Cinta di Pensi: Cerita Romantis Ketua OSIS dan Teman Sekolah

Posted on

Hai, guys! Siapa bilang cinta di sekolah itu cuma ada di film? Di sinilah kisah seru antara Naira, cewek biasa yang jatuh cinta sama ketua OSIS yang keren, Arkana. Bayangin deh, di tengah tugas-tugas sekolah yang numpuk dan kesibukan Pensi, tiba-tiba muncul perasaan yang bikin hati berdebar.

Dari ketegangan latihan bareng sampai momen-momen canggung di belakang panggung, mereka berdua terjebak dalam permainan cinta yang bikin baper! Yuk, simak cerita romantis yang penuh tawa dan haru ini, karena siapa tahu, cinta bisa datang di tempat yang paling nggak terduga!

 

Cinta di Pensi

Tugas di Balik Tatapan Dingin

Ruang OSIS sore itu terasa hening, hanya terdengar bunyi detak jam dinding yang seolah berlomba dengan detak jantung Naira. Di depannya, menumpuk kertas-kertas laporan yang harus diselesaikan hari itu juga. Tugas bendahara kelas yang dibebankan padanya beberapa minggu lalu kini semakin terasa berat, apalagi setelah Pak Ridwan, guru pembimbing OSIS, menyerahkan semua data ekskul untuk dirapikan. Naira menghela napas panjang sambil merapikan rambutnya yang mulai berantakan. Hari masih sore, tapi energi di tubuhnya sudah hampir habis.

Tanpa disadari, sosok Arkana tiba-tiba muncul di ambang pintu. Tanpa banyak basa-basi, ketua OSIS itu berjalan masuk, dengan ekspresi serius yang sudah menjadi ciri khasnya. Pandangannya sekilas menyapu ruangan, lalu mendarat tepat di tumpukan laporan yang berantakan di depan Naira.

“Kamu masih di sini?” tanya Arkana sambil melipat tangannya di dada. Suaranya dingin dan tegas, membuat Naira tersentak dari lamunannya.

Naira mengangkat wajah, sedikit kaget namun berusaha menyembunyikannya. “Iya, masih berusaha nyelesain tugas ini. Banyak banget, aku hampir tenggelam.”

Arkana hanya mengangguk singkat, tatapannya masih datar. Seolah tanpa peduli, dia melangkah mendekat ke meja tempat Naira duduk, lalu mengambil setumpuk kertas dari tumpukan yang berantakan. Naira hanya bisa memandanginya dalam diam, heran tapi juga sedikit lega. Meski Arkana terlihat dingin dan tegas, kali ini dia menunjukkan tanda-tanda ingin membantu.

“Aku bisa selesaiin sendiri, kok,” kata Naira, berusaha terlihat yakin meskipun sebenarnya ia kelelahan.

Arkana hanya mengangkat bahu, tak banyak bicara. “Kalau kamu selesai lebih cepat, kamu bisa pulang lebih cepat,” katanya singkat, tetap fokus pada kertas yang ada di tangannya.

Tanpa banyak bicara, Arkana mulai membaca, memeriksa, dan mengatur laporan-laporan ekskul itu satu per satu. Naira, yang awalnya ingin mengeluh soal kelelahan, akhirnya memilih untuk diam. Kehadiran Arkana yang tidak disangka-sangka membuatnya agak canggung, tapi juga anehnya menenangkan. Mungkin karena ia tahu, bersama ketua OSIS yang disiplin ini, pekerjaannya bisa lebih cepat selesai.

Mereka berdua terus bekerja dalam keheningan, masing-masing tenggelam dalam tugasnya. Sesekali, tangan mereka bertemu saat mengambil kertas yang sama, membuat Naira cepat-cepat menarik tangannya dan merapikan rambutnya yang jatuh di bahu. Arkana, tentu saja, hanya memasang ekspresi tenang seolah tak terganggu sedikit pun.

“Jadi…,” Naira mencoba memecah keheningan, “Kamu gak pernah capek jadi ketua OSIS?”

Arkana hanya menatapnya sekilas, kemudian melanjutkan pekerjaannya. “Capek juga sih. Tapi tanggung jawabnya besar, jadi ya harus dilakuin.”

Naira tersenyum kecil, senang akhirnya mendapat respons meski singkat. “Aku kira kamu itu mesin. Gak pernah keliatan capek, apalagi ngeluh.”

Arkana berhenti sejenak, lalu menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. “Mungkin aku cuma gak tunjukin aja,” jawabnya, sebelum kembali ke laporan-laporannya.

Jawaban itu membuat Naira sedikit tertegun. Arkana yang selama ini ia anggap tanpa emosi ternyata juga manusia biasa, yang mungkin juga merasa lelah di balik semua kesempurnaan dan kedisiplinannya.

Seiring waktu berlalu, matahari mulai terbenam dan sinarnya yang lembut masuk melalui jendela ruang OSIS. Keduanya masih bekerja dalam keheningan yang anehnya terasa nyaman, hingga akhirnya semua laporan berhasil dirapikan. Naira merasa ada beban berat yang terangkat dari pundaknya, dan perasaan lega yang ia rasakan begitu kuat. Ia menatap Arkana yang kini juga terlihat lebih rileks.

“Terima kasih,” ucap Naira pelan, tapi tulus. “Kalau kamu gak bantuin, mungkin aku bakal begadang.”

Arkana hanya mengangguk, memasukkan laporan terakhir ke dalam map. “Itu kan bagian dari tanggung jawab kita di OSIS. Lagipula, bendahara baru pasti butuh waktu buat terbiasa.”

Naira tersenyum, namun ia tak bisa menahan diri untuk tidak berkata, “Tapi kamu emang ketua OSIS yang cukup… menakutkan, sih. Sering kali aku sama temen-temen takut kalau lagi lewat depan ruang OSIS.”

Arkana menatapnya dengan ekspresi datar, tapi di matanya terlihat sedikit gurauan yang jarang muncul. “Kamu kira aku bakal marahin kalian tanpa alasan? Takut banget ya?”

Naira tertawa kecil. “Gimana gak takut, kamu tuh kayak es batu berjalan. Dingin banget.”

Arkana hanya tersenyum tipis, tapi ada sorot mata lembut yang tak biasa di sana. Ia menatap Naira beberapa detik, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi kemudian hanya menggelengkan kepala.

“Jangan terlalu percaya sama penampilan luar,” katanya. “Kadang, orang yang kelihatan dingin gak selalu sedingin yang kamu kira.”

Kata-katanya membuat Naira terdiam. Mungkin memang benar, Arkana lebih dari sekadar ketua OSIS yang disiplin dan tegas. Di balik sikap dinginnya, mungkin ada sisi lain yang selama ini ia sembunyikan dari semua orang.

Sore itu, keduanya keluar dari ruang OSIS bersama, langkah kaki mereka terdengar bergema di koridor sekolah yang sudah sepi. Tanpa banyak bicara, Arkana berjalan di sebelah Naira, seolah ingin memastikan ia pulang dengan selamat.

Saat mereka sampai di gerbang sekolah, Naira berhenti, menatap Arkana sejenak. “Arkana… makasih, ya. Mungkin kamu gak ngerasa, tapi buatku bantuanmu hari ini berarti banget.”

Arkana mengangguk singkat, tanpa menjawab apa-apa. Tapi di bawah sorot matahari sore, Naira bisa melihat sekilas senyum yang hampir tak terlihat di wajahnya.

“Naira,” panggil Arkana tiba-tiba saat mereka hendak berpisah. Naira menoleh dengan rasa penasaran. Arkana menghela napas sejenak sebelum berkata, “Kalau butuh bantuan lagi… bilang aja. Aku gak akan selalu bantu, tapi mungkin… aku akan coba ada.”

Kalimat itu terdengar kaku, tapi ada sesuatu yang membuat hati Naira menghangat. Meski Arkana tak pandai berkata-kata manis, ucapan sederhana itu sudah lebih dari cukup untuk membuatnya tersenyum sepanjang perjalanan pulang.

 

Senyuman yang Tersembunyi

Hari demi hari berlalu sejak sore itu, dan Naira merasa ada sesuatu yang berubah. Meski interaksinya dengan Arkana tetap jarang, setiap kali mereka berpapasan di lorong sekolah atau berbarengan saat kegiatan OSIS, ada perasaan asing yang tak bisa ia abaikan. Ia mulai memperhatikan hal-hal kecil tentang Arkana yang selama ini tak pernah terpikirkan: caranya yang selalu tepat waktu, ketenangan dalam menghadapi masalah, hingga sikap tenang yang membuat orang lain tanpa sadar mengaguminya. Mungkin bagi sebagian orang, Arkana adalah sosok yang sulit didekati, tapi bagi Naira… ia seolah menemukan sisi tersembunyi yang menarik untuk dijelajahi.

Siang itu, di sela-sela kelas, Naira tiba-tiba mendapati ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk di grup OSIS. Sekilas ia berpikir itu hanya pengumuman biasa, namun ternyata pesannya langsung dari Arkana.

“Seluruh anggota OSIS harap kumpul di ruang OSIS setelah pulang sekolah. Ada hal penting yang perlu diselesaikan.”

Pesan singkat dan jelas, seperti biasa. Naira merasa sedikit cemas, tetapi juga tak bisa menahan rasa penasaran. Segera setelah kelas usai, ia membereskan buku-bukunya dan berjalan ke ruang OSIS, di mana sudah ada beberapa anggota lain yang mulai berdatangan. Tidak lama kemudian, Arkana masuk dengan membawa beberapa map tebal dan ekspresi seriusnya yang biasa.

“Baik, terima kasih sudah datang. Kita harus menyusun persiapan acara Pensi tahun ini. Dan ini bukan acara sembarangan, jadi aku harap semua bisa bekerja sama dengan serius.”

Arkana kemudian membagikan tugas pada tiap anggota, termasuk Naira yang bertanggung jawab di bagian anggaran. Naira sempat menghela napas panjang, membayangkan malam-malam panjang yang harus ia habiskan bersama angka-angka. Tapi ia tahu, kalau Arkana yang memimpin, acara ini pasti akan sukses besar.

Ketika rapat selesai, para anggota mulai membubarkan diri, namun Naira masih berlama-lama di ruang OSIS, menatap laporan anggaran yang akan menjadi tugasnya. Sebenarnya ia bisa saja membawa pekerjaan itu pulang, tetapi ada sesuatu yang membuatnya ingin tetap berada di sana.

Arkana yang masih sibuk mengatur dokumen di meja, tiba-tiba menoleh, menyadari Naira masih di tempatnya. “Kamu belum pulang?”

Naira tersenyum, mencoba meredakan rasa gugup yang muncul mendadak. “Masih mau lihat-lihat laporan dulu. Biar besok gak terlalu banyak.”

Arkana mengangguk singkat, lalu duduk di kursi di seberangnya. “Bagus. Tapi jangan sampai lupa pulang.”

Naira tersenyum lagi, namun kali ini dengan lebih hati-hati. “Aku gak kayak kamu yang kelihatannya sanggup pulang larut setiap hari demi ngurusin tugas OSIS.”

Arkana tersenyum tipis, ekspresinya sedikit melembut, meski masih terasa canggung. “Kamu bener, sih. Tapi kalau aku bisa pastikan tugas selesai, aku bakal lakuin.”

Saat itu juga, Naira menangkap sesuatu yang selama ini tersembunyi. Senyum yang tak pernah ia lihat dengan jelas dari Arkana sebelumnya—senyum samar yang tidak kaku seperti biasanya. Hatinya terasa berdebar. Ini mungkin hal kecil, tapi bagi Naira, senyuman itu terasa seperti pencapaian.

Keheningan mulai memenuhi ruangan, membuat suasana semakin canggung. Mereka berdua tenggelam dalam pekerjaannya masing-masing, namun Naira merasa sedikit lebih bersemangat, terutama setelah menyadari Arkana yang tidak sepenuhnya “es batu” seperti dugaannya selama ini.

Setelah beberapa waktu, Arkana tiba-tiba bangkit dan menuju ke arah dispenser, mengambil dua gelas air. Tanpa berkata-kata, ia berjalan ke meja Naira dan meletakkan salah satu gelas di sampingnya. Seketika, Naira memandangnya dengan ekspresi tak percaya.

“Untuk apa ini?” tanyanya, walau sebenarnya ia tak keberatan.

Arkana hanya mengangkat bahu. “Kamu kelihatan butuh istirahat sejenak.”

Naira tertawa kecil, mengambil gelas itu dengan senang hati. “Wah, ternyata kamu perhatian juga ya.”

Arkana hanya menjawab dengan senyum tipis, tapi di balik ketenangannya, ada sedikit rona di pipinya yang cepat-cepat ia sembunyikan. “Cuma memastikan anggota OSIS-ku gak tumbang karena dehidrasi.”

Mereka berdua tertawa kecil, dan untuk pertama kalinya, Naira merasa dekat dengan Arkana dalam cara yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Senyum, perhatian kecil—semua ini menjadi momen yang semakin membuatnya mengenal sisi lain dari ketua OSIS yang selama ini dianggap dingin dan sulit didekati. Di balik sikap tegasnya, Naira mulai melihat seseorang yang hangat, meski tersimpan di balik lapisan formalitas yang tebal.

Waktu berlalu tanpa mereka sadari. Naira yang biasanya mudah bosan saat berkutat dengan angka, kali ini menemukan dirinya menikmati setiap detiknya. Mereka bertukar pendapat, meskipun Arkana selalu lebih singkat dan langsung, namun ada percikan obrolan yang menyenangkan, sesuatu yang jarang terjadi di antara mereka.

Saat langit di luar mulai gelap, Arkana melirik jam tangannya. “Sudah malam. Kamu sebaiknya pulang sekarang.”

Naira menutup bukunya dengan lega, merasakan rasa capek yang tadinya menghilang kembali datang. “Kamu sendiri?”

“Aku bakal di sini sebentar lagi. Masih ada beberapa hal yang harus diberesin,” jawab Arkana, tetap dengan nada serius.

Naira menghela napas, seolah enggan meninggalkan ruang OSIS yang terasa begitu nyaman bersama Arkana. “Jangan begadang terlalu lama,” pesannya sebelum melangkah pergi. Arkana hanya mengangguk singkat, namun dalam hatinya ada sedikit rasa hangat yang sulit ia pahami.

Ketika Naira berjalan menuju gerbang sekolah, perasaan berdebar masih tertinggal di dadanya. Setiap langkah yang ia ambil seperti membawa sebuah perasaan baru yang mulai tumbuh di dalam hatinya. Ia tak tahu pasti apa itu, namun yang jelas, Arkana bukan lagi sekadar ketua OSIS yang disiplin dan dingin di matanya.

Di sisi lain, di dalam ruang OSIS yang kembali sepi, Arkana memandangi pintu yang baru saja dilewati Naira. Sambil merapikan tumpukan laporan yang tersisa, ada secercah senyum samar yang menghiasi wajahnya—sebuah senyum yang jarang muncul, tapi kali ini terasa tulus.

Mungkin, tanpa mereka sadari, ada perasaan kecil yang tumbuh di antara senyuman-senyuman tersembunyi dan perhatian yang tak terucapkan. Perasaan yang masih tak berbentuk, namun sedikit demi sedikit mulai mengisi ruang-ruang kosong di hati mereka.

 

Hujan di Sore yang Sama

Hari-hari berikutnya berjalan lebih cepat dari yang Naira kira. Setelah sore panjang itu di ruang OSIS, interaksinya dengan Arkana perlahan mulai berubah. Meski tak selalu berbicara, kini ada jeda pandangan di antara mereka yang terasa… berbeda. Arkana mungkin masih sibuk dengan tugas ketua OSIS-nya, namun sesekali Naira mendapati perhatian kecil yang ia berikan padanya. Tindakan-tindakan sederhana seperti itu membuat Naira sedikit demi sedikit melihat Arkana dalam perspektif yang baru.

Di tengah kesibukan persiapan acara Pensi yang semakin padat, Naira berusaha keras agar tidak mengacaukan tugas anggaran yang diembannya. Hari ini, sekolah terasa begitu riuh karena waktu Pensi sudah semakin dekat. Di sela-sela persiapan yang kian menumpuk, Naira tengah berjalan menuju ruang OSIS ketika hujan tiba-tiba turun deras. Langit yang tadinya cerah berubah kelabu dalam sekejap. Tanpa payung dan tanpa pilihan lain, Naira berlari kecil melewati lapangan menuju aula.

Saat berlari, ia mendapati Arkana berdiri di ambang pintu aula, memandangnya dengan ekspresi datar tapi penuh perhatian. Dengan cepat Arkana menarik payung yang ternyata sudah ia siapkan, dan tanpa sepatah kata, ia berjalan ke arah Naira, mengembangkan payungnya, dan merangkulnya di bawah payung yang sama.

“Buru-buru banget. Mau basah, ya?” Arkana berkata tenang, sementara Naira hanya bisa menatapnya, terkejut.

“Nggak nyangka ketua OSIS peduli juga ya sama urusan beginian,” balas Naira, berusaha menutupi debaran jantungnya.

“Aku gak pengen ngurus anggota OSIS yang malah jatuh sakit gara-gara kehujanan,” jawab Arkana singkat, tanpa sedikit pun mengubah ekspresinya. Meski begitu, Naira bisa merasakan nada khawatir yang tersirat.

Hujan turun dengan deras, namun mereka berjalan dengan tenang menuju ruang OSIS. Ada keheningan yang menyelubungi mereka, hanya diselingi suara tetesan hujan yang mengguyur payung di atas mereka. Naira merasa kikuk dan canggung, tetapi entah kenapa ia menyukai momen ini—sebuah keheningan yang tak terasa janggal, bahkan terasa nyaman.

Setibanya di ruang OSIS, Arkana menutup payungnya dan meletakkannya di pojok ruangan. Beberapa tetesan air masih mengalir dari rambut Naira yang setengah basah. Arkana menghela napas kecil, lalu tanpa berpikir panjang, mengambil handuk kecil yang ia simpan di loker OSIS.

“Ini, buat keringin rambutmu.” Ia menyerahkannya pada Naira, yang menatapnya bingung sejenak.

Naira menerima handuk itu dengan wajah setengah terkejut, setengah malu. “Kamu beneran perhatian juga ya, Arkana.”

“Aku hanya memastikan kamu nggak jatuh sakit. Itu aja.” Arkana menjawab sambil duduk di kursinya, berusaha terlihat santai, meskipun ada sedikit rona di pipinya yang cepat-cepat ia sembunyikan dengan menundukkan kepala ke arah dokumen di depannya.

Naira duduk di seberangnya, mengeringkan rambutnya dengan hati-hati. Ia mencuri pandang ke arah Arkana yang tampak kembali sibuk, namun perhatian kecil tadi masih terasa segar dalam pikirannya. Ia mencoba menahan senyum kecil yang muncul di wajahnya.

Beberapa menit kemudian, Arkana menatapnya, kali ini lebih serius. “Aku sudah lihat laporan anggaran yang kamu buat. Bagus. Tapi ada beberapa hal yang bisa lebih efisien.”

“Serius? Kayaknya aku udah ngitung detail, deh,” jawab Naira sedikit defensif, meski ia tahu Arkana benar-benar hanya ingin membantu.

Arkana mengangguk kecil. “Iya, tapi aku yakin kamu bisa bikin anggaran ini lebih hemat lagi. Buat cadangan dana buat kebutuhan darurat. Biar kita gak kehabisan di saat-saat penting.”

Naira mengangguk, menerima masukan Arkana dengan hati terbuka. Di balik sikapnya yang terlihat kaku, Arkana selalu tahu cara berbicara yang membuat orang lain berpikir lebih baik tanpa merasa terpojok.

“Aku akan coba revisi lagi. Tapi kamu harus bantu aku ya, kalau ada yang gak aku ngerti,” kata Naira sambil tersenyum tipis.

“Aku nggak janji. Tapi kalau sempet, aku bantu,” jawab Arkana dengan senyum samar yang langka.

Kehangatan di antara mereka mungkin kecil dan sederhana, tapi bagi Naira, perhatian-perhatian kecil seperti ini tak ubahnya percikan-percikan yang membuat dirinya mulai berharap, meski ia sendiri belum yakin apa yang ia harapkan.

Saat hari semakin larut, Arkana berdiri dari kursinya. “Kamu mau lanjut di sini?”

Naira mengangguk. “Masih ada yang perlu diselesaiin.”

Arkana diam sejenak, seakan berpikir, kemudian berkata pelan, “Kalau ada apa-apa, kabarin aja.”

Naira menatap Arkana pergi dari ruang OSIS dengan tatapan bingung dan sedikit penasaran. Kata-katanya singkat, tapi terasa hangat, menyiratkan sesuatu yang selama ini mungkin luput dari perhatian. Dan begitu Arkana meninggalkan ruangan, Naira menyadari bahwa untuk pertama kalinya ia merasa tak ingin ditinggalkan sendirian.

Beberapa hari kemudian, persiapan Pensi mencapai puncaknya. Para anggota OSIS berlarian ke sana kemari, mengurus segala hal yang perlu disiapkan. Aula sekolah sudah dihias dengan dekorasi penuh warna, panggung megah berdiri di tengah ruangan, dan semangat serta antusiasme terasa di mana-mana. Naira yang sibuk mengecek bagian anggaran serta memastikan setiap hal berjalan sesuai rencana, berulang kali berpapasan dengan Arkana, meski tidak selalu berinteraksi.

Saat malam terakhir sebelum acara dimulai, Arkana mengumpulkan seluruh anggota OSIS untuk memberi arahan terakhir. Semua berdiri dengan perhatian penuh, menatap sosok Arkana yang berdiri dengan tegas di depan mereka. Wajahnya serius, namun ada semangat yang terpancar di matanya.

“Ini bukan sekadar acara sekolah. Ini kesempatan kita buat menunjukkan kemampuan kita. Jadi, aku minta kalian semua kasih yang terbaik,” kata Arkana dengan suara yang tegas namun penuh keyakinan. “Kita bakal suksesin acara ini, bareng-bareng.”

Setelah Arkana selesai berbicara, sorak-sorai kecil terdengar di antara anggota OSIS yang bersemangat. Semua tampak penuh antusias, termasuk Naira yang kali ini merasa lebih percaya diri dan siap. Mungkin, Arkana benar-benar berhasil memberi kekuatan pada setiap orang yang ada di timnya.

Saat mereka semua mulai bubar, Naira mendekati Arkana, berterima kasih secara pribadi atas dukungan dan bimbingannya selama ini. “Kamu tahu, aku gak nyangka kamu bisa jadi motivator yang bagus,” katanya sambil tersenyum kecil.

Arkana tersenyum tipis, meski matanya menyiratkan kehangatan yang tulus. “Hanya berusaha bikin semua orang melakukan yang terbaik.”

Naira tertawa kecil. “Kalau gitu, besok kamu juga jangan bikin aku kecewa.”

Arkana menatapnya dalam-dalam, seolah berusaha menebak arti kata-kata Naira, sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Aku janji.”

Malam itu, Naira pulang dengan perasaan campur aduk. Ia tahu, besok adalah hari yang akan menentukan banyak hal. Dan di dalam hatinya, terselip sebuah harapan kecil bahwa mungkin, setelah acara ini selesai, ada ruang untuk sesuatu yang lebih di antara dirinya dan Arkana.

Namun, Naira juga sadar bahwa harapan itu masih samar, seperti percikan kecil yang belum benar-benar membara. Tapi ia siap menjalani hari esok, bersama Arkana dan tim OSIS-nya, dengan semangat dan keyakinan yang penuh.

 

Pensi dan Pilihan Hati

Malam Pensi tiba dengan semangat yang menggebu-gebu. Aula sekolah bersinar cerah, dipenuhi lampu warna-warni yang berkelap-kelip dan aroma makanan ringan yang mengundang selera. Naira sudah bersiap dengan gaun cantik berwarna biru laut, yang membuatnya merasa percaya diri. Dia tidak hanya ingin menjadi bagian dari acara ini, tetapi juga ingin memberikan yang terbaik.

Di belakang panggung, Naira dan Arkana berdiri di antara para anggota OSIS lainnya, memastikan semua berjalan sesuai rencana. Wajah Arkana tampak serius, tapi ada kilau semangat yang tak bisa disembunyikan.

“Semua sudah siap?” tanya Arkana, matanya menyapu seluruh ruangan.

“Sudah! Tinggal menunggu acara dimulai,” jawab Naira, berusaha menjaga agar suaranya tetap tenang meski detak jantungnya mulai berpacu.

Ketika semua peserta mulai berdatangan, Naira merasakan kegembiraan yang meluap-luap. Musik mengalun, dan momen-momen seru mulai muncul satu per satu. Naira merasakan kehadiran Arkana di sampingnya, dan untuk beberapa detik, dunia terasa sempurna. Dia mengagumi cara Arkana berinteraksi dengan orang lain, begitu percaya diri dan karismatik.

Di tengah kesibukan, saat pertunjukan musik dimulai, Naira berdiri di samping panggung, menyaksikan dengan bangga. Dia melihat Arkana yang bersemangat, berbagi tawa dan sorak-sorai dengan para anggota timnya. Naira merasa hangat di dalam hatinya, merindukan momen di mana dia bisa lebih dekat dengan Arkana.

“Lihat, kita berhasil!” Arkana berbisik padanya, senyum lebar menghiasi wajahnya saat mereka berdua menyaksikan penampilan yang berlangsung. “Semua berkat kerja keras kita.”

“Iya! Keren banget!” balas Naira, merasa bangga menjadi bagian dari tim ini.

Pertunjukan berlanjut, dan Naira merasakan energi di sekelilingnya. Namun, saat tiba waktu untuk pengumuman pemenang, semua perhatian teralihkan. Arkana naik ke panggung untuk mengumumkan hasil akhir, sementara Naira berdiri di belakang panggung, merasakan campuran antara harapan dan ketegangan.

“Dan pemenang untuk lomba tari adalah… Tim 3!” teriak Arkana dengan semangat. Sorakan dan tepuk tangan menggema, dan Naira ikut bertepuk tangan, meski hatinya sedikit tertekan. Dia berharap tim mereka juga mendapatkan penghargaan, meski dia tahu bahwa tidak semua bisa menang.

Setelah semua pengumuman selesai, mereka semua berkumpul untuk merayakan. Naira menghampiri Arkana, yang tampak berseri-seri, dikelilingi oleh para anggota OSIS lainnya yang mengucapkan selamat.

“Bagus banget, Arkana! Kamu benar-benar pemimpin yang hebat,” puji Naira, berusaha menunjukkan antusiasme.

“Terima kasih! Tapi semua ini bukan hanya tentang aku. Kita semua melakukan ini bareng-bareng,” jawab Arkana dengan rendah hati.

Naira mengangguk, namun di dalam hati, dia tahu ada satu hal yang ingin dia katakan pada Arkana. Ketika kesempatan datang, dia mengajak Arkana menjauh dari kerumunan. Mereka berdua menemukan sudut tenang di luar aula, di bawah cahaya bulan yang indah.

“Naira, ada apa?” Arkana bertanya, sedikit bingung namun penuh perhatian.

“Aku… ada yang ingin aku bicarakan,” Naira menatap Arkana dengan serius. “Selama ini aku merasa kita jadi lebih dekat, dan aku senang bisa bekerja bareng sama kamu.”

Arkana tersenyum, menunggu Naira melanjutkan. “Aku tahu kamu orang yang fokus dan bisa diandalkan. Dan… aku hanya mau bilang, aku menghargai semua yang kamu lakukan.”

“Dan aku menghargai kamu,” Arkana menjawab, suaranya lembut. “Kamu juga membuat tim ini lebih kuat.”

Naira menahan napas, berusaha menyampaikan apa yang ada di hatinya. “Tapi aku juga merasa ada yang lebih dari sekadar teman di antara kita. Dan aku ingin tahu, apa kamu merasakannya juga?”

Ada jeda singkat, saat Arkana menatapnya dalam-dalam, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Naira, aku… aku juga merasakannya. Selama ini, aku sering memikirkanmu, bukan hanya sebagai teman.”

Jantung Naira berdegup kencang mendengar jawaban itu. Rasanya seolah semua kegalauan dan keraguan yang selama ini mengganggu hatinya mulai sirna. “Jadi… kita bisa mencoba untuk lebih dari ini?” tanyanya, suaranya bergetar.

Arkana tersenyum lebar, menampilkan kerendahan hati dan kejujuran. “Aku ingin kita mencoba. Tapi kita tetap harus fokus dengan tugas kita juga. Kita bisa membuat semuanya berjalan.”

Naira merasa lega, hatinya menghangat. “Aku setuju. Kita bisa jadi tim yang lebih baik, baik di sekolah maupun di luar.”

Malam itu, di bawah cahaya bulan yang bersinar, Naira dan Arkana sepakat untuk memulai sesuatu yang baru. Sebuah perjalanan di mana cinta dan persahabatan saling menyatu.

Ketika kembali ke aula, semua orang bersorak merayakan kesuksesan Pensi. Naira dan Arkana bertukar senyum, tahu bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang indah.

Dan di antara sorak-sorai, canda tawa, serta kegembiraan malam itu, Naira tahu satu hal pasti: cinta bisa tumbuh di mana saja, bahkan di tengah tugas dan tanggung jawab yang menumpuk. Dalam hidupnya yang penuh kesibukan, dia menemukan momen indah yang tak terlupakan, bersama dengan ketua OSIS yang ia kagumi.

 

So, di tengah tumpukan tugas dan kesibukan sekolah, Naira dan Arkana membuktikan bahwa cinta bisa tumbuh di mana saja, bahkan di antara catatan dan persiapan Pensi. Dengan semua tawa, haru, dan sedikit drama, mereka menemukan bahwa cinta bukan hanya tentang perasaan, tapi juga tentang saling mendukung dan berjuang bersama.

Siapa sangka, di balik semua kepenatan itu, mereka bisa meraih kebahagiaan yang tak terduga? Inilah bukti bahwa cinta sejati memang bisa mengubah segalanya, menjadikan setiap momen di sekolah terasa lebih berarti. Dan seperti lagu-lagu di malam Pensi, cinta mereka pun akan terus bergema dalam ingatan, selamanya.

Leave a Reply