Cinta di Sekolah: Kisah Romansa Farel dan Luna yang Menggugah

Posted on

Siapa bilang cinta itu cuma ada di film? Di SMA juga bisa jadi drama, lho! Yuk, ikuti cerita Farel dan Luna, dua sahabat yang tiba-tiba dihadapkan pada perasaan yang bikin jantung berdebar dan senyum-senyum sendiri.

Siapa tahu, di antara tugas sekolah yang numpuk dan jam istirahat yang singkat, mereka menemukan melodi cinta yang bikin hidup terasa lebih manis. Jadi, siap-siap baper bareng mereka!

 

Cinta di Sekolah

Pertemuan Tak Terduga

Hari itu, angin berhembus lembut di sekolah. Matahari bersinar cerah, seakan memberikan semangat baru bagi semua siswa yang datang. Di sudut taman sekolah, suara dentingan gitar mengalun lembut, menyusup ke telinga para siswa yang melintas. Farel, dengan rambutnya yang sedikit acak-acakan, duduk di bangku kayu, mengelilingi dirinya dengan tumpukan buku catatan dan lembaran-lembaran lirik yang ia tulis. Dia tidak peduli jika orang lain menganggapnya aneh; yang dia inginkan hanyalah melodi yang bisa menggambarkan perasaannya.

“Lagunya enak banget, Farel!” seru seorang teman sekelas yang melintas, membuatnya tersenyum malu. Dia hanya melambaikan tangan, tidak berniat mengajak obrolan lebih jauh. Farel memang pendiam, suka berdiam diri di dunia musiknya sendiri. Musik adalah pelarian, dunia di mana dia merasa bebas.

Namun, saat asyik memainkan gitarnya, dia tidak menyadari sosok lain yang mendekatinya. Luna, gadis yang menjadi pusat perhatian di sekolah, melangkah mendekat dengan senyum lebar menghiasi wajahnya. Dia selalu dikelilingi teman-temannya, tapi hari ini sepertinya semua perhatian tertuju padanya.

“Eh, Farel, lagu apa itu?” tanya Luna, suaranya ceria dan menggoda. Farel terkejut, hampir menjatuhkan gitarnya. Dia menatap Luna, seolah baru saja melihat bintang jatuh di siang bolong.

“Cuma lagu biasa,” jawabnya, berusaha terdengar santai. Namun, hatinya berdebar kencang, dan wajahnya mulai memerah.

“Biasa? Ini luar biasa! Kamu harus tampil di pentas seni nanti!” Luna berseru, seolah-olah Farel adalah bintang rock yang baru ditemukan.

“Eh, tapi aku… aku nggak yakin,” Farel menjawab dengan ragu. Suara Luna membuatnya merasa seperti sedang dalam sorotan, dan dia tidak yakin bisa menghadapinya.

“Kenapa? Kamu berbakat! Ini kesempatanmu!” Luna tidak menyerah. Dia mendekat dan duduk di sampingnya, mencuri perhatian semua orang yang ada di sekitar mereka.

Farel merasakan getaran aneh di dalam dadanya. Gadis ini, yang selalu dikelilingi teman-teman dan selalu menjadi bintang, sekarang duduk di sampingnya. “Tapi, aku kan… ya, kamu tahu, aku lebih suka di belakang panggung,” ucapnya pelan, merasa sedikit bodoh.

“Lihat, Farel,” Luna mulai, menggerakkan tangan mengisyaratkan semangat, “kalau kamu terus bersembunyi, kamu nggak akan pernah tahu seberapa bagus dirimu. Aku mau orang lain mendengar bakatmu!”

Farel hanya bisa menunduk, memandangi senar gitarnya. Dalam hati, dia ingin sekali menunjukkan kemampuannya, tapi rasa takut menghantuinya.

“Dengar,” Luna melanjutkan, suaranya lembut, “aku bisa bantu kamu. Kita bisa latihan bareng. Aku bisa jadi penyanyi latar yang keren, dan kamu bisa jadi bintang utamanya.”

Farel mengangkat wajahnya, terkejut dengan tawaran itu. “Kamu serius?” tanyanya, tidak percaya.

“Tentu saja! Kita bisa bikin sesuatu yang luar biasa,” Luna menjawab, matanya berbinar. “Lagipula, siapa tahu kita bisa bikin orang-orang terkesan.”

Farel merasa ada yang bergolak di dalam dirinya. Tidak hanya karena tawaran itu, tetapi juga karena semangat dan kepercayaan diri Luna yang menular. Meski hatinya masih bergetar, Farel merasakan keinginan untuk mencoba.

“Kalau gitu, kita coba latihan di mana?” tanya Farel, berusaha mengalihkan fokus dari rasa cemas yang mulai merayap masuk.

“Di taman ini saja. Sore hari, setelah sekolah. Aku bisa bawakan beberapa lagu yang cocok,” Luna menjawab, penuh semangat.

Farel mengangguk, senyumnya mulai merekah. “Oke, kita coba.”

Setelah itu, Luna berdiri, melambaikan tangan ke arah teman-temannya yang menunggu di pinggir taman. “Ayo, teman-teman! Kita tunggu Farel tampil di pentas seni!”

Farel merasa pipinya memanas. Dikelilingi banyak orang bukanlah tempat yang dia inginkan, tapi melihat Luna tersenyum membuatnya berani mengambil langkah pertama.

Sejak hari itu, mereka mulai menghabiskan waktu bersama. Farel merasa nyaman di samping Luna. Dia mengajarinya lagu-lagu baru, dan Luna tidak segan-segan memberi masukan—kadang bercanda, kadang serius. Luna dengan lincah memadukan suaranya dengan permainan gitar Farel, dan keduanya seolah menciptakan sebuah melodi yang baru.

Namun, di balik senyuman dan tawa mereka, Farel tidak bisa menghilangkan satu perasaan yang terus mengganggu pikirannya. Dia merasa semakin dekat dengan Luna, tetapi apakah perasaan itu saling berbalas? Rasa penasaran dan harapan bercampur, seolah mengingatkan bahwa mereka berdua berada di jalan yang penuh ketidakpastian.

Hari demi hari berlalu, dan persahabatan mereka semakin kuat. Saat latihan, Luna sering menggoda Farel dengan candaan yang menggelitik. “Ayo, Farel! Jangan malu-malu. Kamu itu jagoan!”

Mereka tertawa bersama, dan Farel merasakan hatinya berdebar setiap kali Luna menatapnya. Ini bukan hanya persahabatan; dia mulai merasakan sesuatu yang lebih dalam.

Suatu sore, setelah latihan, saat matahari mulai tenggelam dan langit berwarna keemasan, Farel dan Luna duduk berdua di bangku taman. Farel mencuri pandang ke arah Luna yang sedang asyik menggambar di buku sketsanya.

“Luna, kamu tahu nggak, aku selalu merasa beruntung bisa berlatih bareng kamu,” ucap Farel, berusaha membuka perasaannya.

Luna menatapnya, lalu tersenyum. “Kamu juga beruntung, Farel. Siapa yang tahu, bisa jadi kita berdua akan jadi bintang di pentas seni!”

Farel tertawa, tapi hatinya berdebar lebih kencang. Dia ingin berkata lebih, ingin mengungkapkan apa yang sebenarnya dia rasakan. Tapi di saat itu, kata-kata itu terjebak di tenggorokannya, menunggu momen yang tepat untuk keluar.

“Mungkin, kita harus bersiap-siap untuk tampil,” Farel akhirnya berkata, mencoba menyembunyikan keraguan dalam hatinya.

“Ya! Kita akan bikin semua orang terkesan,” Luna menjawab antusias.

Dengan senyum manis di wajahnya, Farel merasakan bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai. Meski banyak ketidakpastian di depan, satu hal yang pasti—Farel ingin melanjutkan melodi ini, bersama Luna.

 

Persahabatan yang Bersemi

Matahari pagi menyinari halaman sekolah dengan cerah, dan Farel sudah tiba lebih awal dari biasanya. Dia menunggu di bangku taman, mencoba menyusun nada dan lirik di pikirannya. Meski semangatnya membara untuk pentas seni yang semakin dekat, ada rasa cemas yang tak bisa dihilangkan.

“Farel!” Suara ceria Luna memecah ketenangan pagi. Farel menoleh, melihat Luna berlari kecil dengan rambutnya yang dibiarkan tergerai. Dia mengenakan hoodie oversized yang memberi kesan santai, membuatnya terlihat semakin menarik.

“Hey! Kamu cepat sekali hari ini,” jawab Farel, sedikit terkejut dengan energinya yang tak terbendung.

“Aku siap untuk latihan! Kita harus mempersiapkan penampilan terbaik,” Luna bersemangat, duduk di sampingnya.

Farel tersenyum, berusaha menenangkan diri. “Kita bisa mulai dengan lagu yang kemarin. Yang kamu suka itu.”

“Yang ‘Melodi Cinta’?” tanya Luna, mengerutkan dahi sambil mengingat kembali liriknya. “Iya, itu lagu yang bikin aku baper!”

“Baper? Kenapa?” Farel menggoda, matanya berbinar.

“Ya, karena liriknya manis banget. Bisa bikin orang langsung jatuh cinta!” Luna tertawa, membuat Farel ikut tertawa.

Dengan gitarnya di tangan, Farel mulai memainkan intro lagu. Melodi mengalun lembut di udara, dan Luna ikut bernyanyi, suaranya harmonis menyatu dengan petikan gitar Farel.

Setiap nada yang keluar seakan membawa mereka ke dunia lain, di mana hanya ada musik dan kebahagiaan. Momen itu membuat Farel semakin percaya diri. Dengan setiap lirik yang dinyanyikan, dia merasa lebih dekat dengan Luna.

Ketika latihan berlangsung, Luna tidak hanya menjadi teman berlatih, tetapi juga pelatih yang ceria. Dia sering memberi semangat, bahkan ketika Farel mengalami kesulitan. “Ayo, Farel! Kamu pasti bisa! Ingat, bintang itu tidak takut salah!”

“Kalau jatuh dari panggung gimana?” Farel bertanya sambil tertawa, membayangkan momen memalukan itu.

“Yah, kita tinggal bangkit lagi! Lagipula, semua orang pasti ingin melihat kamu tampil,” Luna menjawab dengan senyum nakal, meredakan ketegangan yang ada.

Hari demi hari berlalu, dan latihan mereka semakin intens. Farel merasa senang melihat Luna tumbuh semakin percaya diri. Dia sering mengajak teman-teman mereka untuk menyaksikan latihan, sehingga suasana menjadi semakin ramai.

Suatu sore, saat matahari terbenam dan langit berwarna oranye keemasan, Farel dan Luna duduk di bangku taman setelah latihan. Wajah Luna bersinar dalam cahaya senja, dan Farel merasa beruntung bisa menghabiskan waktu bersamanya.

“Farel, kita harus mempersiapkan penampilan ini dengan serius. Aku ingin semua orang terkesan,” Luna berkata dengan semangat. “Kamu sudah siap dengan solo gitar kamu?”

Farel mengangguk, tetapi ada keraguan dalam hatinya. “Aku masih merasa belum cukup baik, Luna. Apa kalau aku tampil sendiri, kamu yakin semua orang akan suka?”

Luna menatapnya dengan serius. “Dengar, Farel. Kamu memiliki bakat yang luar biasa. Aku tahu, dan aku yakin orang lain juga akan merasakannya. Cobalah percaya pada dirimu sendiri!”

Farel merasa ada kehangatan yang mengalir dalam hatinya. “Oke, aku akan coba.”

Malam itu, saat pulang, Farel merasa bersemangat. Dia menghabiskan waktu berjam-jam di rumah, berlatih gitar dan menyusun lirik baru. Musim bunga datang, dan suasana di sekolah terasa semakin hidup.

Keesokan harinya, di tengah kesibukan kelas, teman-teman sekelas mulai membicarakan pentas seni. Farel mendengar bisikan di antara mereka, dan beberapa bahkan mulai memberi pujian untuk penampilan mereka.

“Farel, kamu harus menunjukkan lagu itu. Semua orang menunggu,” salah satu temannya berkata.

Farel terkejut. “Sungguh? Mereka tahu?”

“Iya! Luna sudah bilang ke banyak orang. Dia bilang kamu bakalan tampil dengan lagu yang bikin semua orang baper!”

Farel tidak percaya. Dia merasa campur aduk antara senang dan takut. Apa yang akan terjadi jika dia tidak bisa memenuhi ekspektasi mereka?

Saat istirahat, Luna menemukan Farel yang tampak gelisah. “Ada apa, Farel? Kamu terlihat cemas,” tanyanya, menyentuh lengan Farel.

“Sepertinya semua orang berharap banyak padaku. Bagaimana kalau aku gagal?” Farel mengeluarkan semua ketakutannya.

“Hey, dengar! Semua orang di sini adalah temanmu. Mereka ingin melihat kamu bersinar. Jika kamu gagal, itu tidak masalah. Yang penting, kamu sudah berusaha! Ingat, kita lakukan ini untuk bersenang-senang!” Luna berusaha menenangkan.

Farel menghela napas. Kata-kata Luna membuatnya sedikit lebih tenang. “Iya, kamu benar. Terima kasih, Luna.”

Luna tersenyum dan mengubah topik pembicaraan. “Kita harus mencari kostum yang seru untuk pentas seni! Apa kamu mau pakai yang lucu atau yang keren?”

“Lucu, kayak kita mau tampil di acara komedi?” Farel menjawab, membayangkan kostum aneh yang bisa mereka kenakan.

“Ya! Kita bisa jadi duo konyol yang bikin semua orang tertawa,” Luna tertawa lepas, membuat Farel ikut tertawa.

Saat hari pentas seni semakin dekat, persahabatan mereka semakin kuat. Mereka saling mendukung dan memberikan semangat satu sama lain. Namun, di balik semua kebahagiaan itu, Farel tidak bisa menghilangkan perasaan lain yang mulai tumbuh—perasaan yang lebih dari sekadar teman.

Satu sore, saat mereka berlatih di taman, Farel mengangkat keberanian untuk berbicara. “Luna, bisa nggak kita bicarakan sesuatu?”

Luna berhenti bermain dan menatapnya. “Tentu, ada apa?”

“Sebentar lagi pentas seni, dan aku merasa semakin dekat sama kamu,” ucapnya, suara Farel sedikit bergetar.

Luna terdiam, seolah berpikir. “Kita memang dekat, Farel. Kenapa kamu bertanya?”

Farel merasakan ketegangan di udara. “Aku hanya ingin kamu tahu… aku menikmati waktu bersamamu. Banyak hal yang ingin aku ucapkan, tapi aku nggak tahu harus mulai dari mana.”

“Farel, aku juga merasa hal yang sama. Kita bersenang-senang, dan aku senang bisa mengenalmu lebih dekat,” Luna menjawab, matanya berbinar.

Sejenak, Farel merasa ada harapan baru dalam dirinya. Apakah mungkin perasaan ini bukan hanya satu arah? Namun, dia masih ragu untuk mengungkapkan segalanya.

Dengan semangat baru dan harapan yang bersemi di hatinya, Farel bersiap untuk pentas seni yang akan datang. Mungkin, ini adalah awal dari sesuatu yang lebih indah antara mereka berdua.

 

Langkah Berani

Hari pentas seni yang dinanti akhirnya tiba. Farel merasakan campuran antara kegembiraan dan kegugupan saat dia bersiap di rumah. Dia mengenakan kemeja hitam yang dipadukan dengan jeans biru, berusaha tampil sederhana namun tetap menarik. Suara gitarnya sudah ditata rapi, dan lirik lagu “Melodi Cinta” terpatri kuat dalam ingatannya.

Di sekolah, suasana sangat meriah. Panggung didekorasi dengan lampu warna-warni, dan suara musik mengalun dari berbagai sudut. Teman-teman sekelas terlihat antusias, sementara guru-guru mempersiapkan diri untuk memulai acara.

“Farel!” Luna muncul tiba-tiba, wajahnya bersinar dengan semangat. Dia mengenakan gaun floral berwarna cerah yang membuatnya terlihat menawan. “Kamu sudah siap?”

Farel mengangguk, meski detak jantungnya semakin cepat. “Iya, siap. Tapi, aku masih merasa tegang.”

“Tenang saja! Semua orang di sini untuk bersenang-senang. Ingat, kita hanya ingin menikmati penampilan kita. Jangan pikirkan apa pun yang lain,” Luna berusaha menenangkan sambil menyentuh lengan Farel.

Saat mereka bersiap di belakang panggung, suara penonton terdengar ramai, dan jantung Farel berdebar kencang. Mereka menunggu giliran, dan saat nama mereka dipanggil, Farel merasa seperti dunia berputar sejenak.

“Giliran kita!” Luna berbisik, lalu menarik tangan Farel ke arah panggung.

Mereka melangkah ke panggung, dan kerumunan penonton menyambut dengan tepuk tangan. Farel melihat wajah-wajah teman-teman dan guru yang mendukung mereka. Melihat Luna tersenyum di sampingnya memberinya kepercayaan diri.

Farel memegang gitarnya, memulai petikan nada pertama. Suara lembut meluncur keluar, diikuti oleh suara Luna yang melantunkan lirik dengan indah. Momen itu terasa magis; semua kegugupan yang dia rasakan seakan sirna ketika mereka bermain bersama.

Setiap nada dan lirik yang dinyanyikan membuat keduanya semakin tenggelam dalam penampilan. Farel melirik Luna, dan dalam sekejap, dia merasa terhubung lebih dari sebelumnya. Suara Luna yang merdu membawa pesona tersendiri, dan Farel tidak bisa menahan senyumnya.

Mendekati bagian akhir lagu, Farel merasakan dorongan keberanian yang mengalir dalam dirinya. Dia ingin melakukan sesuatu yang lebih dari sekadar penampilan biasa. Dengan semangat, dia mendekatkan mikrofon ke arah Luna.

“Luna, bisa kita coba duet bagian terakhir?” Farel bertanya, hatinya berdebar.

Luna tampak terkejut, tetapi senyum lebar menghiasi wajahnya. “Tentu, ayo!”

Mereka mengubah sedikit melodi dan menggabungkan suara dengan harmoni yang indah. Penonton terpukau, dan suasana semakin meriah. Farel merasakan aliran energi dari penonton yang menyemangatinya.

Setelah lagu berakhir, tepuk tangan bergemuruh, dan Farel merasakan kepuasan yang luar biasa. Mereka membow dan meninggalkan panggung dengan senyuman lebar di wajah masing-masing.

Di belakang panggung, Luna melompat kegirangan. “Kita berhasil, Farel! Itu luar biasa!”

“Iya, kita melakukannya! Terima kasih, Luna. Kamu membuat segalanya lebih mudah,” Farel menjawab, merasakan rasa syukur yang mendalam.

Namun, saat mereka kembali ke keramaian, Farel melihat sekelompok teman sekelas yang berdiskusi. Salah satunya, Dika, teman lama yang juga menyukai Luna, mendekat dengan senyum penuh percaya diri.

“Penampilan kalian luar biasa, guys! Gila, Luna, kamu selalu bisa bikin orang baper!” Dika berkata, lalu berbalik ke Farel. “Eh, Farel, kamu siap-siap saja. Luna sudah jadi idola banyak orang, termasuk aku.”

Farel merasa ada sedikit rasa cemburu menggelayuti hatinya. Dia tahu Dika sudah lama menyukai Luna. “Makasih, Dika. Senang kamu suka,” Farel menjawab sambil berusaha tetap tenang.

“Dika, jangan terlalu berlebihan,” Luna menanggapi dengan tawa. “Kita hanya bersenang-senang.”

Farel merasakan ketegangan, tetapi dia tidak ingin suasana jadi canggung. “Yuk, kita cari tempat duduk. Pasti ada penampilan seru lainnya.”

Saat acara berlangsung, Farel mulai meredakan kecemburuannya. Dia melihat Luna tertawa dan menikmati setiap momen bersama teman-teman mereka. Farel merasa lega, meskipun hatinya masih tergerak saat melihat Dika mendekatkan diri kepada Luna.

Setelah beberapa penampilan, acara akhirnya mencapai puncaknya. Penonton bersorak ketika pengumuman pemenang pentas seni akan diumumkan. Farel dan Luna berpegangan tangan, saling memberi dukungan.

“Siap?” Luna bertanya, matanya berbinar.

“Siap! Apapun hasilnya, yang penting kita sudah berusaha,” Farel menjawab.

Ketika panitia mulai mengumumkan pemenang, suasana di ruang auditorium menjadi tegang. “Pemenang untuk kategori penampilan terbaik adalah… Farel dan Luna!”

Sorakan bergemuruh dari penonton, dan Farel serta Luna tampak terkejut. Mereka berdua melangkah maju, saling pandang dengan rasa tak percaya.

“Wah, kita menang!” Luna melompat kegirangan, dan Farel merasakan euforia yang sama. Mereka menerima trofi kecil sebagai penghargaan dan bersyukur atas momen indah ini.

Namun, saat mereka kembali ke kerumunan, Farel merasa ada sesuatu yang harus dia lakukan. Dia harus mengungkapkan perasaannya kepada Luna sebelum semuanya terlambat.

“Luna,” Farel memanggil, suaranya bergetar.

“Ya, Farel?” Luna menatapnya dengan harapan di matanya.

“Bisa kita bicarakan sesuatu?” Farel bertanya, hati berdebar kencang.

“Ya, tentu saja! Apa yang ingin kamu katakan?” Luna tampak antusias, dan Farel merasa ini adalah kesempatan yang tepat.

“Ini tentang perasaanku… tentang kita,” Farel mulai berbicara, berusaha mengumpulkan keberanian.

Tapi saat dia hendak melanjutkan, kerumunan seolah menarik perhatian mereka, dan Luna tiba-tiba mendapat pesan dari Dika.

“Farel, tunggu sebentar, ya. Dika mau ngomong,” Luna mengatakan dengan cepat, menghilang ke kerumunan.

Farel berdiri di sana, jantungnya berdebar kencang. Dia menunggu dengan rasa campur aduk. Keberaniannya terasa terancam oleh ketidakpastian. Saat dia melihat Luna tertawa bersama Dika, hatinya berdebar tidak menentu.

Apakah ini saat yang tepat? Atau harapannya akan hancur?

 

Melodi Cinta

Farel berdiri di sana, merasakan perasaannya campur aduk antara harapan dan ketakutan. Saat melihat Luna tertawa bersama Dika, hatinya berdebar kencang. Dia ingin mengungkapkan isi hatinya, tetapi keraguan mulai menyusup. Bagaimana jika Luna tidak merasakan hal yang sama? Bagaimana jika dia justru merusak persahabatan mereka?

Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, Farel mengambil napas dalam-dalam. “Oke, Farel. Ini waktunya,” ucapnya pada diri sendiri. Dia melangkah maju, bertekad untuk mencari Luna dan mengungkapkan perasaannya.

Akhirnya, Farel menemukan Luna di sudut kerumunan. Dia sedang berbincang dengan Dika, tetapi wajahnya tampak berseri-seri ketika dia melihat Farel. Farel menelan ludah, tetapi senyum Luna memberi sedikit kekuatan pada dirinya.

“Luna, bisa kita bicara sebentar?” Farel berusaha terdengar tenang, meski hatinya berdegup kencang.

“Ya, tentu! Maaf, Dika, kita lanjut nanti, ya?” Luna menjawab, lalu mengikuti Farel menjauh dari kerumunan.

Ketika mereka menjauh, suasana sekitar menjadi lebih tenang. Farel bisa mendengar suara musik dan tawa di kejauhan, tetapi semua itu terasa samar di telinganya. Yang dia inginkan hanyalah fokus pada Luna.

“Jadi, ada apa, Farel?” Luna menatapnya dengan penuh perhatian.

“Luna, aku…,” Farel ragu sejenak. Dia bisa merasakan tekanan di dadanya. “Aku ingin bilang sesuatu yang sudah lama aku pendam.”

“Bilang saja, Farel. Aku di sini,” Luna berkata lembut, membuat Farel merasa lebih tenang.

Dia mengumpulkan keberanian. “Aku sudah lama merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan antara kita. Sejak kita pertama kali bernyanyi bersama, aku merasa ada sesuatu yang spesial. Dan setiap kali kita menghabiskan waktu bersama, aku merasa semakin dekat.”

Luna terdiam, matanya membesar mendengar pengakuan itu. Farel melanjutkan, “Aku tahu ini mungkin terdengar gila, tapi aku tidak bisa lagi berpura-pura. Aku suka kamu, Luna. Suka lebih dari sekadar teman.”

Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Luna akhirnya tersenyum lebar. “Farel, aku juga merasa seperti itu! Sejak kita mulai bernyanyi bersama, aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Aku suka kamu juga!”

Senyum Farel langsung merekah, seolah beban di bahunya hilang seketika. “Kamu serius?”

“Iya! Kenapa kamu berpikir aku sering mengganggu kamu? Karena aku pengen mendekatkan diri! Momen-momen yang kita lewati, aku selalu menikmati setiap detiknya,” Luna menjelaskan, wajahnya merona.

Farel tidak bisa menahan diri. Dia maju selangkah dan, dengan hati-hati, mengambil tangan Luna. “Jadi, apa kita bisa coba menjalin hubungan ini? Mungkin kita bisa memulai sesuatu yang baru bersama.”

“Yuk! Aku sudah tidak sabar untuk mencobanya!” Luna menjawab dengan ceria. Tangan mereka saling menggenggam erat, seolah-olah dunia di sekitar mereka lenyap sejenak.

Ketika mereka kembali ke kerumunan, Farel merasa seolah-olah dia sedang berjalan di atas awan. Mereka bergabung kembali dengan teman-teman yang lain, dan suasana terasa lebih cerah. Luna tampak bersinar lebih terang dari sebelumnya.

Setelah acara berakhir, mereka berkumpul di taman sekolah, menikmati momen bahagia bersama teman-teman. Dika pun tampak senang melihat kebahagiaan Luna dan Farel, walaupun ada sedikit rasa kecewa di matanya. Namun, dia menghormati keputusan mereka.

“Wah, selamat ya, kalian! Kalian benar-benar mengesankan!” Dika bertepuk tangan, diikuti oleh sorakan dari teman-teman yang lain.

“Terima kasih, Dika!” Luna berkata, wajahnya cerah. “Tapi, jangan khawatir, kita tetap teman, kan?”

“Tentu saja. Aku akan jadi teman yang mendukung kalian,” Dika menjawab, sambil tersenyum tulus.

Malam pun tiba, dan cahaya bulan menerangi taman sekolah yang ramai. Farel dan Luna duduk berdekatan di bangku, menyaksikan keramaian di sekitar mereka. Farel tidak bisa berhenti tersenyum saat melihat Luna.

“Terima kasih sudah membuat hari ini jadi luar biasa,” Farel berkata lembut.

“Semua ini berkat kita berdua! Dan, aku tidak sabar untuk melanjutkan petualangan kita selanjutnya,” Luna menjawab, menatap Farel dengan penuh harapan.

“Begitu juga aku, Luna. Ini baru permulaan,” Farel berkata dengan keyakinan.

Mereka berdua tertawa, mengingat semua momen lucu dan manis yang telah mereka lewati. Farel merasakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar kebahagiaan di hatinya—ada rasa cinta yang tulus.

Malam itu, dengan melodi cinta di hati mereka, Farel dan Luna tahu bahwa mereka akan menghadapi banyak petualangan bersama di masa depan. Bersama-sama, mereka siap untuk menulis bab baru dalam kisah cinta mereka di sekolah, yang dipenuhi dengan musik, tawa, dan kenangan manis yang tak terlupakan.

 

Jadi, gitu deh perjalanan cinta Farel dan Luna, dari teman sampai jadi pasangan yang bikin hati berdebar. Siapa sangka, di balik semua tugas sekolah dan tawa bareng, ada cerita manis yang menanti.

Yuk, terus dukung mereka dalam setiap petualangan baru! Siapa tahu, kisah cinta kalian juga bakal terinspirasi dari mereka. Sampai jumpa di cerita-cerita seru berikutnya, dan jangan lupa, cinta itu selalu ada di sekitar kita, bahkan di sekolah!

Leave a Reply