Daftar Isi
Siapa bilang perjodohan itu kaku dan membosankan? Dalam cerita ini, kita bakal ngikutin perjalanan Laila dan Malik, dua orang yang terjebak dalam takdir, berusaha menemukan cinta di tengah tumpukan harapan dan cita-cita.
Siap-siap untuk baper dan terinspirasi, karena perjalanan mereka bakal bikin kamu percaya bahwa cinta bisa tumbuh di mana saja, bahkan dari jodoh yang ditentukan orang tua! Yuk, simak ceritanya! Let’s go!!!
Cinta Dalam Takdir
Awal Pertemuan
Pagi itu, Laila Azura duduk di taman madrasah dengan sinar matahari yang hangat menyinari wajahnya. Di sekelilingnya, bunga-bunga yang baru mekar menyebarkan aroma segar. Ia menyukai suasana ini, seolah semua keindahan di dunia ini berkumpul di tempat itu. Sambil memegang buku tebal di tangannya, Laila menatap halaman-halaman yang masih kosong, terinspirasi oleh keindahan alam di sekitarnya.
“Bisa bantu aku, Laila?” suara lembut mengganggu konsentrasi Laila. Ia menoleh dan melihat seorang pemuda yang baru dikenalnya. Namanya Malik Faiz. Pemuda itu terlihat tenang, dengan senyum yang ramah. Dia baru saja pindah ke kota ini dan sering terlihat di perpustakaan madrasah.
“Eh, Malik! Tentu saja, ada yang bisa aku bantu?” jawab Laila, mencoba mengatur perasaannya yang bergejolak setiap kali Malik mendekat.
“Aku butuh tips untuk menyiram tanaman. Aku lihat kamu sangat ahli merawat tanaman di sini,” Malik menjelaskan, gesturnya terlihat santai.
“Ah, itu bukan apa-apa. Aku cuma senang merawatnya. Yuk, aku tunjukkan,” kata Laila sambil berdiri dan mengajak Malik ke area kebun kecil di sudut taman.
Di sana, Laila mulai menunjukkan cara menyiram tanaman dengan benar. Malik memperhatikan dengan seksama, sesekali tertawa ketika Laila menjelaskan cara merawat tanaman seolah itu adalah seni tersendiri.
“Jadi, tanaman ini butuh perhatian ekstra, ya? Mirip kayak manusia, ya, butuh perhatian juga,” Malik berkomentar sambil tertawa.
Laila tersenyum, “Iya, betul! Dan kadang kita perlu memberi mereka ruang, seperti saat kita perlu menjauh sejenak untuk merenung.”
Mendengar jawaban Laila, Malik mengangguk paham. Mereka terus berbincang tentang tanaman, kehidupan, dan juga harapan mereka untuk masa depan. Laila merasa nyaman dengan Malik, seolah mereka sudah berteman lama, padahal baru beberapa kali bertemu.
Saat matahari mulai condong ke barat, Malik berkata, “Laila, bagaimana menurutmu tentang perjodohan? Kamu percaya sama itu?”
Pertanyaan itu membuat Laila terdiam sejenak. “Perjodohan? Hmm… aku rasa itu bisa jadi cara yang baik jika dilakukan dengan ikhlas. Tapi aku lebih suka mengenal orang itu dulu, sih.”
“Bagus juga itu. Kenal lebih dekat sebelum memutuskan untuk menjalani hidup bersama,” Malik menjawab, menatap Laila dalam-dalam. “Aku percaya, jika kita saling memahami, perjodohan bisa jadi sangat berarti.”
“Iya, setuju. Cinta itu harus tumbuh, kan?” Laila menambahkan sambil mengatur rambutnya yang sedikit berantakan karena angin sepoi-sepoi.
Mereka melanjutkan obrolan hingga matahari terbenam, dan Laila merasakan getaran hangat di hatinya. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat, dan mereka sepakat untuk bertemu lagi keesokan harinya.
Hari berikutnya, Laila datang lebih awal ke taman, sudah menyiapkan beberapa buku yang ingin dibaca. Tak lama kemudian, Malik muncul, membawa dua cangkir teh hangat. “Untuk menemani obrolan kita,” katanya dengan senyum lebar.
“Wah, kamu memang perhatian!” Laila menyambutnya, merasa terharu. Mereka duduk di bangku kayu yang nyaman, menikmati teh sambil membicarakan berbagai topik.
Malik kemudian menyinggung tentang pengalamannya pindah ke kota ini. “Awalnya, aku merasa asing. Tapi sejak bertemu kamu, semuanya terasa lebih mudah,” katanya.
“Serius? Aku juga merasa begitu. Kamu membuat suasana jadi lebih ceria,” Laila menjawab, merasa senang bisa berbagi perasaan.
Mereka terus berbicara, saling bertukar cerita tentang kehidupan dan impian. Malik bercita-cita untuk mendalami ilmu agama dan Laila ingin menjadi guru di madrasahnya. Dalam setiap kata yang terucap, ada kedekatan yang semakin dalam, seolah hati mereka berbicara lebih dari sekadar kata-kata.
Setelah beberapa kali pertemuan, Laila merasakan ada sesuatu yang berbeda dengan Malik. Ia mulai membuka hatinya, meski ragu akan perasaan itu. Di satu sisi, ia tahu bahwa perjodohan bisa jadi adalah bagian dari takdirnya, tetapi di sisi lain, ia tidak ingin terburu-buru. Laila berdoa agar Allah memberi petunjuk yang tepat.
Di penghujung hari, saat mereka berpisah, Malik mengucapkan, “Besok kita ketemu lagi, ya? Aku ingin mendengar lebih banyak cerita dari kamu.”
“Ya, tentu. Sampai jumpa, Malik!” Laila melambai, hatinya bergetar bahagia.
Kedekatan yang terjalin di antara mereka membuat Laila semakin penasaran. Namun, ia tahu bahwa perasaan ini perlu dihadapi dengan hati-hati. Bagaimanapun juga, perjalanan mereka baru dimulai. Dia ingin mengenal Malik lebih dalam, dan semoga Allah akan memudahkan jalan mereka ke depan.
Takdir yang Mempertemukan
Hari demi hari berlalu, dan pertemuan Laila dengan Malik semakin sering. Setiap kali mereka bertemu, ada saja hal baru yang mereka diskusikan, mulai dari minat terhadap buku hingga pandangan tentang kehidupan. Malam itu, suasana di taman madrasah terasa lebih magis. Bulan purnama menggantung di langit, menerangi setiap sudut dengan cahaya lembut.
“Laila, lihat bulan itu. Indah sekali, ya?” Malik mengajak Laila menatap langit. “Seolah mengingatkan kita betapa luasnya takdir yang Allah atur.”
Laila mengangguk, terpesona. “Iya, aku merasa kita pun seperti bulan dan bintang. Masing-masing memiliki perannya, meski kadang kita tidak menyadari.”
Malik tersenyum, senyum yang selalu membuat Laila merasa tenang. “Kamu benar. Kadang, kita perlu mengandalkan takdir. Seperti pertemuan kita ini.”
“Benar,” Laila menjawab pelan, matanya berbinar. “Aku suka berpikir tentang takdir. Apa yang sudah Allah siapkan untuk kita?”
Malam itu, mereka berbincang lebih dalam tentang perjodohan. Malik bercerita tentang keluarganya yang sangat mendukung ide perjodohan. “Orang tuaku selalu bilang, ‘Kalau sudah ada pilihan yang baik, kenapa harus menunggu?’”
“Jadi, kamu percaya pada perjodohan?” tanya Laila, ingin mengetahui lebih banyak tentang pandangan Malik.
“Aku percaya, tetapi kita tetap harus mengenal satu sama lain,” jawab Malik tegas. “Dan aku ingin mengenal kamu lebih jauh, Laila.”
Jantung Laila berdegup kencang mendengar pernyataan Malik. “Bagaimana caranya kita bisa saling mengenal?”
“Pertama, kita bisa melakukan kegiatan bersama. Mungkin ikut kajian bersama, atau membantu di panti asuhan. Dengan begitu, kita bisa melihat sisi lain dari satu sama lain,” Malik menjelaskan dengan semangat.
“Hmm, menarik juga. Aku setuju!” Laila balas tersenyum. Ia merasa senang bisa menjalin hubungan yang lebih berarti dengan Malik.
Beberapa hari kemudian, mereka sepakat untuk ikut kajian yang diadakan di madrasah. Suasana di dalam aula penuh dengan orang-orang yang bersemangat mencari ilmu. Laila dan Malik duduk berdampingan, saling bertukar pandangan setiap kali pemateri menjelaskan hal-hal menarik. Dalam hati Laila, ia bersyukur bisa berada di tempat yang seperti ini, bersama seseorang yang memiliki visi yang sama.
Setelah kajian, mereka menyempatkan diri berbincang dengan beberapa teman baru. “Kita harus lebih sering ikut kajian seperti ini, ya?” Malik berkata sambil menyesap air mineral.
“Setuju! Ilmu yang kita dapatkan di sini sangat berharga. Dan lebih asik kalau bareng kamu,” Laila menambahkan dengan tawa.
Di tengah keramaian, Malik menangkap pandangan Laila. “Aku punya ide. Bagaimana kalau kita mengadakan kegiatan amal di panti asuhan akhir pekan ini? Kita bisa mengajak teman-teman lain juga.”
Laila tertegun sejenak, merasa terinspirasi oleh ide Malik. “Wah, itu bagus! Kita bisa mengumpulkan buku-buku dan mainan untuk anak-anak di sana.”
Mendengar antusiasme Laila, Malik merasa senang. “Aku akan menghubungi beberapa teman. Kita bisa bekerja sama.”
Hari itu, kedekatan mereka semakin terasa. Setiap kali Laila berinteraksi dengan Malik, hatinya dipenuhi rasa nyaman dan bahagia. Namun, di sisi lain, ia merasa ragu tentang perasaan yang semakin tumbuh dalam dirinya. “Apakah ini hanya sekadar suka? Atau lebih dari itu?” pikirnya.
Akhir pekan tiba, dan kegiatan amal di panti asuhan berhasil menarik banyak perhatian. Laila dan Malik bekerja sama mengumpulkan donasi dan membawa anak-anak bermain. Laila merasa bersemangat melihat senyum di wajah anak-anak, dan Malik selalu ada di sampingnya, memberikan dukungan.
Saat mereka mengedarkan makanan dan mainan, Laila melihat Malik berinteraksi dengan anak-anak. Dengan senyumnya yang tulus, Malik menunjukkan kasih sayangnya kepada mereka. Melihat itu, hati Laila semakin bergetar. “Malik, kamu luar biasa! Kamu punya cara yang indah dalam menyebarkan kebahagiaan,” ucapnya, tanpa sadar.
Malik tersenyum, “Semuanya berasal dari hati. Kita hanya perlu berbagi kebahagiaan, bukan?”
Laila mengangguk. “Iya, kadang hal kecil bisa membuat perbedaan besar.”
Di tengah suasana riang itu, Laila dan Malik berbagi cerita. Laila bercerita tentang impian-impian besarnya, sementara Malik menjelaskan tujuan hidupnya. Mereka merasakan ikatan yang semakin kuat, seolah takdir telah menyusun setiap kepingan kehidupan mereka.
Setelah kegiatan selesai, mereka duduk di bawah pohon besar, mengawasi anak-anak bermain. “Laila,” Malik memulai, “aku ingin berbicara tentang sesuatu yang serius.”
“Serius? Apa itu?” tanya Laila, merasa sedikit tegang.
“Aku ingin berbicara tentang kita. Tentang bagaimana perasaan kita terhadap satu sama lain,” Malik mengungkapkan, suara yang penuh keyakinan.
Laila merasa jantungnya berdegup kencang. Ia ingin tahu apa yang ada di pikiran Malik, tetapi ragu untuk mengungkapkan perasaannya. “Aku… aku juga ingin berbicara tentang itu, Malik,” jawabnya, sedikit ragu.
“Kalau begitu, mari kita jujur satu sama lain,” Malik menatap Laila dalam-dalam. “Aku merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar teman di antara kita. Aku ingin mengenalmu lebih dekat, dan jika Allah mengizinkan, mungkin kita bisa menjalani hidup ini bersama.”
Laila terdiam, merasakan betapa tulusnya pernyataan Malik. “Aku juga merasa ada sesuatu yang istimewa. Tapi kita harus hati-hati, ya? Kita harus berdoa dan minta petunjuk kepada Allah.”
“Setuju. Kita serahkan semuanya pada-Nya,” Malik menjawab, penuh harap.
Malam itu, di bawah cahaya bintang yang berkelap-kelip, Laila dan Malik berdoa bersama, mengharapkan yang terbaik untuk perjalanan mereka. Dalam hati, Laila tahu bahwa ini adalah langkah pertama menuju takdir yang indah, yang telah Allah atur untuk mereka. Namun, perjalanan mereka masih panjang, dan tantangan pasti akan datang.
Melangkah Bersama
Hari-hari berlalu, dan kedekatan antara Laila dan Malik semakin terasa. Mereka saling menguatkan dalam setiap langkah yang diambil, selalu mencari cara untuk mendalami satu sama lain. Dalam pertemuan-pertemuan berikutnya, mereka selalu mengupayakan waktu untuk menghabiskan waktu bersama, baik di madrasah maupun di luar.
Suatu sore, Laila duduk di taman dekat madrasah, meresapi sinar matahari yang lembut. Di sampingnya, Malik datang membawa dua cangkir teh hangat. “Maaf kalau aku telat. Ini, buatmu,” katanya sambil menyerahkan salah satu cangkir.
“Terima kasih, Malik. Kamu tahu saja apa yang aku suka,” balas Laila dengan senyuman yang tak bisa disembunyikannya. “Teh hijau ini favoritku!”
“Maka dari itu, aku selalu berusaha untuk membawa hal-hal yang kamu suka,” jawab Malik sambil duduk di sampingnya. Mereka menikmati teh, dan obrolan ringan pun mengalir dengan sendirinya.
“Jadi, ada rencana akhir pekan ini?” tanya Malik setelah sesaat hening, menikmati suasana.
“Rencananya sih, pengen bantu di panti asuhan lagi. Banyak anak-anak yang butuh perhatian,” jawab Laila.
Malik mengangguk. “Kita bisa buat acara yang lebih besar. Mengundang lebih banyak teman untuk datang dan berpartisipasi.”
“Ide yang bagus! Kita bisa mengajak mereka membawa buku dan mainan juga,” saran Laila, bersemangat.
Mereka lalu menghabiskan waktu untuk merencanakan kegiatan amal tersebut. Malik terlihat sangat antusias dan komitmen untuk melakukan yang terbaik. Dalam diskusi itu, Laila menyadari bahwa Malik bukan hanya seorang teman, tetapi juga sosok yang bisa diandalkan. Di sampingnya, ia merasa tenang, seolah semua hal yang baik dalam hidupnya menjadi mungkin.
Beberapa hari kemudian, mereka mulai mempersiapkan acara amal yang lebih besar. Tim relawan terbentuk, dan antusiasme anak-anak madrasah sangat luar biasa. Laila dan Malik bekerja sama merancang kegiatan untuk anak-anak di panti asuhan. Laila bahkan mencetak poster yang berisi informasi acara dan menempelkannya di dinding madrasah.
“Satu, dua, tiga! Senyum!” Malik mengambil foto Laila yang sibuk menempelkan poster. “Kamu terlihat cantik saat bekerja.”
Laila merona, tidak menyangka Malik akan memujinya. “Kamu bikin aku malu, Malik!”
Mereka berdua tertawa, dan Laila menyadari bahwa momen-momen kecil seperti ini sangat berharga. Malam sebelum acara, mereka berdua saling berbagi pesan suara di grup chat tim relawan. Laila merasa terharu mendengar keinginan Malik untuk memberikan yang terbaik bagi anak-anak.
Saat malam tiba, Laila tidak bisa tidur nyenyak. Hatinya penuh dengan harapan dan sedikit rasa cemas. “Bagaimana jika acara ini tidak berjalan seperti yang kita harapkan?” pikirnya. Namun, ia segera mengingat kalimat Malik, “Kita harus berserah diri kepada Allah.”
Akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu tiba. Suasana di panti asuhan penuh dengan keceriaan. Anak-anak berlari-lari, tertawa, dan menunggu kegiatan dimulai. Laila dan Malik sudah hadir lebih awal, memastikan semua persiapan berjalan lancar. Saat melihat senyuman anak-anak, Laila merasakan kebahagiaan yang luar biasa.
“Laila, aku tidak sabar untuk melihat wajah mereka saat menerima buku dan mainan!” seru Malik, tidak bisa menyembunyikan semangatnya.
“Ya, aku juga! Mari kita buat hari ini sangat berkesan bagi mereka!” Laila menjawab dengan berapi-api.
Acara dimulai dengan menyanyikan lagu-lagu ceria dan diisi dengan berbagai permainan. Laila dan Malik bergerak dari satu kelompok ke kelompok lainnya, membantu anak-anak bermain. Saat itu, mereka merasa seolah terikat oleh tujuan yang sama—membahagiakan anak-anak yang membutuhkan perhatian dan kasih sayang.
Di tengah keseruan itu, Malik menyempatkan diri berbicara dengan Laila. “Laila, lihatlah betapa bahagianya mereka. Ini adalah salah satu alasan kita melakukan semua ini.”
Laila mengangguk setuju. “Iya, mereka adalah harta yang tidak ternilai. Melihat senyum mereka membuatku merasa bahwa semua usaha ini sangat berharga.”
Setelah beberapa jam berlalu, saat kegiatan telah mencapai puncaknya, mereka mulai membagikan buku dan mainan. Anak-anak berbaris dengan penuh antusiasme, menunggu giliran mereka. Laila dan Malik berdiri di depan, memberikan hadiah kepada setiap anak dengan penuh kasih.
“Ini untukmu, Nak. Semoga kamu suka!” Laila berkata sambil memberikan buku bergambar kepada seorang gadis kecil.
“Terima kasih, Kak!” jawab gadis kecil itu dengan mata berbinar.
Melihat momen-momen seperti itu, Laila tidak bisa menahan air matanya. “Malik, aku sangat bersyukur bisa berada di sini dan melakukan ini bersamamu.”
Malik mengangguk, melihat betapa tulusnya perasaan Laila. “Kita harus terus melakukan ini. Menyebarkan kebahagiaan adalah bagian dari hidup kita.”
Di akhir acara, anak-anak berterima kasih kepada Laila dan Malik dengan pelukan hangat. Mereka merasakan kebahagiaan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Di antara keramaian dan keceriaan, Malik meraih tangan Laila, menariknya ke sisi.
“Laila,” katanya lembut, “aku ingin kita bisa melanjutkan kegiatan ini lebih sering. Membawa perubahan positif bagi banyak orang.”
“Setuju. Dan mungkin, kita bisa melakukan kegiatan lain, seperti mengadakan kelas belajar untuk anak-anak,” Laila menambahkan, hatinya dipenuhi semangat.
Mereka berbicara lebih lanjut, merencanakan masa depan. Dalam benak Laila, tumbuh harapan bahwa ini adalah awal dari sebuah perjalanan yang lebih panjang dan bermakna. Namun, di tengah semua kebahagiaan itu, Laila tidak bisa menepis rasa cemas. “Bagaimana jika ada yang tidak setuju dengan hubungan kita?” pikirnya.
Namun, ia memilih untuk tidak membiarkan keraguan menghantuinya. Malam itu, mereka pulang dengan hati yang penuh dan pikiran yang berbunga-bunga. Malik mengantar Laila pulang, dan di sepanjang jalan, mereka bercerita tentang impian dan harapan mereka di masa depan.
Sesampainya di rumah, Laila berdiri sejenak di depan pintu, menatap bintang-bintang di langit. Dalam hati, ia berdoa agar Allah memberikan petunjuk yang tepat untuk langkah selanjutnya. Perasaannya semakin dalam, dan ia tahu bahwa perjalanan mereka belum berakhir. Di balik kebahagiaan yang mereka rasakan, ada tantangan yang menanti di depan, namun Laila siap menghadapinya.
Menemukan Jalan Bersama
Hari demi hari berlalu, dan kegiatan amal yang dilakukan oleh Laila dan Malik semakin berkembang. Setiap bulan, mereka mengadakan acara serupa, menjangkau lebih banyak anak-anak di berbagai panti asuhan. Keberhasilan acara-acara itu tidak hanya memberikan kebahagiaan kepada anak-anak, tetapi juga memperkuat ikatan antara Laila dan Malik. Namun, di balik semua itu, ada keraguan yang masih menggelayuti hati Laila.
Suatu sore, mereka duduk bersama di sebuah kafe sederhana setelah selesai merencanakan acara bulan depan. Suasana di luar kafe tenang, dengan sinar matahari yang mulai meredup. Laila merasakan ketegangan di antara mereka. Malik melihat Laila yang tampak dalam pikirannya.
“Laila, kamu terlihat khawatir. Ada yang ingin kamu bicarakan?” tanya Malik, memperhatikan perubahan ekspresi Laila.
Laila menarik napas dalam-dalam. “Malik, aku… aku hanya berpikir tentang apa yang mungkin terjadi selanjutnya,” ungkapnya, suaranya bergetar.
“Selanjutnya? Maksudmu dalam hal acara atau hubungan kita?” Malik bertanya, berusaha memahami.
“Dalam hubungan kita,” jawab Laila. “Kamu tahu, tidak semua orang setuju dengan perjodohan ini. Kadang aku merasa cemas jika orang tua kita tidak merestui kita.”
Malik meraih tangan Laila, mengusap punggung tangannya dengan lembut. “Laila, aku percaya pada Allah dan pada hubungan kita. Jika kita berdua sudah yakin, kita akan menghadapi apapun yang datang. Yang terpenting adalah kejujuran dan ketulusan kita satu sama lain.”
Laila menatap mata Malik. “Aku tahu, tetapi kadang aku merasa terbebani dengan harapan orang lain. Bagaimana jika mereka tidak melihat hubungan kita dari sudut pandang yang sama?”
“Jika Allah mengizinkan kita untuk bersama, maka tidak ada yang bisa menghalangi. Mari kita tunjukkan kepada mereka bahwa kita bisa melakukan ini dengan baik. Kita harus menjadi contoh,” Malik berusaha meyakinkan Laila.
“Ya, kamu benar,” Laila mengangguk, merasakan semangat Malik menular padanya. “Kita harus berusaha lebih keras dan membuktikan bahwa hubungan ini layak untuk diperjuangkan.”
Sejak saat itu, Laila dan Malik semakin berkomitmen untuk menunjukkan kepada orang-orang di sekitar mereka tentang betapa kuatnya hubungan yang mereka bangun. Mereka tidak hanya berfokus pada kegiatan amal, tetapi juga memperkenalkan diri mereka kepada keluarga masing-masing.
Suatu malam, Laila mengundang Malik untuk berbicara dengan orang tuanya. Dengan hati berdebar, mereka duduk bersama di ruang tamu. Laila bisa merasakan ketegangan di udara saat Malik mulai berbicara.
“Bapak, Ibu, terima kasih telah mengizinkan saya datang. Saya ingin mengungkapkan perasaan saya kepada Laila di hadapan kalian,” kata Malik dengan suara mantap.
“Laila adalah sosok yang luar biasa. Kami telah bekerja sama dalam kegiatan amal dan saya menyadari betapa baiknya dia sebagai seorang pemimpin dan teman. Saya sangat menghargainya,” lanjut Malik, matanya menatap Laila dengan penuh ketulusan.
Laila merasa jantungnya berdebar. Dia tahu bahwa momen ini sangat penting. “Aku juga merasakan hal yang sama, Bapak, Ibu. Malik adalah orang yang sangat baik, dan aku percaya bahwa kita bisa saling mendukung untuk menjadi lebih baik,” ungkap Laila.
Setelah mendengarkan penjelasan mereka, orang tua Laila saling bertukar pandang. Akhirnya, Bapak Laila tersenyum. “Jika kalian sudah saling memahami dan menghargai satu sama lain, kami tidak punya alasan untuk tidak mendukung. Namun, ingatlah bahwa hubungan ini harus dibangun di atas kejujuran dan komitmen.”
Laila dan Malik saling menatap, merasakan beban yang mulai terangkat. “Terima kasih, Bapak, Ibu. Kami akan berusaha sebaik mungkin untuk menjaga hubungan ini,” jawab Malik, senyum di wajahnya.
Beberapa minggu kemudian, mereka kembali ke panti asuhan yang sudah menjadi tempat istimewa bagi mereka. Kali ini, mereka tidak hanya membawa buku dan mainan, tetapi juga mengadakan kelas belajar untuk anak-anak. Laila dan Malik semakin terinspirasi untuk memperluas kegiatan mereka.
Di suatu malam yang indah, di bawah sinar bulan yang bersinar cerah, Laila dan Malik duduk di taman panti asuhan. Mereka melihat anak-anak bermain sambil tertawa bahagia. “Lihatlah mereka, Laila. Mereka adalah kebahagiaan yang sesungguhnya,” Malik berujar.
“Iya, aku merasa sangat beruntung bisa melakukan ini bersamamu,” balas Laila.
Malik menoleh dan menatap Laila dengan lembut. “Laila, aku ingin kita terus melangkah bersama. Menjadi partner tidak hanya dalam kegiatan ini, tetapi dalam kehidupan juga. Bagaimana menurutmu?”
Laila merasa hatinya bergetar. “Aku juga ingin kita terus bersama, Malik. Aku percaya bahwa kita bisa melewati apapun jika kita saling mendukung.”
Malik mengulurkan tangan, dan Laila menggenggamnya erat. Mereka berdua tersenyum satu sama lain, dan di tengah keramaian anak-anak yang berlari-lari, mereka merasakan kedamaian. Pada malam itu, di bawah langit yang dipenuhi bintang, mereka berjanji untuk selalu berjuang bersama, untuk cinta yang tidak hanya ditulis dalam takdir, tetapi juga diperjuangkan dengan sepenuh hati.
Cinta mereka bukan sekadar kata-kata, tetapi tindakan nyata yang akan terus berlanjut. Dalam setiap langkah yang diambil, Laila dan Malik menemukan arti sebenarnya dari cinta—sebuah perjalanan yang indah, penuh tantangan, tetapi juga dipenuhi harapan dan kebahagiaan. Mereka tahu, perjalanan ini baru saja dimulai.
Nah, itu dia perjalanan Laila dan Malik dalam mencari cinta sejati melalui perjodohan. Dari sekadar pasangan yang ditentukan, mereka berhasil membuktikan bahwa cinta bisa tumbuh dengan indah jika dibangun di atas kejujuran, komitmen, dan tujuan yang sama.
Semoga kisah mereka bisa menginspirasi kita semua untuk tidak takut menjelajahi jalan takdir yang mungkin tak terduga. Ingat, cinta sejati kadang datang dari tempat yang paling tidak kita duga. Sampai jumpa di cerita selanjutnya!