Daftar Isi
Gimana rasanya jatuh cinta sama seseorang yang nyelamatin hidupmu… tapi ternyata dia bukan manusia biasa? Aelira nggak pernah nyangka, malam saat dia hampir mati malah jadi awal dari segalanya.
Si misterius yang narik dia keluar dari kegelapan itu nggak cuma penyelamat—tapi juga kunci buat sesuatu yang lebih besar. Tapi masalahnya, cinta nggak sesimpel terima kasih udah nolongin aku. Apalagi kalau ada makhluk lain yang nggak terima dia masih hidup…
Cinta di Ambang Kematian
Bayangan di Malam Hujan
Hujan turun seperti hujan yang tak pernah berniat berhenti. Jalanan lengang, hanya suara rintik deras menghantam aspal dan sesekali kilatan petir yang menerangi sudut kota yang muram. Lampu jalan berkedip-kedip seperti hendak padam, membuat suasana semakin suram.
Di tengah derasnya hujan, seorang wanita berlari. Langkahnya terburu-buru, napasnya tak beraturan. Bajunya basah kuyup, rambut panjangnya menempel di wajahnya yang pucat. Ia terus menoleh ke belakang, matanya penuh ketakutan.
Di kejauhan, dua bayangan hitam berjalan cepat. Mereka tak berlari, tapi gerakan mereka penuh keyakinan, seolah tahu buruannya tak akan bisa lari jauh.
Wanita itu menggigit bibirnya, menggigil, tangannya gemetar saat merogoh saku. Ia mengeluarkan ponsel, mencoba menekan layar yang basah, tapi tak ada respons. Hujan membuatnya tak berfungsi.
Sial.
Ia semakin panik. Kakinya berusaha mempercepat langkah, tapi aspal yang licin membuatnya nyaris terpeleset. Ia bersandar ke dinding, mencoba mengatur napas, lalu mengintip ke belakang.
Bayangan itu semakin dekat.
Jantungnya berdentum kencang.
Sebelum sempat bergerak lagi, sebuah tangan tiba-tiba menariknya ke dalam gang sempit.
Hujan masih deras, tapi di gang itu, semuanya terasa lebih sunyi. Napasnya tercekat, tubuhnya refleks berontak, tapi tangan kuat itu menahannya dengan mudah.
“Diam.”
Suara berat itu berbisik di telinganya. Dingin, tapi tenang.
Wanita itu membelalakkan mata. Seseorang berdiri di hadapannya, sebagian wajahnya tertutup bayangan. Lampu jalan di luar gang menyorot siluetnya, menampilkan postur tinggi dan bahu lebar. Matanya yang tajam terlihat dalam remang-remang, mengawasinya dengan sorot tajam.
Wanita itu menahan napas, tubuhnya masih tegang. Tapi sebelum bisa mengatakan apa-apa, langkah kaki terdengar melewati gang.
Dua pria yang mengejarnya berhenti di ujung jalan.
“Hilang?” salah satu dari mereka bersuara.
“Ke mana dia lari?”
Yang satunya menggeram. “Sial, kita kehilangan dia.”
Hening sejenak. Wanita itu hampir tak berani bernapas.
Lalu, suara itu kembali terdengar, lebih dekat.
“Dia pasti di sekitar sini.”
Wanita itu membeku. Tangannya mencengkeram kaos pria di depannya tanpa sadar.
Lalu, pria itu bergerak.
Dengan tenang, ia melangkah ke arah dinding, meraih sesuatu di atas tumpukan kardus bekas—sebuah besi panjang yang terlihat berat.
Lelaki itu berbalik, matanya bertemu dengan mata wanita itu. Hanya sekejap, sebelum ia mendorongnya perlahan ke dinding, menutupi tubuhnya dengan tubuhnya sendiri.
“Jangan bergerak,” bisiknya, lebih pelan dari sebelumnya.
Wanita itu tak menjawab. Tapi detik itu juga, hujan mengguyur lebih deras, menenggelamkan suara napas mereka.
Setelah beberapa saat, langkah kaki kembali terdengar, lalu semakin jauh… hingga akhirnya menghilang.
Pria itu menunggu beberapa detik sebelum akhirnya mengendurkan cengkeramannya.
Mereka masih berdiri dekat, terlalu dekat.
Hanya suara hujan yang berbicara.
Wanita itu akhirnya mengumpulkan keberaniannya. “Siapa kamu?”
Pria itu tak langsung menjawab. Tatapannya masih kosong, seolah menimbang sesuatu.
Lalu, seperti tak mau membuang waktu, ia berbalik, melemparkan besi panjang itu ke tanah, dan berjalan keluar gang tanpa sepatah kata pun.
Wanita itu terkejut. “Hei! Tunggu!”
Ia mencoba mengejar, tapi pria itu sudah melangkah ke jalan utama. Siluetnya menyatu dengan gelapnya malam, lalu menghilang di tikungan.
Wanita itu berdiri di sana, membeku di bawah hujan.
Terlalu banyak pertanyaan di kepalanya.
Tapi ada satu hal yang pasti—seseorang yang bahkan tak ia kenal baru saja menyelamatkannya dari sesuatu yang bisa saja berakhir jauh lebih buruk.
Dan dia harus menemukan pria itu lagi.
Jejak yang Hilang
Aelira duduk di meja dekat jendela sebuah kedai kopi, jari-jarinya menggenggam cangkir yang isinya hampir habis. Matanya menerawang ke luar, menatap jalanan yang basah setelah hujan semalam.
Sudah satu tahun berlalu sejak malam itu.
Satu tahun sejak pria misterius itu menariknya ke dalam gang, menyelamatkannya dari orang-orang yang mengejarnya.
Satu tahun sejak pria itu menghilang begitu saja, meninggalkannya dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
Ia sudah mencoba mencari. Berjalan di sekitar jalan yang sama berkali-kali, bertanya pada orang-orang di sekitar, bahkan mengawasi gang itu setiap malam. Tapi tidak ada jejaknya. Seolah-olah pria itu tak pernah ada.
“Masih mikirin orang itu?”
Suara Noah menyadarkannya.
Aelira menoleh. Noah duduk di seberangnya, menyandarkan punggung di kursi dengan tangan terlipat.
“Aku tahu jawabannya,” lanjut pria itu sebelum Aelira sempat menyangkal. “Kamu nggak pernah bisa berhenti mikirin dia.”
Aelira mendesah pelan. Ia sudah sering mendengar kalimat itu. Dari Noah, dari teman-temannya, dari dirinya sendiri. Tapi ia tak bisa menyangkalnya.
“Dia menyelamatkanku, Noah,” gumamnya, menatap cangkirnya yang kosong. “Kalau bukan karena dia, aku nggak tahu apa yang akan terjadi malam itu.”
Noah menghela napas. “Aku ngerti. Tapi satu tahun, Ael. Kamu nggak bisa terus-menerus nyari seseorang yang mungkin nggak mau ditemukan.”
Aelira mengangkat bahu. “Tapi kalau dia ada di dekat situ malam itu, berarti dia pasti sering ke daerah itu. Atau tinggal di sana.”
“Ael, aku nggak mau kamu kecewa.”
Aelira menatap Noah. Pria itu terdengar serius, lebih serius dari biasanya.
“Aku tahu,” katanya akhirnya. “Tapi kalau aku nggak nyoba, aku bakal terus penasaran seumur hidup.”
Noah menatapnya lama, lalu mengembuskan napas panjang. “Baiklah. Terus apa rencanamu?”
Aelira tersenyum tipis. “Aku bakal terus cari.”
Malam itu, Aelira kembali ke jalan tempat semuanya bermula. Hujan baru saja reda, meninggalkan aroma tanah basah dan udara yang dingin.
Ia berdiri di depan gang itu, menatap ke dalam kegelapan.
Setahun yang lalu, di tempat inilah dia berdiri, gemetar dan ketakutan.
Dan di tempat ini juga, pria itu menyelamatkannya.
Aelira melangkah masuk. Lampu jalan tidak cukup terang untuk menerangi seluruh gang, tapi ia bisa melihat jelas bahwa tempat itu masih sama. Tumpukan kardus, besi panjang yang tergeletak di sudut, dinding yang lembap. Seolah waktu tidak pernah bergerak.
Ia mendekati besi itu. Menyentuhnya.
Lalu sesuatu berdesir dalam pikirannya.
Sesuatu yang aneh.
Ia merasakan sesuatu yang tidak seharusnya ada di sana—sebuah kehadiran.
Sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, sebuah suara terdengar dari ujung gang.
Langkah kaki.
Aelira menahan napas.
Seseorang ada di sana.
Bayangan itu muncul dari balik tembok. Langkahnya pelan, tapi mantap. Sosoknya tinggi, berpakaian gelap, sebagian wajahnya masih tersembunyi dalam bayangan.
Jantung Aelira berdebar.
Bukan karena ketakutan.
Tapi karena perasaan aneh yang langsung menyelimuti tubuhnya.
Karena dia merasa… menemukan sesuatu yang selama ini dicarinya.
Pria itu berhenti beberapa meter darinya. Tidak bergerak. Tidak bicara.
Aelira menguatkan dirinya, menatap langsung ke arah pria itu.
“Kamu,” suaranya hampir berbisik. “Aku udah nyari kamu.”
Angin dingin berembus melewati mereka.
Pria itu masih diam. Lalu, setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, ia membuka mulutnya.
“Kamu seharusnya nggak nyari aku.”
Dan detik itu juga, Aelira sadar—pertemuannya dengan pria itu malam ini bukanlah kebetulan.
Rahasia yang Terungkap
Aelira menatap pria itu lekat-lekat, mencoba mencari sesuatu dalam sorot matanya yang tajam. Hanya ada kegelapan di sana—tenang, dingin, tapi juga menyimpan sesuatu yang tak bisa ia pahami.
“Kamu seharusnya nggak nyari aku.”
Kata-kata itu masih menggantung di udara.
Aelira mengabaikan peringatan itu. “Tapi aku udah nemuin kamu,” katanya, langkahnya maju sedikit. “Dan aku nggak akan pura-pura nggak lihat.”
Pria itu diam.
“Kamu tahu siapa aku, kan?” lanjut Aelira. “Kamu yang nolong aku malam itu.”
Pria itu tidak mengiyakan, tapi juga tidak menyangkal.
Aelira menahan napas. “Aku nggak pernah lupa sama mata kamu.”
Mata pria itu menyipit sedikit, seolah mengamati Aelira lebih dalam. Angin malam menerpa wajahnya, membawa aroma hujan yang masih tersisa di jalanan.
“Kamu terlalu penasaran untuk seseorang yang nggak ngerti bahaya.”
“Bahaya apa?”
Pria itu tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia menatap Aelira seakan sedang mempertimbangkan sesuatu. Lalu, dengan satu gerakan cepat, ia berbalik.
“Pergi,” katanya, suaranya nyaris berbisik.
Aelira mengernyit. “Apa?”
“Pergi sebelum semuanya terlambat.”
Tapi Aelira tidak bergerak.
“Aku nggak bisa.”
Pria itu menghentikan langkahnya. “Kenapa?”
Aelira menelan ludah. Ia sendiri tidak tahu bagaimana menjawabnya. Kenapa ia tidak bisa pergi? Kenapa ia masih berdiri di sini, menatap punggung pria yang bahkan namanya pun ia tidak tahu?
Tapi sebelum ia bisa menguraikan jawabannya, pria itu menoleh sedikit. “Aku nggak bisa jamin keselamatan kamu kalau kamu tetap di sini.”
“Apa maksud kamu?”
Pria itu tidak menjawab. Alih-alih, ia berjalan semakin jauh ke dalam gang, tubuhnya hampir sepenuhnya menghilang dalam bayangan.
Aelira tahu ia harus membuat keputusan. Pergi dan membiarkan pria itu menghilang lagi—mungkin untuk selamanya. Atau…
“Setidaknya kasih tahu namamu!” serunya, suaranya sedikit bergetar.
Langkah pria itu terhenti.
Keheningan menggantung di antara mereka.
Lalu, tanpa menoleh, ia akhirnya bicara.
“Riven.”
Dan dalam sekejap, ia lenyap dalam kegelapan.
Noah menatap Aelira seperti ia baru saja mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal.
“Kamu yakin itu dia?”
Aelira mengangguk. “Nggak mungkin salah. Itu dia. Dan akhirnya aku tahu namanya.”
Noah bersandar di kursi dengan ekspresi tidak percaya. Mereka berada di apartemen Aelira, lampu meja kecil menerangi ruangan dengan cahaya temaram.
“Tapi, Ael… kamu nggak mikir ini aneh?”
“Aneh gimana?”
Noah mengangkat bahu. “Pria yang nyelamatin kamu tiba-tiba muncul lagi, di tempat yang sama, lalu ngomong seolah kamu dalam bahaya? Bukannya itu agak… mencurigakan?”
Aelira terdiam.
Tapi ia tidak bisa menyangkalnya.
“Aku nggak tahu, Noah,” katanya akhirnya. “Tapi aku nggak bisa diam aja.”
Noah menghela napas dalam. “Kamu mau nyari dia lagi?”
Aelira tidak menjawab. Ia hanya menatap kosong ke luar jendela, pikirannya dipenuhi satu nama.
Riven.
Aelira kembali ke gang itu keesokan malamnya.
Ia tidak tahu apa yang ia harapkan. Mungkin Riven akan muncul lagi. Mungkin tidak. Tapi yang jelas, ia tidak bisa mengabaikan perasaan aneh yang menghantuinya sejak pertemuan mereka.
Ia berdiri di tempat yang sama seperti kemarin, mencoba mencari tanda-tanda kehadiran pria itu.
Namun, kali ini, suasana terasa berbeda.
Ada sesuatu di udara.
Aelira merasakan bulu kuduknya meremang. Ia melangkah lebih dalam, mengikuti instingnya.
Dan itulah saat ia menemukannya.
Sebuah simbol aneh terukir samar di dinding bata tua, tepat di tempat Riven menghilang kemarin.
Jantung Aelira berdebar. Ia menyentuhnya dengan jemarinya, merasakan kasar dan dinginnya batu.
Simbol ini… bukan sekadar coretan biasa.
“Aku tahu kamu bakal datang lagi.”
Suara itu muncul begitu saja dari balik bayangan.
Aelira terkejut, tapi tidak berbalik. Ia tahu siapa yang bicara.
“Riven,” katanya pelan.
Langkah pria itu terdengar mendekat.
“Kamu keras kepala.”
Aelira menghembuskan napas, lalu menoleh. “Aku cuma nggak suka ditinggal tanpa jawaban.”
Riven menatapnya lama, lalu mengalihkan pandangan ke simbol di dinding. “Kamu nggak seharusnya lihat ini.”
“Apa ini?”
Riven tidak langsung menjawab. Ia menatap Aelira, seolah mempertimbangkan sesuatu.
Lalu, akhirnya, ia bicara.
“Ini adalah tanda bahwa aku bukan satu-satunya yang ada di sini.”
Jantung Aelira berdetak lebih cepat.
“Bukan satu-satunya?” ulangnya. “Maksud kamu… masih ada orang lain?”
Riven menatapnya dalam, ekspresinya gelap.
“Bukan orang.”
Dan saat itulah Aelira sadar—apa pun yang terjadi malam itu, apa pun yang menyelamatkannya… bukan hanya tentang Riven. Ada sesuatu yang jauh lebih besar.
Dan ia baru saja melangkah lebih dalam ke dalam misteri yang belum tentu bisa ia keluar lagi.
Antara Cahaya dan Kegelapan
Aelira menatap Riven dengan sorot penuh pertanyaan, tapi pria itu tidak segera menjelaskan. Hanya ada keheningan yang semakin menusuk, seolah angin malam pun menahan napas.
“Aku nggak ngerti,” kata Aelira akhirnya. “Kalau bukan orang, terus apa?”
Riven menghela napas, seakan memilih kata-kata dengan hati-hati. “Mereka yang ada di balik kegelapan.”
Aelira mengernyit. “Maksudnya… makhluk lain?”
Tatapan Riven mengeras. “Mereka bukan sekadar makhluk.”
Aelira merinding. Udara di sekitarnya tiba-tiba terasa lebih dingin, seolah sesuatu sedang mengintai dari balik bayangan.
“Aku seharusnya nggak nemuin kamu malam itu,” lanjut Riven, suaranya lebih pelan. “Tapi aku nggak bisa diam aja lihat kamu di ambang kematian.”
Aelira menelan ludah. “Jadi, aku seharusnya mati malam itu?”
Riven tidak menjawab.
Keheningan yang ia berikan adalah jawaban yang lebih dari cukup.
Aelira merasa dadanya sesak. Kalau Riven tidak menyelamatkannya, mungkin ia sudah tidak ada di sini sekarang. Tapi pertanyaannya, siapa atau apa yang ingin ia mati?
“Apa mereka… masih mengincarku?” tanya Aelira dengan suara lebih kecil.
Riven mengangguk.
“Kamu harus pergi dari sini, Aelira,” lanjutnya, nadanya serius. “Lupakan aku. Lupakan semua yang terjadi. Kalau kamu terus mencari, mereka nggak akan berhenti.”
Tapi Aelira justru menggeleng. “Aku nggak bisa.”
Tatapan Riven melembut, seolah ia sudah menduga jawaban itu.
“Aku nggak mau hidup dalam ketakutan,” lanjut Aelira. “Kalau ada sesuatu yang memburuku, aku harus tahu apa itu. Aku nggak mau lari tanpa tahu alasannya.”
Riven menatapnya lama, lalu menghela napas panjang.
“Kamu benar-benar keras kepala.”
Aelira tersenyum tipis. “Dan kamu benar-benar misterius.”
Sejenak, sesuatu yang menyerupai senyuman muncul di wajah Riven. Tapi hanya sebentar, sebelum ia kembali serius.
“Oke,” katanya akhirnya. “Aku bakal kasih kamu jawaban. Tapi aku nggak janji kamu bakal suka.”
Aelira menahan napas. “Coba aku dengerin dulu.”
Riven melirik ke sekitar, seakan memastikan mereka benar-benar sendirian. Lalu ia bicara dengan nada lebih rendah.
“Ada dunia yang nggak kamu lihat, Aelira,” katanya pelan. “Dunia yang hidup di balik bayangan kita.”
Aelira menegang.
“Mereka adalah bagian dari kegelapan yang nggak pernah benar-benar hilang. Mereka mencari orang-orang yang berada di ambang kematian… seperti kamu malam itu.”
Darah Aelira terasa membeku.
“Kamu seharusnya nggak selamat,” lanjut Riven. “Mereka sudah memilih kamu, dan aku mengganggu rencana mereka.”
Aelira menggigit bibirnya. “Jadi mereka marah?”
“Lebih buruk dari itu,” kata Riven. “Mereka akan melakukan apa pun untuk memastikan takdir yang mereka tentukan tetap berjalan.”
Aelira merinding.
“Tapi kenapa aku?” tanyanya.
Riven terdiam sejenak. “Mungkin karena mereka tahu ada sesuatu dalam dirimu yang lebih dari sekadar manusia biasa.”
Aelira mengerutkan kening. “Apa maksud kamu?”
Riven menatapnya dalam-dalam.
“Kamu belum sadar, kan?”
Aelira menggeleng.
“Kamu bisa melihatku,” lanjut Riven. “Melihat mereka. Itu bukan hal yang wajar.”
Aelira ingin menyangkal. Tapi kalau dipikirkan lagi… sejak awal, ia memang selalu merasa berbeda. Ia bisa merasakan hal-hal yang tidak bisa dijelaskan. Ia tahu kapan seseorang berbohong, kapan suasana berubah meski tak ada tanda yang terlihat.
“Jadi, aku… istimewa?”
“Bisa dibilang begitu.”
Aelira menggigit bibirnya. Ia seharusnya takut. Tapi anehnya, ia justru merasa lebih tenang.
“Kalau aku bisa melihat mereka, berarti aku bisa melawan mereka juga, kan?”
Riven terdiam, lalu tersenyum samar. “Kamu ini benar-benar gila.”
Aelira tersenyum kecil. “Aku hanya nggak suka merasa lemah.”
Riven menghela napas, lalu mengulurkan tangannya. “Kalau begitu, kamu butuh seseorang yang bisa mengajarkan kamu bertahan.”
Aelira menatap tangan itu sejenak.
Lalu, ia menggenggamnya erat.
Dalam sekejap, rasa hangat menyebar ke seluruh tubuhnya. Sesuatu yang familiar, sesuatu yang membuatnya yakin… bahwa ia tidak sendiri.
Mungkin ia telah jatuh ke dalam kegelapan yang tidak ia pahami.
Tapi setidaknya, kali ini, ia tidak berjalan sendirian.
Dan siapa pun yang bersembunyi di balik bayangan… mereka akan segera tahu bahwa Aelira tidak akan lari.
Tidak lagi.
Jadi, di dunia ini… siapa yang sebenarnya punya kuasa buat nentuin hidup dan mati seseorang? Aelira udah ngelewatin batas yang seharusnya nggak dia sentuh, dan sekarang dia tahu, nggak ada jalan balik. Tapi, di antara semua ketakutan dan rahasia, ada satu hal yang pasti—dia nggak bakal lari. Dan kalau kegelapan masih ngejar dia… well, mungkin kali ini dia yang bakal ngejar balik.


