Daftar Isi
Pernah gak sih kalian merasa, waktu yang berjalan cepat banget saat bareng orang yang tepat? Nah, cerpen ini bakal bikin kalian ngerasain itu!
Dengan cerita tentang cinta SMA yang gak biasa, antara Nayara yang ceria dan Ezriel yang misterius, kisah mereka penuh kejutan, tawa, dan drama kecil yang bikin gemes. Mau tau gimana kelanjutannya? Yuk, simak cerita seru ini!
Cinta di SMA
Profesor Galau vs. Biang Kerok Kelas
Di SMA Bina Nusantara, hari itu adalah hari yang paling dihindari hampir semua murid: pembagian kelompok proyek akhir semester. Setiap murid menunggu dengan harap-harap cemas, berharap dapat kelompok yang santai, tapi tetap ada satu orang rajin yang bisa diandalkan.
Sialnya buat Nayara Keisha, keberuntungan sepertinya lagi gak berpihak padanya.
“Kelompok terakhir, Ezriel Varen, Nayara Keisha, dan dua orang lainnya,” suara Pak Bima, guru Fisika mereka, menggema di kelas.
“Hah?” Nayara spontan menoleh ke samping, menatap Ezriel yang sedang menulis sesuatu di bukunya dengan wajah datar.
Sementara murid lain tampak puas dengan kelompoknya, Nayara malah menatap langit-langit seperti berusaha bernegosiasi dengan semesta.
“Ya ampun, ini beneran gak sih?” gumamnya pelan.
Ezriel akhirnya mengangkat wajahnya, menatap Nayara dengan tatapan kosong khasnya. “Ada masalah?”
Nayara menoleh cepat. “Ya jelas ada! Kenapa aku harus sekelompok sama kamu?”
“Bukan aku yang nentuin,” jawab Ezriel tenang, lalu kembali mencatat.
Nayara melirik ke arah meja, lalu ke arah Pak Bima, berharap beliau bisa memahami penderitaannya. Tapi harapan itu sia-sia.
Sementara Nayara sibuk mengeluh dalam hati, di sisi lain, Ezriel juga sebenarnya merasa ini bukan kombinasi ideal. Bukan karena dia membenci Nayara—tapi karena dia tahu betul cewek itu gak pernah bisa diam. Sementara dia? Dia lebih memilih bekerja sendiri dalam keheningan.
Setelah sekolah, kelompok mereka berkumpul di perpustakaan. Dua anggota lain, Rio dan Fadil, duduk tenang sambil mengeluarkan buku. Sementara Nayara…
“Kita gak bisa kerja kelompok di kantin aja? Kan lebih rame,” protes Nayara.
Ezriel, tanpa melihat ke arahnya, menjawab, “Tujuan kita kerja kelompok itu biar fokus. Kantin itu tempat makan.”
“Aku bisa makan sambil mikir, loh,” Nayara menyahut, nyengir.
“Masalahnya aku gak bisa mikir kalau kamu makan sambil ngobrol gak berhenti,” balas Ezriel.
Nayara memutar bola matanya, lalu akhirnya duduk. Tapi belum satu menit, dia mulai mengetuk meja dengan pulpen.
Tok. Tok. Tok.
Ezriel menarik napas panjang, berusaha mengabaikan suara itu. Tapi Nayara makin heboh.
Toktoktoktoktok!
Rio dan Fadil saling pandang, berusaha menahan tawa. Sementara Ezriel akhirnya menutup bukunya dengan pelan, menoleh ke arah Nayara, dan menatapnya datar.
“Nayara.”
“Apa?” Nayara tetap mengetuk pulpen di meja.
“Pena kamu butuh perhatian, ya?”
Nayara berhenti. “Hah?”
“Kamu ketuk-ketuk itu terus, kayak orang yang ngajak ngobrol pulpen,” jawab Ezriel dengan nada serius.
Rio dan Fadil meledak tertawa. Nayara mengerjap, lalu memukul bahu Rio dengan buku.
“Gak lucu, tau!”
Ezriel mengangkat bahu, lalu kembali fokus ke pekerjaannya. “Kalau gitu, tolong diam. Kita mulai kerja.”
Nayara mendengus, tapi akhirnya memeriksa tugas yang harus mereka kerjakan. Lima menit pertama, dia mencoba fokus. Lima menit berikutnya, dia mulai menguap. Dan di menit ke dua puluh, dia udah gelisah lagi.
“Bosan!” serunya, menjatuhkan kepalanya ke atas meja.
Ezriel tidak menanggapi. Dia sibuk mencoret-coret beberapa rumus di kertasnya. Tapi Nayara gak tahan melihat itu.
“Kamu tuh manusia atau kalkulator sih?” Nayara menatap Ezriel seakan cowok itu makhluk asing.
“Kamu tuh manusia atau radio sih?” Ezriel membalas tanpa melihat Nayara.
Rio dan Fadil menahan tawa lagi. Nayara memutar bola matanya. “Kalkulator bisa ngomong?”
“Radio bisa diem?” balas Ezriel lagi, akhirnya menatapnya dengan ekspresi datar.
Lagi-lagi, Rio dan Fadil ngakak. Nayara hanya bisa mendesah panjang. Ini bakal jadi kerja kelompok terberat sepanjang hidupnya.
Hari kedua kerja kelompok tidak lebih baik. Nayara terus saja mengeluh, sementara Ezriel sibuk mencoret-coret buku dengan rumus yang gak bisa dipahami Nayara.
“Aku butuh jeda,” kata Nayara sambil bersandar di kursi.
“Jeda dari apa? Kamu gak kerja apa-apa,” sahut Ezriel santai.
“Banyak kerjaan, tau! Aku kan mikir juga,” protes Nayara.
Ezriel menaikkan satu alisnya. “Mikir apa?”
“Mikir kenapa hidup ini begitu sulit,” Nayara menjawab dramatis.
Ezriel menghela napas panjang. “Hidup kamu sulit karena kamu sendiri yang bikin sulit.”
Nayara mendelik. “Kamu gak ngerti penderitaan aku.”
“Karena aku gak pernah mempersulit diriku sendiri.”
Rio dan Fadil kembali terkikik, menikmati drama yang terjadi di depan mereka.
Namun, seaneh dan sekontras apa pun mereka, proyek mereka tetap berjalan. Ezriel mengerjakan sebagian besar pekerjaan, tapi Nayara, meski banyak mengeluh, tetap berusaha berkontribusi. Dan di sela-sela perdebatan mereka, tanpa disadari, hubungan mereka mulai berubah sedikit demi sedikit.
Tapi tentu saja, baik Ezriel maupun Nayara belum menyadarinya.
Rumus-Rumus yang Gak Bisa Dihitung
Setelah beberapa hari kerja kelompok, Nayara mulai menemukan pola: Ezriel selalu benar, dan dia selalu salah.
Bukan karena Nayara bodoh—dia cuma kurang tertarik dengan hal-hal yang melibatkan angka, tabel, dan perhitungan kompleks. Otaknya lebih suka hal yang santai, seperti scrolling media sosial, ngobrolin gosip terbaru, atau nonton drama Korea.
Sayangnya, Ezriel bukan tipe orang yang membiarkan kesalahan begitu saja.
“Jawaban kamu salah,” kata Ezriel tanpa ekspresi, menunjuk angka yang Nayara tulis di kertas mereka.
“Ah, masa sih? Kayaknya udah bener deh.”
“Kayak bukan ukuran ilmiah.”
“Apa sih maksudnya?” Nayara mengerutkan dahi.
Ezriel menghela napas, lalu menuliskan ulang jawabannya di kertas. Dengan cepat dan rapi, dia menyelesaikan perhitungannya, lalu mendorong buku itu ke arah Nayara.
“Nih, coba cek lagi,” katanya.
Nayara melihat angka-angka itu. Dia mencoba memahami rumus yang Ezriel tulis, tapi yang dia lihat cuma barisan simbol yang mirip mantra sihir.
“…Aku gak ngerti.”
Ezriel menatapnya sebentar, lalu bersandar di kursinya. “Kamu udah SMA, Nayara. Harusnya ini gak sesulit itu.”
Nayara mendengus. “Buat kamu mungkin enggak. Otak aku ini beda. Bisa gak kamu jelasin dengan bahasa manusia?”
Ezriel diam sejenak, lalu menatap Nayara dalam-dalam. “Oke. Bayangin kamu punya dua gelas es teh. Satu es teh manis, satu es teh tawar. Terus kamu campurin. Apa yang terjadi?”
“…Jadi es teh yang agak manis?”
“Persis. Itu kayak teori pencampuran zat. Semakin banyak es teh manisnya, semakin manis hasil akhirnya.”
Mata Nayara berbinar. “Loh, kok tiba-tiba aku ngerti?”
Ezriel mengangkat bahu. “Karena aku menurunkan standar penjelasan ke tingkat pemahaman kamu.”
Seketika, mata Nayara menyipit. “Hei, itu maksudnya ngehina ya?”
“Enggak.”
“Enggak, sih, tapi kayak iya.”
Ezriel cuma mengangkat bahu lagi.
Tapi tanpa Nayara sadari, sesuatu dalam dirinya berubah. Setiap kali Ezriel menjelaskan sesuatu, meski caranya menyebalkan, dia selalu berhasil membuat Nayara paham.
Dia mulai menyadari kalau mungkin… mungkin Ezriel gak seburuk yang dia kira.
Hari itu, mereka kembali mengerjakan tugas di perpustakaan. Nayara yang kelelahan akhirnya menyerah dan menjatuhkan kepalanya ke meja.
“Udah ya, lima menit aja, aku butuh tidur sebentar,” katanya sambil memejamkan mata.
Ezriel menatapnya sekilas, lalu melanjutkan tulisannya. Tapi entah kenapa, setelah beberapa menit, dia mendongak lagi dan memperhatikan wajah Nayara.
Saat tertidur, cewek itu terlihat lebih… tenang.
Biasanya, Nayara adalah badai yang selalu ribut dan gak bisa diam. Tapi kali ini, dia benar-benar diam.
Dan tanpa sadar, tangan Ezriel mulai mencoret-coret kertasnya.
Dia menggambar wajah Nayara.
Ezriel gak sadar berapa lama dia melakukannya sampai tiba-tiba suara menguap terdengar. Nayara membuka matanya, mengerjap sebentar, lalu menatap kertas Ezriel.
Dan detik berikutnya…
“Eh? Ini aku?” Nayara menunjuk gambar di kertas Ezriel.
Ezriel langsung menutup bukunya. “Bukan.”
“Jelas-jelas itu aku!” Nayara merebut bukunya dengan cepat, lalu tertawa. “Ya ampun, Profesor Galau bisa gambar juga? Gak nyangka!”
Ezriel menutup wajahnya dengan satu tangan. “Jangan GR.”
Tapi Nayara terus tertawa. “Tunggu, tunggu, berarti selama ini kamu ngeliatin aku?”
Ezriel diam.
Jawaban paling logis adalah “iya.” Tapi dia gak mungkin bilang itu.
“Enggak sengaja,” jawabnya akhirnya.
Nayara menyeringai. “Enggak sengaja? Berarti lo gak sadar kalau lagi ngelihat aku? Wah, wah, wah, kayaknya ada yang mulai jatuh cinta, nih.”
Ezriel menatapnya datar. “Teori yang lemah.”
“Aku gak butuh teori! Ini udah bukti nyata!”
Ezriel mengambil bukunya kembali, menyimpannya ke dalam tas, lalu berdiri. “Aku pulang.”
Nayara masih tertawa sambil mengikutinya keluar perpustakaan.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Ezriel merasa hatinya berdebar.
Detik-Detik Panik di Depan Kelas
Hari presentasi akhirnya tiba.
Di kelas Fisika yang mendadak terasa seperti ruang interogasi, setiap kelompok maju satu per satu untuk menjelaskan proyek mereka. Beberapa terlihat santai, beberapa ada yang grogi, tapi semua berjalan lancar.
Sampai tiba giliran kelompok Ezriel dan Nayara.
“Ayo, kita maju,” Ezriel berkata tenang, membawa laptop dan catatannya.
Nayara mengangguk, meskipun dalam hati dia merasa ada yang aneh. Biasanya, dia gak pernah gugup berbicara di depan kelas. Bahkan, dia termasuk salah satu yang paling sering mengajukan pertanyaan saat guru menjelaskan. Tapi kali ini, entah kenapa, lututnya sedikit gemetar.
Ketika mereka berdiri di depan kelas, Ezriel langsung memulai presentasi dengan gaya khasnya: suara tenang, kalimat terstruktur, dan tatapan yang penuh percaya diri.
“Sistem yang kami buat ini didasarkan pada prinsip perpindahan kalor. Kami menggunakan metode simulasi untuk menguji bagaimana suhu air berubah ketika dicampur dengan zat lain yang memiliki suhu berbeda…”
Bla, bla, bla.
Semua berjalan lancar. Sampai tiba gilirannya Nayara bicara.
Dia menelan ludah.
Kenapa sekarang rasanya menegangkan?
Padahal dia cuma perlu menjelaskan bagian yang sudah dia hafalkan sejak kemarin. Tapi saat melihat seluruh mata teman-temannya tertuju padanya—termasuk tatapan dingin Ezriel yang penuh ekspektasi—Nayara merasa otaknya mendadak kosong.
“Jadi… eumm…”
Dia menatap layar presentasi mereka. Tulisan di slide seakan berubah jadi kode alien.
“Oke, jadi di sini kita bisa lihat kalau… uhh… hasil yang kami dapatkan itu…”
Sunyi.
Beberapa teman mereka mulai saling berbisik.
Ezriel, yang menyadari ada yang gak beres, menoleh ke Nayara dengan alis berkerut.
Nayara meremas kertas catatannya, mencoba mencari kata-kata yang tepat, tapi semuanya terasa berantakan.
Ini pertama kalinya dia mengalami panik panggung.
Dan sebelum semuanya semakin kacau, tiba-tiba…
“Nayara, maksudnya adalah…”
Ezriel mengambil alih. Dengan santai, dia mulai menjelaskan bagian Nayara tanpa terlihat terganggu sedikit pun. Kata-katanya lancar, nada suaranya stabil, dan dalam beberapa detik saja, perhatian kelas kembali terfokus padanya.
Nayara hanya bisa menatapnya dengan campuran rasa kagum dan malu.
Ezriel mengakhiri penjelasannya dengan mulus, lalu menoleh ke Nayara. “Tambahan?” tanyanya, suaranya terdengar lebih lembut dibanding biasanya.
Nayara berkedip. “Uh… iya! Jadi, intinya seperti yang dibilang Ezriel tadi…”
Dia mencoba mengumpulkan sisa-sisa keberaniannya, lalu memberikan kesimpulan sederhana. Dan untungnya, kali ini dia berhasil mengatakannya dengan benar.
Setelah mereka selesai, kelas bertepuk tangan.
Tapi Nayara masih merasa gak enak.
Saat kembali ke tempat duduknya, dia menatap meja sambil menggigit bibir.
“Sorry,” gumamnya.
Ezriel mengangkat alis. “Kenapa?”
“Aku kacau di depan tadi,” katanya, masih merasa malu. “Aku udah bikin kamu harus ngomong lebih banyak dari seharusnya.”
Ezriel diam sebentar, lalu berkata, “Gak apa-apa. Aku gak keberatan.”
Nayara menoleh cepat, menatapnya curiga. “Serius?”
“Serius.”
Nayara masih gak percaya. Biasanya, kalau ada yang bikin kesalahan di kelompok, Ezriel bakal langsung mengomentari dengan analisis logisnya. Tapi kali ini, dia malah membiarkannya begitu saja.
“Kenapa kamu gak marah?” tanya Nayara akhirnya.
Ezriel menatapnya lama, lalu menjawab, “Karena aku tahu kamu udah berusaha.”
Dan jantung Nayara, yang tadi sempat ingin copot karena panik panggung, sekarang copot karena alasan yang berbeda.
Pengakuan yang (Gak) Jelas
Sejak presentasi itu, hubungan antara Nayara dan Ezriel mulai terasa berbeda. Bukan hanya karena mereka berhasil mengerjakan proyek itu bersama, tetapi juga karena ada rasa aneh yang tumbuh di antara mereka. Rasa itu hadir perlahan—tapi pasti.
Tapi tentu saja, mereka berdua memilih untuk mengabaikannya. Ezriel tetap dengan sikap dinginnya, Nayara tetap dengan sikap cerianya yang agak berlebihan. Mereka kembali ke rutinitas mereka masing-masing: Ezriel dengan kesendirian dan Nayara dengan kebisingannya.
Namun, ada satu hal yang gak bisa dipungkiri.
Ketika Ezriel berada di dekatnya, Nayara merasa waktu berjalan lebih cepat, tetapi juga lebih intens. Begitu pula sebaliknya, ketika Nayara berada di sekitar Ezriel, sesuatu dalam diri Ezriel terasa berubah—sesuatu yang membuat hatinya berdebar lebih cepat.
Suatu hari, setelah sekolah, Nayara duduk di bangku taman sendirian, mengerjakan beberapa tugas sambil mendengarkan musik. Hari itu cukup tenang. Hanya ada beberapa murid yang masih bersantai di halaman sekolah.
Tapi, tiba-tiba, suara langkah kaki yang sudah sangat dikenalnya terdengar mendekat. Ezriel.
Nayara menoleh dan melihat Ezriel berjalan ke arahnya dengan ekspresi wajah yang sama seperti biasanya—dingin dan serius. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda dalam sorot matanya.
Ezriel berhenti tepat di hadapannya. “Kamu gak usah selalu ngelakuin itu.”
Nayara mengangkat alis, kebingungan. “Apa?”
“Main-main sama musik sambil ngerjain tugas,” jawab Ezriel dengan nada agak serius. “Kamu gak bakal fokus.”
Nayara tertawa kecil. “Aku selalu bisa multitasking, Ezriel. Ini gak masalah.”
Ezriel menghela napas. “Tapi ini masalah. Kamu… terkadang lebih fokus ke hal-hal lain daripada tugas.”
“Hey, aku cuma butuh hiburan biar gak stres,” Nayara menimpali. “Lagipula, siapa yang bilang kita gak bisa punya kesenangan sambil belajar?”
Ezriel diam beberapa detik, lalu duduk di sebelahnya tanpa banyak bicara. Mereka berdua diam, hanya ada suara angin yang berdesir pelan dan suara musik dari earphone Nayara.
Nayara merasa aneh, ada perasaan canggung yang tidak biasa. Ia terus mencoba menatap layar laptopnya, tapi ada bagian dari dirinya yang ingin menoleh ke Ezriel.
Akhirnya, setelah beberapa menit yang terasa sangat panjang, Ezriel membuka mulut.
“Kamu gak takut, kan?”
Nayara menatapnya, agak bingung. “Takut? Takut apa?”
Ezriel menarik napas panjang. “Takut kalau semuanya jadi lebih rumit.”
Nayara terdiam. Kalimat itu… kalimat yang jelas-jelas membuatnya merenung.
“Apa maksud kamu?” tanya Nayara, sedikit khawatir.
Ezriel menoleh kepadanya, matanya tajam namun penuh keraguan. “Maksud aku, kita berdua udah mulai berubah. Dan… aku gak tahu gimana caranya untuk gak terlibat lebih jauh.”
Nayara bisa merasakan getaran dalam kata-katanya. Mereka berdua sama-sama merasa ada sesuatu yang tumbuh, sesuatu yang gak bisa mereka hindari lagi.
Tapi Nayara… takut. Takut kalau semuanya berubah menjadi lebih rumit. Takut kalau ini hanya akan berakhir seperti hal-hal lain yang selalu dia tinggalkan.
“Ezriel…”
Ezriel memotongnya dengan suara pelan, hampir seperti berbisik. “Nayara, aku gak bisa lagi pura-pura gak merasa ada yang berbeda.”
Dan itu cukup. Kata-kata itu cukup untuk membuat Nayara merasa dunia berhenti sejenak. Selama ini, dia selalu merasa nyaman berada di zona yang tidak terlalu dekat dengan orang lain. Tapi saat ini, di hadapan Ezriel, dia merasa seolah-olah sudah terlalu dalam untuk keluar.
“Jadi… apa yang kamu ingin katakan?” Nayara akhirnya bertanya dengan suara lebih lembut.
Ezriel menatapnya, kali ini dengan ekspresi yang berbeda—lebih manusiawi, lebih nyata. “Aku gak tahu harus mulai dari mana. Tapi… aku rasa kita gak bisa terus-terusan mengabaikan ini.”
Nayara menelan ludah, merasa jantungnya berdebar lebih cepat dari sebelumnya. “Ezriel… kamu serius?”
Ezriel mengangguk perlahan, dengan sedikit senyum yang jarang ia tunjukkan. “Serius.”
Dan saat itu, saat Ezriel akhirnya mengungkapkan semuanya, Nayara merasa hatinya terombang-ambing antara takut dan senang. Ini bukanlah hal yang mudah, bukanlah sesuatu yang bisa mereka abaikan begitu saja.
Tapi satu hal yang pasti: perasaan ini, entah seberapa sulitnya, sudah mulai tumbuh.
Nayara menatap Ezriel dalam-dalam, lalu perlahan berkata, “Oke, kita lihat saja bagaimana ini berlanjut.”
Ezriel tersenyum tipis, senyum yang jarang terlihat, tapi kali ini, senyuman itu terasa lebih berarti.
Dan untuk pertama kalinya, mereka berdua tahu bahwa ini baru saja dimulai.
Gimana? Seru kan ceritanya? Cinta SMA emang selalu punya cara buat bikin kita baper dan mikir, “Eh, gue juga pernah nih ngerasain hal yang sama!” Kalau kalian suka, jangan lupa share ke temen-temen, biar makin banyak yang ikut merasakan drama manis Nayara dan Ezriel!


