Daftar Isi
Pernah nggak sih kamu ngerasa kalau hidupmu terasa berat setelah kehilangan seseorang yang sangat berarti? Nah, di cerpen ini, kita bakal ngikutin perjalanan Dimas dan putrinya, Alexa, yang harus berjuang menghadapi kesedihan dan kehilangan.
Tapi, meski banyak cobaan, mereka akhirnya bisa menemukan kebahagiaan baru dan saling mendukung satu sama lain. Siap-siap baper deh, karena cerita ini bakal bikin kamu ngerasa semua emosi—dari sedih, haru, sampai bahagia! Yuk, ikuti kisah mereka dan temukan bagaimana cinta dan kenangan bisa mengubah hidup seseorang.
Cinta dan Kenangan
Kehilangan dan Awal Baru
Dimas duduk di sudut kamar rumah sakit, tangannya gemetar saat mendekap kepala. Dia tidak bisa mempercayai apa yang baru saja terjadi. Maya, istrinya yang tercinta, telah pergi. Dia meninggal saat melahirkan putri mereka, Alexa. Rasa sakit dan kesedihan mengoyak hatinya, dan ia merasa seperti sebagian dari jiwanya ikut terkubur bersama Maya.
“Pak Dimas, anak Anda selamat dan sehat. Dia butuh Anda sekarang,” kata seorang perawat lembut, mengganggu pikirannya yang kacau.
Dimas mengangkat kepalanya, menatap bayi mungil yang berada di gendongan perawat itu. Bayi perempuan yang menangis dengan suara lemah, seakan-akan mengetahui bahwa dunia ini telah merenggut satu bagian penting darinya sebelum ia sempat mengenalnya.
“Namanya Alexa,” bisik Dimas pelan, suara serak oleh kesedihan.
Perawat itu tersenyum, menyerahkan bayi Alexa ke pelukan Dimas. Saat Dimas memandang wajah kecil itu, ia merasakan campuran emosi yang begitu kuat; cinta, kesedihan, dan kemarahan. Baginya, Alexa adalah simbol dari kehilangan besar dalam hidupnya.
Hari-hari pertama setelah kepulangan mereka ke rumah sangat berat. Dimas mencoba mengurus Alexa dengan seadanya, tetapi hati dan pikirannya selalu terbebani oleh bayangan Maya. Setiap sudut rumah mengingatkannya pada istrinya; tawa riangnya, sentuhan lembutnya, dan kehangatan yang selalu dia bawa.
Ketika Alexa menangis di tengah malam, Dimas merawatnya dengan sikap acuh tak acuh. Ia mengganti popok, memberi makan, dan menenangkan bayi itu seolah-olah ia hanya melakukan tugas. Cinta yang dulu dia berikan kepada Maya, kini seolah-olah terhalang oleh tembok tebal yang dia bangun sendiri.
Waktu terus berjalan, dan Alexa tumbuh menjadi balita yang penuh rasa ingin tahu. Dia mulai berbicara dengan kata-kata sederhana dan mengeksplorasi dunianya dengan langkah-langkah kecil yang mantap. Setiap kali dia mencoba mendekati Dimas dengan mainan atau gambar yang dia buat, Dimas hanya memberikan senyuman singkat atau anggukan kepala. Alexa sering kali merasa bingung dan kecewa, tetapi dia tidak pernah berhenti mencoba untuk mendapatkan perhatian ayahnya.
Suatu pagi, ketika matahari baru saja terbit dan burung-burung mulai bernyanyi, Alexa berlari kecil ke dapur tempat Dimas sedang menyiapkan kopi. Rambutnya yang ikal berantakan, tetapi senyum di wajahnya begitu cerah.
“Ayah, lihat! Aku menggambar ini untuk Ayah,” kata Alexa dengan antusias, menyerahkan selembar kertas dengan coretan warna-warni.
Dimas melihat gambar itu sekilas. “Bagus, Alexa,” jawabnya singkat, lalu melanjutkan membuat kopinya.
Alexa berdiri diam, merasa kecewa tapi tidak menunjukkan rasa sedih di wajahnya. Dia mengambil kembali gambarnya dan berlari keluar rumah, bermain di halaman depan.
Hari-hari berlalu dengan ritme yang sama. Dimas tenggelam dalam pekerjaannya di kebun dan menjaga rumah, sementara Alexa menemukan kebahagiaan dalam hal-hal sederhana. Dia bermain dengan teman-teman sebayanya, menggambar di dinding kamarnya, dan menjelajahi dunia kecilnya dengan penuh semangat.
Suatu sore, ketika Alexa sedang bermain dengan boneka-bonekanya di halaman belakang, tetangga mereka, Bu Siti, datang berkunjung. Wanita paruh baya itu selalu baik kepada Alexa dan sering kali membawa kue atau mainan kecil untuknya.
“Alexa, apa yang kamu mainkan hari ini?” tanya Bu Siti dengan senyum ramah.
“Aku sedang bermain keluarga, Bu Siti,” jawab Alexa, menunjuk ke arah boneka-boneka yang duduk berjejer di atas selimut.
Bu Siti tersenyum, lalu beralih menatap Dimas yang sedang memperbaiki pagar. “Pak Dimas, bagaimana kabarnya? Sudah lama kita tidak berbicara.”
Dimas mengangguk. “Baik, Bu Siti. Terima kasih sudah mampir.”
Bu Siti menghela napas. Dia tahu betapa sulitnya bagi Dimas setelah kehilangan Maya. Dia juga tahu bahwa Alexa membutuhkan lebih banyak perhatian dan kasih sayang dari ayahnya.
“Pak Dimas, Alexa itu anak yang luar biasa. Dia mengingatkan saya pada Bu Maya. Senyum, mata, bahkan caranya berbicara… benar-benar seperti pinang dibelah dua,” kata Bu Siti lembut.
Dimas terdiam sejenak, tatapannya beralih ke arah Alexa yang sedang bermain. Kata-kata Bu Siti membekas di benaknya, meskipun ia mencoba untuk tidak terlalu memikirkannya.
Sore itu, ketika Alexa masuk ke rumah dengan membawa rangkaian bunga yang dia petik dari taman, Dimas merasakan ada sesuatu yang berbeda. Melihat senyum ceria Alexa, dia seolah-olah melihat Maya di sana, hadir melalui putri mereka. Sesaat, rasa hangat mengisi hatinya, tetapi ia segera menepis perasaan itu, kembali terjebak dalam lingkaran kesedihannya.
Meski begitu, benih perubahan telah ditanam dalam diri Dimas. Alexa terus tumbuh dan berkembang, dan tanpa disadari, dia mulai membuka hati ayahnya yang beku oleh duka. Hari-hari ke depan masih panjang dan penuh tantangan, tetapi hubungan mereka perlahan-lahan mulai berubah, membawa harapan dan cinta yang dulu hilang.