Daftar Isi
Di sebuah desa kecil yang asri, ada seorang pemuda pembuat gerabah yang nggak banyak bicara, tapi tangannya selalu sibuk menciptakan keindahan dari tanah liat. Namanya Langgeng. Hidupnya datar-datar aja, sampai seorang gadis bernama Lintang—kembang desa yang ceria dan penuh kejutan—mulai sering muncul di bengkelnya.
Awalnya sih cuma iseng, tapi siapa sangka, di antara debu gerabah dan hujan yang turun tiba-tiba, ada sesuatu yang ikut terbentuk? Sesuatu yang lebih hangat dari api pembakaran, lebih kuat dari tanah liat yang mengeras… dan lebih sulit diungkapkan dibandingkan sekadar kata-kata.
Cinta di Balik Kendi
Rembulan dan Tanah Liat
Langgeng sudah terbiasa dengan debu tanah liat yang menempel di telapak tangannya, juga dengan panasnya perapian tempat gerabah-gerabahnya dibakar. Sejak kecil, ia sudah melihat ayahnya membentuk tanah liat menjadi tembikar, kendi, hingga patung kecil yang sering dibeli orang-orang kota saat berkunjung ke desanya. Kini, setelah ayahnya tiada, ia meneruskan pekerjaan itu.
Hari-hari Langgeng selalu sama—bangun pagi, mencampur tanah liat, membentuknya di atas roda pemutar, lalu membakarnya hingga mengeras. Kadang-kadang, ia membantu ibunya mengantarkan pesanan ke pasar. Ia tidak pernah berpikir untuk lebih dari itu.
Sampai suatu hari, segalanya berubah.
Desa sedang ramai-ramainya menyambut acara tahunan. Di lapangan dekat balai desa, orang-orang sudah mulai mendirikan panggung bambu dan memasang umbul-umbul warna-warni. Anak-anak berlarian dengan wajah penuh semangat, sementara para pemuda sibuk membicarakan satu hal: Lintang.
“Lintang makin cantik aja, ya?” kata Wagiman, sahabat Langgeng, sambil mengunyah tebu.
Langgeng hanya melirik sekilas, lalu kembali menghaluskan permukaan kendi yang baru saja selesai ia bentuk.
“Eh, aku ngomong sama kamu, Lang. Dengerin, dong,” protes Wagiman.
“Apa?” Langgeng menghela napas.
“Itu, Lintang. Kamu sadar nggak, kalau dia makin sering keliatan di desa?”
Langgeng menoleh ke arah sekumpulan gadis yang sedang bercanda di bawah pohon beringin dekat sumur tua. Salah satu di antara mereka memang Lintang. Dengan selendang merah muda yang melingkar di bahunya, ia tertawa lepas, membuat wajahnya yang memang sudah bersinar semakin bercahaya.
Langgeng buru-buru kembali menunduk, pura-pura sibuk.
“Ngapain lihat kalau cuma mau pura-pura nggak peduli?” goda Wagiman.
Langgeng mendengus. “Aku nggak lihat.”
“Yaelah, nggak usah sok cuek gitu, Lang. Semua pemuda di desa ini udah pasti ngelirik Lintang. Kamu juga, kan?”
“Nggak.”
Wagiman tertawa keras. “Kamu sadar nggak sih? Kamu itu satu-satunya pemuda di desa yang nggak pernah berusaha deketin Lintang.”
Langgeng diam. Jangankan mendekati, berbicara dengan Lintang saja belum pernah. Bukan karena takut atau tidak tertarik, tapi karena baginya, Lintang itu seperti rembulan—terlalu jauh, terlalu terang, dan tidak mungkin bisa ia gapai.
Sore itu, Langgeng baru saja menutup bengkel gerabahnya ketika langkah kaki kecil terdengar mendekat.
“Langgeng,” panggil suara lembut yang membuatnya terhenti seketika.
Jantungnya, yang biasanya berdetak biasa saja, tiba-tiba terasa lebih berat. Ia berbalik, dan di hadapannya berdiri Lintang, tersenyum kecil sambil menangkupkan tangannya di depan dada.
“Kamu… butuh sesuatu?” Langgeng bertanya hati-hati.
Lintang menatap sekeliling bengkel gerabah yang sederhana itu, lalu menatap Langgeng dengan mata penuh rasa ingin tahu. “Aku penasaran sama tempatmu ini. Aku boleh lihat-lihat?”
Langgeng tidak tahu harus menjawab apa. Tak ada yang istimewa di tempatnya. Hanya tumpukan gerabah, perapian, dan debu tanah liat. Tapi bagaimana mungkin ia menolak permintaan Lintang?
“Boleh,” jawabnya akhirnya.
Lintang melangkah masuk, tangannya menyentuh salah satu kendi yang masih setengah jadi.
“Kamu yang buat semua ini?” tanyanya.
Langgeng mengangguk.
“Hebat.” Lintang tersenyum, mengangkat sebuah cangkir kecil dari rak kayu. “Aku nggak nyangka ternyata tangan kamu bisa bikin sesuatu yang sehalus ini.”
Langgeng mengerutkan kening. “Kenapa? Aku keliatan kayak orang yang nggak bisa bikin sesuatu, ya?”
Lintang terkikik. “Nggak gitu maksudku. Maksudku… kamu selalu keliatan kasar, tapi ternyata kerjaanmu detail banget.”
Langgeng tak tahu harus berkata apa. Ia hanya mengamati gadis itu yang kini mengusap permukaan kendi dengan jemarinya yang lentik.
“Kamu suka bikin gerabah?” tanya Lintang.
Langgeng mengangguk. “Suka. Dari kecil udah biasa bantu ayahku.”
Lintang tersenyum kecil. “Aku penasaran, kalau aku coba bikin satu, hasilnya bakal kayak gimana.”
Langgeng mengangkat alis. “Mau coba?”
“Mau!”
Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, Lintang sudah menarik bangku kayu dan duduk di depan roda pemutar. Langgeng mengambil segumpal tanah liat dan meletakkannya di atas roda.
“Kamu harus pakai tangan buat ngebentuknya,” katanya sambil menyalakan roda pemutar.
Lintang mengangguk serius. Ia menekan tanah liat dengan kedua tangannya, tapi terlalu kuat hingga bentuknya malah aneh.
“Loh, loh, kok jadi begini?” Lintang tertawa.
Langgeng menghela napas. “Tanganmu terlalu kaku.”
Tanpa berpikir panjang, ia meletakkan tangannya di atas tangan Lintang, membantunya menekan tanah liat dengan lembut.
Lintang terdiam, lalu menoleh ke arah Langgeng dengan senyum geli. “Jadi begini, ya?”
Langgeng buru-buru menarik tangannya. “Iya, pelan aja.”
Lintang kembali fokus. Tapi tak butuh waktu lama sampai akhirnya tanah liat itu malah miring dan ambruk begitu saja.
Lintang menatap hasilnya, lalu tertawa terbahak-bahak. “Astaga, Lang! Ini jelek banget!”
Langgeng tak bisa menahan senyumnya. “Ya iyalah, kamu nggak punya bakat.”
Lintang mencibir. “Besok aku coba lagi.”
Langgeng mendongak, sedikit terkejut. “Besok?”
“Iya,” kata Lintang, beranjak dari bangkunya. “Kamu kan belum ngajarin aku beneran. Aku bakal dateng lagi.”
Langgeng hanya bisa mengangguk pelan, masih mencerna kata-kata Lintang. Ia menatap gadis itu yang kini melangkah keluar dari bengkel gerabahnya, meninggalkan aroma bunga melati yang samar-samar tertinggal di udara.
Ia tidak tahu apa yang baru saja terjadi. Tapi ada satu hal yang pasti:
Mungkin, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia ingin menjangkau rembulan.
Sungai, Bebek, dan Takdir
Sejak hari itu, Lintang benar-benar menepati ucapannya. Ia datang ke bengkel gerabah Langgeng hampir setiap sore, duduk di bangku kayu yang sama, dan selalu berusaha membentuk tanah liat dengan kedua tangannya yang terlalu halus untuk pekerjaan kasar seperti itu.
Hasilnya? Tetap jelek.
“Lang! Kenapa sih punya aku selalu miring begini?” keluh Lintang sambil menatap gerabahnya yang lebih mirip buah labu ketimbang kendi.
Langgeng, yang sedang memeriksa hasil bakaran di perapian, hanya melirik sekilas sebelum menggeleng pelan. “Karena kamu nggak sabaran. Tanganmu terlalu tegang.”
Lintang mendengus, lalu menopang dagu dengan wajah merajuk. “Aku nggak cocok, ya, sama gerabah?”
“Kamu cocoknya jadi anak Pak Lurah aja,” jawab Langgeng santai.
Lintang menatapnya tajam, lalu melempar segumpal kecil tanah liat ke arah Langgeng. “Nyebelin!”
Langgeng menghindar dengan mudah, lalu tertawa kecil. “Ya kan emang bener.”
Lintang cemberut, tapi tak lama kemudian ia ikut tertawa.
Seiring berjalannya waktu, Langgeng mulai terbiasa dengan kehadiran Lintang. Gadis itu datang dan pergi seperti angin sepoi-sepoi di sore hari. Kadang ia hanya duduk dan mengamati, kadang ia mencoba membentuk gerabah lagi meski hasilnya selalu berantakan.
Namun, semakin lama, Langgeng sadar ada sesuatu yang berubah.
Setiap kali Lintang datang, jantungnya tak lagi berdetak dengan ritme yang sama. Setiap kali Lintang tertawa, ada sesuatu dalam dirinya yang ikut bergetar. Dan setiap kali Lintang pamit pulang, ada bagian kecil di hatinya yang berharap gadis itu tak perlu pergi terlalu cepat.
Tapi Langgeng tahu, berharap terlalu tinggi hanya akan membuatnya jatuh lebih sakit.
Hari itu, desa mereka sedang riuh rendah dengan persiapan acara tahunan: Lomba Menangkap Bebek di Sungai.
Lomba ini selalu jadi hiburan tersendiri bagi penduduk desa. Para pemuda akan berlomba-lomba menangkap bebek yang dilepas ke sungai yang licin dan berlumpur. Hadiahnya memang hanya sekarung beras dan beberapa potong kain batik, tapi kebanggaan bagi pemenangnya jauh lebih besar dari itu.
Langgeng, seperti biasa, tidak tertarik ikut. Ia hanya berdiri di tepi sungai, memperhatikan Wagiman dan pemuda-pemuda lain yang sudah siap melompat ke air.
Di seberang sana, Lintang duduk bersama teman-temannya di bawah pohon rindang. Ia mengenakan kebaya biru muda dengan kain batik yang melingkar anggun di pinggangnya. Senyum dan tawanya tetap sama—terang dan hangat seperti matahari yang menembus dedaunan.
Langgeng buru-buru mengalihkan pandangan.
“Lang! Kamu ikut, kan?” teriak Wagiman dari tengah sungai.
“Nggak.”
“Ah, pengecut!”
Langgeng hanya mendengus. Baru saja ia ingin meninggalkan tempat itu, tiba-tiba sebuah tangan mendorongnya keras dari belakang.
Byur!
Langgeng tercebur ke sungai.
Suara tawa meledak dari segala arah. Wagiman bertepuk tangan keras, sementara pemuda lain bersorak. Langgeng mengangkat wajahnya dari air dengan ekspresi masam, rambutnya basah menutupi dahi.
“Kamu keterlaluan, Man,” gerutunya.
“Udah terlanjur basah, sekalian aja ikut!” seru Wagiman sambil tertawa.
Langgeng menghela napas. Ia ingin marah, tapi apa gunanya? Lagipula, di atas sana, Lintang sedang tertawa melihatnya.
Dan entah kenapa, itu cukup untuk membuat Langgeng tetap tinggal di sungai.
Lomba pun dimulai.
Para pemuda berlarian mengejar bebek yang lincah menghindar ke segala arah. Lumpur beterbangan, air terciprat ke mana-mana, dan sesekali ada yang terjatuh dengan suara “pluk!” yang mengundang gelak tawa penonton.
Langgeng, yang awalnya tidak terlalu serius, kini ikut berusaha menangkap satu ekor bebek yang nyaris ada di genggamannya. Tapi bebek itu cerdik. Ia berbelok tajam ke pinggir sungai—ke arah tempat Lintang duduk.
Dan saat itu juga, sesuatu yang tak terduga terjadi.
Bebek itu melompat, hampir mengenai wajah Lintang. Refleks, gadis itu berusaha menghindar, tapi kakinya justru terpeleset di tanah yang licin.
Lintang kehilangan keseimbangan.
“Lintang, awas!”
Tapi sudah terlambat.
Byur!
Lintang tercebur ke sungai.
Sejenak, keheningan melanda. Semua mata tertuju ke arah Lintang yang kini terduduk di air dengan ekspresi terkejut. Gaunnya basah kuyup, rambutnya menempel di pipinya.
Langgeng membeku di tempatnya, sementara Wagiman dan pemuda lain menahan napas, melirik ke arah Pak Lurah yang berdiri di kejauhan.
Namun, yang terjadi kemudian benar-benar di luar dugaan.
Lintang, bukannya marah atau menangis, justru tertawa.
Tawa itu lepas, jernih, dan menular. Dan saat Langgeng melihatnya tertawa seperti itu—di tengah sungai, dengan pakaian basah dan wajah penuh kebahagiaan—sesuatu dalam dirinya terasa berbeda.
Tanpa sadar, ia berjalan mendekat, lalu mengulurkan tangan.
Lintang mendongak, matanya bertemu dengan mata Langgeng.
“Tanganmu dingin,” gumam Langgeng tanpa sadar ketika jari-jari Lintang menyentuh telapak tangannya.
Lintang berkedip, lalu tertawa kecil. “Ya iyalah, aku baru jatuh ke air.”
Langgeng menggeleng pelan, tak tahu harus berkata apa lagi. Ia membantu Lintang berdiri, dan untuk beberapa detik, mereka hanya berdiri di sana—di tengah sungai yang dingin, di antara sorak tawa orang-orang yang masih menikmati lomba.
Di kejauhan, Pak Lurah hanya menggeleng-gelengkan kepala, namun ada senyum kecil di wajahnya.
Langgeng tidak tahu apa yang sedang terjadi.
Tapi satu hal yang ia sadari: mungkin, takdir baru saja memainkan permainannya.
Hujan, Payung, dan Hati yang Berbisik
Sejak insiden di sungai, Langgeng merasa ada sesuatu yang berubah—bukan di desa, bukan di sekitarnya, tapi di dalam dirinya sendiri.
Biasanya, ia hanya bekerja membuat gerabah tanpa peduli apa pun. Tapi kini, saat ia sedang membentuk kendi, pikirannya bisa melayang ke suara tawa Lintang yang masih terngiang di kepalanya. Saat ia mengantar barang ke pasar, tanpa sadar ia mencari sosok gadis itu di keramaian. Bahkan saat ia melewati sumur tua dekat pohon beringin, ia akan melirik ke sana, seakan berharap Lintang sedang duduk di bawahnya, menunggu.
Tapi entah kenapa, sudah beberapa hari Lintang tidak muncul di bengkelnya.
Langgeng tidak tahu harus merasa lega atau justru kecewa.
Dan ketika sore itu hujan turun tiba-tiba, ia menganggap hari itu akan berakhir seperti biasa—dingin, sepi, dan tanpa suara. Sampai kemudian, seseorang berlari ke arahnya.
“Langgeng!”
Suara itu.
Langgeng menoleh, dan benar saja, Lintang tengah berlari kecil ke arahnya, memeluk selendang merah mudanya yang sudah separuh basah.
“Kamu… kenapa kehujanan?” Langgeng bertanya, bingung.
Lintang tertawa kecil, napasnya sedikit tersengal. “Aku dari rumah Mbok Ratri, bantuin dia jahitin selendang. Nggak nyangka hujannya bakal sederas ini.”
Langgeng menatap langit yang gelap, lalu menghela napas. Tanpa bicara, ia masuk ke dalam bengkelnya dan mengambil satu-satunya payung lusuh yang tergantung di dinding.
“Tuh, pakai ini,” katanya sambil menyerahkannya pada Lintang.
Lintang menerima payung itu, tapi alih-alih membukanya, ia justru menatap Langgeng dengan senyum nakal. “Aku nggak mau pulang dulu.”
Langgeng menaikkan alis. “Terus?”
“Aku mau nunggu hujan reda di sini.”
Langgeng mengerutkan kening, menatap Lintang yang kini sudah berjalan masuk ke bengkelnya tanpa permisi. Gadis itu duduk di bangku kayu dekat roda pemutar, lalu menghela napas panjang.
“Enak juga di sini,” gumamnya.
Langgeng hanya bisa mengusap tengkuknya. “Ya… kalau kamu betah.”
Hening sejenak. Di luar, hujan turun semakin deras, menciptakan suara gemuruh lembut di atap seng bengkel. Lintang menggoyangkan kakinya pelan, lalu menatap tumpukan gerabah di sekitarnya.
“Kamu udah bikin banyak kendi, ya?” tanyanya.
“Iya. Besok mau dijual di pasar.”
Lintang menoleh padanya dengan wajah serius. “Kalau aku beli satu, boleh nggak?”
Langgeng tertawa pelan. “Ya boleh, tapi buat apa? Gerabahku bukan barang mahal.”
Lintang tersenyum kecil, lalu berdiri dan berjalan ke rak kayu. Ia memilih sebuah kendi kecil dengan ukiran sederhana di bagian pinggirnya, lalu menimangnya di tangan.
“Aku mau simpan sesuatu di dalamnya,” katanya pelan.
Langgeng menatapnya bingung. “Simpan apa?”
Lintang hanya tersenyum misterius. “Rahasia.”
Langgeng mendengus. “Jangan-jangan surat cinta buat cowok desa sebelah?”
Lintang menatapnya, lalu terkikik. “Kamu cemburu?”
Langgeng terbatuk, hampir menjatuhkan mangkuk gerabah di tangannya. “Apa?”
Lintang tertawa lebih keras. “Aku bercanda!”
Langgeng berusaha mengabaikan panas yang tiba-tiba merayap di lehernya. Ia berpura-pura sibuk dengan perapiannya, sementara Lintang kembali duduk, memainkan kendi kecil itu di tangannya.
“Aku suka di sini,” ujar Lintang tiba-tiba.
Langgeng meliriknya. “Kenapa?”
Lintang mengangkat bahu. “Entahlah. Rasanya… tenang.”
Langgeng menatap gadis itu dalam diam. Dan saat itu, untuk pertama kalinya, ia benar-benar melihat Lintang bukan sebagai gadis yang selalu ceria, bukan sebagai putri Pak Lurah yang dikejar banyak pemuda. Ia melihat Lintang sebagai seseorang yang sesekali ingin lari dari kesempurnaan, seseorang yang ingin menemukan sudut kecil dunia di mana ia bisa bernapas tanpa beban.
Hujan masih turun di luar. Tapi di dalam bengkel kecil itu, ada sesuatu yang lebih hangat dari perapian gerabah.
Langgeng tak bisa menamai perasaan itu.
Tapi untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia tidak ingin Lintang pergi terlalu cepat.
Kendi, Keberanian, dan Pengakuan
Hari-hari berlalu, dan sesuatu dalam diri Langgeng berubah tanpa ia sadari.
Sejak sore itu—sejak Lintang duduk di bengkelnya, sejak gadis itu memilih kendi kecil untuk menyimpan sesuatu yang ia sebut sebagai ‘rahasia’—Langgeng mulai merasa ada sesuatu yang tidak bisa ia abaikan lagi.
Lintang masih sering datang. Kadang ia hanya duduk dan mengamati Langgeng bekerja, kadang ia membantu meski hasilnya tetap berantakan. Tapi kini, setiap kedatangannya terasa lebih dari sekadar kunjungan biasa.
Ada hal yang ingin Langgeng tanyakan.
Tapi seperti gerabah yang harus dibentuk dengan sabar, ia menahan dirinya untuk tidak terburu-buru.
Sampai akhirnya, suatu siang yang terik, Lintang muncul dengan ekspresi yang tidak biasa.
Ia membawa kendi kecil yang ia beli dari Langgeng beberapa minggu lalu. Kendi itu masih utuh, tapi Langgeng bisa melihat bahwa ada sesuatu yang disembunyikan di dalamnya.
“Aku mau kasih ini ke kamu,” kata Lintang sambil menyerahkan kendi itu.
Langgeng menerima kendi itu dengan bingung. “Kenapa?”
Lintang menggigit bibirnya. “Karena aku udah nggak bisa nyimpan ini sendirian lagi.”
Langgeng semakin bingung. Ia menatap kendi itu, lalu perlahan membuka tutupnya.
Di dalamnya, ada secarik kertas kecil yang dilipat rapi.
Langgeng mengeluarkannya dengan hati-hati, lalu membuka lipatan kertas itu.
Tulisan tangan Lintang yang rapi menyambutnya.
“Aku suka kamu.”
Langgeng membeku.
Matanya terpaku pada tulisan itu, sementara otaknya berusaha mencerna apa yang baru saja ia baca. Jantungnya berdebar kencang, terlalu kencang, hingga ia takut Lintang bisa mendengarnya.
Ia menoleh ke arah gadis itu, yang kini tengah menatapnya dengan wajah penuh harap.
“Lintang…”
“Aku tahu,” potong Lintang cepat. “Kamu mungkin nggak siap dengar ini. Atau mungkin kamu bakal anggap aku aneh. Tapi aku nggak bisa pura-pura lagi, Lang. Aku suka kamu. Dari dulu.”
Langgeng membuka mulut, tapi tak ada kata yang keluar.
Lintang menarik napas panjang. “Aku suka caramu bekerja, caramu diam tapi tetap peduli, caramu nggak pernah berusaha menarik perhatian siapa pun tapi tetap bisa bikin orang nyaman.”
Langgeng masih terdiam, menatap gadis itu dengan mata penuh keterkejutan.
“Kamu nggak harus jawab sekarang,” lanjut Lintang dengan suara lebih pelan. “Aku cuma nggak mau nyesel karena nggak pernah ngomongin ini.”
Hening menggantung di antara mereka.
Suara burung di kejauhan, desiran angin yang melewati dedaunan, dan suara langkah kaki anak-anak kecil yang berlarian di luar menjadi satu-satunya hal yang terdengar.
Langgeng menatap kendi di tangannya.
Lintang… suka dia?
Gadis yang selalu ia pikir terlalu jauh untuk digapai, yang selalu ia anggap hanya bercanda setiap kali mengusilinya, yang selalu ia pikir hanya melihatnya sebagai teman?
Langgeng menggenggam kertas itu erat.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia sadar… ia juga merasakan hal yang sama.
Tapi, bisa kah ia mengatakannya?
Bisa kah ia mengatakan bahwa setiap kali Lintang datang, dunianya terasa lebih terang? Bahwa setiap kali Lintang tersenyum, hatinya ikut menghangat? Bahwa tanpa ia sadari, ia sudah lama jatuh cinta pada gadis itu?
Lintang menatapnya penuh harap, tapi juga dengan sedikit ketakutan.
Langgeng menelan ludah.
Lalu, dengan gerakan perlahan, ia menutup kendi itu kembali dan menyerahkannya lagi pada Lintang.
Lintang mengerutkan kening. “Lang?”
Langgeng menatapnya dalam-dalam, lalu mengukir senyum kecil.
“Jangan simpan ini sendiri lagi,” katanya pelan. “Biar aku simpan juga.”
Lintang berkedip beberapa kali, lalu tiba-tiba wajahnya memerah. “Tunggu… maksud kamu…”
Langgeng mengangguk. “Aku juga.”
Untuk pertama kalinya, Lintang tidak bisa berkata-kata.
Tapi matanya berbinar, dan senyumnya melebar. Ia menggenggam kendi itu erat, seakan benda kecil itu kini menjadi lebih berharga dari apa pun.
Di langit, awan berarak perlahan, memberi celah bagi matahari untuk bersinar lebih cerah.
Dan di dalam bengkel kecil itu, dua hati yang selama ini berputar dalam lingkaran tak pasti akhirnya menemukan tempatnya.
Bersama.
Kadang, cinta nggak butuh kata-kata panjang. Kadang, cinta cukup disimpan di dalam kendi kecil dan dijaga bersama. Langgeng dan Lintang mungkin butuh waktu untuk menyadari perasaan mereka, tapi pada akhirnya, hati yang tulus selalu menemukan jalannya sendiri.
Dan di bengkel kecil itu, dengan gerabah yang masih setengah jadi dan sisa hujan yang belum kering di tanah, mereka akhirnya paham: cinta nggak perlu dicari terlalu jauh, karena terkadang, cinta sudah ada di depan mata—menunggu untuk diakui.