Cinta di Akhir Nada: Kisah Romantis di Balik Melodi

Posted on

Pernah nggak sih, kamu ngerasa hidup kayak lagu? Ada nadanya, ada liriknya, dan kadang… ada cinta yang terselip di antara semuanya. Nah, di cerita ini, kamu bakal diajak ngikutin kisah Alanis dan Ezio, dua musisi yang nggak cuma nyatuin melodi, tapi juga hati. Awalnya sih, mereka cuma partner ngebuat lagu, tapi lama-lama, siapa sangka musik bisa jadi pintu buat nyari cinta sejati? Siap-siap aja baper abis!

 

Kisah Romantis di Balik Melodi

Nada yang Hilang

Ezio duduk di depan pianonya, memandang tuts-tuts hitam putih di depannya seolah-olah mereka adalah teka-teki yang tak terpecahkan. Ruangan studionya begitu sunyi, hanya ada lampu meja yang remang dan cahaya senja yang masuk dari jendela besar di sampingnya. Jemarinya yang sudah lihai mengalirkan nada-nada kecil yang melankolis, namun dia tahu ada sesuatu yang salah. Sesuatu yang selalu terasa kurang di setiap karya yang ia ciptakan belakangan ini.

Dia menekan beberapa tuts lagi, mencoba menyambung melodi yang ada di kepalanya. Tapi, tidak peduli seberapa keras dia berusaha, nada itu tetap terasa hampa. Hampir seperti… kehilangan jiwanya.

“Kenapa begini terus, ya?” gumam Ezio sambil mengacak-acak rambutnya. Sudah berjam-jam dia duduk di sana, tapi tetap saja tak menemukan apa yang dia cari. Setiap lagu yang ia ciptakan, meskipun secara teknis sempurna, selalu terasa ada yang hilang. Padahal, dia tahu harusnya ada sesuatu yang lebih. Sesuatu yang bisa membuat lagu-lagunya hidup.

Ezio mendesah dan menatap sekeliling studionya. Di dinding tergantung berbagai penghargaan, trofi, bahkan beberapa sertifikat yang menunjukkan betapa suksesnya dia sebagai komposer muda. Tapi, semua itu rasanya hambar. Penghargaan-penghargaan itu tidak bisa mengisi kekosongan yang ia rasakan setiap kali menyelesaikan sebuah lagu.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar di atas meja. Sebuah pesan masuk dari manajernya, Rania.

“Kamu masih di studio? Kamu harus istirahat, Ezi. Lagu ini bisa tunggu besok. Jangan terlalu memaksakan diri.”

Ezio tersenyum kecil. Rania memang selalu perhatian, meskipun dia bisa sangat tegas soal tenggat waktu. Tapi malam ini, dia tidak bisa berhenti. Ada sesuatu yang menahannya di sini—perasaan bahwa dia sangat dekat dengan apa yang ia cari, tetapi masih terlalu jauh untuk dijangkau.

Dia membalas pesan itu singkat, “Nggak apa-apa, cuma beberapa jam lagi.” Lalu, Ezio menaruh ponselnya dan kembali menatap pianonya. Tangannya mulai menekan tuts lagi, mencoba berbagai kombinasi nada. Namun, semuanya terdengar sama: kosong, datar, dan tak bernyawa.

Sampai akhirnya, ada sebuah bayangan melintas di benaknya—seseorang yang pernah ia temui beberapa bulan lalu. Alanis Verelle. Nama itu tiba-tiba muncul di pikirannya, tanpa alasan yang jelas. Ezio ingat saat pertama kali melihat Alanis di sebuah acara penghargaan musik. Dia berdiri di atas panggung, menyanyikan sebuah lagu jazz dengan suara yang begitu memukau. Bukan hanya karena tekniknya, tapi ada sesuatu di dalam suaranya. Sebuah emosi yang dalam, yang mampu menggugah siapa saja yang mendengarnya.

Ezio teringat bagaimana suara Alanis mampu menggetarkan hatinya malam itu. Sejak saat itu, dia selalu merasa ada sesuatu yang aneh. Mungkin… suara Alanis adalah bagian dari “nada yang hilang” yang selama ini ia cari?

Ezio memejamkan matanya, mencoba membayangkan suara Alanis di tengah komposisi yang ia buat. Perlahan-lahan, ia mulai memainkan beberapa melodi yang terinspirasi dari kenangan malam itu. Dan anehnya, kali ini, nada itu mulai terasa hidup.

Tanpa sadar, senyumnya mulai terukir di bibirnya. Ini dia.

Beberapa hari kemudian, Ezio memutuskan untuk mengambil langkah yang lebih berani. Dia menghubungi manajernya dan meminta Rania untuk mengatur pertemuan dengan Alanis. Ezio tahu bahwa ide ini terdengar gila—mengundang seseorang yang baru dia temui sekali untuk bekerja sama di proyek yang sangat personal seperti ini. Tapi di hatinya, dia merasa yakin bahwa Alanis adalah kunci dari komposisi yang selama ini terasa hilang.

Tidak butuh waktu lama sampai Alanis setuju untuk bertemu. Rupanya, Alanis juga pernah mendengar tentang Ezio, dan meskipun mereka jarang berbicara, ada rasa penasaran di antara mereka berdua. Ezio merasa gugup, tapi juga penuh harapan.

Hari itu tiba, dan Alanis datang ke studio Ezio dengan jaket kulit hitam yang kasual dan kacamata hitam di kepalanya. Meski tampilannya terlihat santai, ada aura percaya diri yang begitu kuat darinya.

“Jadi, ini tempat si komposer hebat itu bekerja, ya?” Alanis membuka pembicaraan dengan senyum kecil, mencoba mencairkan suasana.

Ezio tertawa kecil. “Ya, nggak sehebat itu, kok. Studio kecil-kecilan.”

“Studio ini udah lebih dari cukup untuk bikin masterpiece, aku rasa,” jawab Alanis sambil menatap sekeliling, sebelum duduk di kursi di sebelah piano Ezio.

“Aku dengar kamu punya proyek yang lagi kamu kerjakan. Dan katanya, aku dibutuhkan?” Alanis menatap Ezio dengan rasa ingin tahu.

Ezio mengangguk. “Iya. Aku sedang kerja di satu lagu yang… jujur aja, aku merasa ada yang kurang. Nggak tahu kenapa, tapi aku selalu merasa lagu-lagu terakhirku nggak punya nyawa. Seperti ada sesuatu yang hilang, dan aku nggak bisa nemuin apa itu.”

Alanis mendengarkan dengan seksama, sebelum akhirnya bertanya, “Dan kamu pikir aku bisa bantu?”

“Iya, aku yakin kamu bisa,” jawab Ezio tanpa ragu. “Setelah aku dengar kamu nyanyi di acara itu, aku tahu ada sesuatu di suaramu. Sesuatu yang bisa bikin lagu-laguku hidup.”

Alanis tersenyum simpul, sedikit terkejut dengan keyakinan Ezio. “Hmm, menarik. Oke, aku tertarik. Kita coba bikin sesuatu.”

Mereka mulai bekerja bersama malam itu. Alanis berdiri di depan mikrofon, sementara Ezio duduk di belakang pianonya. Setiap kali Alanis bernyanyi, Ezio merasakan perbedaan yang nyata. Suara Alanis benar-benar membawa sesuatu yang baru ke dalam musiknya. Seakan-akan nada-nada yang ia cari selama ini akhirnya muncul, terurai satu per satu.

Alanis tersenyum setelah menyelesaikan sebuah bagian. “Gimana? Udah sesuai ekspektasi?”

Ezio menatapnya dengan kagum. “Lebih dari itu. Ini… sempurna.”

Malam itu, mereka berdua bekerja tanpa henti. Tidak ada kata-kata formal, hanya musik dan perasaan yang mengalir di antara mereka. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, Ezio merasa lagu-lagunya tidak lagi kosong.

Namun, di balik itu semua, Ezio juga mulai menyadari sesuatu yang lain. Setiap kali Alanis menyanyikan sebuah lirik, ada perasaan hangat yang menjalar di hatinya—sesuatu yang lebih dari sekadar rasa puas terhadap karya musik. Mungkin, nada yang hilang selama ini bukan hanya tentang musik. Mungkin, ada perasaan lain yang mulai tumbuh di dalam dirinya.

Tapi, Ezio belum berani memikirkan hal itu lebih jauh. Di benaknya, masih ada lagu yang belum selesai. Dan di akhir nada itu, mungkin ia akan menemukan jawaban yang sesungguhnya.

 

Melodi yang Menyatu

Pagi berikutnya, Ezio terbangun dengan perasaan yang berbeda. Ada rasa lega yang menjalar di tubuhnya, seolah-olah beban yang selama ini dia pikul mulai terangkat sedikit demi sedikit. Suara Alanis masih terngiang di kepalanya, menggema lembut di setiap sudut pikirannya. Ia bisa merasakan bahwa lagu yang mereka buat bersama tadi malam telah membuka jalan baru. Tapi di satu sisi, ada sesuatu yang lebih dari sekadar kolaborasi musik itu.

Sambil duduk di meja sarapannya, Ezio menatap kosong ke secangkir kopi yang sudah mulai dingin. Pikirannya kembali melayang ke Alanis. Dia adalah sesuatu yang baru, berbeda dari semua orang yang pernah ia temui di dunia musik ini. Alanis punya cara sendiri untuk masuk ke dalam setiap nada, seakan dia bisa membaca emosi yang bahkan tidak Ezio sadari.

“Dia benar-benar… luar biasa,” gumam Ezio, lebih kepada dirinya sendiri.

Beberapa hari berlalu sejak kolaborasi pertama mereka, dan setiap pertemuan dengan Alanis terasa semakin intens. Mereka bertemu hampir setiap hari di studio, membangun melodi demi melodi, menciptakan harmoni yang semakin menyatu. Setiap nada yang Alanis nyanyikan seolah membawa kehidupan ke dalam komposisi yang selama ini terasa mati di tangan Ezio.

Suatu sore, ketika mereka sedang mengerjakan bagian kunci dari lagu tersebut, Alanis berhenti sejenak dan menatap Ezio dengan tatapan serius. “Aku mau tanya sesuatu.”

Ezio, yang saat itu sedang fokus pada pianonya, mengangkat kepalanya dan mengangguk. “Tanya aja, kenapa?”

“Kamu bilang waktu itu kalau lagu-lagumu terasa hampa. Sebenernya… kamu lagi cari apa, sih? Maksudku, apa yang bener-bener kamu rasakan tentang musikmu selama ini?” Alanis mencondongkan tubuhnya sedikit, memperlihatkan rasa ingin tahunya yang tulus.

Ezio terdiam. Pertanyaan itu langsung menusuk ke inti perasaannya. Dia mencoba menjawab, tapi kata-kata terasa sulit keluar. Akhirnya, dia hanya bisa mendesah pelan dan mengusap wajahnya.

“Aku… nggak tahu. Aku udah ngerasa kayak gini cukup lama,” Ezio memulai dengan suara rendah. “Dulu, setiap kali aku buat lagu, aku selalu bisa ngerasain emosi di baliknya. Tapi sekarang, aku ngerasa kayak cuma sekadar menciptakan musik. Nggak ada lagi perasaan yang kuat di baliknya.”

Alanis mengangguk pelan. “Aku bisa ngerti. Kadang-kadang, kita terlalu tenggelam dalam rutinitas, sampai lupa apa yang bikin kita jatuh cinta sama sesuatu dari awal.”

Ezio menatapnya, merasa seolah Alanis bisa membaca pikirannya. “Kamu benar. Dulu, aku bikin musik karena aku suka, karena itu caraku buat nyampein apa yang ada di hati. Tapi sekarang, semua terasa kayak beban. Harus sempurna, harus sesuai ekspektasi orang-orang.”

Alanis tersenyum kecil, penuh pengertian. “Mungkin kamu cuma perlu berhenti sejenak dan dengerin musik itu lagi dengan hati, bukan cuma telinga.”

Ezio merasakan sesuatu yang hangat merayap di dadanya. Kata-kata Alanis seperti membuka sebuah pintu yang selama ini terkunci rapat di dalam dirinya. Dia tersadar bahwa selama ini, dia sudah terlalu jauh dari alasan mengapa dia mencintai musik.

Setelah beberapa detik hening, Alanis berdiri dan berjalan mendekati mikrofon. “Ayo, kita coba lagi. Tapi kali ini, jangan pikirin harus sempurna atau apapun. Kita mainin aja, rasain lagunya, dan biarin melodi itu yang bicara.”

Ezio tersenyum samar dan mengangguk. “Baiklah, kita coba.”

Dia mulai menekan tuts-tuts pianonya, dan Alanis mulai menyanyikan lirik yang baru mereka buat. Suara Alanis kali ini terasa berbeda. Bukan hanya kuat, tapi penuh emosi. Seolah dia benar-benar memahami apa yang sedang ia nyanyikan, dan setiap nada membawa Ezio lebih dalam ke dalam musik itu.

Setelah beberapa kali percobaan, mereka akhirnya berhenti. Alanis menatap Ezio dengan senyum puas. “Gimana, sekarang lebih hidup, kan?”

Ezio mengangguk sambil tertawa kecil. “Lebih dari hidup. Ini… kayak menemukan kembali kenapa aku jatuh cinta sama musik.”

“Good,” jawab Alanis ringan. “Terkadang, kita cuma perlu berhenti mengejar kesempurnaan dan biarin perasaan kita yang berbicara.”

Mereka melanjutkan kerja mereka malam itu, namun kali ini suasana di antara mereka terasa lebih ringan, lebih natural. Setiap kali Ezio memainkan piano, Alanis menanggapi dengan nada yang tepat, dan sebaliknya. Mereka mulai menyadari bahwa bukan hanya musik yang menyatukan mereka, tapi juga pemahaman mendalam tentang apa yang mereka cari dalam hidup. Ezio tak bisa lagi mengabaikan perasaan aneh yang muncul setiap kali dia mendengar Alanis bernyanyi. Ada sesuatu di balik nada itu—sesuatu yang lebih dari sekadar kolaborasi profesional.

Esoknya, mereka memutuskan untuk istirahat sejenak dari pekerjaan dan mengobrol di studio. Ezio menyalakan pemutar musik, memutar lagu-lagu lama dari artis-artis yang ia kagumi, sementara Alanis bersandar di sofa dengan mata terpejam.

“Jadi, gimana kamu bisa masuk ke dunia musik?” tanya Ezio tiba-tiba, memecah keheningan.

Alanis membuka matanya dan tersenyum tipis. “Musik udah jadi bagian hidupku sejak kecil. Ibuku dulu seorang penyanyi jazz di kafe-kafe kecil. Dia yang ngajarin aku nyanyi. Aku masih inget gimana dia selalu bilang, ‘Nyanyi itu bukan soal suara yang bagus. Nyanyi itu soal nyampein perasaanmu.'”

Ezio mendengarkan dengan penuh perhatian. “Dan kamu jelas banget bisa nyampein perasaan lewat suaramu.”

Alanis tertawa kecil. “Mungkin karena aku tumbuh dikelilingi musik. Ibuku selalu bawa aku ke setiap pertunjukannya, meskipun cuma di kafe-kafe kecil. Dari sanalah aku belajar untuk mencintai musik, bukan karena uang atau ketenaran, tapi karena itu bikin aku merasa hidup.”

Ezio terdiam, merenungi kata-kata Alanis. Rasanya, dia menemukan jawaban yang selama ini dia cari. Alanis tidak hanya membuat musiknya hidup kembali, tapi juga mengingatkan dia tentang kenapa dia memulai perjalanan ini dari awal—karena cinta. Cinta pada musik, dan mungkin, cinta pada sesuatu yang lebih.

Tanpa disadari, Ezio mulai melihat Alanis dengan cara yang berbeda. Bukan hanya sebagai penyanyi atau kolaborator, tapi sebagai seseorang yang bisa memahami dirinya dengan cara yang tidak pernah ia duga sebelumnya. Dan di dalam setiap melodi yang mereka buat bersama, Ezio merasa ada perasaan yang tumbuh perlahan, menyatu dengan setiap nada.

Namun, dia belum siap untuk mengakui perasaan itu. Setidaknya, belum sekarang. Masih ada lagu yang harus diselesaikan, dan dia ingin membiarkan perasaan itu tumbuh perlahan, sama seperti nada-nada yang mereka bangun bersama.

 

Resonansi di Hati

Waktu terus berjalan, dan lagu mereka hampir selesai. Ezio dan Alanis sudah menghabiskan banyak malam di studio, saling berbagi ide, cerita, dan melodi. Hubungan mereka perlahan berubah, bukan lagi hanya soal musik, tapi tentang kehadiran masing-masing yang mulai terasa semakin penting.

Sore itu, hujan turun dengan deras, menciptakan ritme alami yang menemani mereka di studio. Alanis duduk di sudut ruangan dengan secangkir teh hangat di tangannya, menatap keluar jendela. Ezio, yang sedang merapikan beberapa partitur di meja, sesekali melirik ke arah Alanis, memperhatikan bagaimana gadis itu terhanyut dalam pikirannya sendiri.

“Apa yang kamu pikirin?” tanya Ezio, mencoba memecah keheningan yang nyaman.

Alanis menoleh, senyumnya tipis namun penuh makna. “Aku lagi ngerasain perasaan aneh. Kamu tahu nggak, kadang-kadang, aku ngerasa kayak musik yang kita buat ini lebih dari sekadar lagu?”

Ezio terdiam, hatinya berdetak lebih cepat mendengar kata-kata Alanis. “Maksud kamu?”

Alanis menaruh cangkir tehnya di meja dan menatap Ezio dengan mata yang penuh rasa ingin tahu. “Aku nggak tahu gimana cara jelasinnya, tapi setiap kali kita bikin lagu bareng, aku ngerasa kayak ada sesuatu yang lebih dari sekadar nada-nada. Ada… perasaan yang nyatu di situ.”

Ezio tersenyum samar, merasa jantungnya berdegup kencang, tapi berusaha tetap tenang. “Mungkin karena kita sama-sama masuk ke dalam musiknya. Kadang-kadang, emosi kita benar-benar terikat sama lagu yang kita buat.”

Alanis mengangguk pelan. “Iya, mungkin. Tapi, aku juga ngerasa ada sesuatu yang lain di antara kita. Bukan cuma soal musik.”

Ezio terkejut mendengar pengakuan itu, tapi dia tahu dalam hatinya bahwa Alanis benar. Sejak pertama kali mereka bertemu, ada sesuatu yang perlahan tumbuh di antara mereka—sesuatu yang lebih dari sekadar kolaborasi profesional. Namun, Ezio masih terlalu takut untuk mengakuinya. Perasaan itu terasa rumit, dan dia belum siap untuk menghadapi apa yang mungkin datang setelahnya.

Ezio berjalan mendekati piano, berusaha mengalihkan pikirannya dengan memainkan beberapa nada. Jari-jarinya bergerak lincah di atas tuts, menciptakan melodi yang lembut dan tenang. Alanis, seperti biasa, mulai menyanyi dengan natural, mengikuti nada yang dimainkan Ezio. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda dalam cara Alanis bernyanyi. Suaranya terdengar lebih lembut, lebih intim, seolah-olah dia sedang menyanyikan lagu itu hanya untuk Ezio.

Setelah beberapa saat, Alanis berhenti bernyanyi dan menatap Ezio yang masih asyik dengan pianonya. “Ezio, aku mau bilang sesuatu.”

Ezio menghentikan permainannya dan menoleh ke arah Alanis, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. “Apa?”

Alanis menghela napas sejenak sebelum akhirnya berbicara. “Aku… ngerasa kita udah nyatu bukan cuma di musik, tapi juga di hati. Aku nggak tahu apakah kamu ngerasain hal yang sama, tapi aku nggak bisa terus pura-pura nggak ada apa-apa.”

Ezio tertegun. Kata-kata Alanis membuat perasaannya bercampur aduk. Dia memang merasakan hal yang sama, tapi selama ini dia berusaha menahan diri. Musik mereka adalah prioritas, dan Ezio tidak ingin mengacaukannya dengan perasaan yang mungkin terlalu rumit untuk dihadapi. Tapi sekarang, mendengar Alanis bicara jujur, dia merasa tak bisa lagi mengabaikan perasaan itu.

Ezio berjalan perlahan mendekati Alanis dan duduk di sebelahnya. Hening sejenak melingkupi ruangan, hanya suara hujan yang masih terdengar dari luar. Dia menatap Alanis, melihat kejujuran di matanya, dan akhirnya berkata, “Aku… aku juga ngerasain hal yang sama. Tapi aku takut kalau ini malah merusak apa yang udah kita bangun.”

Alanis tersenyum tipis, ada kehangatan yang terpancar dari wajahnya. “Ezio, musik itu soal perasaan. Dan perasaan nggak pernah salah. Mungkin kita takut sekarang, tapi bukan berarti kita harus lari.”

Kata-kata Alanis membuat Ezio terdiam. Benar, selama ini dia terlalu takut untuk menghadapi perasaannya. Padahal, mungkin perasaan itulah yang justru bisa membuat musik mereka semakin hidup. Dia mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Alanis, merasa untuk pertama kalinya dia siap untuk membuka diri.

“Alanis, aku nggak tahu gimana ini semua bakal berakhir, tapi aku juga nggak mau pura-pura nggak ada apa-apa. Aku nggak cuma suka kolaborasi kita… tapi aku juga suka kamu.”

Alanis tertawa pelan, senyumnya makin lebar. “Aku juga suka kamu, Ezio. Sejak kita pertama kali kerja bareng, aku udah ngerasa ada sesuatu yang berbeda. Tapi aku nggak mau buru-buru ngomong karena aku takut kamu nggak ngerasain hal yang sama.”

Ezio menghela napas lega, merasa beban di dadanya perlahan terangkat. “Aku juga takut. Tapi sekarang, aku seneng kita jujur sama perasaan masing-masing.”

Alanis mengangguk pelan, matanya berbinar-binar penuh kehangatan. “Yup, akhirnya kita nyatu nggak cuma di musik, tapi juga di hati.”

Malam itu, mereka terus bermain musik, namun kali ini dengan hati yang lebih terbuka. Setiap nada yang keluar terasa lebih bermakna, lebih mendalam, seolah-olah mereka tidak hanya berbagi melodi, tapi juga perasaan. Hubungan mereka semakin erat, tapi tetap berjalan perlahan—seperti melodi yang sempurna, butuh waktu untuk mencapai klimaksnya.

Ezio merasa bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang indah, sesuatu yang mungkin tidak pernah ia temukan jika ia tidak bertemu dengan Alanis. Dan meskipun masih banyak yang belum terungkap, dia yakin mereka akan menemukan harmoni yang sempurna di antara mereka berdua.

 

Akhir yang Menggema

Waktu berlalu, dan lagu mereka yang nyaris selesai akhirnya menjadi sempurna. Ezio dan Alanis terus menghabiskan waktu di studio, tidak hanya menciptakan musik, tapi juga menguatkan hubungan mereka yang kini telah berkembang menjadi sesuatu yang lebih dalam. Hubungan yang dulunya dibatasi oleh batas profesional kini telah melebur dalam cinta, seolah-olah setiap nada yang mereka mainkan adalah refleksi dari perasaan masing-masing.

Sore itu, mereka berkumpul di studio untuk merekam versi final lagu yang telah mereka kerjakan selama ini. Alanis duduk di depan mikrofon, sementara Ezio berada di balik piano, siap memainkan melodi terakhir. Namun, sebelum memulai, Alanis tiba-tiba berhenti dan menatap Ezio dengan senyum yang penuh makna.

“Kamu tahu nggak, Ezio? Lagu ini… kayaknya lagu terindah yang pernah kita buat,” kata Alanis, suaranya penuh kelembutan.

Ezio menatap Alanis dengan senyum hangat, merasakan detak jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. “Iya, aku juga ngerasa begitu. Lagu ini bukan cuma tentang musik, tapi tentang semua yang kita lalui bareng.”

Alanis tersenyum lebih lebar. “Iya. Lagu ini adalah cerita kita.”

Ezio mengangguk pelan, lalu mulai memainkan melodi yang telah mereka ciptakan bersama. Suara piano mengalun lembut, dan Alanis mulai menyanyikan lirik dengan penuh perasaan. Suaranya mengisi ruangan dengan kehangatan, setiap kata yang dinyanyikan terasa begitu personal, seolah-olah dia sedang menyampaikan isi hatinya langsung kepada Ezio.

Selama rekaman, mata mereka sering bertemu, dan di antara nada-nada itu, ada pesan yang tak terucapkan—bahwa perasaan mereka telah menyatu dengan sempurna. Mereka tidak lagi hanya berbagi melodi, tetapi juga hati.

Setelah rekaman selesai, Alanis mendekati Ezio, matanya berbinar-binar. “Kita berhasil. Lagu ini… sempurna.”

Ezio tersenyum, tapi kali ini senyum itu membawa sesuatu yang lebih. Ada rasa syukur dan kebahagiaan yang terpancar dari wajahnya. “Alanis, lagu ini nggak akan sempurna tanpa kamu.”

Alanis tertawa pelan, tapi suaranya terdengar lembut dan manis. “Dan lagu ini juga nggak akan jadi apa-apa tanpa kamu, Ezio.”

Mereka saling berdiam diri sejenak, hanya menatap satu sama lain dalam keheningan yang penuh makna. Ezio merasa hatinya mulai berdetak lebih cepat. Ada sesuatu yang mendesak dari dalam hatinya—sebuah dorongan yang selama ini dia coba hindari, tapi kini terasa tak terelakkan.

Ezio mengambil langkah maju, mendekatkan dirinya pada Alanis. “Aku nggak cuma pengen kita berhasil dalam musik… aku juga pengen kita berhasil dalam hidup. Bareng.”

Alanis terkejut, tapi senyumnya perlahan muncul, membuat wajahnya semakin bersinar. “Kamu serius?”

Ezio mengangguk dengan tegas. “Aku serius, Alanis. Aku nggak mau ini cuma berhenti di lagu. Aku pengen kamu ada di hidup aku, bukan cuma di musik, tapi di setiap hari.”

Alanis menatapnya dengan mata yang berbinar. Ada harapan, kebahagiaan, dan cinta yang tersirat dalam pandangannya. Dia tahu, sejak mereka mulai bekerja sama, perasaan ini sudah tumbuh, dan kini, semuanya telah terungkap dengan begitu jelas.

“Aku juga nggak mau ini cuma jadi cerita di lagu,” kata Alanis dengan suara yang lembut. “Aku pengen kita jadi bagian dari kehidupan masing-masing. Aku udah nggak bisa bayangin hidup aku tanpa kamu, Ezio.”

Kata-kata itu terdengar seperti musik di telinga Ezio. Tanpa ragu, dia meraih tangan Alanis dan menggenggamnya erat. “Alanis, selama ini, aku takut perasaan kita bakal merusak apa yang udah kita bangun. Tapi sekarang aku sadar, justru perasaan ini yang bikin semuanya jadi lebih indah.”

Alanis tersenyum, air matanya menetes perlahan, tapi kali ini air mata kebahagiaan. “Iya, kamu benar. Perasaan kita lah yang bikin musik ini lebih hidup.”

Ezio mendekatkan wajahnya, dan dalam keheningan yang lembut, bibir mereka bertemu untuk pertama kalinya. Ciuman itu terasa begitu alami, seperti akhir dari sebuah perjalanan panjang yang telah lama ditunggu. Tidak ada keraguan, hanya ada rasa nyaman dan kebahagiaan yang mengalir di antara mereka.

Ketika mereka melepaskan ciuman itu, Alanis menatap Ezio dengan senyum penuh cinta. “Ini bukan akhir, kan?”

Ezio tertawa kecil, suaranya lembut namun penuh keyakinan. “Nggak, ini baru permulaan. Kita masih punya banyak lagu yang harus kita buat, dan banyak cerita yang harus kita jalani bareng.”

Malam itu, mereka meninggalkan studio dengan hati yang penuh, siap memulai babak baru dalam hidup mereka. Lagu yang mereka ciptakan bersama tidak hanya akan menjadi hit di luar sana, tetapi juga menjadi saksi dari kisah cinta mereka yang tak terduga namun indah. Mereka tahu, meskipun jalan di depan mungkin tidak selalu mulus, selama mereka berjalan bersama, semuanya akan terasa lebih mudah—seperti melodi yang sempurna di akhir sebuah lagu.

Dan di antara hujan yang mulai reda, tangan mereka tetap saling menggenggam, memastikan bahwa cinta yang telah tumbuh di antara nada-nada itu akan terus hidup, tak hanya dalam lagu, tapi juga di hati mereka selamanya.

 

Dan begitulah, kisah Alanis dan Ezio yang awalnya cuma nyatuin nada, ternyata malah nyatuin hati. Kadang cinta datang dari tempat yang nggak terduga, kayak melodi yang tiba-tiba bikin kamu jatuh cinta sama lagu. Jadi, siapa tahu, di balik setiap nada, ada akhir cerita cinta kamu sendiri yang lagi nunggu. Jangan lupa dengerin hati kamu, ya!

Leave a Reply