan dan menemukan kebahagiaan dalam kenangan yang indah. Kisah ini menginspirasi kita untuk terus melangkah maju dan menghargai setiap momen yang kita miliki.
Terima kasih telah membaca artikel ini. Semoga cerita Nabila memberikan inspirasi dan kekuatan bagi Anda dalam menghadapi setiap tantangan hidup. Sampai jumpa di artikel berikutnya!

Leave a Reply