Daftar Isi
Jadi gini, pernah nggak sih kamu ngerasain cinta yang nggak biasa? Cinta yang lebih mirip permainan teka-teki, penuh kode dan sandi yang bikin bingung tapi lucu? Nah, cerpen ini bakal bawa kamu ke dalam dunia pramuka yang nggak cuma soal tali-temali dan api unggun, tapi juga soal hati yang saling terhubung lewat cara paling konyol.
Siapa sangka, cinta bisa dimulai lewat pesan-pesan sandi pramuka yang aneh dan lucu? Yuk, simak kisah Kaja dan Siska yang nggak cuma berbicara lewat kata-kata, tapi juga lewat sandi yang bikin kamu senyum-senyum sendiri!
Cinta dalam Sandi Pramuka
Sandi Cinta di Malam Kemah
Malam itu terasa berbeda. Hutan mini di belakang sekolah kami yang biasanya cuma jadi tempat latihan pramuka, kini berubah menjadi arena camping yang penuh dengan tenda-tenda berwarna-warni dan tawa riang dari teman-teman. Suasana yang biasanya kaku dan penuh aturan, malam itu terasa santai, bahkan cenderung konyol. Aku sedang duduk di dekat api unggun, sambil mengaduk kopi instan dalam cangkir plastik, menunggu kegiatan selanjutnya dimulai.
Tapi tiba-tiba, aku merasakan sesuatu yang aneh. Suara langkah kaki ringan, diikuti dengan suara tawa yang sudah sangat ku kenal. Siska. Gadis dengan rambut ikal yang selalu penuh energi, yang kadang aku heran kenapa tidak bisa duduk diam sebentar. Dia datang menghampiriku, sambil menggoyang-goyangkan ponselnya di depan wajahku.
“Ada apa?” tanyaku, setengah malas. Aku sudah bisa menebak dia pasti membawa ide konyol lagi.
Siska tersenyum lebar. “Kaja, kamu suka tantangan, kan?” dia bertanya sambil duduk di sampingku. Ponselnya dia acungkan ke arahku.
“Ada apa, Si?” aku mengernyitkan dahi, melihat layar ponselnya yang hanya berisi sederet kode sandi aneh, “-.-. … -.. – .. .–.”
Aku tertawa kecil. “Kamu ini, Siska. Apa-apaan sih, sandi pramuka lagi? Kenapa nggak pakai bahasa yang biasa aja, kayak orang normal?”
Siska terkekeh, lalu dengan santainya berkata, “Karena aku tahu, hanya kamu yang bisa mengerti. Kode ini, buat kamu. Kalau kamu bisa baca, berarti kita punya bahasa rahasia. Gimana, tertarik?”
Aku merasa bingung. “Jadi… ini maksudnya apa? Cuma mau kasih aku teka-teki gitu?”
Siska mengangguk, tampak serius. “Bukan cuma teka-teki, Kaja. Ini pesan cinta.”
Aku menatapnya sejenak, mencoba mencerna kata-katanya. “Cinta? Kenapa harus lewat sandi pramuka sih?” Aku merasa aneh, sekaligus penasaran.
Siska mengedikkan bahu, seolah itu adalah hal yang paling biasa. “Kalau semua orang bisa tahu, itu bukan cinta yang menarik, kan? Lagipula, ini juga lebih seru. Jadi, coba deh pecahkan, ya?”
Aku cuma menghela napas panjang, merasa tertantang tapi juga bingung. Aku mengeluarkan ponsel dan mulai mengetikkan kode itu satu per satu, mencoba memecahkan pesan yang tersusun dari titik-titik dan garis-garis aneh. Sejujurnya, aku sudah lama tidak menggunakan sandi pramuka seperti ini, dan aku harus mengingat kembali semua yang diajarkan saat pelatihan dulu.
Tapi tiba-tiba, aku merasa agak frustasi. Kode-kode itu agak susah dan aku sudah mulai menyerah. “Siska, ini kok nggak bisa-bisa,” keluhku, sambil memutar ponsel dan menunjukkannya padanya.
Siska hanya tersenyum, tidak terlihat cemas sedikit pun. “Kamu pasti bisa, Kaja. Pikirkan, kalau kamu berhasil, itu berarti aku cuma punya cara khusus buat mengungkapkan perasaan.”
Aku memandangnya dengan bingung. “Perasaan? Maksud kamu, ini buat aku?”
Siska mengangguk, matanya berbinar. “Coba aja, Kaja. Aku tahu kamu bisa.”
Dengan sedikit frustrasi dan juga rasa penasaran yang tak tertahankan, aku melanjutkan mengetikkan kode itu. Aku berpikir keras, menyusuri setiap titik dan garis di kepala. Setelah beberapa saat, akhirnya aku berhasil. Aku tertawa kecil, membaca hasil terjemahanku:
“Aku suka kamu, tapi cuma lewat SMS sandi pramuka, hihi.”
Aku menatap layar ponselku, lalu mendongak ke Siska yang sedang tersenyum lebar. Aku benar-benar tak bisa menahan tawa. “Jadi… ini semua cuma lelucon, ya?”
Siska menunduk, menggigit bibir bawahnya. “Mungkin, tapi ini cara aku untuk bilang kalau aku suka kamu, Kaja.”
Aku masih tersenyum, merasa geli sekaligus terharu. “Kenapa sih pakai sandi-sandi begini? Kalau kamu suka, kan bisa ngomong langsung aja.”
“Tapi kan nggak seru kalau langsung,” jawabnya sambil menatapku dengan tatapan nakal. “Cinta itu harus ada misterinya.”
Aku tertawa terbahak-bahak. “Kamu ini gila, Siska. Cinta kok pakai sandi pramuka segala.” Aku merasa aneh tapi juga manis, perasaan yang sangat tidak aku duga.
Siska tertawa bersama, lalu menepuk bahuku. “Tapi kamu nggak benci kan? Aku cuma ingin punya cara yang beda buat kasih tahu kamu.”
Aku menggelengkan kepala. “Enggak, kok. Ini justru lucu, dan entah kenapa, malah bikin aku merasa kayak… kamu serius, ya?” Aku agak terkejut dengan perasaanku sendiri.
Siska tersenyum lagi. “Serius banget. Cuma kamu yang bisa paham sandiku.”
Dan malam itu, kami berdua duduk di dekat api unggun, berbicara tentang segala hal—tentang camping, tentang pramuka, dan entah bagaimana kami akhirnya sampai pada pembicaraan tentang cinta dan perasaan yang nggak pernah bisa diungkapkan dengan cara biasa. Aku merasa aneh, namun ada sesuatu yang terasa begitu nyaman. Mungkin memang cinta tidak perlu selalu jelas, terkadang bisa lewat kode-kode kecil yang hanya dimengerti oleh dua orang yang saling terhubung.
Aku tahu, malam itu adalah awal dari sesuatu yang baru. Sebuah cinta yang dimulai dengan sandi pramuka.
Cinta yang Tersandi
Hari-hari setelah camping itu berlalu dengan kecepatan yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Meskipun aku sempat melupakan sandi-sandi pramuka yang Siska beri, ada sesuatu dalam diriku yang tak bisa berhenti mengingatnya. Setiap kali aku memandangi ponsel, pikiranku selalu teringat pesan itu—”Aku suka kamu, tapi cuma lewat SMS sandi pramuka, hihi.”
Bahkan, ketika aku tidak sengaja bertemu Siska di kantin sekolah, perasaan aneh itu kembali muncul, meskipun dia hanya melontarkan tawa kecil seperti biasa. Aku mulai bertanya-tanya apakah ini benar-benar hanya candaan, atau ada perasaan yang lebih dalam dari sekadar lelucon.
Suatu hari, saat pelajaran Pramuka yang rutin digelar, aku kembali mendapat pesan dari Siska. Kali ini lebih panjang, dan aku merasa seakan-akan ada sesuatu yang berbeda. Di layar ponselku tertulis:
“.-. .- — .. … / .- .-.. .-.. / — .- -. –. –. ..- .-.”
Aku langsung teringat kata-kata Siska beberapa hari lalu. “Hanya kamu yang bisa memecahkan sandi ini,” katanya. Entah kenapa, aku merasa perasaan aneh yang sudah lama ku pendam kembali menyentakku. Aku mengambil napas dalam-dalam, menyandarkan punggung ke kursi sambil mencoba mengingat-ingat pelajaran pramuka.
Sandi ini, sama seperti yang sebelumnya, cukup sulit. Aku bisa melihat kata-kata itu, tapi tetap butuh waktu untuk merangkainya. Setelah beberapa saat, aku berhasil menebak dengan benar: “RAMIS ALL MANGGUA.”
Aku mengernyitkan dahi. “Ramis? Manggua?” Aku mencoba menyusun kalimat itu di kepala, merasa agak bingung. Jangan bilang dia cuma main-main dengan kata-kata aneh lagi. Namun, setelah beberapa detik berpikir, aku ingat sesuatu—Ramis, nama belakang Siska, dan Manggua, tempat asal kampungnya yang terkenal dengan buah mangganya yang besar. Ah, ternyata Siska cuma menggunakan sandi untuk memberiku pesan tersirat. Tanpa pikir panjang, aku langsung membalas pesan itu.
“Ramis, kamu ini, Siska. Jangan main-main deh. Tapi… aku nggak tahu harus bilang apa.”
Tak lama kemudian, ponselku bergetar lagi. Pesan baru dari Siska muncul, kali ini lebih sederhana, hanya berupa simbol hati yang besar, kemudian tulisan: “Mungkin kamu bisa paham dengan cara ini.”
Aku tertawa kecil. Ternyata dia serius, ya. Pesan itu memberi tanda yang lebih jelas. Tidak hanya sandi, tapi perasaan yang Siska coba sembunyikan dalam bentuk yang sangat unik.
Setelah pelajaran selesai, aku memutuskan untuk menunggu Siska di luar kelas. Aku ingin menanyakan langsung apa maksud dari semua ini. Ada rasa penasaran yang tak bisa aku abaikan lagi. Tidak biasanya aku seperti ini. Biasanya, aku selalu bisa mengendalikan perasaanku, tetapi entah kenapa, perasaan ini berbeda.
Siska muncul beberapa menit kemudian, dengan langkah ceria yang khas. Begitu melihatku menunggunya, dia berhenti sejenak dan melambaikan tangan. “Hei, Kaja! Aku suka lihat kamu bisa baca sandiku.”
Aku tersenyum sedikit kikuk. “Ya, ya. Kamu ini bikin bingung, tau nggak?”
Siska cuma tertawa, lalu berdiri di sampingku dengan santai. “Tadi, aku cuma pengen tahu, kamu bisa paham nggak dengan cara itu. Kalau bisa, berarti kamu paham aku.”
Aku mengangkat alis. “Paham kamu? Maksudnya?”
“Yah, paham aku suka sama kamu, lah,” jawabnya sambil tersenyum nakal, seolah tidak ada yang aneh dengan itu.
Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakan. Cinta? Serius? Aku ingin tertawa, tapi sesuatu di dalam diriku menahan. Apa mungkin aku bisa begitu saja menanggapinya? Aku merasa canggung.
“Tapi kan, kamu bisa ngomong langsung, Siska. Kenapa harus pakai sandi-sandi gitu?” tanyaku, sambil mencoba menenangkan diri.
Dia memandangku dengan tatapan serius, meskipun senyumnya masih mengembang. “Karena, aku pikir, dengan cara itu, cinta kita jadi punya makna tersendiri. Kalo semuanya bisa dipahami dengan mudah, rasanya kurang seru, kan? Aku cuma ingin ada sesuatu yang beda.”
Aku hanya bisa mengangguk pelan, meskipun hatiku berdebar-debar. “Aku nggak tahu, deh. Kamu ini aneh banget. Tapi ya… entah kenapa aku merasa ini juga… lucu.”
Dia mendekat sedikit, masih dengan senyum yang tak lepas. “Lucu, ya? Kalau begitu, kita bisa terus kayak gini. Aku kirim kamu pesan, kamu jawab. Lebih seru, kan?”
Aku merasa aneh, tetapi juga merasa sedikit nyaman dengan cara Siska berbicara. Rasanya seperti aku baru mulai menyadari sesuatu yang lebih. Dia memang konyol, tapi ada sisi lain yang sulit dijelaskan. Sesuatu yang membuatku tidak bisa berhenti berpikir tentangnya. Mungkin benar apa yang Siska katakan—kadang cinta memang perlu sandi, agar ada misteri yang membuat semuanya lebih berarti.
“Ya sudah, Siska,” kataku akhirnya, “Kalau itu cara kamu, aku ikut aja.”
Siska tampaknya senang sekali mendengarnya. “Deal!” Dia mengulurkan tangan, dan aku menjabat tangannya tanpa ragu.
Malam itu, di bawah langit yang cerah dan angin yang bertiup lembut, aku tahu bahwa apa yang terjadi di antara kami lebih dari sekadar kode atau sandi pramuka. Ini adalah sesuatu yang baru, yang tak terduga, dan mungkin penuh dengan tawa dan kebingungannya sendiri. Aku belum tahu apa yang akan terjadi, tapi entah kenapa, aku merasa cukup nyaman untuk terus mengikuti langkah-langkahnya.
Pesan Tersirat di Balik Sandinya
Hari-hari setelah percakapan dengan Siska di luar kelas, semuanya terasa berbeda. Aku tidak bisa mengabaikan perasaan yang muncul setiap kali ponselku berbunyi. Setiap pesan dari Siska, baik yang terkirim dengan kode sandi atau hanya emoji sederhana, membuat hatiku berdegup kencang. Ada rasa hangat yang tumbuh, meskipun aku tak sepenuhnya yakin dengan apa yang sedang terjadi.
Akhir pekan datang, dan kali ini kami akan bertemu lagi di kegiatan Pramuka. Aku tahu, kali ini mungkin berbeda. Ada sesuatu yang lebih dari sekadar latihan dan kegiatan biasa. Siska sudah mengirimkan pesan lagi pagi itu, dengan kode yang lebih rumit dari biasanya. Dengan sedikit gugup, aku memutuskan untuk mencoba menerjemahkannya, meski kali ini sandinya lebih panjang.
“…. — …- . / .. – .-..-.- / -.-. .-… — -.-.”
Setelah beberapa saat, aku berhasil menebaknya: “LOVE ITALOK.”
Aku hampir tertawa melihatnya, karena “Italok” adalah nama julukan yang sering dia pakai untuk makanan favoritnya—sejenis snack yang mirip dengan pasta Italia. Tapi kenapa dia memilih sandi ini? Aku menghela napas dan membalas dengan hati-hati:
“Love Italok? Jadi, kamu cuma suka makanan, ya?”
Tak lama kemudian, balasan datang. Ternyata, Siska membalas dengan pesan yang cukup panjang.
“Ha-ha! Bukan cuma itu. Maksudku, cinta itu nggak harus serius-serius banget. Kadang, cinta juga kayak makanan enak yang cuma bisa dinikmatin sama orang yang tepat, yang tahu cara memakannya dengan benar. Dan kamu, Kaja, mungkin orang yang tepat.”
Aku terdiam membaca pesan itu. Cinta… makanan? Apa maksudnya? Aku meraba ponselku, mencoba memahami apa yang sebenarnya dia coba katakan. Tidak mungkin, kan, ini serius? Siska terlalu ceria dan konyol untuk berbicara tentang cinta dengan cara yang serius.
Aku langsung menatap layar ponselku. Baru kali ini aku merasa cemas, tapi juga geli. Ada perasaan aneh yang muncul, campur aduk antara kebingungan dan rasa senang. Rasanya seperti aku sedang berada di dalam sebuah permainan, dan Siska adalah lawan yang jenius.
Setelah beberapa menit, aku melihat Siska di lapangan. Dia sedang tertawa bersama teman-temannya, tangannya melambai-lambai ke arahku. Aku membalas dengan anggukan kecil. Meski wajahku masih tidak bisa menutupi kebingunganku, aku merasa ada yang menarik dalam hubungan ini. Apakah ini benar-benar tentang perasaan yang tumbuh, ataukah hanya permainan dengan sandi yang tak berujung?
Aku memutuskan untuk mendekat. Tidak ada salahnya bertanya langsung pada Siska tentang apa yang dia maksud.
“Siska,” kataku, setengah malu. “Kenapa kamu ngomong soal cinta lewat sandi-sandi ini?”
Siska menoleh dan tersenyum lebar. “Aku cuma pengen bikin sesuatu yang beda, Kaja. Aku nggak mau semuanya jadi biasa. Kalau semua orang ngomong langsung, ya, nggak ada kejutan, kan? Aku pengen sesuatu yang bikin kamu mikir, dan kamu pasti bisa ngerti kalau aku udah kasih tanda-tanda.”
“Jadi, ini lebih ke permainan, ya?” tanyaku, menahan tawa yang mulai keluar.
“Tentu!” jawabnya dengan antusias. “Tapi juga lebih dari itu. Cinta itu nggak harus kaku. Kalau bisa pakai kode-kode lucu, kenapa enggak?”
Aku menggelengkan kepala, namun senyum lebar tak bisa aku sembunyikan. “Kamu ini gila, tahu nggak sih? Tapi aku jadi nggak bisa berhenti mikirin kamu.”
Siska tertawa dan menepuk pundakku. “Itu yang aku harapkan! Jadi, kamu suka?”
Aku terdiam sejenak. Rasa itu datang begitu cepat, begitu tak terduga. Cinta—walaupun tidak diungkapkan dengan kata-kata yang biasa, atau melalui cara yang umum—ternyata bisa terasa begitu nyata. Mungkin bukan cinta yang penuh dengan romantisme klise. Mungkin cinta itu lebih seperti sandi pramuka yang sederhana, yang hanya bisa dimengerti oleh dua orang yang sama-sama ingin mengerti.
“Suka?” Aku menatap matanya, merasa sedikit malu. “Entahlah. Tapi aku merasa ini beda dari yang lain.”
Siska tersenyum penuh kemenangan. “Nah, itu yang aku ingin dengar! Cinta itu, Kaja, memang nggak harus biasa. Dan aku senang kamu bisa ngerasain itu.”
Kami berjalan bersama menuju tenda pramuka, bergandengan tangan. Rasanya aneh, tapi juga manis. Di tengah-tengah semua permainan sandi yang konyol ini, aku mulai merasa bahwa aku mungkin sedang jatuh cinta pada gadis yang sedikit gila ini—gadis yang lebih memilih untuk mengungkapkan perasaan melalui kode daripada kata-kata biasa. Mungkin, cinta yang tak terduga ini memang lebih indah karena semuanya dimulai dengan sebuah sandi.
Cinta yang Tersandi
Waktu berlalu begitu cepat. Aktivitas pramuka yang kami jalani semakin intens, dan setiap momen bertemu dengan Siska seolah menjadi bagian dari rutinitas baru dalam hidupku—rutinitas yang tak pernah ku kira akan mengarah ke arah ini. Di antara latihan tali-temali, mencari arah dengan kompas, dan rapat-rapat kecil, ada sesuatu yang lebih, yang tumbuh begitu halus di antara kami berdua. Cinta kami, meski tak pernah diungkapkan dengan kata-kata biasa, sudah sangat terasa. Kami punya sandi yang hanya kami mengerti, yang mengikat kami lebih kuat daripada sekadar ucapan.
Hari itu, kami berkumpul di tengah lapangan pramuka setelah selesai semua kegiatan. Matahari yang hampir tenggelam memberi cahaya keemasan di seluruh area, menyelimuti kami dalam nuansa yang begitu tenang. Tenda-tenda berwarna hijau dengan tulisan “PRAMUKA” di atasnya tampak begitu sempurna di bawah langit sore. Aku merasa seperti semua ini—kehadiran Siska, perasaan ini—adalah bagian dari perjalanan yang lebih besar, yang lebih penting daripada sekadar bermain-main dengan sandi.
Siska berjalan mendekat dengan senyum khasnya yang tak pernah pudar, bahkan di tengah kesibukan. Tangan kanannya membawa sesuatu yang kecil, sebuah kotak kayu. “Hei, Kaja,” katanya sambil memegang kotak itu di depan wajahku. “Aku punya satu pesan terakhir untukmu.”
Aku mengernyit, sedikit bingung. “Pesan terakhir?” tanyaku, merasa aneh. “Apa lagi kali ini, Siska?”
Siska cuma tertawa ringan. “Sandi. Tapi kali ini, kamu nggak perlu nebak-nebak lagi, kok. Aku pengen ngomong langsung.” Matanya berbinar, dan aku bisa merasakan sesuatu yang berbeda dalam nada suaranya. Seakan ada sesuatu yang lebih dalam yang hendak dia ungkapkan.
Dia membuka kotak kayu itu perlahan, dan di dalamnya, terdapat sebuah cincin kecil dengan ukiran yang sangat sederhana, tapi penuh makna. “Aku nggak bisa ngasih kamu sandi lagi, Kaja. Cuma satu hal yang ingin aku bilang.”
Aku merasa jantungku berdegup keras, dan tanpa bisa ditahan, aku tersenyum. “Apa itu?”
“Aku suka kamu,” jawabnya, suara sedikit bergetar. “Lebih dari sekadar sandi, lebih dari sekadar kode, lebih dari sekadar bercanda. Aku bener-bener suka kamu. Dan aku berharap, kita nggak perlu lagi cari cara untuk mengungkapkan ini.”
Aku merasa dadaku sesak. Untuk pertama kalinya, kata-kata itu keluar dari mulutnya, tanpa ada teka-teki, tanpa ada sandi-sandi aneh. Hanya ada perasaan yang begitu tulus. “Siska,” aku berbisik, “Aku juga suka kamu.”
Dia tersenyum lebar, dan kami hanya saling menatap beberapa detik, membiarkan keheningan itu mengalir di antara kami. Tidak ada kata-kata yang lebih dibutuhkan. Hanya ada kami, di bawah langit sore yang menenangkan.
Dengan lembut, Siska mengulurkan tangan, menawarkan cincin itu. “Kalau kamu mau, aku mau kita jalan bareng, nggak pakai sandi lagi. Cuma kita berdua.”
Aku tersenyum, mengambil cincin itu dan mengenakannya di jari manisku. “Aku siap, Siska. Tanpa sandi.”
Kami tertawa bersama, menyadari bahwa cinta kami, yang dimulai dengan permainan sandi pramuka yang konyol, akhirnya menemukan jalan yang nyata. Kami berjalan berdampingan, menatap langit yang semakin gelap, sambil menyadari bahwa meskipun semua hal di sekitar kami bisa berubah, satu hal tetap sama: kami berdua telah menemukan cara untuk saling memahami, tanpa perlu kata-kata yang rumit. Cinta ini sederhana—seperti sandi yang dulu kami buat, namun kini terasa lebih jelas dan lebih indah dari sebelumnya.
Kami mungkin tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi satu hal yang pasti: cinta kami tak perlu lagi disandikan. Kami sudah menemukannya dalam bentuk yang paling murni, hanya dengan satu kata yang tak terucapkan—tapi cukup di hati.
Jadi, kadang cinta itu nggak perlu yang ribet dan formal. Kadang, cinta itu bisa dimulai dari hal-hal sederhana, bahkan konyol, kayak sandi pramuka yang cuma bisa dimengerti oleh dua orang yang saling suka.
Kaja dan Siska mungkin nggak tahu ke mana cerita ini bakal berakhir, tapi satu yang pasti, mereka udah nemuin cara untuk saling ngerti, tanpa perlu kata-kata rumit. Mungkin, cinta yang paling indah itu ya yang nggak perlu dijelaskan, cukup dirasakan aja. Gimana, siap nyobain cinta versi sandi juga?