Cinta dan Misteri di Pulau Komodo: Cerpen Romansa Siluman

Posted on

Pernah nggak sih, kamu ngerasa kalau dunia ini lebih dari yang terlihat? Kayak ada sesuatu yang disembunyiin, sesuatu yang besar, misterius, dan nggak bisa kamu jelasin. Nah, di pulau Komodo, tempat yang penuh dengan rahasia, cinta itu datang dari tempat yang nggak pernah kamu duga—dari sosok misterius yang ternyata lebih dari sekadar manusia biasa.

Bukan cuma cerita cinta biasa, ini kisah tentang komodo, siluman, dan takdir yang nggak bisa dielakkan. Jadi siap-siap, deh, karena kamu bakal dibawa ke dunia yang penuh kejutan dan, tentu aja, romantis banget!

 

Cinta dan Misteri di Pulau Komodo

Misteri di Pulau Komodo

Setelah berjam-jam perjalanan dengan pesawat kecil, aku akhirnya sampai juga di Pulau Komodo. Cuaca panas menyambut kedatanganku, dan aku segera merasakan aroma asin udara laut yang menyengat. Begitu turun dari pesawat, aku melihat lautan biru yang membentang luas, berpadu dengan perbukitan hijau yang menonjol di tengah pulau. Tak jauh dari tempatku berdiri, beberapa komodo terlihat sedang berjalan dengan anggunnya, seakan mengabaikan keberadaanku.

Aku menghela napas dalam-dalam. Ini adalah pulau yang penuh misteri, yang menyimpan lebih dari sekadar kadal besar. Aku di sini untuk menyelidiki, untuk mencari tahu apa yang sebenarnya tersembunyi di balik kehidupan para komodo, dan apa yang membuat ilmuwan bernama Galih begitu terobsesi dengan mereka.

Setibanya di tempat penginapan, aku disambut oleh seorang pria yang cukup muda, dengan rambut hitam legam dan mata yang tajam. Namanya Galih. Dia mengenakan pakaian sederhana, namun ada sesuatu dalam cara dia memandang yang membuatku merasa seolah-olah dia bukan hanya seorang ilmuwan biasa.

“Zia, kamu akhirnya datang juga,” katanya, suaranya tenang namun penuh tekad. “Aku sudah menunggumu.”

Aku mengangguk pelan. “Ini pulau yang lebih… sunyi dari yang aku bayangkan.”

Dia tersenyum tipis. “Itu yang aku suka. Hanya ada aku, komodo, dan alam.”

Aku merasa sedikit canggung. Ada sesuatu yang aneh dengan cara dia berbicara. Seperti ada lebih banyak hal yang dia sembunyikan, sesuatu yang jauh lebih dalam daripada sekadar penelitian tentang komodo.

Galih mengajak aku untuk berjalan-jalan di sekitar rumah kayunya yang sederhana. Di sepanjang jalan, kami berbicara tentang banyak hal, tapi ada satu topik yang selalu mengundang rasa ingin tahu di benakku: komodo.

“Kenapa komodo, Galih?” tanyaku, mencoba untuk memahami lebih jauh. “Kenapa kamu memilih mereka sebagai objek penelitianmu?”

Matanya tiba-tiba berubah menjadi serius. “Komodo bukan hanya hewan biasa, Zia. Mereka punya hubungan yang lebih dalam dengan pulau ini, bahkan dengan aku,” jawabnya pelan.

Aku tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa. “Maksudmu, mereka seperti… temanmu?”

Galih mengangkat alisnya, lalu mengangguk perlahan. “Bisa dibilang begitu. Komodo ini bukan hanya tentang biologi. Mereka adalah bagian dari alam ini, bagian dari sesuatu yang lebih besar.”

Aku terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Apa maksudnya dengan “sesuatu yang lebih besar”? Aku memutuskan untuk tidak melanjutkan pertanyaan itu, meskipun rasa penasaran terus menggelayuti pikiranku.

Kami sampai di pinggir hutan, di mana sebuah lembah terbuka di hadapan kami. Dari kejauhan, aku bisa melihat seekor komodo besar sedang berjemur di atas batu. Tubuhnya yang besar tampak mengesankan, dan meskipun aku tahu ini adalah komodo biasa, ada sesuatu yang berbeda pada kali ini.

“Di sanalah dia,” kata Galih sambil menunjuk ke arah komodo tersebut. “Komodo itu bukan seperti yang lain. Aku rasa, kamu akan merasakannya.”

Aku mengerutkan kening. “Merasa apa?”

Galih tersenyum samar. “Nanti kamu akan tahu.”

Kami berjalan lebih dekat, dan semakin dekat, semakin jelas bahwa komodo itu bukan sembarang komodo. Matanya, meskipun tampak biasa, menyiratkan sesuatu yang tak bisa aku jelaskan. Seperti ada ikatan yang tak terlihat, yang menghubungkan kami—sebuah magnet yang menarik aku untuk lebih mendekat.

Aku berhenti beberapa langkah dari komodo itu. Matanya seolah-olah mengikutiku, penuh rasa ingin tahu, seperti sedang mengamati lebih dari sekadar tubuhku. “Kamu baik-baik saja?” tanya Galih, suaranya rendah.

Aku mengangguk pelan, meskipun jantungku berdetak lebih cepat. “Ya, cuma… entah kenapa aku merasa ada yang aneh.”

Galih mendekat, matanya tak pernah lepas dari komodo itu. “Komodo ini bukan hewan biasa. Dia bisa merasakan apa yang kamu rasakan. Dan kadang, dia bisa memberi sesuatu yang lebih dari sekadar penelitian.”

Tiba-tiba, komodo itu bergerak pelan, seakan merespons kata-kata Galih. Lidahnya yang bercabang keluar dan mencium udara sekitar, lalu langsung mengarah ke arahku. Aku kaget, tapi ada rasa penasaran yang kuat dalam diriku.

“Zia, jangan takut. Dia hanya… ingin mengenalmu,” Galih berkata lagi, lebih tenang kali ini.

Aku merasa aneh, tapi tetap melangkah sedikit lebih dekat. Seperti ada kekuatan yang menarikku menuju komodo itu, kekuatan yang jauh lebih besar dari sekadar rasa takut atau rasa ingin tahu.

Komodo itu akhirnya melangkah maju, mendekatiku dengan pelan. Dan tanpa aku sadari, ia mengulurkan lidahnya ke tanganku. Aku tertegun sejenak, tak tahu harus berbuat apa. Rasanya seperti ada semacam ikatan yang terbentuk, seolah komodo ini memahami lebih banyak tentangku daripada yang bisa aku ungkapkan dengan kata-kata.

Galih berdiri di sampingku, matanya tetap tajam mengamati setiap gerakan komodo. “Kamu bisa merasakannya, kan? Itu bukan sekadar hewan. Mereka adalah makhluk yang lebih dari sekadar hidup di sini.”

Aku tidak bisa menjawab. Semua yang aku rasakan terlalu aneh dan tak terjelaskan. Aku merasa seperti sedang berada di tengah-tengah dunia yang tidak bisa aku pahami, sebuah dunia di mana komodo dan manusia saling terhubung dalam cara yang sangat berbeda dari yang pernah aku bayangkan.

“Ini bukan sekadar penelitian, Zia,” kata Galih pelan, hampir seperti berbisik. “Ini adalah tentang ikatan yang lebih dalam, lebih dari yang kamu bayangkan.”

Aku menatap komodo itu, yang kini tampaknya lebih tenang, seolah mengerti bahwa aku bukan musuh. Sesuatu di dalam diriku bergetar, dan aku tahu, aku baru saja memasuki dunia yang tak bisa aku tinggalkan begitu saja.

“Zia, aku akan menunjukkan lebih banyak lagi, tapi kamu harus siap,” kata Galih dengan serius.

Aku hanya mengangguk pelan. Apa pun yang akan datang, aku siap menghadapi. Sebab, aku merasa, ini baru permulaan dari sesuatu yang jauh lebih besar—sesuatu yang akan mengubah hidupku selamanya.

 

Tatapan yang Tak Terlupakan

Pagi datang dengan cahaya matahari yang menyapu lembut permukaan laut, menciptakan kilauan yang hampir seperti permata. Suasana pulau tetap terasa sunyi, meskipun sesekali terdengar suara langkah kaki Galih yang menemani langkahku di sepanjang jalan setapak yang berkelok di antara pepohonan. Aku sudah terbiasa dengan kedamaian ini, namun ada sesuatu yang terus menggantung di udara, seperti sesuatu yang belum terungkap.

Hari ini, Galih membawa aku lebih jauh ke dalam hutan. Kami melewati jalur sempit yang dipenuhi oleh pohon-pohon besar, dan suara angin yang berdesir membuat suasana semakin misterius. Komodo-komodo yang sebelumnya tampak seolah tak peduli, kini tampak lebih tersembunyi, seolah mereka tahu bahwa kami sedang mencari sesuatu.

“Di sini,” kata Galih tiba-tiba, berhenti di sebuah celah di antara pepohonan yang rapat. “Kamu akan melihat lebih dekat.”

Aku memandang ke sekeliling, tidak mengerti apa yang dimaksudkan. Tak ada tanda-tanda komodo di sekitar kami. Namun, mataku terhenti pada sesuatu yang mencurigakan: sebuah batu besar yang tampak sangat berbeda dari batu-batu lainnya. Batu itu tidak berukuran besar, namun ada sesuatu yang aneh, seakan batu itu dipilih secara sengaja.

Galih mengamati batu itu dengan mata yang tajam. “Ini tempatnya,” katanya pelan, seperti sedang berbicara dengan dirinya sendiri. “Tempat di mana mereka… berhubungan.”

Aku menatap batu itu, mencoba mencari tahu lebih banyak. Ada ukiran-ukiran halus yang terukir di permukaannya, tak terlihat jelas dari kejauhan, namun aku bisa merasakannya. Ukiran itu tak biasa. Seperti sebuah kode yang menunggu untuk dipecahkan.

“Kenapa kamu bilang mereka ‘berhubungan’? Maksudmu komodo?” tanyaku, mengalihkan perhatian dari batu tersebut.

Galih menatap batu itu dengan ekspresi yang sulit dipahami. “Bukan hanya komodo. Tapi komodo ini yang berbeda, Zia. Mereka menjaga sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang bisa mengubah segalanya.”

Aku merasa tak nyaman dengan pembicaraan ini. “Mengubah apa?”

Dia berbalik perlahan, memandangku dengan mata yang seakan tak pernah tidur. “Kita sedang membicarakan lebih dari sekadar hewan, Zia. Ini bukan hanya tentang penelitian. Mereka… adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang bisa menghubungkan kita dengan dunia lain.”

Aku terdiam, mencoba mencerna kata-katanya. Sesuatu yang lebih besar? Dunia lain? Aku merasa seperti sedang berada di tengah cerita yang tak seharusnya aku ikuti, dan Galih—mungkin, lebih tepatnya, komodo—adalah kunci dari semua ini.

Galih melangkah lebih dekat ke batu itu, lalu menatapku. “Lihatlah lebih dekat.”

Aku ragu sejenak, tapi langkahku akhirnya membawa aku mendekat. Begitu aku berdiri lebih dekat dengan batu itu, aku bisa merasakan adanya getaran halus, seperti aliran energi yang tak terlihat. Tangan kanan Galih tiba-tiba meraih batu itu dan menekan permukaannya dengan lembut. Seketika, ukiran-ukiran di batu itu mulai bersinar samar.

“Ini… bukan batu biasa, kan?” kataku, suaraku lebih rendah dari biasanya, merasa semakin takut.

Galih tersenyum, wajahnya serius namun penuh makna. “Kamu merasakannya. Mereka menyadari kita, Zia. Kita sudah dekat.”

Tiba-tiba, aku merasakan sesuatu yang dingin menyentuh kulitku, seperti ada aliran udara yang sangat halus dan tak kasatmata. Aku menoleh, dan di ujung pandanganku, seekor komodo muncul dari balik pepohonan, berjalan perlahan menuju kami. Namun, ini bukan komodo yang sama yang aku lihat sebelumnya. Matanya yang tajam menatap langsung ke mataku, seakan bisa melihat lebih dalam dari sekadar permukaan.

Itu adalah komodo yang berbeda. Matanya berbicara, memberi isyarat seolah dia tahu sesuatu yang aku belum mengerti.

“Dia akan membimbingmu,” kata Galih dengan suara hampir berbisik. “Komodo ini adalah penjaga. Penjaga yang akan menunjukkan jalanmu.”

Aku terdiam, tubuhku merasakan sensasi aneh, seolah ada sesuatu yang terhubung di antara kami, ikatan yang lebih kuat dari sekadar tatapan. Rasanya seperti waktu berhenti, dan hanya ada aku, komodo itu, dan Galih.

Komodo itu berjalan perlahan mendekat, dan aku bisa merasakan energi yang mengalir dari dalam diriku, sebuah dorongan yang memaksa aku untuk bergerak mengikuti jejaknya. Tanpa kata-kata, aku melangkah mengikuti komodo itu, dan Galih tetap diam di belakangku.

Kami berjalan melewati hutan yang semakin gelap, jauh dari jalur biasa. Tidak ada suara lain selain langkah kaki kami dan suara daun yang terinjak. Kami terus berjalan, dan semakin lama, aku semakin merasa seperti berada di tempat yang bukan lagi pulau biasa. Semuanya terasa terhubung, seperti aku telah memasuki dunia lain.

Tiba-tiba, komodo itu berhenti di sebuah lembah kecil yang tersembunyi di antara batu-batu besar. Di tengah lembah itu, terdapat sebuah pohon yang tampaknya sudah sangat tua, dengan akar-akar yang menjalar ke segala arah, menciptakan sebuah pola yang sangat indah namun aneh. Di bawah pohon itu, ada sebuah batu besar yang tampaknya telah lama ada di sana, dan di atasnya, ukiran yang serupa dengan yang ada di batu sebelumnya—hanya kali ini, lebih jelas dan lebih dalam.

Galih berdiri di sampingku, mengamati pohon itu dengan seksama. “Inilah tempatnya, Zia. Di sinilah semuanya dimulai.”

Aku menatap batu itu, dan tanpa sadar, jantungku mulai berdetak lebih cepat. Sesuatu dalam diriku mengatakan bahwa aku telah menemukan bagian dari teka-teki yang sudah lama tersembunyi. Tapi apa itu? Dan apa yang sebenarnya ingin ditunjukkan oleh komodo-komodo ini?

Galih menarik napas panjang. “Kamu harus siap, Zia. Ini bukan hanya tentang komodo. Ini adalah tentang kita, dunia ini, dan ikatan yang menghubungkannya.”

Aku menatap pohon itu, merasakan adanya kekuatan yang lebih besar dari yang bisa aku pahami. Aku merasa, di sinilah hidupku akan berubah selamanya.

 

Pencarian yang Tak Terduga

Aku terdiam, menatap pohon tua itu dengan penuh pertanyaan yang terus menggantung di benakku. Sesuatu dalam diri ini seperti terus mendorongku untuk mendekat, untuk merasakan lebih banyak lagi dari energi yang kurasakan sejak pertama kali menyentuh batu itu. Namun, ada rasa takut yang datang bersamaan—takut akan hal yang tak bisa dijelaskan, takut akan apa yang akan kutemui di sini.

Komodo itu, yang tampaknya menjadi penjaga, sudah duduk dengan tenang di dekat batu besar, seolah mengawasi kami. Matanya menatap tajam, penuh perhitungan. Galih berdiri di sampingku, tetap diam, tetapi aku bisa merasakan aura ketegangan di sekitarnya. Seolah-olah, dia tahu lebih banyak tentang tempat ini daripada yang aku bisa pahami.

“Apa yang harus kita lakukan?” tanyaku, suara ku hampir tidak terdengar, berusaha menahan kegelisahan yang mengalir.

Galih mengalihkan pandangannya dari pohon ke batu besar yang ada di bawahnya. “Kamu akan melakukannya. Ini bagian dari perjalananmu.”

Aku mengerutkan dahi, bingung dengan kata-kata Galih. “Perjalananku? Maksudmu, perjalanan apa? Aku hanya ingin tahu lebih banyak tentang komodo-komodo ini. Apa hubungannya semua ini dengan aku?”

Galih menatapku, seakan-akan mencari jawaban di dalam mataku. “Terkadang, kita tidak menyadari bahwa kita adalah bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar. Kamu, Zia… kamu punya ikatan dengan pulau ini, dengan komodo-komodo ini. Tapi untuk benar-benar memahaminya, kamu harus siap menghadapi apa yang akan datang.”

Aku menggigit bibir, tak tahu harus berkata apa. Perasaan campur aduk semakin kuat, dan seiring angin yang berdesir melalui pepohonan, aku merasa terhubung dengan tempat ini. Tapi, entah mengapa, semakin aku mencoba untuk mendalami, semakin banyak pertanyaan yang muncul.

Akhirnya, aku mengambil langkah pertama. Dengan hati-hati, aku berjalan mendekati pohon yang besar itu, mata tetap terfokus pada akar-akar yang mencuat ke segala arah, membentuk pola yang menyerupai simbol yang tidak bisa kutafsirkan. Setiap langkah yang kuambil terasa seperti membawa beban lebih berat. Aku tahu, bahwa inilah titik yang akan menentukan.

Saat aku berdiri tepat di bawah pohon itu, tiba-tiba udara terasa lebih dingin, dan semacam getaran ringan mulai terasa di sekitarku. Galih berjalan mendekat, menepuk bahuku pelan. “Kamu siap, Zia. Ingat, jangan takut.”

Aku mengangguk pelan meskipun perasaan takut masih memenuhi dada. Aku merasakan sesuatu yang berbeda, semacam tarikan yang begitu kuat, seperti ada kekuatan yang membimbingku. Aku meletakkan tangan di salah satu akar pohon, yang terasa dingin dan keras, namun ada getaran aneh yang mengalir lewat telapak tanganku.

Kapan saja aku mendekati batu atau pohon ini, aku merasakan seolah ada sesuatu yang menunggu untuk terungkap, seperti pintu yang menunggu untuk dibuka. Tiba-tiba, sebuah suara berat terdengar di udara, seperti gema yang berasal dari dalam tanah. Aku menoleh, dan Galih terlihat cemas, tapi tak menghalangiku.

“Apa itu?” tanyaku, suaraku hampir berbisik.

“Itu tanda,” jawabnya, dengan nada yang tegas. “Tanda bahwa kamu sudah siap.”

Suara itu mengalun lagi, lebih keras kali ini. Batu besar di bawah pohon itu mulai bergetar, dan aku mundur selangkah, terkejut. Namun, komodo yang sebelumnya duduk tenang, kini berdiri dan berjalan mendekat, matanya menatapku dengan intensitas yang lebih tajam dari sebelumnya. Aku merasakan aliran energi yang semakin kuat, dan tiba-tiba, tanah di bawah kaki kami bergetar dengan lebih hebat.

Tanpa peringatan, batu besar itu terbelah perlahan, dan di dalamnya terdapat sebuah lubang hitam pekat yang sangat dalam. Semakin lama, lubang itu semakin besar, seperti mengundang kami untuk masuk. Galih menatapku dengan mata yang penuh arti, lalu memberi isyarat agar aku maju.

Aku merasa tubuhku terikat oleh kekuatan yang tak terlihat. Aku tahu, inilah saatnya. Dengan napas yang berat, aku melangkah maju, melintasi komodo yang diam dan memandangku dengan tatapan yang penuh makna. Lubang di batu itu semakin lebar, seolah menantangku untuk memasukinya.

“Zia…” suara Galih memecah keheningan. “Ini perjalananmu, tapi ingat, kamu bukan sendiri.”

Aku menatapnya, mencari jawaban di matanya, namun ia hanya tersenyum tipis. Tanpa kata, ia memberi isyarat agar aku melangkah lebih jauh. Aku mengangguk pelan, dan dengan langkah penuh keteguhan, aku memasuki lubang itu.

Saat aku melewati lubang hitam yang semakin dalam, segala sesuatu terasa terdistorsi. Ruang dan waktu seakan terlipat, dan aku merasa berada di tempat yang bukan lagi pulau ini. Aku berusaha melangkah lebih jauh, namun tanah di bawah kaki terasa semakin lembek, seperti menuntunku ke suatu kedalaman yang tak terjangkau.

Di sekelilingku, aku mendengar suara berbisik, suara yang tak bisa aku kenali. Itu adalah suara yang datang dari segala arah, seperti seruan, namun juga peringatan. Suara itu menuntunku untuk terus maju, meskipun aku tak tahu apa yang menunggu di ujung jalan ini.

Setiap langkahku terasa semakin berat, seakan ada sesuatu yang menarik tubuhku ke bawah, jauh ke dalam. Tanpa disadari, aku telah berjalan lebih jauh dari yang aku kira, dan di depan aku, sebuah cahaya muncul perlahan. Cahaya itu berkilauan, tetapi tidak seperti cahaya matahari. Ini adalah cahaya yang sangat berbeda—lebih misterius, lebih dalam.

Aku berhenti sejenak, menatap cahaya itu. Dan di sana, di balik cahaya, aku melihat sesuatu yang tak terduga. Sesuatu yang telah lama tersembunyi, dan akhirnya terungkap.

 

Terungkapnya Segalanya

Cahaya itu semakin terang, membiaskan aura yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya. Rasanya, aku bukan lagi berada di dunia yang biasa aku kenal. Setiap langkah menuju cahaya itu semakin membawa aku ke tempat yang tak terbayangkan. Tanpa sadar, aku berjalan semakin dalam, dan saat akhirnya sampai di ujung, aku berdiri di sebuah ruang yang tak dapat kujelaskan.

Ruang itu tampak seperti sebuah dunia yang terpisah. Tidak ada langit, tidak ada bumi. Semua terasa seperti sebuah dimensi lain, penuh dengan siluet-siluet yang bergerak pelan. Beberapa dari mereka tampak seperti bayangan, sementara yang lainnya seperti bentuk yang lebih nyata, namun tetap mengambang, seolah-olah mereka tidak sepenuhnya hidup. Aku bisa merasakan sesuatu yang sangat kuno dan kuat di tempat ini, sesuatu yang sepertinya telah berusia ribuan tahun.

Di tengah ruangan itu, ada sebuah patung besar yang berdiri tegak. Patung itu menggambarkan sosok yang aku kenali—seorang manusia dengan tubuh bagian atas manusia, namun bagian bawahnya adalah komodo, penuh dengan sisik yang berkilau. Matanya yang terbuat dari batu obsidian tampak hidup, menatapku dengan tajam. Seakan-akan patung itu menunggu sesuatu.

Aku merasakan jantungku berdegup kencang, dan pandanganku beralih ke sekeliling. Ada satu suara di dalam pikiranku, suara yang aku kenali, namun tidak pernah aku dengar dengan jelas sebelumnya.

“Kamu akhirnya sampai juga.”

Suara itu begitu dekat, namun tidak ada orang di sekitar. Suara itu mengalir seperti aliran air yang lembut, namun penuh dengan kuasa. Aku berbalik cepat, dan di sana, di sudut yang gelap, berdiri sosok yang telah lama aku cari—Galih.

Tapi dia bukan lagi seperti yang aku kenal. Ada sesuatu yang berbeda dari dirinya, sesuatu yang sepertinya berhubungan dengan semua ini. Di matanya ada kilauan yang tak bisa kutafsirkan, dan senyum di wajahnya menunjukkan bahwa dia tahu lebih banyak daripada yang aku inginkan.

“Galih?” aku bertanya, berusaha mencari jawaban dalam setiap kata yang terucap.

Galih tersenyum, namun kali ini senyumnya tidak seperti senyuman biasa. Itu senyum yang penuh makna, seperti dia akhirnya bisa melepaskan sesuatu yang selama ini terkunci di dalam dirinya. “Kamu akhirnya mengerti, Zia.”

Aku merasa bingung, tidak tahu apa yang dimaksudnya. “Apa maksudnya? Kenapa semua ini?”

Galih menghela napas dan melangkah mendekat, suaranya kini lebih berat, seolah ada berat yang harus dia pikul. “Ini bukan hanya tentang komodo. Ini tentang warisanmu, Zia. Kamu adalah keturunan dari garis yang terlupakan, garis yang menjaga keseimbangan antara manusia dan komodo. Dan aku, aku adalah penjaga yang ditugaskan untuk menuntunmu, untuk mengingatkanmu akan takdirmu.”

Aku terdiam, kata-kata Galih mengguncang seluruh pemahamanku. Kenapa aku baru tahu sekarang? Kenapa tak ada yang memberitahuku sebelumnya?

“Aku… aku tidak tahu harus bagaimana,” ujarku, merasa kebingungan semakin dalam.

Galih mengangguk pelan. “Tentu saja. Tidak ada yang bisa memberitahumu. Kamu harus mengalaminya sendiri. Tapi ingat, apa yang kamu pilih sekarang akan menentukan masa depan—bukan hanya untuk dirimu, tapi juga untuk semua yang ada di sini, di pulau ini.”

Aku menatap patung itu, perasaan cemas mulai menguasai tubuhku. Sesuatu dalam diriku terasa semakin mendalam, semakin nyata. Seperti aku dipanggil oleh sesuatu yang lebih besar dari diriku.

“Lalu, apa yang harus aku lakukan?” aku bertanya, suaraku hampir terdengar putus asa.

Galih tersenyum lagi, senyum yang kali ini lebih lembut. “Kamu harus menghubungkan kembali dua dunia ini, Zia. Dunia manusia dan dunia komodo. Tugasmu adalah menjaga agar keduanya tetap seimbang. Tidak bisa ada satu yang lebih dominan dari yang lain. Kalau kamu gagal, keduanya akan hancur.”

Aku merasa seolah dunia ini runtuh seketika. Tugas seberat itu, dan aku baru menyadarinya sekarang? Aku bukan siapa-siapa, hanya seorang gadis yang baru saja belajar tentang keberadaan dunia ini. Namun, ada dorongan kuat dalam diriku, seolah aku memang sudah dipilih untuk ini.

Tanpa sadar, langkahku sudah mendekati patung itu. Seiring aku mendekat, tiba-tiba patung itu mulai bergerak, seperti hidup. Sisik-sisik di bagian bawahnya berkilau, dan dari mulutnya terdengar suara gemuruh, seperti suara yang berasal dari kedalaman bumi.

Aku merasa tubuhku semakin terhubung dengan energi yang mengalir di tempat ini. Tanpa pikir panjang, aku mengulurkan tangan dan menyentuh patung itu. Begitu telapak tanganku bersentuhan dengan batu, sebuah aliran cahaya putih melesat, menembus tubuhku, mengalir ke seluruh tubuhku, menyatu dengan diriku. Aku bisa merasakan kekuatan itu masuk ke dalam diriku, seperti akar yang menembus tanah.

Galih berdiri di sampingku, menatap dengan mata penuh harapan. “Sekarang, kamu siap, Zia. Keseimbangan sudah ada di dalam dirimu.”

Aku menarik napas panjang, menatap mata Galih yang penuh arti. “Aku… aku akan melakukannya.”

Dan dengan kata-kata itu, aku tahu bahwa perjalanan ini baru saja dimulai. Perjalanan untuk menjaga keseimbangan dunia manusia dan komodo, perjalanan yang akan mengubah hidupku selamanya.

 

Dan begitulah, cerita kita di pulau Komodo yang penuh misteri dan cinta tak terduga ini berakhir—atau lebih tepatnya, baru saja dimulai. Karena siapa yang tahu, mungkin takdir kita semua terhubung dengan cara yang nggak kita pernah bayangin sebelumnya.

Tapi satu yang pasti, cinta dan misteri itu selalu ada di mana-mana, bahkan di tempat yang paling tak terduga. Jadi, siapa bilang kisah cinta nggak bisa jadi luar biasa, bahkan kalau itu melibatkan komodo dan siluman?

Leave a Reply