Cinta dan Persahabatan yang Terkoyak: Kisah Affan, Nayla, dan Zahwa

Posted on

Dalam, Cinta dan Persahabatan yang Terkoyak, kita menyaksikan dilema emosional Affan, seorang pemuda yang terjebak antara pesona Nayla dan persahabatan tulusnya dengan Zahwa.

Saat ketertarikan baru menggantikan hubungan lama, Affan harus menghadapi dampak dari pilihannya yang mengubah hidupnya. Cerpen ini mengungkap kedalaman perasaan penyesalan dan kesedihan saat persahabatan yang berharga mulai retak dan tak bisa diperbaiki.

 

Cinta dan Persahabatan yang Terkoyak

Pertemuan yang Mengubah Segalanya

Di hari yang tampaknya biasa seperti hari-hari lainnya, suasana di sekolah terasa riuh dengan kegembiraan dan kesibukan yang tak henti-hentinya. Di antara deretan meja kantin yang penuh dengan siswa, tampak seorang pemuda bernama Affan, dikenal karena gaya gaulnya yang mencolok dan sikapnya yang cenderung kurang ramah. Dia melangkah dengan langkah santai, matanya menyapu ruangan dengan rasa ingin tahunya yang mendalam.

Di sudut kantin, perhatian Affan tertuju pada sosok baru yang memancarkan aura yang berbeda dari yang lainnya. Nayla, seorang gadis dengan rambut panjang berkilau dan mata yang penuh misteri, duduk dikelilingi oleh gadis-gadis lain yang tampak terpesona oleh kehadirannya. Nayla, yang baru pindah ke sekolah, segera menarik perhatian semua orang dengan pesonanya yang tak tertandingi.

Affan merasa dorongan kuat untuk mendekati Nayla. Keberanian dan rasa ingin tahunya membawanya menuju meja Nayla, di mana dia memperkenalkan dirinya dengan senyuman lebar dan sikap percaya diri. “Hai, aku Affan. Selamat datang di sekolah kita. Kalau kamu butuh teman, aku di sini.”

Nayla menanggapi dengan senyuman yang anggun dan pandangan yang sedikit misterius. “Terima kasih, Affan. Aku senang bisa bertemu denganmu.”

Interaksi ini berlangsung dengan penuh kehangatan, namun di balik percakapan basa-basi itu, terasa adanya ketertarikan yang mendalam. Setiap kata yang keluar dari Nayla dan setiap gerakan kecilnya seolah-olah membawa magnet yang menarik Affan lebih dekat kepadanya. Pengaruh Nayla semakin kuat seiring berjalannya waktu, dan Affan merasa seperti dunia di sekelilingnya menjadi kabur, hanya ada Nayla yang tampak begitu nyata.

Seiring dengan meningkatnya kedekatan antara Affan dan Nayla, perubahan besar terjadi dalam kehidupan sosial Affan. Dia mulai menjauh dari sahabat lamanya, Zahwa, yang merupakan gadis baik hati dan penuh perhatian. Zahwa, yang telah lama menjadi bagian penting dalam hidup Affan, menyaksikan perubahan ini dengan kekhawatiran yang mendalam.

Suatu sore di taman sekolah, Zahwa duduk bersama Affan dengan harapan untuk membahas perubahan yang terjadi. “Affan, kenapa kamu tiba-tiba menjauh? Aku merasa kamu berubah,” tanyanya dengan lembut, mencerminkan kepedulian dan rasa sakit yang dirasakannya.

Affan mencoba menjelaskan ketertarikan barunya dengan Nayla. “Aku hanya merasa ada sesuatu yang baru dan menarik. Aku hanya mencoba mencari hal yang membuatku merasa hidup,” jawabnya, berusaha untuk terdengar tenang meskipun hatinya dipenuhi dengan keraguan.

Zahwa, dengan tatapan mata penuh kekhawatiran, mengangguk pelan dan berusaha untuk memahami. “Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku ada di sini untukmu, tidak peduli apa pun yang terjadi. Tapi tolong, jangan lupakan persahabatan kita.”

Kalimat Zahwa terasa seperti tetesan air di tengah gurun emosi yang melanda Affan. Meskipun ada rasa ketidaknyamanan yang samar, dorongan untuk mendekati Nayla semakin kuat, membuat Affan terjebak dalam daya tariknya yang mempesona. Zahwa, dengan kepribadian dan ketulusan yang tak tergantikan, perlahan-lahan mulai terasa jauh.

Hari demi hari berlalu dengan Affan semakin terlibat dalam dunia baru yang dibawa oleh Nayla. Kehidupan lamanya, termasuk persahabatan dengan Zahwa, mulai memudar dalam bayang-bayang ketertarikan baru yang mencuri perhatiannya. Affan merasa seolah-olah dunia yang dikenal selama ini telah berubah, dan dia terjebak dalam dunia baru yang penuh dengan kesenangan dan sensasi yang ditawarkan Nayla.

Malam hari, saat suasana tenang dan sepi, Affan berada di kamar, merenung tentang perubahan yang telah terjadi. Nayla telah membawa perubahan besar dalam hidupnya, dan meskipun ada rasa bersalah yang samar dan kekhawatiran akan dampaknya, dorongan untuk terus bersama Nayla lebih kuat daripada perasaan tersebut. Dalam ketidakpastian ini, Affan hanya bisa melanjutkan perjalanan barunya, tanpa tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Sementara itu, Zahwa, meskipun terluka, terus menjalani hidupnya dengan ketenangan dan kebahagiaan yang ditemukan di jalannya sendiri.

 

Sisi Gelap Ketertarikan

Dengan hari-hari yang semakin dingin dan malam yang semakin panjang, suasana di sekolah tampak berubah. Affan, yang kini lebih sering menghabiskan waktu dengan Nayla, semakin menjauh dari dunia lamanya yang penuh warna dan kehangatan. Keberadaan Nayla di sampingnya, dengan semua pesona dan daya tariknya, membuat segala sesuatu terasa baru dan menggairahkan. Namun, di balik semua kegembiraan itu, ada sisi gelap yang perlahan-lahan mulai terungkap.

Hari itu, seperti kebanyakan hari, kantin sekolah dipenuhi dengan siswa-siswa yang berbincang dan tertawa. Affan duduk bersama Nayla di meja yang sering mereka tempati, dikelilingi oleh kelompok-kelompok lain yang tampak semakin menjauh dari mereka. Nayla, dengan gaya dan penampilannya yang menarik perhatian, tampak santai dan percaya diri. Namun, di matanya, ada kilatan yang tidak bisa dipahami sepenuhnya—sebuah tanda bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar ketertarikan.

Ketika Nayla bercerita tentang rencananya untuk pesta yang akan datang, dia melontarkan komentar yang tajam tentang beberapa gadis di sekolah, termasuk Zahwa. “Kamu tahu, beberapa orang di sini seperti hanya ada untuk menjadi pengisi waktu. Zahwa, misalnya, terlihat sangat biasa. Tidak ada yang istimewa tentang dia,” ucap Nayla dengan nada yang ringan, namun jelas mengandung sindiran.

Affan, yang kini lebih sering bergaul dengan Nayla, merasakan dorongan untuk mengikuti alur percakapan yang penuh sindiran tersebut. “Aku tahu apa yang kamu maksud. Aku rasa dia memang tidak terlalu menonjol,” jawabnya, mencoba menahan rasa bersalah yang perlahan menggerogoti hatinya. Rasa bersalah yang awalnya kecil kini tumbuh menjadi rasa ketidaknyamanan yang semakin berat.

Saat malam pesta tiba, Nayla mengundang Affan untuk hadir bersama. Dalam suasana pesta yang penuh dengan musik dan tawa, Affan merasa dirinya berada dalam dunia yang berbeda. Nayla, dengan semua perhatian yang dia terima, tampak seperti pusat dari segala sesuatu. Namun, di balik semua itu, ada sesuatu yang terasa hilang—sebuah bagian dari diri Affan yang mulai merasa terasing dari dunia yang pernah dia kenal.

Di pesta, Affan melihat Zahwa berdiri di sudut ruangan, terpisah dari kerumunan. Zahwa terlihat cantik dengan gaun sederhana namun elegan, tetapi aura kesedihan dan keterasingan yang mengelilinginya membuat hati Affan bergetar. Dia teringat betapa dulunya Zahwa adalah teman sejatinya, seseorang yang selalu ada dalam setiap langkah hidupnya. Namun, sekarang, Zahwa terasa seperti seorang asing, dan Affan merasa terjebak dalam ketertarikan baru yang menghalangi pandangannya.

Ketika Zahwa mendekati meja di mana Affan dan Nayla duduk, senyumnya terlihat memudar saat dia melihat betapa dekatnya Affan dengan Nayla. “Halo, Affan. Kamu tampak baik-baik saja,” ucap Zahwa dengan nada yang lembut, berusaha untuk menyembunyikan rasa sakit di hatinya.

Affan, terjebak antara kesadaran dan dorongan untuk melindungi posisinya di samping Nayla, menjawab dengan nada yang tidak sepenuhnya ramah. “Oh, Zahwa. Ya, semuanya baik-baik saja. Kami hanya menikmati pesta.”

Nayla menambahkan dengan sikap yang agak sinis, “Ya, Zahwa. Ini memang pesta, tapi kamu tahu, beberapa orang mungkin tidak merasa cocok di sini.”

Zahwa tersenyum tipis, mengangguk pelan sebelum pergi menjauh. Dalam langkahnya yang perlahan, ada kesedihan yang tampaknya menyelimuti setiap gerakannya. Affan, yang menyaksikan semua ini, merasa sebuah rasa sakit yang mendalam—rasa sakit yang mungkin disebabkan oleh penyesalan yang tidak bisa diungkapkan.

Malam itu, saat pesta berakhir dan Affan kembali ke rumah, pikirannya dipenuhi dengan gambaran-gambaran tentang Zahwa yang terluka dan kesedihan yang tidak bisa diabaikan. Meskipun dirinya menikmati semua kesenangan yang dibawa oleh Nayla, ada bagian dari dirinya yang merasa kosong, kehilangan, dan hampa.

Di kamar tidur, dengan lampu yang redup dan malam yang sepi, Affan merenung. Dia menyadari bahwa ketertarikan pada Nayla telah mengubah banyak hal—bukan hanya hubungan persahabatan yang dia miliki dengan Zahwa, tetapi juga bagian dari dirinya yang merasa terabaikan. Rasa bersalah yang awalnya samar kini menjadi lebih jelas, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang terus mendorongnya untuk melanjutkan jalan yang telah dia pilih.

Sementara itu, Zahwa terus menjalani hidupnya dengan ketenangan yang penuh kehormatan. Meskipun dia terluka, dia memilih untuk tidak menunjukkan kesedihannya secara terbuka. Dia lebih memilih untuk menghadapi rasa sakitnya dengan keteguhan hati, meninggalkan Affan dan Nayla dalam dunia mereka sendiri.

Dalam keheningan malam itu, Affan merenungkan segala sesuatu dengan kesadaran bahwa dia telah meninggalkan sesuatu yang berharga di belakang. Namun, dia merasa terjebak dalam pusaran kehidupan baru yang penuh dengan daya tarik dan pesona, tanpa bisa melepaskan diri dari keputusan yang telah diambilnya.

 

Rasa Sakit yang Terabaikan

Hari-hari berlalu dengan cepat, membawa perubahan yang tak terhindarkan dalam hubungan Affan, Nayla, dan Zahwa. Di balik semua kesenangan dan kebahagiaan yang ditawarkan oleh Nayla, ada perasaan yang semakin mendalam—rasa sakit yang tak bisa dihindari. Meskipun Affan berusaha untuk mengabaikan dampak emosional dari keputusannya, rasa bersalah dan penyesalan perlahan-lahan menembus dinding perlindungannya.

Pagi itu, di sebuah kafe kecil di sudut kota, Affan duduk sendirian dengan secangkir kopi yang sudah dingin. Dia memandangi cangkir tersebut dengan tatapan kosong, merasa terasing dari dunia di sekelilingnya. Meskipun Nayla seringkali berada di sampingnya, suasana hati Affan terasa berat, penuh dengan penyesalan dan kebingungan.

Pikirannya kembali ke malam pesta beberapa waktu lalu, ketika dia melihat Zahwa berdiri di sudut ruangan, terpisah dari kerumunan. Senyumnya yang lemah dan langkahnya yang pelan membuat hati Affan bergetar. Dia merasa seperti telah kehilangan sesuatu yang sangat berharga, tetapi dorongan untuk tetap bersama Nayla menghalanginya untuk mengakui perasaannya secara penuh.

Suatu sore, ketika matahari mulai meredup, Affan memutuskan untuk mengunjungi rumah Zahwa. Langkahnya terasa berat, setiap langkah terasa seperti beban yang tidak bisa dihindari. Saat dia tiba di depan pintu rumah Zahwa, dia merasakan gelombang keraguan dan rasa bersalah yang mendalam. Dia berdiri sejenak, berusaha untuk mempersiapkan dirinya menghadapi Zahwa.

Pintu terbuka, dan Zahwa muncul dengan wajah yang terlihat letih namun ramah. “Affan, ada apa?” tanyanya, suaranya mengandung keingintahuan dan sedikit kekhawatiran.

Affan mencoba tersenyum, tetapi senyum itu terasa palsu. “Aku hanya ingin berbicara denganmu, Zahwa. Aku merasa perlu menjelaskan beberapa hal.”

Mereka duduk di ruang tamu yang sederhana namun nyaman. Zahwa duduk di kursi yang sering dia gunakan, sementara Affan duduk di kursi di seberangnya. Ada jarak yang terasa seperti jurang di antara mereka, sebuah jarak emosional yang sulit untuk diatasi.

Affan mulai berbicara dengan hati-hati. “Zahwa, aku tahu aku telah menjauh darimu. Aku minta maaf atas semua ini. Nayla… dia membuatku merasa seperti aku menemukan sesuatu yang baru dan berbeda. Tapi aku juga tahu bahwa aku telah menyakitimu.”

Zahwa menatapnya dengan tatapan yang sulit untuk dibaca. “Affan, aku tidak pernah mengharapkan kamu untuk meninggalkanku. Aku hanya berharap kamu bisa menghargai persahabatan kita. Aku tahu kamu berhak untuk bahagia, tapi tidak dengan cara yang mengorbankan orang-orang di sekelilingmu.”

Ada kesedihan mendalam dalam suara Zahwa, dan Affan merasakan setiap kata seolah seperti tamparan. “Aku tidak pernah bermaksud untuk menyakiti kamu, Zahwa. Aku hanya terlalu terjebak dalam dunia yang baru ini. Aku tidak tahu bagaimana harus memperbaiki semuanya.”

Zahwa menghela napas panjang, mencoba untuk menenangkan dirinya. “Affan, terkadang kita harus menghadapi konsekuensi dari pilihan kita. Dan aku harus melanjutkan hidupku meskipun itu menyakitkan. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku akan selalu menghargai kenangan kita bersama, meskipun itu hanya tinggal kenangan.”

Affan merasakan sebuah beban berat di hatinya. Kata-kata Zahwa menyentuh hati yang selama ini dia coba untuk tutupi. Dalam diam, dia menyadari bahwa dia telah kehilangan sesuatu yang sangat berarti—persahabatan yang tulus dan berharga. Meskipun dirinya berada di sisi Nayla, perasaan kosong dan penyesalan tidak bisa dihindari.

Malam itu, setelah pertemuan dengan Zahwa, Affan pulang dengan perasaan yang lebih berat daripada sebelumnya. Dia merasa seperti terjebak dalam kehidupan yang tidak bisa sepenuhnya dia nikmati. Nayla, meskipun menarik dan menggairahkan, tidak bisa menghapus rasa bersalah dan kesedihan yang menggerogoti hatinya.

Di kamar tidurnya, Affan duduk di tepi tempat tidur dengan pikiran yang penuh dengan kenangan akan Zahwa dan persahabatan yang telah hancur. Dia merasakan kerinduan yang mendalam akan masa lalu, saat semuanya terasa lebih sederhana dan lebih berarti. Rasa sakit yang ditinggalkan oleh keputusan dan tindakan yang diambilnya membuatnya merasa terjebak dalam kekosongan yang sulit untuk diatasi.

Saat dia memandang ke luar jendela, melihat malam yang gelap dan tenang, Affan menyadari bahwa meskipun dia mungkin telah mendapatkan apa yang dia inginkan dalam hidup barunya, dia juga telah kehilangan sesuatu yang tidak bisa diukur dengan ukuran apapun. Dengan perasaan yang penuh dengan penyesalan dan kerinduan, dia menyadari bahwa kehidupan yang dia pilih tidak bisa sepenuhnya memenuhi kebutuhan jiwanya yang terdalam.

 

Ketika Segalanya Terlambat

Musim berganti, dan dengan setiap perubahan cuaca, hati Affan semakin dipenuhi dengan rasa penyesalan yang mendalam. Kehidupan sehari-harinya bersama Nayla terus berlanjut, namun ada sesuatu yang terus menghantuinya—sebuah kekosongan yang tidak bisa diisi oleh semua kesenangan yang Nayla tawarkan. Rasa sakit karena kehilangan persahabatan dengan Zahwa semakin terasa, dan Affan merasa seperti terjebak dalam sebuah rutinitas yang monoton dan tidak memuaskan.

Suatu sore yang dingin, saat hujan mulai turun dengan deras, Affan memutuskan untuk mengunjungi sebuah taman yang dulu sering dia kunjungi bersama Zahwa. Tempat itu, yang dulunya penuh dengan tawa dan kegembiraan, kini tampak sunyi dan dingin. Dengan langkah yang berat, dia melangkah melewati jalur yang basah, merasakan setiap tetes hujan yang membasahi wajahnya sebagai simbol dari rasa sakit yang dia rasakan.

Di tengah taman, di bawah sebuah pohon besar yang masih menyisakan sedikit tempat kering, Affan duduk dan menatap ke arah danau yang berkilau dalam rembulan. Kenangan-kenangan lama mulai memenuhi pikirannya—kenangan tentang saat-saat bahagia bersama Zahwa, saat-saat di mana hidup terasa lebih sederhana dan penuh warna.

Saat dia duduk merenung, perasaannya semakin mendalam. Ketika dia memikirkan Zahwa, dia teringat akan betapa baik dan perhatian Zahwa terhadapnya. Sementara itu, Nayla, meskipun memiliki pesona dan daya tarik, tidak pernah bisa menggantikan kehangatan persahabatan yang telah dia hancurkan.

Di saat yang sama, Zahwa juga berada di tempat yang penuh kenangan. Dia duduk di kamarnya, memandangi foto-foto lama yang tersebar di atas meja—foto-foto dari waktu-waktu bahagia yang dia habiskan bersama Affan. Setiap foto menggambarkan senyum dan kebahagiaan yang tampaknya begitu jauh dari kehidupannya sekarang. Meskipun dia telah mencoba untuk melanjutkan hidupnya, kenangan akan persahabatan mereka terus menghantuinya.

Zahwa mencoba untuk mencari penghiburan dalam kegiatan yang biasa dia lakukan, tetapi rasa sakit dari kehilangan Affan membuat segala sesuatu terasa tidak berarti. Dia mulai menjauh dari teman-temannya, merasa seperti dunia yang dulu dia kenal telah berubah menjadi tempat yang asing dan tidak ramah.

Hari demi hari berlalu dengan Affan yang semakin terjebak dalam ketidakpuasan emosionalnya. Meskipun Nayla sering kali memberikan perhatian dan pujian, Affan merasakan kekosongan yang mendalam. Suatu malam, ketika Nayla sedang berbicara tentang rencana masa depan mereka, Affan merasa seperti berada di luar tubuhnya sendiri, hanya mendengarkan tanpa benar-benar terlibat.

Nayla, yang merasa ada sesuatu yang tidak beres, memandang Affan dengan rasa curiga. “Affan, kamu tampak jauh. Ada apa denganmu?”

Affan tersentak dari pikirannya dan mencoba untuk tersenyum. “Tidak ada apa-apa, Nayla. Hanya… sedikit kelelahan.”

Nayla mengerutkan dahi, merasa bahwa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kelelahan. “Kamu tahu, aku merasa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu. Kalau kamu butuh berbicara, aku di sini.”

Namun, meskipun Nayla menawarkan dukungan, Affan merasa semakin terisolasi. Dia tidak bisa mengungkapkan perasaannya secara terbuka, merasa terjebak dalam lingkaran perasaan yang tidak bisa dipecahkan.

Suatu hari, saat hujan reda dan matahari kembali bersinar, Affan memutuskan untuk mencari Zahwa dan mencoba untuk memperbaiki kesalahan yang telah dia buat. Dia tahu bahwa dia mungkin sudah terlambat, tetapi dorongan untuk meminta maaf dan memperbaiki hubungan mereka masih kuat.

Affan pergi ke rumah Zahwa, dengan harapan bahwa mungkin ada kesempatan terakhir untuk mengungkapkan perasaannya. Dengan jantung yang berdebar kencang dan perasaan yang penuh dengan keraguan, dia berdiri di depan pintu rumah Zahwa. Dia mengetuk pintu dengan lembut, berharap bahwa Zahwa akan membuka dan memberinya kesempatan untuk berbicara.

Pintu terbuka, dan Zahwa muncul dengan tatapan yang penuh kejutan dan kebingungan. “Affan? Ada apa?” tanyanya, mencoba untuk menyembunyikan rasa terkejut dan kekecewaannya.

Affan melihat ke dalam mata Zahwa dan merasakan perasaan yang mendalam—rasa penyesalan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. “Zahwa, aku… aku datang untuk minta maaf. Aku tahu aku telah membuat kesalahan besar. Aku telah kehilangan sesuatu yang sangat berharga, dan aku sangat menyesal.”

Zahwa menatapnya dengan tatapan yang campur aduk—ada rasa sakit dan kekecewaan, tetapi juga ada sedikit rasa pengertian. “Affan, aku telah berusaha untuk melanjutkan hidupku. Aku menghargai permintaan maafmu, tetapi aku juga tahu bahwa mungkin semuanya sudah terlambat.”

Affan merasa sebuah beban berat di hatinya. “Aku tahu, Zahwa. Aku tidak tahu apakah ada kesempatan untuk memperbaiki semuanya, tetapi aku hanya ingin kamu tahu betapa aku menyesal dan betapa berartinya persahabatan kita bagi aku.”

Zahwa menghela napas panjang, mencoba untuk menenangkan dirinya. “Affan, aku menghargai kata-katamu. Tetapi kadang-kadang, meskipun kita merasa menyesal, ada hal-hal yang tidak bisa diubah. Aku berharap kamu bisa menemukan kebahagiaan di jalur yang telah kamu pilih, meskipun itu berarti kita harus berpisah.”

Kata-kata Zahwa membuat hati Affan semakin terasa berat. Dia merasa bahwa dia telah kehilangan kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya, dan rasa sakit karena kehilangan persahabatan yang tulus semakin mendalam. Dalam keheningan tersebut, Affan merasakan betapa segalanya telah berubah dan betapa sulitnya untuk kembali ke masa lalu.

Dengan perasaan yang penuh dengan penyesalan dan kesedihan, Affan meninggalkan rumah Zahwa, mengetahui bahwa dia harus menghadapi kenyataan bahwa persahabatan yang pernah dia miliki mungkin tidak akan pernah bisa kembali seperti semula. Dia merasa terjebak dalam ketidakpastian dan kekosongan yang terus menghantui dirinya, sementara Zahwa melanjutkan hidupnya dengan keberanian dan keteguhan hati.

Dalam keheningan malam, saat bintang-bintang bersinar di langit yang gelap, Affan merenung tentang keputusan dan tindakan yang telah mengubah hidupnya. Dia menyadari bahwa, meskipun dia mungkin telah mendapatkan apa yang dia inginkan dalam hidup barunya, dia juga telah kehilangan sesuatu yang tidak bisa diukur dengan ukuran apapun—persahabatan yang tulus dan berharga.

 

Akhir cerita ini mengajarkan kita bahwa meskipun kita sering kali terjebak dalam godaan dan keputusan yang tampaknya menjanjikan kebahagiaan, ada harga yang harus dibayar untuk setiap pilihan yang kita buat.

Affan, dengan segala penyesalan dan kesedihan, menyadari bahwa beberapa hubungan yang telah terlanjur rusak tidak dapat diperbaiki kembali. Cinta dan Persahabatan yang Terkoyak, mengingatkan kita akan nilai sejati dari persahabatan dan betapa pentingnya menjaga hubungan yang telah ada, sebelum semuanya terlambat.

Leave a Reply