Daftar Isi
Jadi, bayangin deh, ada dua sahabat, Selina dan Arkan, yang tumbuh bareng di tengah dunia yang nggak selalu cerah. Mereka berjuang dengan masalah keluarga masing-masing, tapi satu hal yang selalu bikin mereka kembali tersenyum adalah cinta dan persahabatan yang tulus. Di sini, kita bakal ikuti perjalanan mereka, dari tawa hingga air mata, dan melihat bagaimana cinta bisa jadi pelita di tengah kegelapan. Let’s go!!
Cinta di Tengah Broken Home
Suara di Antara Hening
Di tengah riuhnya suara ketukan pena dan suara guru yang menjelaskan di depan kelas, Selina duduk tenang di sudut ruangan. Matanya berkeliling, mengamati teman-temannya yang terlibat dalam obrolan ringan. Senyum ceria dan tawa mereka terasa begitu jauh darinya, seperti berada di balik kaca. Selina bukanlah tipe gadis yang mudah bergaul. Dia lebih suka mengamati, merasakan atmosfer, dan berusaha memahami dinamika yang ada.
Rambut hitamnya yang diikat rapi dan baju seragam yang selalu rapi membuatnya tampak anggun, meskipun hatinya menyimpan kepedihan. Setiap hari, dia teringat akan keluarganya—ibunya yang selalu tampak kosong dan ayahnya yang pergi tanpa pamit. Selina tahu betul betapa perpisahan itu menyisakan luka. Tidak ada yang bisa mengisi kekosongan di rumahnya, tidak ada tawa, tidak ada kehangatan. Semua terasa sunyi.
Tiba-tiba, suara riuh dari luar kelas menarik perhatian Selina. Dia menoleh dan melihat sekelompok siswa baru, salah satunya tampak berbeda. Namanya Arkan, seorang siswa baru yang baru saja pindah. Senyumnya cerah dan lepas, seolah membawa cahaya ke dalam suasana yang muram. Selina mengamati Arkan dengan saksama. Ada sesuatu tentang dirinya yang membuat Selina penasaran. Dia ingin tahu lebih banyak.
Di sela-sela pelajaran, Arkan duduk di belakang Selina. Suara guru yang menjelaskan tentang rumus matematika terdengar samar di telinga Selina. Dia merasa Arkan sering kali mencuri pandang ke arahnya, dan setiap kali tatapan itu beradu, Selina merasakan jantungnya berdebar kencang. Rasa ingin tahunya semakin membesar, tetapi keraguan untuk mendekat membuatnya cemas.
Satu jam setelah bel berbunyi, mereka keluar kelas. Selina melangkah cepat, berusaha menghindari keramaian. Namun, saat dia berbelok di sudut, tidak sengaja dia menabrak Arkan.
“Aduh, maaf!” Selina tergagap, berusaha menstabilkan buku-buku yang hampir jatuh dari pelukannya.
“Gak apa-apa,” Arkan menjawab dengan senyum lebar. “Aku juga kurang hati-hati. Kita kayaknya sama-sama sibuk ya?”
Selina merasakan getaran di dadanya. “Iya, maafnya sekali lagi,” jawabnya, berusaha terdengar santai.
“Eh, aku Arkan,” ujarnya, mengulurkan tangan.
“Selina,” jawabnya, menjabat tangan Arkan. Sentuhan itu memberi rasa hangat yang tak terduga. “Kamu baru pindah ke sini ya?”
“Iya, baru beberapa minggu. Masih beradaptasi,” Arkan menjawab sambil tersenyum. “Suka sama sekolah ini? Atau lebih suka yang lama?”
Selina mengernyit, merenungkan pertanyaannya. “Sekolah ini… Hmm, lebih seru sih. Tapi aku masih merasa asing. Teman-teman di sini sudah akrab satu sama lain.”
“Wajar, namanya juga baru. Butuh waktu buat nyambung sama yang lain,” balas Arkan. “Kalau mau, kita bisa belajar bareng. Mungkin bisa bikin proses adaptasi jadi lebih gampang.”
“Belajar bareng? Hmm, boleh juga. Matematika memang bikin pusing,” Selina merespons dengan sedikit tawa. Dalam hatinya, dia merasa senang mendengar tawaran itu. Arkan tampaknya tidak hanya ramah, tetapi juga mengerti situasinya.
Saat bel berbunyi, menandakan istirahat telah berakhir, Selina dan Arkan sepakat untuk bertemu di taman sekolah setelah pelajaran. Selina tidak sabar menunggu saat itu. Mungkin, hanya mungkin, ini bisa menjadi awal dari sebuah persahabatan.
Hari berlalu, dan saat pelajaran selanjutnya dimulai, Selina merasa bersemangat. Ada harapan baru dalam hidupnya, harapan yang dihadirkan oleh sosok baru. Namun, di sudut pikirannya, dia juga merasakan rasa takut akan kehilangan. Dalam sekejap, ingatan akan keluarganya yang berantakan kembali muncul. Dia berusaha mengusirnya, tetapi tidak bisa sepenuhnya mengabaikannya.
Ketika pelajaran selesai, Selina bergegas ke taman. Suasana di taman sejuk, dikelilingi pepohonan rimbun dan suara burung berkicau. Dia menunggu Arkan dengan berdebar, tidak sabar untuk berbagi cerita dan tawa. Namun, saat Arkan tiba, wajahnya tampak sedikit murung.
“Ada apa, Arkan?” tanya Selina, merasa khawatir.
“Gak apa-apa, cuma sedikit capek. Banyak tugas dari guru,” Arkan menjawab sambil berusaha tersenyum.
Selina tidak bisa menahan rasa ingin tahunya. “Kalau kamu butuh bantuan, bilang aja. Kita bisa kerja sama.”
Arkan mengangguk, dan mereka mulai belajar bersama. Selina merasa nyaman berbicara dengan Arkan, dan seiring waktu, mereka mulai bercerita tentang diri masing-masing. Arkan berbagi kisah tentang keluarganya yang juga tidak utuh, tentang ayahnya yang jarang pulang. Selina merasakan ketidakadilan hidup yang mereka hadapi mirip satu sama lain.
Sementara mereka tertawa dan belajar, tidak ada yang menyadari bahwa saat-saat itu adalah awal dari sebuah perjalanan. Saat hari mulai gelap dan mereka harus pulang, Selina merasa ada sesuatu yang berbeda. Sebuah benang yang menghubungkan mereka, meskipun masih dalam tahap permulaan.
Belum ada janji, tetapi harapan itu sudah mulai tumbuh. Namun, tidak ada yang bisa memprediksi apa yang akan terjadi selanjutnya. Selina pulang dengan perasaan campur aduk—senang, tapi juga cemas. Dia tahu bahwa hidup tidak selalu seindah yang diharapkan.
Di rumah, saat melihat ibunya yang duduk sendirian di sofa, Selina merasa hatinya berat. Namun, dia bertekad untuk berusaha lebih keras, tidak hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk Arkan. Harapan baru dan rasa persahabatan yang terjalin menghidupkan semangatnya, meski masa lalu tetap membayangi langkahnya.
Belum ada akhir dari kisah mereka, hanya sebuah awalan yang membawa harapan baru dalam hidup Selina.
Pertemuan yang Tak Terduga
Hari-hari berikutnya terasa berbeda bagi Selina. Setiap kali dia memasuki sekolah, ada semangat baru yang menyertainya. Wajah ceria Arkan selalu membuat hari-harinya lebih berwarna. Momen-momen belajar bersama di taman bukan hanya sekadar belajar; mereka mulai berbagi cerita, tawa, dan impian. Tanpa sadar, hubungan mereka semakin erat, meskipun keduanya tidak pernah secara eksplisit menyebutkan bahwa mereka saling menyukai.
Suatu hari, saat pelajaran olahraga, Selina melihat Arkan bermain basket dengan teman-temannya. Dia berdiri di pinggir lapangan, menikmati momen itu. Arkan bergerak gesit, mengolah bola dengan baik, dan setiap kali dia mencetak angka, sorakan teman-teman semakin menggema. Selina tersenyum lebar. Dia tidak pernah melihat Arkan seantusias itu.
Ketika permainan berakhir, Arkan melangkah ke arahnya, napasnya sedikit terengah. “Eh, kamu nonton dari tadi ya?” tanyanya dengan tawa.
“Iya, kamu keren banget main basket! Seharusnya kamu bisa ikutan tim sekolah,” jawab Selina, tidak bisa menahan rasa bangganya.
“Ah, cuma hoki aja,” balas Arkan, merendah. “Tapi senang bisa main di sini. Kamu juga harus coba ikut, Selina. Mungkin bisa jadi pemain cadangan,” godanya, membuat Selina tertawa.
“Ya, siapa tahu. Tapi kayaknya aku lebih baik di kelas deh,” Selina menjawab sambil menggelengkan kepala.
Namun, saat hari beranjak siang, suasana berubah menjadi tegang. Berita menyebar di kalangan siswa bahwa akan ada pengumuman penting dari kepala sekolah. Semua siswa diminta berkumpul di aula. Selina merasa cemas, tidak tahu apa yang akan diumumkan. Dia mencari Arkan di antara kerumunan, dan saat mereka bertemu, ekspresi mereka sama-sama menegang.
“Kayaknya ada yang aneh,” bisik Selina.
“Tenang aja. Mungkin cuma tentang acara sekolah,” Arkan mencoba menenangkan, meskipun nada suaranya mengindikasikan bahwa dia juga merasa cemas.
Setelah semua siswa berkumpul, kepala sekolah muncul di panggung. Dengan nada serius, beliau mengumumkan bahwa salah satu siswa di sekolah mereka, Rian, telah mengalami kecelakaan. Rian adalah salah satu siswa yang cukup populer dan sering terlibat dalam berbagai kegiatan. Berita itu mengejutkan seluruh sekolah.
Selina merasa hatinya tertekan. Rian adalah teman sekelas yang cukup dekat dengannya. Dalam hati, dia merasa bersalah; seharusnya dia lebih menghargai setiap momen bersama teman-temannya. Dia tidak ingin kehilangan lebih banyak orang lagi.
Setelah pengumuman itu, suasana di sekolah terasa muram. Arkan dan Selina memutuskan untuk duduk di taman setelah pelajaran. Mereka berdua merasakan ketegangan dan kepedihan yang sama. Selina melihat Arkan yang terlihat bingung, dan dia merasa perlu menghiburnya.
“Hey, Arkan. Aku tahu ini sulit. Kita bisa berdoa untuk Rian, semoga dia cepat sembuh,” ujar Selina, berusaha menenangkan.
Arkan mengangguk. “Iya, aku juga berpikir seperti itu. Kita tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi, tapi kita bisa berdoa dan berharap yang terbaik.”
Mereka duduk diam, merenung dalam keheningan. Selina menyadari betapa berartinya Arkan dalam hidupnya. Dia mengagumi cara Arkan menangani situasi sulit ini. Ada kekuatan dalam diri Arkan yang membuatnya merasa aman, meskipun perasaan cemas tetap mengganggu.
Hari-hari berikutnya, Selina dan Arkan lebih sering menghabiskan waktu bersama. Mereka berbagi cerita tentang kehidupan masing-masing, tentang keluarga, impian, dan ketakutan mereka. Selina menemukan kenyamanan saat berbicara dengan Arkan. Dia mulai membuka diri lebih banyak, menceritakan tentang keluarganya yang berantakan, dan bagaimana dia merasa terasing di rumah.
“Kadang aku merasa seperti kehilangan arah. Gak ada yang bisa diajak bicara dengan serius di rumah,” ungkap Selina dengan suara pelan. “Ibu hanya duduk sendiri, tidak ada yang pernah ditanyakan tentang sekolah atau teman-temanku.”
Arkan mendengarkan dengan seksama. “Aku mengerti. Aku juga merasakannya. Keluargaku tidak utuh. Ayahku sering pergi dan tidak pernah kembali. Kadang, aku merasa kesepian meskipun dikelilingi banyak orang.”
Selina merasa terhubung dengan Arkan. Mereka saling menguatkan satu sama lain. Dalam setiap obrolan, ada rasa harapan yang tumbuh. Mereka membuat kesepakatan untuk saling mendukung, terutama saat ujian mendatang.
Suatu sore, saat mereka sedang belajar di taman, Arkan tiba-tiba meminta Selina untuk menutup matanya. “Aku mau tunjukkan sesuatu,” katanya, dengan nada misterius.
Selina mengikuti perintahnya, meskipun rasa ingin tahunya semakin meningkat. “Oke, aku tutup mata. Kenapa?”
“Jangan buka sampai aku bilang,” Arkan menginstruksikan. Beberapa detik kemudian, Selina merasakan Arkan menggenggam tangannya, membawanya berjalan pelan.
“Sekarang buka matamu!” seru Arkan.
Selina membuka matanya perlahan. Dia terkejut melihat sekelompok teman sekelas mereka berkumpul dengan balon dan kue kecil. “Selamat datang di dunia belajar yang menyenangkan!” teriak salah satu temannya. Semua orang tertawa, dan Selina merasa hangat di dalam hatinya.
“Ini untuk merayakan semangat kita belajar bareng. Aku ingin kamu tahu, kamu bukan sendiri,” kata Arkan, dengan senyum penuh arti.
Selina tidak bisa menahan senyumnya. Dia merasa beruntung memiliki Arkan dalam hidupnya. Momen itu membuatnya merasa lebih dari sekadar pelajar; dia merasa menjadi bagian dari sebuah komunitas, tempat di mana dia bisa menjadi diri sendiri.
Seiring berjalannya waktu, rasa saling mengerti antara mereka semakin dalam. Meskipun perasaan cinta mulai tumbuh, Selina dan Arkan berusaha untuk tidak terburu-buru. Mereka tahu bahwa ada hal-hal yang lebih penting untuk dipikirkan, terutama ketika kenyataan hidup masih menghantui mereka.
Namun, dalam ketidakpastian dan kepedihan yang mereka hadapi, benih harapan dan persahabatan tumbuh subur. Selina menyadari bahwa meskipun hidup ini penuh luka, ada cahaya yang bisa ditemukan dalam ikatan yang tulus. Mereka belum tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi saat ini, mereka berdua ingin menikmati setiap detik yang ada.
Mereka berpikir bahwa mungkin, hanya mungkin, kebahagiaan kecil ini bisa mengubah segalanya. Tetapi, tidak ada yang bisa memprediksi bagaimana perjalanan ini akan berakhir.
Gelombang yang Menghantam
Hari-hari berikutnya terasa semakin indah, dan persahabatan Selina dan Arkan semakin kuat. Setiap detik yang mereka habiskan bersama membawa kebahagiaan tersendiri. Di tengah kepedihan yang mereka alami, mereka menemukan tempat untuk bersandar satu sama lain, sebuah pelabuhan dari badai kehidupan yang tak terduga.
Namun, suatu hari, segalanya mulai berubah. Saat jam pelajaran berlangsung, Selina merasakan suasana di kelas sedikit tegang. Guru mereka, Pak Andi, memanggilnya ke depan. “Selina, bisakah kamu ke ruang guru sejenak?” tanyanya dengan nada serius. Selina melihat Arkan yang duduk di belakangnya. Dia mengerutkan kening, memberi isyarat untuk bersabar.
Selina mengikuti permintaan Pak Andi, namun hatinya berdebar-debar. Di dalam ruang guru, dia menemukan Ibu Sari, guru konseling, yang tampak khawatir. “Selina, ada kabar tidak enak yang harus kamu tahu. Aku harap kamu bisa kuat,” ucapnya, suaranya penuh empati.
“Apakah ada yang terjadi pada keluarga ku?” tanya Selina, merasa cemas. Dia tahu, saat Ibu Sari berbicara seperti itu, biasanya ada berita buruk.
“Ini tentang ibumu. Dia terlibat dalam kecelakaan dan sekarang dirawat di rumah sakit. Aku ingin kamu kuat dan siap menghadapi ini,” kata Ibu Sari, menatapnya dengan lembut.
Seketika, dunia Selina runtuh. Rasanya seperti seluruh udara di sekitarnya menghilang. “Ibu…? Kecelakaan?” ujarnya, suara gemetar. Air mata mulai mengalir tanpa bisa ditahan.
“Selina, kamu harus pergi ke rumah sakit. Aku akan menghubungi teman-temanmu untuk mendukungmu. Ingat, kamu tidak sendiri,” Ibu Sari berusaha menenangkan.
Setelah mendengar kabar itu, Selina merasa bingung. Dia berlari keluar dari ruang guru, mencari Arkan. Dengan napas yang masih tersengal, dia menghampiri Arkan yang sedang berbicara dengan teman-temannya.
“Arkan! Ibu… Ibu kecelakaan! Aku harus pergi ke rumah sakit!” katanya, mengeluarkan semua rasa takut yang menggerogoti hatinya.
Ekspresi Arkan seketika berubah, dan dia langsung berdiri. “Kamu tidak perlu pergi sendiri. Aku akan ikut denganmu!” jawabnya tegas, tanpa ragu.
Selina merasa bersyukur memiliki Arkan di sisinya. Mereka berdua bergegas menuju rumah sakit, perasaan campur aduk memenuhi pikiran Selina. Ketakutan dan harapan bergulir dalam pikirannya. Apa yang akan terjadi pada ibunya? Selina tidak bisa membayangkan hidup tanpa sosoknya yang selalu ada.
Setibanya di rumah sakit, suasana dingin dan hening menyambut mereka. Dengan langkah berat, Selina dan Arkan berjalan menuju ruang rawat inap ibu Selina. Setiap langkah terasa semakin berat, seolah ada beban yang menekan di dadanya.
Mereka sampai di depan pintu ruangan. Selina mengintip dari celah pintu, melihat ibunya terbaring lemah di atas tempat tidur, wajahnya pucat dan terhubung dengan berbagai alat medis. Air mata kembali menggenang di mata Selina. “Ibu…” bisiknya.
Arkan menepuk punggungnya, memberi dukungan. “Kita masuk, yuk,” katanya pelan, mendorong Selina untuk melangkah maju.
Setelah memasuki ruangan, Selina mendekati ranjang ibunya. “Ibu, aku di sini,” ucapnya, suaranya bergetar. Dia menggenggam tangan ibunya, berharap bisa memberi kekuatan.
“Selina, sayang…” suara lemah ibunya mengalun. “Maafkan Ibu…”
“Ibu, jangan bicara begitu! Ibu harus sembuh! Kita akan melewati ini bersama,” balas Selina, tidak ingin mendengar kata-kata putus asa.
Arkan berdiri di sampingnya, tak berani mengganggu momen itu, tetapi Selina tahu dia ada di sana, siap mendukungnya kapan pun. Mereka berdua merasa hampa, tetapi berusaha tetap positif.
Selina menghabiskan waktu di rumah sakit bersama ibunya, sementara Arkan menemani. Setiap harinya, mereka berdoa, berharap keadaan ibu Selina akan membaik. Dalam keheningan ruangan, Selina mengingat kembali saat-saat bahagia yang pernah mereka lalui bersama. Sekarang, semua terasa jauh, namun dia tahu dia harus bertahan.
Hingga suatu malam, saat Selina beristirahat di kursi dekat ranjang ibunya, dia terbangun oleh suara pelan. Ibunya tampak lebih segar dan berusaha tersenyum. “Selina, sayang, Ibu akan baik-baik saja. Ibu hanya butuh waktu,” ucapnya.
Selina menatap wajah ibunya, berusaha menyimpan setiap detailnya. “Ibu, aku tidak akan meninggalkanmu. Kita akan bersama, kan?”
“Iya, sayang. Kita akan bersama,” jawab ibunya, memegang tangan Selina dengan lembut. Momen itu memberikan sedikit harapan bagi Selina. Dia ingin percaya bahwa semua akan baik-baik saja.
Setelah beberapa hari, kondisi ibu Selina mulai membaik, meski perlahan. Namun, ketika dia merasa sedikit lega, ada kabar mengejutkan dari Arkan.
“Selina, aku mau ngomong sesuatu,” katanya suatu sore saat mereka duduk di taman.
“Ya, ada apa?” tanya Selina, merasakan ketegangan di udara.
“Aku mendapat tawaran untuk pindah sekolah ke luar kota. Ini kesempatan bagus untukku,” ujar Arkan, wajahnya terlihat berat.
Selina terdiam, hatinya serasa terjepit. “Kapan?” tanyanya pelan, mencoba menahan air mata.
“Mungkin bulan depan,” Arkan menjawab, suaranya berat. “Tapi aku ingin kamu tahu, kamu berarti banyak bagiku. Meskipun kita jauh, aku akan selalu ingat momen-momen ini.”
Perasaan campur aduk kembali menghantam Selina. Dia merasa senang untuk Arkan, tetapi juga takut kehilangan. “Tapi, Arkan… aku tidak tahu bagaimana aku bisa melewati semua ini tanpa kamu,” ungkapnya, air mata mengalir di pipinya.
Arkan meraih tangannya, memegangnya erat. “Kita tidak perlu merelakan semua yang kita miliki. Persahabatan kita kuat, Selina. Kita bisa tetap berhubungan.”
Selina merasa terombang-ambing. Dia ingin mendukung Arkan, tetapi rasa takut akan kehilangan membuatnya sulit berbicara. “Tapi… aku tidak ingin kita terpisah. Semuanya terasa lebih sulit tanpa kamu di sini,” katanya dengan suara bergetar.
Arkan mengangguk, memahami perasaannya. “Aku juga merasa sama, tetapi kadang kita harus mengambil langkah maju, kan? Ini bukan akhir bagi kita. Kita hanya perlu berusaha lebih keras.”
Selina menatap Arkan dalam-dalam, mencoba memahami perasaannya. Mereka duduk dalam keheningan, tidak ada yang bisa berkata-kata. Momen itu mengingatkan Selina bahwa hidup tidak selalu berjalan mulus. Kadang-kadang, ada hal-hal yang harus dihadapi meskipun itu menyakitkan.
Di tengah segala ketidakpastian ini, satu hal yang Selina ketahui pasti: tidak peduli di mana mereka berada, kenangan yang mereka buat akan selalu menjadi bagian dari diri mereka. Mereka telah membangun sesuatu yang berharga, dan meskipun jalan di depan terlihat kabur, harapan selalu ada di hati mereka.
Seiring berjalannya waktu, Selina harus mempersiapkan diri untuk menghadapi kenyataan yang akan datang. Dia tahu, setiap langkah yang mereka ambil adalah bagian dari perjalanan yang harus dijalani. Meskipun rasa sakit tak terhindarkan, Selina berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menyerah, untuk terus berjalan meskipun langkahnya berat.
Dan saat langit mulai gelap, Selina dan Arkan merasakan angin berhembus lembut, seolah mengingatkan mereka bahwa harapan selalu ada, meskipun di tengah kegelapan.
Jejak yang Tersisa
Hari-hari berlalu, dan keputusan Arkan untuk pindah semakin dekat. Selina merasa dunia di sekitarnya semakin gelap, meskipun dia tahu ini adalah kesempatan yang baik bagi Arkan. Namun, hatinya tak bisa berdamai dengan kenyataan bahwa sahabat terdekatnya akan pergi jauh darinya.
Suatu sore, di taman yang biasa mereka datangi, Selina dan Arkan duduk di bangku yang sama tempat mereka sering bercanda dan bercerita. Sekarang, suasana terasa lebih berat.
“Selina, ada satu hal yang ingin aku bilang,” Arkan memulai, suaranya tenang tetapi tegas.
“Apa itu?” tanya Selina, berusaha menciptakan suasana lebih ringan, meski hatinya berat.
“Aku ingin kita membuat kenangan terakhir yang berkesan sebelum aku pergi. Sesuatu yang bisa kita ingat selamanya,” ucap Arkan, senyumnya seakan mencoba menutupi kesedihan yang sama-sama mereka rasakan.
Selina mengangguk, perasaannya campur aduk. “Apa yang kamu pikirkan?”
“Mungkin kita bisa pergi ke tempat-tempat yang spesial bagi kita, dan melakukan hal-hal yang kita suka. Aku ingin ingat senyummu ketika kita bersenang-senang,” jawab Arkan, matanya berbinar penuh harapan.
Setelah berpikir sejenak, Selina setuju. Mereka menghabiskan beberapa hari ke depan untuk mengeksplorasi setiap sudut kota, mengunjungi kafe yang menjadi tempat hangout mereka, berkeliling di taman, dan bahkan pergi ke bioskop untuk menonton film favorit mereka. Di setiap momen, mereka tertawa dan berbagi cerita, mencoba menciptakan kenangan yang akan abadi di dalam hati masing-masing.
Suatu malam, saat mereka berdiri di pinggir sungai yang membelah kota, Selina merasakan kedamaian yang sedikit meredakan kesedihannya. Lampu-lampu kota berkelap-kelip, menciptakan suasana romantis yang tak terduga. Arkan mengeluarkan ponselnya dan merekam momen itu.
“Selina, lihat ke sini,” serunya sambil mengarahkan kamera ke arah mereka berdua. “Senyum!”
Mereka berdua tersenyum lebar, meskipun ada rasa haru yang menyelimuti. Selina tidak bisa menahan air matanya ketika melihat wajah Arkan. Dia tahu, di balik senyumnya, ada ketidakpastian yang juga dirasakannya.
“Setelah aku pergi, kita harus tetap berhubungan. Aku akan selalu mengingat semua ini,” kata Arkan, mengakhiri rekaman itu.
“Iya, kita akan berusaha. Kita bisa video call atau apapun. Jangan khawatir,” Selina berusaha memberi semangat, meskipun hatinya terasa berat.
Saat matahari terbenam, keindahan langit yang berwarna oranye dan merah menambah rasa haru di antara mereka. Selina berdoa agar semua kenangan ini bisa bertahan selamanya, meskipun dia tahu kenyataan tidak selalu seindah yang diinginkan.
Namun, di balik semua keindahan itu, ada perasaan tak terucapkan yang mengganjal. Selina ingin mengungkapkan betapa berharganya Arkan baginya, tetapi kata-kata itu terasa terjebak di tenggorokannya.
Setelah beberapa hari penuh keceriaan, hari keberangkatan Arkan akhirnya tiba. Selina merasa hatinya hancur ketika melihat Arkan mengemas barang-barangnya. Dia ingin menghibur diri dengan semua kenangan indah yang telah mereka ciptakan, tetapi setiap detik yang berlalu membuatnya semakin terpuruk.
“Aku akan merindukan semua ini,” kata Selina sambil mengamati Arkan yang sedang menyusun tasnya. “Terutama kamu.”
Arkan menatapnya, tatapan yang dalam dan penuh makna. “Aku juga akan merindukanmu, Selina. Tapi ingat, meskipun kita jauh, aku selalu ada di sini,” katanya sambil menempatkan tangan di dadanya.
Satu pelukan hangat menjadi perpisahan yang tidak akan pernah mereka lupakan. Selina membiarkan air matanya mengalir, merasakan kehadiran Arkan seolah menyerap semua rasa sakit yang dia rasakan. “Jangan lupakan aku, ya?” tanyanya, suaranya hampir tidak terdengar.
“Tidak mungkin. Kita punya banyak kenangan bersama. Kamu akan selalu ada di hatiku,” jawab Arkan, menepuk punggungnya dengan lembut.
Setelah mengucapkan selamat tinggal, Selina melihat Arkan pergi, langkahnya semakin menjauh. Rasanya seperti sebuah bagian dari dirinya hilang. Saat mobil yang mengantar Arkan menghilang dari pandangan, dia merasakan kesepian yang mencekam.
Beberapa minggu berlalu, dan meskipun Arkan telah pergi, kehidupan Selina tidak bisa berhenti. Dia kembali ke rutinitasnya, tetapi setiap sudut yang ia lewati mengingatkannya pada Arkan. Di sekolah, saat melihat teman-temannya tertawa dan bercanda, dia merasa seolah kehilangan semangat.
Suatu sore, saat pulang dari sekolah, dia berjalan melewati taman tempat mereka sering bermain. Dia berhenti sejenak, mengenang momen-momen berharga yang telah berlalu.
Dan tiba-tiba, dia melihat sekumpulan anak-anak bermain, tertawa, dan saling berkejaran. Kenangan itu datang kembali, mengguncang hatinya. Dia teringat pada senyum Arkan, pada tawa ceria mereka saat menciptakan kenangan indah.
Air mata kembali mengalir. “Arkan…,” bisiknya, merindukan kehadiran sahabatnya.
Dalam kesunyian itu, Selina menyadari bahwa meskipun mereka terpisah jarak, cinta dan persahabatan yang mereka bangun akan selalu ada di dalam hati masing-masing. Dia berjanji pada dirinya sendiri untuk tetap melanjutkan hidup, meskipun tanpa Arkan di sisinya.
Malam itu, dia melihat bintang-bintang di langit, berdoa agar Arkan baik-baik saja dan bahagia di tempat barunya. Dalam hati, dia tahu bahwa cinta mereka, meskipun tidak terucapkan, akan terus hidup. Jejak yang mereka tinggalkan akan selalu menjadi bagian dari kisah hidup mereka, meski terpisah oleh jarak dan waktu.
Dan dengan itu, Selina melangkah maju, belajar untuk mengingat dengan indah, meskipun dalam kepedihan. Dalam setiap langkahnya, dia tahu bahwa dia tidak sendirian, dan setiap kenangan akan selalu terpatri dalam jiwanya. Jejak mereka mungkin hilang, tetapi cinta yang telah terbangun tidak akan pernah pudar.
Di tengah segala kesedihan dan ketidakpastian, Selina belajar bahwa cinta dan persahabatan sejati tidak akan pernah pudar, meskipun terpisah oleh jarak dan waktu. Kenangan indah yang mereka ciptakan akan selalu terukir dalam hatinya, mengingatkan bahwa meskipun hidup tak selalu sempurna.
Sebab selalu ada pelajaran dan kekuatan yang bisa diambil dari setiap perjalanan. Dengan langkah baru dan harapan yang menguatkan, Selina siap menghadapi dunia, membiarkan cinta dan kenangan itu menjadi cahaya yang membimbingnya ke depan.