Daftar Isi
Gimana rasanya kalau orang yang kamu sayang cuma bisa muncul saat musim dingin dan lenyap pas salju terakhir jatuh? Kayak mimpi yang harus berulang setiap tahun, kan? Tapi Vexer nggak terima.
Dia nggak mau cuma jadi penonton dalam cerita yang udah ditulis sejak dulu. Ini bukan cuma tentang perasaan, tapi juga tentang keajaiban. So, kalau kamu pikir musim dingin itu cuma soal dingin dan salju, siap-siap dibuat merinding sama kisah ini!
Cinta di Musim Dingin
Jejak yang Tak Tersisa
Salju pertama turun seperti serpihan kristal yang ditaburkan langsung dari langit. Jalanan kota mulai tertutup lapisan putih yang lembut, menciptakan dunia baru yang seakan terbuat dari es dan keheningan. Di sudut kota kecil itu, sebuah kedai teh dengan jendela besar menyala hangat, kontras dengan udara dingin yang menggigit di luar.
Vexer duduk di dekat jendela, memperhatikan butiran salju yang jatuh perlahan, menyentuh kaca sebelum mencair dalam kehangatan ruangan. Kedai teh ini bukan tempat favoritnya, tapi setiap musim dingin tiba, dia selalu ada di sini—seolah menunggu sesuatu yang bahkan tak bisa ia jelaskan.
Di luar, orang-orang mulai berlalu lalang dengan mantel tebal dan syal membalut leher mereka. Anak-anak berlarian, tertawa saat membentuk bola salju dan membuat manusia salju di trotoar. Lampu-lampu kecil menghiasi jalan, berkelap-kelip di antara deretan pohon pinus yang mulai tertutup putih.
Tapi bukan semua itu yang menarik perhatian Vexer.
Di seberang jalan, seorang gadis berdiri diam. Mantel biru tua membalut tubuhnya, dengan syal merah menyala yang terulur lembut tertiup angin. Rambut peraknya yang panjang berkibar pelan, menciptakan kontras yang begitu nyata dengan langit kelabu di atas sana.
Aurielle.
Dia berdiri di sana seperti bayangan yang tak terganggu oleh waktu. Angin bertiup kencang, membuat salju beterbangan, namun tak ada setitik pun yang menempel di rambutnya. Bahkan jejak kaki yang seharusnya tertinggal di salju pun tak terlihat.
Vexer menghela napas pelan. Setiap tahun, setiap musim dingin, ia selalu melihatnya di tempat yang sama. Dan setiap kali itu terjadi, hatinya dipenuhi pertanyaan yang tak pernah mendapatkan jawaban.
Tanpa sadar, ia sudah berdiri dan melangkah keluar dari kedai teh. Udara dingin langsung menyergap kulitnya, menusuk hingga ke tulang. Tapi dia tak peduli.
Salju di trotoar berdecit pelan di bawah sepatunya saat dia melangkah mendekati gadis itu.
“Kamu selalu ada di sini saat salju pertama turun.”
Aurielle menoleh, menatapnya dengan mata abu-abu yang seperti menyimpan seluruh rahasia musim dingin. “Dan kamu selalu menyadarinya.”
Suara gadis itu terdengar lembut, hampir seperti bisikan. Tapi di tengah udara dingin yang sunyi, suaranya terasa jelas.
“Aku nggak mungkin nggak sadar,” Vexer menggumam, menatap salju di sekitar mereka. “Kamu satu-satunya orang yang nggak ninggalin jejak di salju ini.”
Aurielle tersenyum samar, tapi tidak mengatakan apa pun. Hanya matanya yang berbicara—mata yang menyimpan sesuatu yang tidak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata.
Vexer mendesah, menyelipkan tangannya ke saku mantelnya. “Kamu sebenernya siapa, Aurielle?”
Gadis itu menatap langit sejenak sebelum menjawab. “Seseorang yang nggak bisa tinggal di dunia ini selamanya.”
Angin bertiup lebih kencang, membawa butiran salju yang berputar di antara mereka. Tapi anehnya, udara dingin itu terasa lebih lembut dibanding sebelumnya.
Vexer ingin bertanya lebih banyak. Tapi entah kenapa, setiap kali ia berhadapan dengan Aurielle, selalu ada dinding tak kasat mata yang menghalangi semua pertanyaannya.
Di kejauhan, lonceng festival musim dingin berbunyi, menandakan bahwa perayaan baru saja dimulai. Lampion-lampion es mulai dinyalakan satu per satu, menerangi jalanan dengan cahaya kebiruan yang indah. Tapi Vexer tetap berdiri di sana, bersama seorang gadis yang keberadaannya sendiri terasa seperti bagian dari musim dingin itu sendiri.
Dan seperti tahun-tahun sebelumnya, ia bertanya-tanya… saat musim berganti, apakah Aurielle akan tetap ada?
Gadis di Bawah Cahaya Lampion
Festival musim dingin telah dimulai. Jalanan kota kecil itu berubah menjadi lautan cahaya dari lampion-lampion es yang menggantung di sepanjang jalan. Warna kebiruan dari lampion-lampion itu memantul di permukaan salju yang masih bersih, menciptakan pemandangan yang seperti berasal dari dunia lain.
Vexer berjalan di samping Aurielle. Tak ada banyak kata yang keluar di antara mereka, hanya suara langkah kaki Vexer yang menekan salju di bawahnya. Aurielle? Sama seperti sebelumnya—tak meninggalkan jejak.
Orang-orang berlalu lalang di sekitar mereka, sibuk dengan kebahagiaan mereka sendiri. Pedagang kaki lima menjajakan cokelat panas dan kue-kue manis khas musim dingin. Di tengah jalan, beberapa anak kecil sibuk membentuk boneka salju dengan wajah yang mereka hiasi dengan batu dan ranting.
Aurielle melangkah perlahan, sesekali mendongak menatap lampion-lampion yang berkelap-kelip. Ada sesuatu dalam ekspresinya—campuran antara kekaguman dan kesedihan.
“Kamu kelihatan suka festival ini,” Vexer akhirnya membuka suara.
Aurielle mengangguk pelan. “Festival ini selalu ada setiap tahun, kan?”
“Iya. Tapi aku baru sadar, aku nggak pernah lihat kamu ikutan menikmatinya.”
Aurielle menoleh padanya, tersenyum kecil. “Karena aku bukan bagian dari dunia ini seperti mereka.”
Vexer menghentikan langkahnya. “Kamu selalu bilang begitu.”
Gadis itu tidak menjawab, hanya kembali menatap lampion yang bergoyang pelan tertiup angin. Cahaya birunya memantulkan warna lembut di wajahnya, membuat rambut peraknya berkilauan samar.
“Setiap tahun kamu ada di sini,” lanjut Vexer, suaranya lebih pelan. “Tapi cuma saat salju pertama turun. Setelah itu, aku nggak pernah lihat kamu lagi.”
Aurielle menundukkan kepala sedikit. “Aku hanya bisa ada di sini saat musim dingin datang, Vexer.”
Tatapan Vexer mengeras. “Kenapa?”
Aurielle menggigit bibirnya, seolah enggan menjawab. Tapi akhirnya, dia menarik napas panjang dan berkata, “Karena aku adalah bagian dari musim ini. Aku hanya ada di dunia ini selama salju masih turun.”
Angin malam berhembus lebih kencang. Vexer merasakan dinginnya menelusup ke dalam mantel tebalnya, tapi dingin itu tak sebanding dengan sesuatu yang mulai menggumpal di dadanya—perasaan yang sulit ia jelaskan.
Aurielle menghela napas pelan, lalu melangkah lagi. Vexer mengikutinya tanpa banyak bicara, matanya terus mengamati gadis itu dengan pertanyaan yang belum terjawab.
Mereka sampai di tepi sungai yang mulai membeku. Permukaannya memantulkan cahaya lampion seperti bintang-bintang yang mengambang di atas air. Di seberang sungai, kembang api mulai ditembakkan ke langit, menghiasi malam dengan warna-warna cerah.
Aurielle berhenti di tepian, membiarkan angin malam memainkan rambutnya.
“Kamu tahu,” katanya lirih, “kadang aku berharap salju nggak akan berhenti turun.”
Vexer menatapnya tajam. “Biar kamu bisa tetap di sini?”
Aurielle tak langsung menjawab. Dia menoleh ke arah Vexer, senyumnya tipis tapi matanya berkabut. “Biar aku nggak perlu pergi lagi.”
Lonceng tengah malam berbunyi di kejauhan, menandakan bahwa malam semakin larut. Vexer merasakan sesuatu yang aneh di udara—seolah waktu semakin menipis, seolah ada sesuatu yang akan berakhir.
Aurielle tetap berdiri di sana, di bawah cahaya lampion yang berpendar lembut. Angin berhembus, membawa serpihan salju yang berputar-putar di sekeliling mereka.
Dan untuk pertama kalinya, Vexer bertanya-tanya…
Apa yang akan terjadi kalau musim dingin benar-benar berakhir?
Salju yang Terus Turun
Denting lonceng masih menggema di kejauhan, berpadu dengan suara kembang api yang terus menghiasi langit. Namun, Vexer tak bisa memalingkan matanya dari Aurielle. Gadis itu berdiri diam, membiarkan angin memainkan helaian rambut peraknya. Cahaya lampion yang berpendar lembut membuatnya terlihat seperti sosok yang hanya bisa ditemukan dalam mimpi—indah, rapuh, dan hampir tidak nyata.
Vexer mengeratkan tangannya di saku mantelnya. Ada sesuatu dalam ekspresi Aurielle yang membuat dadanya terasa berat, sesuatu yang membuatnya ingin melakukan hal yang bahkan tak ia mengerti.
“Aurielle,” panggilnya pelan.
Gadis itu menoleh, matanya yang berwarna abu-abu itu masih menyimpan sesuatu yang tak bisa ia baca. “Hmm?”
Vexer menggigit bibirnya. Kata-kata yang ingin ia ucapkan terasa menggantung di tenggorokannya. Tapi akhirnya, ia memilih sesuatu yang lebih sederhana. “Aku bisa jalan sama kamu malam ini, kan?”
Aurielle tersenyum kecil, tapi kali ini ada kilatan sedih dalam matanya. “Kamu tahu jawabannya.”
Tentu saja dia tahu. Seperti tahun-tahun sebelumnya, Aurielle hanya akan ada di sini selama salju turun. Dan begitu musim dingin berakhir…
Vexer menghela napas panjang. Ia melangkah ke tepian sungai, berdiri di samping Aurielle. Di permukaan air yang mulai membeku, bayangan mereka berdua terlihat samar.
“Aku penasaran,” ujar Vexer akhirnya. “Apa yang terjadi kalau salju nggak pernah berhenti?”
Aurielle tersenyum miring. “Kamu ingin musim dingin berlangsung selamanya?”
Vexer mengangkat bahu, menatap langit di mana serpihan salju masih turun perlahan. “Mungkin. Kalau itu berarti kamu nggak perlu pergi lagi.”
Keheningan menyelimuti mereka. Aurielle menatap Vexer lama, ekspresinya sulit diartikan. “Kamu nggak akan mau itu terjadi.”
“Kenapa nggak?”
Gadis itu menghela napas, menoleh ke sungai yang mulai membeku sempurna. “Karena dunia ini butuh musim yang berganti. Kalau musim dingin nggak pernah berakhir, bunga-bunga nggak akan mekar, matahari nggak akan terasa hangat, dan orang-orang akan kehilangan apa yang mereka tunggu setiap tahunnya.”
Vexer terdiam. Kata-kata Aurielle masuk akal, tapi tetap saja…
“Tapi kalau musim dingin hilang, kamu juga akan hilang.”
Aurielle tersenyum tipis. “Dan karena itu, kamu selalu menemukanku di sini. Setiap tahun.”
Vexer mengepalkan tangannya. “Aku benci ini.”
Aurielle tertawa kecil, suaranya nyaris seperti bisikan yang terbawa angin. “Kalau kamu bisa menghentikan waktu, kamu bakal lakukan?”
Vexer menatapnya, serius. “Iya.”
Mata Aurielle melembut, tapi ada kesedihan yang jelas di sana. “Kamu tahu, Vexer… sesuatu yang tidak berubah itu bukan berarti lebih baik.”
Vexer ingin membantah. Tapi sebelum ia bisa mengeluarkan satu kata pun, angin berhembus lebih kencang. Salju yang turun di sekeliling mereka berputar-putar dalam tarian dingin yang aneh.
Aurielle melangkah mundur. Matanya menatap Vexer dalam, seolah ingin mengingat sesuatu yang tak boleh ia lupakan.
“Lonceng terakhir akan berbunyi sebentar lagi,” bisiknya. “Dan saat itu terjadi… aku harus pergi.”
Dada Vexer mencelos. Ia menoleh ke arah kota, ke menara jam yang berdiri di tengah-tengah festival. Jarum jam hampir mencapai angka dua belas.
“Jadi… kalau aku nggak ingin kamu pergi, aku harus gimana?” tanyanya, suaranya sedikit serak.
Aurielle tersenyum. Tapi kali ini, senyum itu penuh dengan sesuatu yang jauh lebih dalam—sesuatu yang menyakitkan.
“Kamu harus membuatku tetap ada.”
Vexer menatapnya, bingung. “Maksud kamu apa?”
Sebelum Aurielle sempat menjawab, lonceng terakhir berbunyi. Suaranya menggema di seluruh kota, membelah keheningan malam yang dipenuhi dengan cahaya lampion.
Dan saat itu terjadi, angin berhembus lebih kencang.
Salju berputar di sekitar Aurielle, seperti pusaran yang mencoba menariknya pergi. Rambut peraknya berkibar, mata abu-abunya memandang Vexer dengan tatapan terakhir yang penuh makna.
Lalu tubuhnya mulai memudar.
Vexer terperanjat. “Aurielle—!”
Gadis itu tersenyum, suaranya hampir tak terdengar di antara deru angin. “Ingat aku, Vexer.”
Salju berputar semakin cepat, dan dalam sekejap—Aurielle lenyap.
Yang tersisa hanya jejak-jejak putih di udara, memudar bersama hembusan angin.
Vexer berdiri diam di tengah lapangan bersalju, menatap tempat di mana gadis itu barusan berdiri. Jantungnya berdebar keras, tangannya terkepal di sisinya.
Dia hilang. Lagi.
Tapi kali ini… ada sesuatu yang berbeda.
Kata-kata terakhir Aurielle menggema di kepalanya.
Kamu harus membuatku tetap ada.
Dan untuk pertama kalinya, Vexer tahu bahwa dia tidak bisa lagi hanya menunggu.
Dia harus menemukan cara. Sebelum musim dingin berikutnya tiba.
Saat Salju Terakhir Jatuh
Salju masih turun di malam itu, tapi Vexer berdiri tanpa bergerak di tengah jalan setapak yang kini diselimuti putih. Napasnya membentuk uap di udara dingin, tapi ia hampir tak menyadarinya. Aurielle telah pergi. Seperti setiap tahun. Tapi kali ini, perasaannya berbeda. Ada sesuatu yang tertinggal. Sesuatu yang tidak pernah ia sadari sebelumnya.
Dia menatap langit, mencari bayangan terakhir dari gadis itu, tapi yang tersisa hanya bintang-bintang yang berpendar redup. Suara festival mulai meredup di kejauhan, dan satu per satu lampion mulai mati, tertelan malam.
Tapi Vexer belum bisa pulang.
Dia menatap jejak kakinya sendiri di atas salju, lalu memejamkan mata. “Kamu harus membuatku tetap ada,” gumamnya pelan, mengulang kata-kata Aurielle.
Tapi bagaimana?
Musim dingin selalu datang dan pergi. Begitu juga dengan Aurielle. Tak peduli seberapa keras dia mencoba, tak peduli seberapa banyak dia berharap, saat salju terakhir jatuh, gadis itu selalu lenyap.
Namun kali ini, Vexer menolak menerimanya.
Dia melangkah, melewati jalan-jalan berbatu kota yang mulai sepi. Satu tujuan memenuhi pikirannya. Ada sesuatu yang harus ia lakukan.
Malam itu, Vexer tidak pulang ke rumah. Ia pergi ke tempat yang tidak pernah ia kunjungi sebelumnya—perpustakaan tua di sudut kota, bangunan yang nyaris terlupakan oleh waktu. Rak-rak tinggi berdebu memenuhi ruangan, dipenuhi buku-buku yang jarang tersentuh.
Dia menyalakan lentera kecil, berjalan menyusuri lorong-lorong sempit.
Dia mencari sesuatu.
Sebuah kisah. Sebuah sejarah. Sesuatu yang bisa menjelaskan mengapa Aurielle datang dan pergi bersama musim dingin.
Berjam-jam ia membaca, membolak-balik halaman demi halaman, sampai akhirnya, di antara lembaran tua yang hampir rapuh, ia menemukannya.
Sebuah legenda.
“Dahulu kala, ada seorang gadis yang terbuat dari salju. Dia adalah roh musim dingin, yang hanya bisa hidup selama salju turun di bumi. Saat musim dingin berakhir, dia akan lenyap, hanya untuk kembali saat dingin datang lagi. Namun, ada satu cara untuk membuatnya tetap tinggal—seseorang harus mengingatnya dengan begitu kuat hingga keberadaannya tak lagi tergantung pada musim…”
Vexer membacanya berulang kali, jantungnya berdegup kencang.
Ingat aku, Vexer.
Itu bukan permintaan biasa. Itu adalah kunci.
Tangannya mencengkeram lembaran buku itu erat-erat. Jika yang tertulis dalam legenda ini benar, maka satu-satunya cara untuk menghentikan siklus ini adalah dengan menjadikan Aurielle lebih dari sekadar sosok yang datang dan pergi bersama salju.
Dia harus membuatnya nyata.
Hari-hari berlalu. Salju mulai mencair, musim dingin perlahan-lahan mereda. Tapi Vexer tak pernah berhenti mengingat.
Ia menulis tentang Aurielle—setiap kenangan, setiap kata, setiap senyum dan tatapan. Ia menggambar sosoknya, menceritakan kisahnya kepada siapa pun yang mau mendengar.
Setiap hari, ia mengulang namanya.
Aurielle. Aurielle. Aurielle.
Ia mengukir namanya di kayu, melukisnya di kanvas, membiarkan ceritanya menyebar seperti dongeng yang diceritakan turun-temurun.
Dan saat salju terakhir jatuh, Vexer berdiri di bawah pohon tempat mereka terakhir bertemu, menutup matanya, dan berbisik,
“Aku tidak akan melupakanmu.”
Musim berganti. Salju menghilang. Tapi kali ini, sesuatu telah berubah.
Saat embusan angin musim semi pertama bertiup, saat matahari mulai menghangatkan bumi, seseorang berdiri di tepi sungai yang telah mencair.
Aurielle.
Namun kali ini, ia tidak tampak seperti bayangan yang memudar.
Ia menatap tangannya sendiri, merasakan hembusan angin yang hangat di kulitnya. Sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Lalu, di kejauhan, ia melihat sosok yang sudah dikenalnya.
Vexer berdiri di sana, menatapnya dengan mata yang dipenuhi ketidakpercayaan dan harapan.
Aurielle tersenyum.
“Sepertinya kamu berhasil,” bisiknya.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia tidak menghilang saat salju terakhir jatuh.
Musim dingin bakal selalu datang dan pergi, tapi kali ini, ada yang berubah. Aurielle nggak hilang. Vexer berhasil bikin sesuatu yang mustahil jadi nyata. Jadi, kalau kamu ngerasa ada hal-hal di dunia ini yang nggak bisa diubah, mungkin kamu cuma belum nemuin cara buat bikin itu tetap ada. Dan siapa tahu, mungkin ada keajaiban yang cuma butuh seseorang buat benar-benar percaya.


