Cinta dan Penyesalan: Perjalanan Seorang Wanita Menemukan Kembali Harapan

Posted on

Siapa sih yang belum pernah merasakan penyesalan? Kadang, cinta itu bikin kita terbang tinggi, tapi kadang juga bikin kita jatuh terjerembab. Nah, di cerita kali ini, kita bakal ngintip kisah Rauna—seorang wanita yang harus berhadapan dengan cinta yang hilang dan semua penyesalan yang ngikutin dia. Siap-siap baper, ya, karena perjalanan hatinya bakal bikin kamu merenung!

 

Cinta dan Penyesalan

Jejak yang Tertinggal di Hati

Hujan turun perlahan sore itu, membasahi jalanan kota yang dulu ramai dengan kenangan masa lalu. Sebuah taksi berhenti di depan bangunan tua, dengan plang berkarat bertuliskan “Kedai Kopi Senja.” Di bawah payung gelap yang ia bawa, seorang wanita turun perlahan. Tatapannya kosong, seolah ada beban besar yang dibawanya hingga langkah kakinya terasa berat. Wanita itu adalah Rauna, seorang yang dulunya selalu penuh ambisi dan impian besar, namun kini kembali ke kota asalnya dengan perasaan yang sulit dijelaskan.

Dari balik kaca kedai yang berembun, barista yang sedang membersihkan meja memperhatikan Rauna yang berdiri terdiam di luar. Perempuan itu tampak mengenali setiap sudut tempat itu, seperti tengah menyusuri kenangan yang tersimpan di dalamnya. Setelah menarik napas panjang, Rauna pun membuka pintu kedai dengan langkah yang perlahan. Aroma kopi yang khas langsung menyergapnya begitu ia masuk, aroma yang sama seperti bertahun-tahun lalu saat ia masih bersama Alvano.

Di dalam kedai, Rauna melihat dinding berwarna kusam yang masih dihiasi dengan foto-foto suasana senja di berbagai kota. Foto-foto itu dulu sering mereka kagumi bersama. Alvano pernah berkata kalau senja adalah waktu paling indah, saat siang dan malam bertemu dalam kedamaian. Sambil menghela napas, Rauna melangkah menuju sudut ruangan yang pernah menjadi tempat favorit mereka berdua.

Rauna memesan kopi dan duduk di sana, menyentuh meja kayu tua dengan jemarinya yang kini gemetar. Di sinilah ia dulu menghabiskan waktu bersama Alvano, mendengarkan kisah-kisahnya yang sederhana, yang dulu ia anggap biasa saja. Sambil menunggu kopinya tiba, Rauna mengingat malam-malam panjang di tempat ini, ketika Alvano bercerita tentang mimpinya—mimpi yang bagi Rauna saat itu terasa kecil dan tidak sebanding dengan ambisi yang ia miliki.

Alvano adalah pria yang tidak pernah menuntut banyak. Ia hanya ingin hidup damai di kota ini, membuka kedai kecil, dan menjalani hari-harinya dalam ketenangan. Tapi Rauna menginginkan sesuatu yang lebih dari itu. Ia ingin karir, kesuksesan, dan gemerlap kehidupan di kota besar, sesuatu yang tidak bisa diberikan Alvano. Lalu, pada suatu malam yang sama basahnya seperti sore ini, Rauna memutuskan untuk pergi.

Tanpa sadar, saat mengenang momen itu, Rauna berbisik pelan, “Aku salah, Van…”

Seorang pelayan muda menghampiri, membawa secangkir kopi yang dipesannya. “Silakan, Mbak.”

Rauna tersenyum kecil, menerima kopi panas itu dengan tangan yang sedikit gemetar. Kopi hitam pekat yang dulu Alvano kenalkan padanya, kopi yang dulu ia sebut terlalu pahit, kini justru menjadi minuman yang ia cari-cari setiap kali rasa sesal datang menghantam.

Setelah beberapa tegukan, kenangan itu semakin kuat hadir dalam benaknya. Satu malam khusus melintas di pikirannya—malam saat ia memutuskan meninggalkan Alvano. Malam itu mereka duduk di tempat yang sama seperti sekarang. Rauna sudah mengutarakan niatnya untuk pergi ke ibu kota demi pekerjaan barunya.

“Aku ngerti kalau kamu ingin hidup yang lebih baik, Rauna,” kata Alvano waktu itu, dengan nada penuh pengertian.

“Tapi… kamu ngerti kan, Van? Aku nggak bisa cuma di sini, cuma nunggu waktu lewat dan hidup begitu aja.” Rauna menatap Alvano dengan mata yang penuh harap, berharap pria itu bisa mengerti hasratnya untuk melihat dunia yang lebih luas.

Alvano mengangguk perlahan, sambil tersenyum pahit. “Aku ngerti kok, Rauna. Cuma… ya, aku harap kamu juga ngerti kalau aku nggak bisa ikut.”

Rauna mendesah panjang saat itu. Ia tahu Alvano tak pernah bisa meninggalkan kota ini. Alvano punya tanggung jawab di kedai dan keluarganya. Namun, bagi Rauna, tetap tinggal di kota kecil ini sama saja dengan menghentikan semua mimpinya.

“Aku ngerti, Van. Mungkin… mungkin ini yang terbaik buat kita,” ucap Rauna waktu itu, berusaha untuk terdengar tegar.

Alvano tidak menjawab, hanya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Tatapan itu membuat Rauna merasa ragu untuk pertama kalinya, namun ia memilih untuk mengabaikannya. Ia pikir, perpisahan itu hanyalah sementara, bahwa Alvano akan selalu menunggunya jika suatu hari ia ingin kembali.

Tapi ternyata, ia salah. Perasaan Alvano padanya bukanlah sesuatu yang bisa terus menunggu. Dia baru menyadari hal itu sekarang, setelah sekian lama berlalu dan setelah hidupnya yang gemerlap di kota besar tidak mampu mengisi kehampaan di hatinya.

Rauna menatap ke luar jendela, memperhatikan hujan yang semakin deras. Ia ingat kata-kata terakhir Alvano sebelum mereka benar-benar berpisah.

“Semoga kamu bahagia, Rauna,” ucap Alvano saat itu. “Aku nggak tahu kapan kita bisa ketemu lagi, tapi kalau kamu butuh aku, kamu tahu di mana harus cari aku.”

Itu adalah kalimat yang ia bawa dalam pikirannya selama bertahun-tahun, kalimat yang membuatnya berpikir bahwa ia selalu bisa kembali kapan saja. Namun kini, Rauna sadar, kehidupan terus berjalan, tidak ada yang benar-benar bisa menunggu selamanya. Rauna menyesap kopinya dalam-dalam, merasakan kehangatannya, seolah berharap bisa membawa kembali kehangatan yang pernah mereka miliki.

Setelah beberapa saat tenggelam dalam pikirannya sendiri, Rauna memutuskan untuk meninggalkan kedai. Ia berdiri, merapikan jaketnya, lalu melangkah keluar. Di depan pintu, ia kembali terdiam. Tetesan air hujan membasahi pipinya. Ia berjalan perlahan-lahan, menyusuri jalan yang biasa ia lewati bersama Alvano.

Langkahnya berhenti di ujung jalan. Di bawah payung hitam, Rauna berdiri terpaku, merasakan dingin yang merayap ke dalam dadanya. Entah kenapa, ia merasa hampa, kosong, seperti seluruh tenaganya hilang. Ia sadar, meskipun ia bisa kembali ke kota ini, ia tidak akan pernah bisa benar-benar kembali ke masa lalu.

Sore itu, Rauna berjalan dalam diam, meninggalkan jejak yang tak pernah benar-benar hilang. Hanya saja, jejak itu kini tersembunyi, menyatu dengan kenangan-kenangan yang tertinggal di kota kecil ini.

 

Kenangan yang Kembali Membasuh

Malam itu, Rauna duduk di kamar lamanya. Udara dingin dari luar jendela menyelusup masuk, membawa aroma hujan dan tanah basah yang menenangkan. Di bawah sinar lampu kamar yang redup, matanya tertuju pada sebuah foto lama yang terselip di antara tumpukan buku di mejanya. Foto itu berwarna sedikit pudar, tapi kenangan yang terpancar dari situ tetap terasa jelas. Di foto itu, ia dan Alvano tersenyum lebar di depan kedai kopi Senja. Hari itu adalah hari pertama kali kedai tersebut dibuka—hari di mana Alvano dengan penuh semangat mengajak Rauna untuk mewujudkan salah satu mimpinya.

Rauna menggenggam foto itu erat-erat, seolah berusaha merasakan kembali perasaan yang lama ia lupakan. Ia merindukan kebahagiaan sederhana yang pernah ia rasakan di hari-hari itu. Semua ambisinya di kota besar, semua pencapaiannya yang ia banggakan, tiba-tiba terasa hampa dibandingkan dengan kenangan manis bersama Alvano. Ia tahu dirinya tidak mungkin kembali ke masa itu, tetapi malam ini, ia membiarkan dirinya terbawa oleh rasa rindu yang selama ini ia tutupi.

Keesokan harinya, setelah pagi berganti siang, Rauna memutuskan untuk kembali ke kedai kopi Senja. Namun, saat ia tiba di sana, kedai itu tampak lebih ramai dari biasanya. Dari kejauhan, ia melihat beberapa tamu duduk bersama dalam suasana hangat sambil menikmati kopi dan kue-kue buatan Alvano yang dulu ia suka. Di meja terdepan, ia melihat Alvano sendiri sedang melayani beberapa pelanggan dengan senyum tulus yang selalu ia ingat.

Tanpa sadar, Rauna menahan napas. Di balik rasa rindunya yang dalam, ada perasaan sesak yang sulit ia jelaskan. Ia merasa begitu dekat dengannya, namun juga begitu jauh. Saat sedang mencoba menguatkan diri untuk masuk, tiba-tiba seorang wanita muda muncul dari arah dapur, mengangkat nampan dengan senyum manis di wajahnya. Rauna mengenali sosok itu, dan dadanya kembali terasa nyeri. Wanita itu adalah Hana, tunangan Alvano yang kemarin ia lihat sekilas.

Rauna mundur beberapa langkah dan memutuskan untuk mengamati dari jauh. Rasanya aneh, menjadi orang asing di tempat yang dulu ia anggap sebagai rumahnya. Ia memperhatikan bagaimana Hana dan Alvano bekerja sama dengan lancar, seolah mereka telah melewati banyak waktu bersama dan memahami satu sama lain dengan baik.

Rauna memalingkan pandangan, berusaha menghindari perasaan cemburu yang tiba-tiba menghantam dirinya. Tapi sebelum ia benar-benar bisa berbalik, suara hangat yang sangat dikenalnya menyapanya.

“Rauna?”

Rauna terdiam sejenak, lalu menoleh perlahan. Alvano berdiri di hadapannya dengan tatapan tak percaya. Senyumnya sedikit kaku, namun ada kehangatan yang masih sama seperti dulu.

“Hai, Van…” jawab Rauna, berusaha tetap tenang meskipun dadanya berdegup kencang.

“Kamu… kembali ke kota ini?” Alvano bertanya, mencoba memastikan.

Rauna mengangguk pelan. “Iya, baru beberapa hari ini. Kebetulan ada waktu luang, jadi aku pikir… aku pengen pulang sebentar.”

Alvano tersenyum tipis, tapi tatapan matanya seolah mencari-cari sesuatu di wajah Rauna, sesuatu yang mungkin tak pernah benar-benar ia lupakan. “Aku nggak nyangka kita bakal ketemu lagi di sini. Rasanya sudah lama banget, ya?”

Rauna menelan ludah, berusaha menahan perasaan yang bercampur aduk di dalam dadanya. “Iya, lama sekali,” gumamnya pelan.

Mereka berdua berdiri dalam keheningan canggung, seakan ada dinding tak terlihat yang membatasi mereka. Rauna ingin bertanya banyak hal, namun kata-kata seakan tertahan di ujung lidahnya.

Di tengah keheningan itu, Hana tiba-tiba muncul dan bergabung dengan mereka. Senyumnya ramah saat memperkenalkan diri kepada Rauna. “Kak Rauna, ya? Alvano sering cerita tentang kamu. Senang sekali akhirnya bisa ketemu langsung,” katanya sambil mengulurkan tangan.

Rauna tersenyum tipis dan menjabat tangan Hana. “Senang juga bertemu dengan kamu, Hana. Alvano pasti sangat beruntung punya kamu,” ujarnya dengan senyum yang berusaha ia jaga tetap tulus.

Hana tertawa kecil. “Sama-sama, Kak. Ini pertama kalinya aku dengar Alvano punya sahabat perempuan yang begitu berharga. Dia selalu bilang, Kak Rauna ini orang yang spesial buatnya,” katanya polos.

Ucapan Hana membuat Rauna tertegun. Perasaan pahit di dadanya semakin kuat, tapi ia hanya mengangguk pelan, menutupi perasaan itu dengan senyuman yang terasa begitu sulit ia tahan.

Alvano menatap Rauna dengan ekspresi rumit, seakan hendak mengatakan sesuatu yang selama ini ia pendam. Namun, sebelum ia sempat membuka mulut, seorang pelanggan memanggil Hana dan Alvano dari dalam kedai. Dengan sopan, Hana meminta izin kepada Rauna dan mengajak Alvano untuk kembali bekerja.

“Maaf, Kak Rauna. Kami harus kembali dulu. Tapi nanti kalau sempat, mungkin bisa ngobrol lagi, ya?” ucap Hana dengan hangat.

Rauna mengangguk dan tersenyum singkat. “Tentu, nggak apa-apa. Senang bisa melihat kalian berdua di sini.”

Setelah mereka berdua kembali ke dalam, Rauna berdiri sendirian di depan kedai itu, merasakan dinginnya sore yang menyelimuti tubuhnya. Hatinya terasa hampa, seolah-olah kedatangan ke kota ini tak lebih dari sekadar pengingat akan kesalahannya di masa lalu. Ia menyadari bahwa waktu telah membawa perubahan yang tak bisa ia putar kembali. Semua yang dulu ia tinggalkan kini memiliki kehidupan baru, tanpa dirinya.

Rauna berjalan perlahan, meninggalkan kedai sambil menatap jalanan yang basah setelah hujan tadi. Ia merasa aneh, seperti seluruh dunia bergerak maju, sementara dirinya masih terjebak di masa lalu. Semua ambisi dan mimpinya yang dulu ia kejar di kota besar terasa tak berarti saat ia melihat kedamaian yang dimiliki Alvano dan Hana.

Tiba-tiba, ia teringat ucapan terakhir Alvano sebelum mereka berpisah bertahun-tahun lalu. Saat itu, Rauna terlalu terfokus pada impian-impian besarnya, hingga mengabaikan kata-kata Alvano yang kini terus bergema di telinganya: “Aku harap kamu bahagia, Rauna.”

Namun kini, ia tak bisa lagi mengatakan bahwa dirinya benar-benar bahagia. Setiap keberhasilan, setiap langkah yang ia ambil tanpa Alvano, kini terasa kosong. Dengan hati yang berat, Rauna sadar bahwa mungkin ia tak akan pernah mendapatkan kedamaian seperti yang dimiliki Alvano, karena sebagian dari dirinya sudah hilang di masa lalu, tertinggal di kota ini bersama kenangan yang tak pernah bisa ia raih kembali.

 

Luka yang Tak Terlihat

Setelah pertemuan tak terduga itu, Rauna merasa dirinya hanyut dalam pusaran perasaan yang sulit dimengerti. Hari-hari berikutnya ia habiskan dengan berjalan tanpa tujuan, menyusuri sudut-sudut kota yang dulu menjadi bagian dari masa mudanya. Setiap tempat yang ia lewati seolah menyimpan serpihan kenangan bersama Alvano yang perlahan menghujam perasaannya. Ia sadar, ia memang telah kembali ke tempat ini, tapi sesungguhnya ia hanya melihat bayangan dirinya yang telah lama pergi.

Suatu sore yang cerah, ia memutuskan untuk kembali ke taman tempat mereka sering menghabiskan waktu. Taman itu ternyata tidak banyak berubah—bangku-bangku kayu yang masih sama, pohon-pohon rindang, dan suara gemericik air mancur di tengahnya. Rauna duduk di bangku favorit mereka dulu, membiarkan pikirannya melayang ke masa-masa di mana duduk di sini bersama Alvano terasa begitu membahagiakan. Hanya saja, kini keheningan yang menyelimuti terasa berat, seakan kenangan itu justru menjadi bayangan yang menghantuinya.

Rauna menyandarkan punggung dan memejamkan mata, mencoba menenangkan diri di tengah rasa rindu yang tak berujung. Namun, ketika ia membuka mata, sosok Alvano muncul di hadapannya. Rasanya tak mungkin, seakan ia sedang melihat ilusi. Tapi Alvano benar-benar berdiri di sana, menatap Rauna dengan ekspresi yang sulit dibaca.

“Hai, Rauna…” sapa Alvano, suaranya terdengar pelan namun penuh perhatian.

Rauna tersenyum tipis, berusaha menguasai perasaannya yang berkecamuk. “Van, kok bisa ada di sini?”

Alvano mengangkat bahu, berjalan mendekat dan duduk di sampingnya. “Aku sering ke sini kalau lagi banyak pikiran. Tempat ini… selalu bikin tenang.”

Keduanya terdiam sejenak, membiarkan waktu berjalan tanpa perlu diisi dengan kata-kata. Rauna hanya bisa merasakan kehadiran Alvano yang begitu dekat, namun terasa jauh. Kehangatan yang dulu ia rasakan kini terasa samar, seperti angin yang lewat dan tak bisa diraih kembali.

“Aku ingat waktu pertama kali kita ke sini, Rauna. Kamu baru aja dapat nilai bagus, dan aku ngebawain kamu es krim vanilla buat merayakannya,” ujar Alvano sambil tertawa kecil, mengenang saat-saat indah itu.

Rauna tertawa pelan, meskipun di balik tawa itu ada luka yang perlahan terbuka kembali. “Aku masih inget. Kamu bawain es krimnya pakai tisu yang udah basah. Aku heran gimana bisa kamu ngelupain sendoknya juga…”

Alvano tertawa, lalu tatapannya berubah menjadi lebih serius. Ia terdiam sejenak, seakan sedang mencari kata-kata yang tepat. “Rauna, kamu tahu nggak, aku pernah berharap kita bisa ngelewati masa-masa itu bareng sampai kapanpun. Tapi… aku sadar, kadang kita harus nerima kalau nggak semua hal berjalan sesuai rencana.”

Rauna menunduk, hatinya terasa teriris oleh kata-kata Alvano. Ia ingin memberitahu Alvano betapa ia menyesali keputusannya dulu, betapa ia merasa tersesat tanpa kehadiran Alvano di sisinya. Tapi kata-kata itu hanya tertahan di tenggorokannya.

“Aku tahu aku yang salah, Van. Aku terlalu buta mengejar semua yang aku pikir bisa bikin aku bahagia. Tapi sekarang…” Rauna menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di matanya. “Sekarang aku nggak tahu lagi apa arti bahagia tanpa kamu.”

Alvano menatap Rauna dengan ekspresi penuh empati. Ia menepuk bahu Rauna dengan lembut, namun tak ada kata-kata penghiburan yang keluar. Hanya sentuhan hangat yang menenangkan, seakan mengatakan bahwa ia mengerti perasaan Rauna tanpa harus mendengar penjelasan lebih lanjut.

Rauna menatap Alvano, mencoba mencari harapan di matanya. “Van, kamu… masih bisa maafin aku?” tanyanya dengan suara hampir berbisik.

Alvano tersenyum kecil, tapi tatapannya penuh luka yang belum sembuh. “Aku nggak pernah nyimpen dendam, Rauna. Kamu tahu itu. Tapi… mungkin yang aku butuhin bukan maafin kamu, tapi nerima kenyataan kalau kita nggak bisa balik ke masa lalu. Kamu punya hidupmu, dan aku punya hidupku sendiri sekarang.”

Mendengar itu, Rauna merasa seperti tertusuk. Kata-kata Alvano begitu lembut, tapi sekaligus menghancurkan harapannya. Ia tahu Alvano tidak salah; waktu telah mengubah segalanya. Namun, ia tak bisa membendung keinginannya untuk memperbaiki kesalahan yang telah ia buat.

“Aku… cuma pengen tau, apa masih ada sedikit ruang di hati kamu buat aku, Van?” suara Rauna terdengar nyaris seperti bisikan, penuh harap meskipun ia tahu jawabannya mungkin tak akan ia sukai.

Alvano terdiam cukup lama sebelum menjawab. Ia menatap lurus ke depan, seakan mencari jawaban di langit yang cerah sore itu. “Rauna, kamu selalu punya tempat di hatiku. Tapi bukan berarti kita harus bersama lagi. Mungkin ruang itu sekarang cuma jadi kenangan yang aku simpan baik-baik, tapi nggak lebih dari itu.”

Rauna menunduk, merasa perih yang mendalam di dalam hatinya. Ia sadar, harapan yang ia simpan selama ini perlahan-lahan mulai menghilang. Alvano bukan lagi pria yang sama yang dulu bisa ia raih kapanpun ia mau. Ia adalah seseorang yang telah melewati masa-masa sulit dan menemukan jalan hidupnya sendiri, meskipun tanpa Rauna di sisinya.

“Kalau gitu… aku harap kamu bahagia, Van,” ucap Rauna akhirnya, meskipun kata-kata itu terasa sangat sulit ia ucapkan.

Alvano menatapnya dengan senyum lembut yang tulus. “Aku juga harap kamu menemukan bahagiamu, Rauna. Mungkin kali ini, di tempat yang benar-benar kamu inginkan.”

Rauna tersenyum samar, mencoba merelakan perasaan yang selama ini ia pegang erat-erat. Di dalam hatinya, ia merasa seolah telah melepas sesuatu yang sangat berharga, namun juga sangat menyakitkan. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, ia berdiri perlahan, menyadari bahwa mungkin ini adalah terakhir kalinya ia dan Alvano akan bersama dalam keheningan yang penuh makna.

Sebelum Rauna pergi, Alvano menahan tangannya sebentar. “Rauna, jangan nyalahin dirimu terlalu lama. Kamu pernah membuat pilihan yang kamu pikir benar. Aku cuma harap kamu nggak bawa luka ini terus-terusan.”

Rauna hanya mengangguk dan menatapnya sekali lagi sebelum benar-benar melangkah pergi, meninggalkan taman itu dan Alvano yang kini hanya menjadi bagian dari masa lalunya.

 

Melangkah Maju

Hari-hari setelah pertemuan itu terasa lebih sepi, tetapi juga membawa sedikit ketenangan bagi Rauna. Ia menyadari bahwa meskipun perasaannya terhadap Alvano sangat dalam, ia harus belajar untuk melepaskannya. Mengambil langkah kembali ke kehidupannya sendiri tidaklah mudah, tetapi ada harapan baru yang perlahan muncul.

Rauna mulai menata hidupnya. Ia kembali ke rutinitasnya di kampus, mencoba untuk terlibat dalam kegiatan yang selama ini ia tinggalkan. Dalam prosesnya, ia bertemu teman-teman baru yang membantu mengalihkan pikirannya dari luka masa lalu. Meskipun tidak ada yang bisa menggantikan kehadiran Alvano, setidaknya ada tawa dan canda yang mengisi hari-harinya.

Suatu sore, saat Rauna duduk di kafe kecil di dekat kampus, ia melihat sekumpulan teman sekelasnya tertawa dan berbagi cerita. Dia tersenyum saat mendengarkan obrolan mereka, menyadari bahwa hidup tidak selalu berputar di sekitar satu orang. Ternyata, banyak hal indah yang bisa ia temukan di luar kenangan pahit itu.

“Eh, Rauna!” panggil salah satu temannya, Dira, menghampirinya dengan segelas cappuccino. “Kamu kenapa? Dari tadi kayak ngelamun. Apa ada yang bikin kamu pusing?”

Rauna tertawa kecil, berusaha mengalihkan perhatian dari pikirannya yang terjebak pada Alvano. “Nggak apa-apa, kok. Lagi menikmati suasana aja.”

Dira mengerutkan dahi, sepertinya tidak yakin. “Kamu harus lebih banyak bersenang-senang! Kita harus merayakan akhir semester ini. Mungkin pergi ke pantai?”

Rauna mengangguk. Mungkin ini saatnya untuk mencoba sesuatu yang baru, untuk tidak membiarkan diri terjebak dalam kesedihan. “Boleh juga, Dira. Sepertinya seru.”

Selama beberapa minggu berikutnya, Rauna dan teman-temannya mulai merencanakan perjalanan ke pantai. Mereka menghabiskan waktu bersama, tertawa, dan menciptakan kenangan baru yang membuat Rauna merasa hidup kembali. Setiap detik yang ia habiskan bersama mereka mengingatkannya bahwa hidup ini penuh warna, meskipun terkadang harus melalui nuansa gelap.

Pada malam terakhir sebelum perjalanan, Rauna berdiri di balkon apartemennya, menatap langit yang dipenuhi bintang. Ia merasakan angin sepoi-sepoi yang membawa aroma laut. Suara ombak di kejauhan seolah membisikkan harapan baru ke dalam hatinya. Saat itu, ia teringat kembali pada Alvano, tetapi bukan dengan rasa sakit yang menggerogoti. Sebaliknya, ia merasa bersyukur untuk semua yang telah mereka lalui, dan untuk pelajaran yang didapat.

“Semua akan baik-baik saja,” ucapnya pada dirinya sendiri, penuh keyakinan.

Hari perjalanan ke pantai tiba, dan Rauna merasakan getaran kegembiraan. Mobil mereka berangkat pagi-pagi sekali, dan perjalanan yang penuh canda tawa membuatnya melupakan segala kesedihan. Saat mereka sampai di pantai, Rauna terpesona oleh keindahan yang terbentang di depan matanya. Pasir putih yang lembut, air biru yang jernih, dan suara deburan ombak menjadi melodi yang menenangkan.

“Yuk, kita main air!” ajak Dira, menggandeng tangan Rauna dan menyeretnya ke arah laut.

Rauna tertawa, merasakan kebebasan saat air menyentuh kakinya. Ia merasakan sinar matahari yang hangat di kulitnya, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasakan kebahagiaan yang tulus. Dia melompat dan berlari ke arah ombak, membiarkan semua beban yang pernah membebani hatinya terbang jauh.

Malamnya, mereka berkumpul di sekitar api unggun. Rauna melihat teman-temannya bercanda dan bernyanyi, dan di saat itu, ia merasakan kedamaian yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Dia menutup matanya, membiarkan suara gelak tawa dan nyanyian mengalir ke dalam jiwanya.

Ketika api unggun mulai padam, Rauna menyadari betapa jauh ia telah melangkah. Melihat ke belakang, ia tidak lagi merasa terperangkap oleh kenangan Alvano. Sebaliknya, ia merasa bebas untuk mencintai dan mengingat tanpa rasa sakit. Dia bisa mengingat Alvano tanpa kehilangan harapan akan masa depan yang lebih cerah.

Dalam perjalanan pulang ke kota, Rauna menatap jalan yang dilalui, menyadari bahwa ia siap untuk menghadapi apa pun yang akan datang. Ia memahami bahwa penyesalan adalah bagian dari hidup, tetapi ia tidak akan membiarkan penyesalan itu menghalanginya untuk bergerak maju.

“Selamat tinggal, masa lalu. Aku siap untuk menyambut masa depanku,” bisiknya pada diri sendiri, penuh harapan dan keyakinan.

Rauna tahu, meskipun perjalanannya belum sepenuhnya berakhir, setiap langkah ke depan adalah kesempatan untuk menemukan cinta dan kebahagiaan baru—tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk semua orang yang akan datang di hidupnya. Ia menatap ke depan dengan senyum, siap untuk melangkah ke bab berikutnya dalam hidupnya, tanpa rasa takut, dan dengan hati yang terbuka.

 

Jadi, jangan takut buat melangkah meski ada penyesalan di belakang. Kadang, kita harus melepaskan sesuatu yang kita cintai untuk menemukan diri kita sendiri. Seperti Rauna, mungkin kita juga butuh waktu dan perjalanan untuk menyadari bahwa setiap akhir adalah awal baru. Siapa tahu, cinta dan harapan baru menanti di depan—jadi, yuk, terus melangkah dan sambut semua keindahan yang akan datang!

Leave a Reply