Cinta di Bangku Paling Belakang: Cerita Manis Remaja SMA yang Bikin Senyum-Senyum Sendiri

Posted on

Cinta remaja SMA itu memang susah ditebak, ya? Kadang dimulai dari hal sepele, kayak pulpen yang dipinjam atau sekadar berbagi payung pas hujan turun. Nah, cerita ini bakal bikin kamu senyum-senyum sendiri ngikutin perjalanan dua anak SMA yang awalnya cuma teman sekelas, tapi lama-lama… kok jadi spesial? Siap-siap baper, ya!

Cinta di Bangku Paling Belakang

Pulpen Hitam di Hari Ulangan

Suasana kelas mendadak hening saat lembar soal ulangan dibagikan. Beberapa siswa mulai merogoh tempat pensil, ada yang sibuk menyiapkan penghapus dan penggaris, sementara yang lain hanya menghela napas, seolah sudah pasrah sebelum mencoba.

Di sudut kelas, Sera menggigit bibirnya. Ia baru sadar kalau tempat pensilnya kosong. Pulpen yang seharusnya ada di sana entah menghilang ke mana. Kepalanya celingak-celinguk, mencari seseorang yang bisa dipinjami.

Masalahnya, sahabatnya duduk agak jauh. Di sebelahnya hanya ada Revan.

Cowok itu duduk santai, tangan kiri menopang dagu, sementara tangan kanannya menggenggam sebuah pulpen hitam. Tatapannya kosong, seperti tidak terlalu peduli dengan ulangan yang baru saja dimulai.

Sera menarik napas pelan, lalu memberanikan diri berbisik.

“Pinjam pulpen, dong.”

Revan tidak langsung menjawab. Mata gelapnya melirik sebentar ke arah Sera sebelum akhirnya ia menyodorkan pulpennya tanpa suara.

Sera buru-buru menerimanya. “Makasih.”

Revan tidak merespons. Ia hanya menggeser sedikit badannya, kembali fokus pada lembar ulangan di depannya.

Sera sempat melirik pulpen itu. Badannya agak berat dibanding pulpen biasa. Ada sedikit goresan di bagian ujungnya, mungkin karena sering dipakai. Meski begitu, tinta pulpen itu lancar saat dipakai menulis jawaban.

Waktu terus berjalan, dan tanpa terasa, ulangan pun selesai. Sera buru-buru menyelesaikan jawabannya yang terakhir sebelum mengumpulkan lembar jawaban. Setelah memastikan semuanya beres, ia menggeser kursinya mendekati Revan, menyerahkan pulpennya kembali.

“Ini.”

Revan menerimanya tanpa banyak kata. Lalu, tanpa Sera duga, ia berkata, “Jangan lupa bawa pulpen sendiri besok.”

Sera mendengus kecil. “Iya, iya.”

Setelah itu, tidak ada obrolan lagi di antara mereka.

Namun, bagi Sera, kejadian sekecil itu entah kenapa terasa membekas. Ada sesuatu yang berbeda dari Revan. Cowok itu bukan tipe yang banyak bicara, tapi ada aura misterius yang bikin penasaran.

Dan mungkin—tanpa disadari—pertemanan kecil mereka dimulai dari sebuah pulpen hitam di hari ulangan.

 

Bangku Paling Belakang dan Rahasia Kecil

Sejak kejadian ulangan itu, Sera mulai memperhatikan sesuatu. Setiap hari, Revan selalu duduk di bangku paling belakang, di sudut dekat jendela. Bukan karena tidak ada tempat lain, tapi sepertinya memang dia memilih duduk di sana.

Sera mengamati dari jauh. Revan bukan tipe cowok yang sibuk dengan gengnya atau sok keren di depan cewek-cewek. Dia lebih sering diam, sesekali mencoret-coret buku catatannya sendiri, dan terlihat benar-benar menikmati kesendiriannya.

Rasa penasaran itu terus tumbuh.

Hingga suatu hari, saat jam kosong dan sebagian besar siswa sibuk ngobrol atau bermain game di HP, Sera memberanikan diri mendekati Revan. Ia duduk di kursi sebelahnya, pura-pura melihat ke luar jendela.

“Kamu selalu duduk di sini,” ujar Sera tanpa basa-basi.

Revan yang sedang menggambar sesuatu di bukunya hanya menoleh sekilas. “Terus?”

Sera menyandarkan punggungnya ke kursi. “Kenapa?”

Revan diam sebentar. Mata hitamnya mengarah ke luar jendela, melihat pohon-pohon yang bergoyang pelan tertiup angin.

“Lebih tenang,” jawabnya akhirnya.

Sera menoleh. “Di depan juga tenang.”

“Di depan banyak yang kepo,” sahut Revan santai.

Sera mengangkat alis, lalu menoleh ke depan kelas. Beberapa anak memang suka mengomentari apa pun yang mereka lihat, apalagi kalau ada sesuatu yang menarik.

“Jadi kamu nggak suka jadi pusat perhatian?” tebak Sera.

Revan menghela napas pelan. “Nggak.”

Sera mengangguk pelan. Sekarang masuk akal kenapa cowok itu jarang ikut keramaian. Tapi ada satu hal yang masih mengganjal di pikirannya.

Matanya melirik buku catatan Revan yang terbuka. Ada banyak coretan di sana—bukan catatan pelajaran, tapi lebih ke gambar-gambar abstrak, beberapa berbentuk seperti langit malam dengan bintang-bintang kecil.

Sera mengernyit. “Kamu suka gambar?”

Revan melirik bukunya sebentar. Alih-alih menutupnya, ia justru membalik halaman, memperlihatkan beberapa gambar lain.

Ada satu yang menarik perhatian Sera—sebuah gambar bangku kelas, dari sudut belakang. Dari detailnya, Sera bisa menebak bahwa itu adalah bangku yang sedang mereka duduki sekarang.

“Kamu suka mengamati orang, ya?” tanyanya, mengingat kata-kata Revan tempo hari.

Revan tidak langsung menjawab, tapi ada senyum kecil di sudut bibirnya. “Mungkin.”

Sera ikut tersenyum. Ada sesuatu yang menarik dari cara Revan melihat dunia. Dia bukan sekadar diam, tapi benar-benar mengamati.

Dan di hari itu, Sera menyadari bahwa bangku paling belakang menyimpan lebih banyak rahasia daripada yang ia kira.

 

Rinai Hujan dan Payung yang Dibagi

Bel pulang sekolah berdentang nyaring, menandakan waktu untuk siswa-siswi berhamburan keluar kelas. Beberapa anak berjalan bergerombol, ada yang mampir ke kantin dulu, ada yang langsung menuju gerbang sekolah.

Sera mengikat rambutnya yang tergerai, bersiap-siap pergi, tapi begitu kakinya sampai di pintu kelas, ia langsung berhenti. Langit di luar gelap, hujan turun deras, membentuk genangan kecil di sepanjang halaman sekolah.

“Ah, sial…” gumamnya, menyadari bahwa ia tidak membawa payung.

Beberapa teman sekelasnya sudah pergi duluan dengan payung masing-masing. Ada juga yang berteduh sambil menunggu hujan reda. Sera melirik ke arah lapangan sekolah, berharap-harap cemas kalau hujan ini akan segera berhenti.

Tapi sepertinya, tidak dalam waktu dekat.

Ia menghela napas, lalu kembali masuk ke dalam kelas yang kini hampir kosong. Ia melihat satu sosok yang masih duduk di tempatnya, sibuk dengan buku catatannya.

Revan.

Cowok itu tampak tidak terburu-buru, meskipun hujan di luar semakin deras. Ia menutup bukunya, memasukkannya ke dalam tas, lalu berdiri.

Sera melirik dengan penuh harap. “Kamu bawa payung?” tanyanya, berharap jawaban yang diinginkan.

Revan menatapnya sebentar, lalu mengangkat sesuatu dari dalam tasnya—payung hitam, lipat, kecil tapi cukup untuk dua orang.

Sera bersorak dalam hati. “Boleh nebeng?” tanyanya tanpa malu-malu.

Revan menatapnya lama, lalu akhirnya menghela napas. “Ayo.”

Mereka berjalan berdampingan di bawah payung yang sama. Hujan masih turun deras, membasahi tanah, membuat aroma khas hujan menyeruak ke udara. Langkah mereka selaras, meskipun tidak banyak kata yang diucapkan.

Sera mencuri pandang ke arah Revan. Cowok itu tetap dengan ekspresi datarnya, tapi ada sesuatu yang berbeda dari cara ia memegang payung—posisinya sedikit dimiringkan agar Sera tidak terkena tetesan hujan.

Tanpa sadar, Sera tersenyum kecil.

“Kenapa?” tanya Revan tiba-tiba, menyadari tatapan Sera.

“Enggak,” jawab Sera cepat. “Cuma… aku nggak nyangka kamu bakal kasih tumpangan.”

Revan mengangkat bahu. “Aku juga nggak nyangka kamu bakal nanya.”

Sera tertawa kecil. Percakapan mereka selalu seperti ini—sederhana, tapi meninggalkan kesan.

Saat mereka hampir sampai di gerbang, Sera menyadari bahwa genggaman Revan di pegangan payung sedikit lebih erat. Seolah memastikan hujan tak akan mengenai dirinya.

Dan di bawah rinai hujan itu, sesuatu yang tak terlihat mulai tumbuh di antara mereka. Sesuatu yang hangat di tengah dinginnya hujan.

 

Senyuman yang Selalu Ada

Hujan akhirnya reda, menyisakan jalanan yang masih basah dengan pantulan lampu-lampu jalan. Sera dan Revan berhenti di depan gerbang sekolah.

“Jadi, kamu pulang naik apa?” tanya Revan sambil melipat payungnya.

Sera menoleh ke kanan dan kiri, berharap ada keajaiban berupa mobil kakaknya yang tiba-tiba muncul. Tapi nihil. Ia menghela napas pelan. “Niatnya sih nunggu jemputan, tapi kayaknya bakal lama.”

Revan diam sebentar, lalu memasukkan payungnya ke dalam tas. “Naik angkot, yuk.”

Sera mengerjap. “Kamu nggak bawa motor?”

“Lagi dipakai kakak.”

Sera berpikir sejenak, lalu mengangguk. “Oke.”

Mereka berjalan ke halte terdekat, menunggu angkot yang lewat. Langit sudah lebih terang, menyisakan semburat jingga di ufuk barat.

Saat angkot tiba, mereka naik dan duduk bersebelahan. Sera bersandar, merasa lelah setelah seharian di sekolah.

Tiba-tiba, ia sadar bahwa perjalanan ini terasa… nyaman. Dulu, ia tak pernah membayangkan bakal duduk di sebelah Revan seperti ini, dengan diam yang tidak canggung.

Ia menoleh ke samping. “Revan.”

“Hm?”

Sera menggigit bibirnya sebentar sebelum bertanya, “Menurut kamu… aku orang yang nyebelin nggak sih?”

Revan menatapnya sebentar sebelum menjawab, “Lumayan.”

Sera mendelik. “Hah? Kenapa?”

Revan mengangkat bahu, bibirnya melengkung tipis. “Tapi nggak apa-apa.”

Sera mengerutkan dahi. “Maksudnya?”

Revan menatap ke luar jendela, melihat cahaya lampu yang mulai dinyalakan di sepanjang jalan. “Nyebelin, tapi bikin hari nggak ngebosenin.”

Sera terdiam. Tapi kali ini, jantungnya yang merespons lebih dulu—berdegup sedikit lebih cepat dari biasanya.

Ia menatap Revan, cowok yang awalnya hanya sekadar teman sekelas yang pendiam dan selalu duduk di belakang. Tapi sekarang… dia lebih dari itu.

Revan yang selalu mengingat hal-hal kecil. Revan yang membagi payungnya tanpa diminta. Revan yang tidak pernah berkata banyak, tapi kehadirannya selalu ada.

Sera tersenyum kecil. “Jadi… kamu suka aku?” tanyanya iseng.

Revan menoleh, menatapnya dengan mata gelap yang sulit ditebak. Ada jeda sebelum ia menjawab.

“Nggak tahu,” ucapnya, lalu kembali menatap ke luar jendela.

Sera tertawa pelan. “Jawaban macam apa itu?”

Revan tidak menjawab, tapi sudut bibirnya terangkat sedikit—sebuah senyuman kecil yang mungkin tidak semua orang bisa lihat.

Dan bagi Sera, itu sudah cukup.

Mungkin mereka belum sampai pada tahap mengungkapkan segalanya. Mungkin perasaan itu masih samar. Tapi satu hal yang pasti, Revan selalu ada. Dan bagi Sera, itu lebih dari cukup.

Karena cinta tidak selalu harus diumumkan dengan lantang. Terkadang, ia hanya perlu dirasakan—di antara tawa kecil, payung yang dibagi, dan senyuman yang selalu ada.

 

Jadi, gimana? Manis banget, kan? Kadang, cinta nggak perlu diumbar pakai kata-kata besar. Cukup lewat perhatian kecil, kehadiran yang selalu ada, dan senyuman yang diam-diam bikin hati tenang. Mungkin, kisah kayak gini juga ada di sekitar kamu? Atau jangan-jangan… kamu sendiri yang lagi ngalamin?

Leave a Reply