Cinta dalam Diam: Kisah Romantis Adik Kelas yang Berani

Posted on

Jadi, bayangin deh kamu lagi duduk di kelas, terus ngeliat kakak kelas yang bikin jantung berdebar, tapi kamu cuma bisa diem dan ngerasa canggung. Nah, itu lah yang dialami Yuna! Dengan segala awkward-nya, dia berusaha mengungkapin perasaan ke Naka, si kakak kelas yang keren itu. Yuk, simak perjalanan lucu dan penuh harapan mereka, yang bikin kamu pengen nyari cinta dalam diam juga!

 

Cinta dalam Diam

Sepotong Rindu di Koridor Sekolah

Pagi di sekolah selalu punya nuansa yang khas. Bau rumput basah yang baru dipangkas, suara langkah sepatu yang menggema di sepanjang koridor, dan sesekali suara tawa riang dari siswa-siswi yang tengah bercanda di bangku panjang depan kelas. Aku selalu menyukai pagi, tapi tidak pernah ada pagi yang seistimewa ini.

Langkahku terasa sedikit lebih cepat. Bukan karena aku terburu-buru, tapi karena hari ini aku tahu dia akan ada di sana—Naka, kakak kelas yang selama ini mengisi pikiranku tanpa pernah benar-benar tahu keberadaanku. Sosok yang selalu bikin debar jantungku terasa tidak wajar setiap kali melihatnya, meski hanya sekilas.

Kelas XI dan XII biasanya baru memulai pelajaran setelah kami, anak kelas X, sudah masuk lebih dulu. Tapi, pagi ini sedikit berbeda. Saat melewati lorong menuju kelas, aku melihat sosoknya di ujung, berdiri bersama teman-temannya. Naka, dengan postur tubuh tegapnya, sedang tertawa kecil sambil merapikan tali sepatu di dekat ruang ganti basket.

Dari jarak ini, dia kelihatan begitu tenang. Baju seragamnya sedikit kusut, mungkin karena terburu-buru tadi pagi, tapi justru itulah yang membuatnya terlihat lebih… nyata. Bukan hanya kapten basket yang sempurna, tapi seseorang yang bisa kusentuh—meski dalam khayalan.

Nysha, sahabatku yang selalu terlalu energik, menabrakku dari belakang. “Eh, lo liatin siapa sih? Naka lagi?” katanya sambil tertawa kecil.

Aku mendengus pelan, meski wajahku pasti sudah memerah. “Udah, deh! Nggak usah gangguin gue!”

“Lo kebanyakan liatin dia, bisa-bisa kita telat masuk kelas,” canda Nysha sambil menarik tanganku agar kami berjalan lebih cepat. Tapi aku malah memperlambat langkah, berusaha mencuri pandang ke arah Naka sekali lagi. Wajahnya terhalang oleh rambut yang jatuh ke dahi, tapi senyumnya masih terpancar jelas. Hangat, seperti sinar matahari pagi yang baru muncul.

Di saat itu, aku merasakan perasaan aneh yang selalu datang setiap kali melihatnya. Ada jarak di antara kami. Jarak yang bukan hanya tentang ruang, tapi juga tentang dunia yang terasa terlalu berbeda. Aku, seorang gadis biasa yang suka menghabiskan waktu di perpustakaan dan tidak pernah terlalu suka sorotan. Sedangkan dia, sang kapten basket yang selalu dikelilingi oleh banyak orang, baik teman maupun penggemar.

“Yuna, serius lo harus mulai ngomong sama dia. Nggak usah diem-diem terus,” Nysha menepuk pundakku lagi, kali ini lebih keras.

Aku meliriknya dengan kesal. “Ngomong apa? Gue nggak bisa tiba-tiba nyapa, ‘Eh, Kak Naka, gue udah liatin lo sejak MOS setahun lalu. Gimana, tertarik sama gue?’”

Nysha tertawa terbahak-bahak, membuat beberapa orang yang lewat menoleh ke arah kami. “Gila, lo lucu banget. Ya nggak harus kayak gitu juga kali! Lo bisa mulai dengan, I don’t know, ‘Hai, Kak Naka, gue Yuna. Lo main basket keren banget, deh!’”

Aku meringis, membayangkan bagaimana kata-kata itu akan terdengar aneh keluar dari mulutku. “Ah, nggak mungkin. Dia pasti nggak bakal inget gue siapa. Gue cuma salah satu anak baru yang nggak ada bedanya sama yang lain.”

“Lo nggak tau itu,” jawab Nysha sambil mengangkat bahu. “Lo nggak pernah tau sampai lo nyoba.”

Percakapan kami terhenti saat bel masuk berbunyi, menandakan waktu belajar telah dimulai. Aku dan Nysha bergegas ke kelas, tapi di sepanjang jalan, bayangan Naka masih menempel kuat di pikiranku. Saat aku duduk di kursi belajarku, pikiranku sudah jauh melayang, membayangkan momen ketika aku akhirnya bisa memberanikan diri untuk berbicara dengannya.

Tapi, hari itu masih terasa jauh.

Waktu terus berjalan, dan semakin hari perasaanku pada Naka makin kuat. Aku semakin sering menemukannya dalam pikiranku, bahkan ketika aku seharusnya fokus di kelas atau di rumah. Setiap kali aku melihatnya, entah itu di kantin atau di lapangan basket, ada getaran kecil di dadaku yang tidak bisa kuhentikan.

Di sela-sela obrolan kami, Nysha selalu menyemangati aku untuk lebih berani. “Lo mau kayak gini terus sampai dia lulus? C’mon, Yun, jangan jadi penonton dalam hidup lo sendiri.”

Aku hanya bisa mengangkat bahu setiap kali dia berkata begitu. Nysha benar, tentu saja. Tapi bagaimana bisa aku menghapus ketakutan itu? Takut ditolak, takut diabaikan. Jauh di dalam hati, aku tahu alasan terbesar kenapa aku tidak pernah berani menyapa Naka: aku takut jika dia tahu, perasaanku akan berubah. Mungkin dia hanya akan melihatku seperti teman-temannya yang lain—biasa saja.

Namun, meskipun aku selalu bersembunyi di balik tembok ketakutan itu, aku tidak pernah berhenti memperhatikan Naka. Setiap pagi, ketika aku lewat di koridor yang sama, aku berharap bisa melihat sosoknya lagi, tersenyum sambil berjalan bersama teman-temannya. Bahkan hanya sepintas, cukup untuk membuat hariku terasa lebih baik.

Dan di sinilah aku sekarang, duduk di bangku panjang dekat pintu gerbang, menunggu jam pulang. Naka baru saja selesai latihan basket, dan aku melihatnya keluar dari lapangan dengan kaus basah karena keringat. Dia bicara dengan teman-temannya, sementara aku, lagi-lagi, hanya bisa mengamati dari kejauhan.

“Yun, dia nggak bakal gigit, kok,” kata Nysha yang entah dari mana muncul tiba-tiba di sebelahku.

Aku mendengus. “Lo nggak ngerti.”

“Tentu gue ngerti! Lo cuma nggak pernah kasih diri lo kesempatan. Siapa tau dia juga suka lo, tapi lo nggak pernah kasih tanda!”

Suka aku? Nysha terlalu optimis. Bagaimana mungkin seorang Naka, kapten basket keren, mau memperhatikan gadis biasa yang bahkan tidak pernah berani menyapanya?

Nysha berdiri, lalu menepuk pundakku dengan lembut. “Denger ya, lo punya waktu sampai dia lulus buat ngelakuin sesuatu. Kalau nggak, siap-siap nyesel, Yun.”

Aku hanya bisa terdiam, melihat Naka yang semakin jauh melangkah pergi bersama teman-temannya. Benar, mungkin aku memang harus melakukan sesuatu. Tapi keberanian itu, rasanya masih sangat jauh dari jangkauanku.

Malamnya, sebelum tidur, aku merenung di kasurku. Pikiran tentang Naka kembali datang, memenuhi kepalaku. Kali ini, lebih kuat dari sebelumnya. Rasa rindu yang selama ini kugenggam erat di hati terasa semakin sulit untuk disimpan sendiri. Nysha benar. Jika aku tidak pernah mencoba, aku akan selamanya diam, merindukan seseorang yang bahkan tidak pernah tahu aku ada.

Aku menutup mataku perlahan, membiarkan bayangan Naka hadir dalam pikiranku untuk yang kesekian kalinya. Mungkin, esok aku akan punya cukup keberanian. Mungkin.

Tapi untuk saat ini, rindu ini tetap tersimpan dalam diam—seperti biasanya.

 

Tatapan yang Tak Terbalas

Esok paginya, suasana sekolah masih sama. Koridor panjang dengan deretan loker yang sesekali dibuka-tutup oleh siswa, bunyi langkah kaki yang tergesa, dan sorakan kecil dari arah lapangan basket. Aku berdiri di depan cermin kamar mandi perempuan, menatap pantulan wajahku sendiri. Rambutku sudah kutata lebih rapi dari biasanya. Seragamku juga kusetrika dengan sangat hati-hati, seolah-olah penampilanku hari ini akan membuat perubahan besar.

Ini konyol, sebenarnya. Aku tahu penampilan bukanlah segalanya, tapi tetap saja, ada rasa gugup yang terus-menerus menghantui pikiranku setiap kali berpikir tentang Naka. Hari ini, aku sudah berjanji pada diri sendiri. Aku akan mencoba. Setidaknya, menyapa. Tidak akan ada lagi melarikan diri atau bersembunyi di balik punggung Nysha.

“Yuna, lo siap belum? Ayo, kita ke perpustakaan dulu sebelum bel masuk,” Nysha muncul di pintu kamar mandi, melirikku dengan tatapan penasaran.

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. “Iya, bentar lagi.”

Kami berdua berjalan pelan menyusuri lorong, menuju perpustakaan. Jujur saja, aku memang sedikit lebih suka suasana perpustakaan pagi-pagi. Biasanya belum banyak orang, dan tempat itu memberi ruang untukku berpikir—terutama tentang bagaimana caranya menghadapi perasaan yang terus-menerus tumbuh setiap kali aku melihat Naka.

Saat kami memasuki perpustakaan, ruangan itu sepi. Suara langkah kaki Nysha yang ceria terasa agak mengganggu ketenangan, tapi aku sudah terbiasa dengan energinya. Kami memilih meja di sudut, dan aku mulai membuka buku yang seharusnya kucatat, tapi pikiranku kembali melayang.

Lalu, tiba-tiba pintu perpustakaan terbuka. Dan di sanalah dia—Naka. Langkahnya santai seperti biasa, tapi ada aura tertentu yang membuatnya tampak berbeda di antara yang lain. Dia membawa buku tebal yang pasti untuk tugas sekolah, sementara dua orang temannya berjalan di belakangnya, bercanda tentang hal-hal yang tidak kupahami. Jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya.

“Yun, itu Naka kan?” Nysha berbisik sambil menyikut lenganku.

Aku mengangguk, menelan ludah. Ini mungkin kesempatan yang kutunggu-tunggu, tapi mengapa tiba-tiba rasanya sangat sulit? Tanganku terasa dingin, dan tiba-tiba otakku seperti berhenti bekerja.

Naka mendekat, mengambil tempat duduk di meja tak jauh dari kami. Sebenarnya dia tidak menyadari keberadaanku. Bagaimana bisa, jika aku bahkan tak pernah berani menatapnya langsung? Aku ingin berbicara dengannya, tapi rasanya ada ribuan kata yang menumpuk di tenggorokanku, tak bisa keluar.

“Halo, Naka!” suara Nysha yang tiba-tiba melambung membuatku tersentak. Aku menoleh cepat ke arahnya, memandang tak percaya. Dia benar-benar melakukannya—menyapa Naka!

Naka menoleh ke arah kami. Mata cokelatnya yang hangat terfokus pada Nysha, lalu bergerak sedikit ke arahku. “Oh, hai,” balasnya singkat, dengan senyum kecil yang selalu membuatku terdiam.

Dalam hitungan detik, aku merasa tenggelam dalam tatapannya, meski hanya sesaat. Dia kembali fokus pada bukunya, seolah sapaan itu tak lebih dari sekedar basa-basi biasa. Namun, bagi hatiku, momen itu seperti ledakan kecil yang menggema tanpa henti.

Nysha mengerling padaku, wajahnya menunjukkan ekspresi puas. “Lihat, nggak sesusah itu, kan?” bisiknya pelan sambil tersenyum lebar.

Tapi aku tak bisa membalas ucapannya. Sebaliknya, aku hanya menunduk, merasa sangat kecil. Mungkin benar, tidak susah untuk menyapa. Tapi bagaimana dengan percakapan yang sesungguhnya? Bagaimana aku bisa berbicara dengannya tanpa terlihat konyol atau canggung?

Pelajaran di kelas hari itu berlalu tanpa benar-benar kupahami. Pikiranku terlalu sibuk memutar ulang kejadian di perpustakaan. Tatapan singkat dari Naka, suara sapaan singkatnya, dan bagaimana rasanya seakan tidak ada yang berubah. Dia masih Naka yang sama—jauh di atas sana, sementara aku tetap di sini, tersembunyi di sudut-sudut yang sunyi.

Nysha, tentu saja, tidak berhenti menyemangatiku. Saat kami duduk di kantin saat istirahat, dia terus membahas tentang betapa “normalnya” Naka. “Dia itu manusia, Yun, bukan dewa atau apa. Kalau lo nggak mulai sekarang, lo nggak bakal tau dia sebenernya kayak gimana.”

Aku menghela napas panjang, memandangi kerumunan di sekitar kami. “Gue cuma nggak mau terlihat bodoh. Lo tau gue nggak jago ngomong sama orang yang gue suka. Gue nggak mau bikin malu.”

Nysha mengangkat bahu. “Malu kenapa? Malu itu cuma ada di kepala lo, Yun. Lagian, kalau lo nggak nyoba, lo bakal terus kayak gini—ngelihat dia dari jauh tanpa pernah tau apa yang sebenernya lo bisa dapet.”

Aku tahu dia benar. Tapi kenyataannya, rasa takut itu masih ada. Terlalu besar untuk diabaikan, terlalu kuat untuk ditaklukkan.

Hari demi hari berlalu, dan aku masih belum melakukan apa-apa. Pagi itu, aku kembali melewati koridor yang sama, berharap bisa melihat Naka lagi. Hanya sekedar melihat, seperti biasanya. Tapi kali ini, ada yang berbeda. Aku melihat dia sendirian di loker, tidak seperti biasanya ketika dia selalu dikelilingi teman-temannya.

Jantungku berdetak lebih cepat. Ini mungkin kesempatan yang kutunggu—waktu di mana aku bisa memberanikan diri untuk mendekat, tanpa terganggu orang lain. Tapi kaki ini, rasanya seperti tertahan di lantai. Aku tidak tahu harus berkata apa. Kata-kata yang sudah kurencanakan berkali-kali dalam kepala terasa menguap begitu saja.

Namun, tiba-tiba langkahku terhenti. Naka menutup lokernya dan berbalik, tanpa sengaja menatap ke arahku. Mata kami bertemu lagi, kali ini sedikit lebih lama. Aku bisa merasakan wajahku memanas, tapi entah mengapa, kali ini aku merasa sedikit lebih tenang.

“Hai,” Naka tersenyum lagi. Lebih jelas kali ini, lebih hangat.

Aku mencoba balas tersenyum, meski bibirku terasa kaku. “Hai, Kak Naka,” jawabku dengan suara yang hampir tak terdengar.

Dia berhenti sejenak, memiringkan kepalanya sedikit. “Kamu anak kelas X, kan? Gue sering lihat lo sama Nysha di kantin.”

Aku mengangguk, merasa lidahku terikat. Dia ingat! Ini mungkin hal kecil baginya, tapi bagi hatiku, ini adalah sesuatu yang besar. “Iya, aku Yuna,” kataku pelan, berharap suaraku terdengar lebih percaya diri.

Naka mengangguk lagi, lalu tiba-tiba tertawa kecil. “Nysha kayaknya suka banget bercanda ya? Gue sering liat dia ngerjain orang di kantin.”

Aku tertawa canggung. “Iya, Nysha memang gitu. Kadang suka keterlaluan.”

Pembicaraan kami terhenti di sana, tapi rasanya seperti lompatan besar untukku. Aku berhasil bicara dengan Naka, walau hanya percakapan ringan. Hanya dalam beberapa detik, hariku terasa jauh lebih baik.

Dan saat dia melangkah pergi, meninggalkanku sendirian di lorong, aku menyadari satu hal—aku ingin lebih. Aku ingin lebih dari sekedar percakapan singkat ini. Mungkin, hanya mungkin, aku bisa memulai sesuatu yang lebih besar.

Namun, di saat yang sama, bayangan tentang perasaanku yang tak terbalas juga mulai menghantui. Apa yang akan terjadi jika aku benar-benar menyatakan perasaan ini? Bagaimana jika ternyata dia tidak pernah melihatku lebih dari sekedar adik kelas? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepalaku tanpa henti.

Tapi untuk hari ini, aku merasa cukup puas dengan apa yang telah terjadi. Setidaknya, aku tidak lagi menjadi bayangan yang tak terlihat. Mungkin, ini adalah awal yang baik.

 

Mendekat dalam Kebingungan

Pagi itu, aku berjalan memasuki sekolah dengan sedikit lebih percaya diri. Setelah percakapan singkat dengan Naka kemarin, rasanya seperti ada harapan baru. Meski obrolan kami mungkin tidak lebih dari sekedar basa-basi, tetap saja, itu adalah langkah pertama. Di dalam kepalaku, skenario-skenario percakapan yang lebih panjang mulai berputar. Setiap kata dan ekspresi yang mungkin keluar dari mulutku kucoba susun sedemikian rupa agar terdengar alami, meski kenyataannya setiap kali bertemu dengannya, kata-kata itu selalu hilang.

“Lo senyum-senyum sendiri, Yun. Ada apa?” Nysha menepuk pundakku, menghentikan lamunan pagi-pagiku.

Aku menoleh cepat, tersadar dari pikiranku. “Enggak, gue cuma… mikir aja,” jawabku, berusaha terdengar normal.

Nysha memicingkan mata, jelas tidak percaya. “Mikir soal Naka, kan?” Dia tertawa kecil, membuat beberapa siswa yang lewat melirik ke arah kami.

Aku menepuk lengannya pelan, merasa sedikit malu. “Udahlah, jangan berisik. Orang-orang ngelihatin.”

“Ya biarin aja. Harusnya lo bangga, akhirnya ngobrol juga sama Kak Naka. Kalau gue jadi lo, gue pasti udah cerita ke seluruh dunia,” dia tertawa lagi, kali ini lebih pelan.

Aku tersenyum tipis, tapi jantungku berdebar lebih cepat saat memikirkan obrolan singkat kemarin. Sebenarnya, aku ingin cerita ke Nysha, tapi rasanya masih terlalu dini. Lagi pula, apa yang bisa kubanggakan? Hanya sapaan sederhana.

Kami terus berjalan menuju kelas, dan aku merasa sedikit lebih tenang. Tapi ketenangan itu tidak bertahan lama. Di persimpangan koridor, sosok yang familiar muncul lagi. Naka, dengan langkah santai, sedang berjalan ke arah yang berlawanan. Dia tidak sendirian—kali ini ditemani dua teman dekatnya, seperti biasa. Jantungku kembali berdebar kencang.

“Yun, tuh dia!” Nysha membisikkan kata-kata itu dengan semangat, padahal aku sudah tahu siapa yang sedang dia bicarakan. Naka—lagi-lagi.

Dia melihat ke arah kami, tepat di saat aku sedang mencari cara untuk menyembunyikan kegugupanku. Jantungku serasa mau meloncat dari dada ketika mata kami bertemu. Senyumnya yang hangat kembali muncul, dan sebelum aku sempat mengelak, dia melambaikan tangan.

“Hai, Yuna,” suaranya terdengar jelas meski jarak di antara kami masih cukup jauh. Teman-temannya sedikit terkejut melihat Naka menyapaku, tapi aku terlalu sibuk menenangkan diri untuk peduli.

“Hai, Kak Naka,” jawabku sambil tersenyum canggung, berharap kata-kataku tidak terdengar gemetar. Nysha menepuk pundakku lagi, kali ini lebih pelan, seolah mendukung dari belakang.

Naka berhenti beberapa langkah dari kami. “Lo sibuk gak nanti pulang sekolah?”

Pertanyaan itu datang seperti petir di siang bolong. Aku bahkan tidak tahu harus menjawab apa. Sibuk? Tidak sibuk? Kenapa dia bertanya begitu?

“Emm… nggak, sih. Kenapa Kak?” Aku mencoba terdengar santai, meski dalam kepalaku, ribuan skenario mulai bermunculan.

Naka tersenyum, kali ini sedikit lebih lebar. “Gue sama anak-anak mau main basket sore ini. Mungkin lo mau dateng nonton?”

Aku hampir terdiam di tempat. Nonton Naka main basket? Bersama anak-anak yang lain? Di mana aku mungkin jadi satu-satunya cewek di sana? Rasanya seperti mimpi yang terlalu berani untuk kubayangkan.

Nysha, tentu saja, langsung bereaksi. “Wah, seru tuh, Yun! Lo harus dateng!”

Aku menoleh padanya dengan tatapan yang mengatakan, “lo nggak ngebantuin gue,” tapi Nysha hanya tertawa kecil, menatap Naka dengan antusias.

“Aku… ya, mungkin bisa,” jawabku akhirnya, meski di dalam hati aku ragu.

Naka mengangguk, puas. “Oke, sampai nanti sore, ya.”

Dia melanjutkan langkahnya, meninggalkan aku yang masih bingung antara perasaan senang dan cemas. Nysha, tentu saja, langsung memanfaatkan momen itu untuk menggoda.

“Nah, tuh, kesempatan emas! Lo mau nonton Kak Naka main basket, langsung dari pinggir lapangan lagi!”

Aku menghela napas, mencoba memahami situasi yang barusan terjadi. “Tapi, lo tau gue nggak suka keramaian, kan? Dan gue nggak pernah nonton basket sebelumnya. Gimana kalau gue kelihatan kayak orang aneh?”

Nysha tertawa, menepuk-nepuk pundakku dengan geli. “Santai aja, Yun. Lo cuma perlu duduk di pinggir dan nonton. Nggak perlu ngerti aturan basket kok, yang penting lo liat Kak Naka main.”

Sore itu, dengan perasaan campur aduk, aku berangkat menuju lapangan basket sekolah. Langit mulai memerah, menandakan matahari yang perlahan tenggelam di ujung horizon. Langkahku terasa berat, tapi ada rasa penasaran yang tak bisa kutahan. Mungkin, sore ini bisa menjadi kesempatan untuk lebih dekat dengannya.

Saat sampai di lapangan, suasana sudah ramai. Beberapa anak laki-laki sedang bermain bola, sementara yang lain duduk di bangku penonton, bersorak untuk teman-temannya yang sedang bertanding. Aku berdiri di pinggir lapangan, mencari sosok Naka di tengah keramaian.

Dan di sanalah dia, berlari dengan lincah di tengah permainan. Keringat membasahi rambutnya, tapi senyumnya tetap terlihat jelas. Setiap kali dia melompat, setiap kali dia menggiring bola, ada sesuatu yang memikat dalam gerakannya. Sesuatu yang membuatku sulit berpaling.

Aku merasa jantungku berdetak lebih cepat. Rasanya aneh berada di sini, menyaksikan Naka dari jarak sedekat ini. Biasanya aku hanya melihatnya dari kejauhan, di lorong-lorong sekolah atau perpustakaan, tapi kali ini… rasanya berbeda.

Nysha datang tak lama kemudian, langsung duduk di sebelahku dengan wajah ceria. “Lihat tuh, Naka keren banget, kan?”

Aku mengangguk pelan, meski sebenarnya aku masih terlalu gugup untuk benar-benar memperhatikan permainannya. “Iya… dia bagus main basket.”

“Lo harus lebih berani, Yun. Lo udah dapet perhatian dia, sekarang tinggal gimana caranya lo lebih deket lagi,” Nysha berkata dengan nada yang sedikit lebih serius dari biasanya.

Aku hanya bisa tersenyum tipis. Berani. Kata itu selalu terdengar mudah diucapkan, tapi sulit dilakukan. Apalagi dengan perasaan yang masih tak terbalas ini.

Permainan berakhir setelah beberapa putaran, dan Naka mendekat ke arah kami dengan langkah santai, wajahnya masih basah oleh keringat. “Thanks udah dateng, Yuna. Lo suka nonton, kan?”

Aku mengangguk, meski dalam hati aku tahu jawabannya sedikit lebih rumit. “Iya, seru kok. Kamu mainnya bagus banget.”

Naka tersenyum lagi, kali ini lebih lebar. “Kalau gitu lo harus dateng lagi kapan-kapan. Gue sering main sore-sore.”

Aku mencoba menahan senyumku, tapi rasanya sulit. “Iya, nanti aku coba.”

Dia tertawa kecil, lalu berjalan menjauh bersama teman-temannya. Meninggalkan aku dan Nysha yang masih duduk di pinggir lapangan. Jantungku masih berdebar kencang, tapi kali ini ada perasaan hangat yang menyelimuti hatiku. Mungkin, ini awal yang lebih baik dari yang kubayangkan.

Tapi malam harinya, ketika aku merenung sendirian di kamar, perasaan ragu kembali menghampiri. Apa benar Naka melihatku lebih dari sekedar adik kelas? Ataukah semua ini hanya karena aku sering berada di dekat Nysha? Aku tak bisa memungkiri bahwa Naka selalu bersikap baik padaku, tapi apakah itu berarti dia merasakan hal yang sama?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalaku, tak memberiku ruang untuk tenang. Aku menyukai Naka, itu pasti. Tapi apakah perasaan ini akan terus menjadi cinta yang hanya ada di dalam diam?

 

Menemukan Keberanian

Malam itu, aku berbaring di ranjang dengan mata terpejam, tapi pikiranku tak kunjung tenang. Seluruh kejadian sore tadi terus terulang dalam ingatanku. Naka, senyumnya, permainannya, dan harapan yang mulai tumbuh di antara kami. Kegugupan ini seperti gelombang yang tak henti-hentinya menghempaskanku, membuatku ingin melompat dan berteriak, tetapi juga ingin bersembunyi dari semua itu.

Keesokan harinya, di sekolah, aku tidak bisa memikirkan hal lain kecuali Naka. Setiap kali melihatnya di kantin atau saat kami berpapasan di lorong, rasa canggung itu kembali muncul. Terlebih lagi, nyatanya kami berinteraksi lebih sering daripada sebelumnya. Setiap sapaan dari Naka selalu membuat jantungku berdebar. Mungkin ini saatnya untuk mencari tahu lebih jauh tentang perasaanku.

Saat pelajaran terakhir berakhir, aku memutuskan untuk mengambil langkah berani. Melihat Naka yang sedang duduk di bangku, dikelilingi oleh teman-temannya, aku mengumpulkan keberanian dan berjalan ke arahnya. Hati berdebar kencang, kakiku terasa berat, tapi aku tahu ini adalah saat yang tepat.

“Kak Naka,” aku memanggilnya, suara sedikit bergetar. Semua mata di sekeliling menatapku.

Dia menoleh, terkejut, lalu tersenyum. “Yuna! Ada apa?”

“Aku mau tanya,” jawabku, mengatur napas agar tidak terdengar panik. “Kamu mau main basket lagi sore ini?”

Naka mengangguk, matanya berbinar. “Tentu! Lo mau dateng lagi? Kita bisa main bareng kalau mau.”

Aku tidak menyangka akan mendapatkan kesempatan itu. “Main bareng? Aku, Kak Naka?”

Dia tertawa kecil, membuatku merasa sedikit lebih santai. “Iya, kenapa enggak? Kita butuh orang baru di tim. Seru banget, lo pasti bisa!”

Rasa canggung yang sempat meliputi hatiku perlahan mulai menghilang. “Kalau gitu, aku mau coba deh.”

Dia tersenyum lagi, dan kali ini aku merasakan jantungku berdetak lebih tenang. “Bagus! Sampai sore ya, Yuna.”

Setelah itu, aku kembali ke kelas dengan semangat baru. Rasanya seperti sebuah perubahan kecil, tapi cukup berarti. Nysha menunggu di dekat pintu kelas, penasaran dengan apa yang terjadi.

“Gimana? Lo ngomong sama Naka?” tanyanya dengan antusias.

“Iya, dan dia ngajakin aku main basket sore ini!” jawabku, berusaha menunjukkan betapa senangnya aku.

“Wah, lo harus berusaha lebih dekat lagi sama dia! Lo bisa jadi jagoan di lapangan!” Nysha bersemangat.

Sore itu, aku datang ke lapangan basket dengan lebih percaya diri. Melihat Naka sudah menunggu di sana, dikelilingi oleh teman-temannya yang sedang menghangatkan badan. Dia melihatku dan melambai, senyumnya menular ke seluruh wajahku. Aku merasa sedikit canggung, tapi semangatku lebih mengalahkan rasa takut.

“Yuna, lo siap?” Naka bertanya, seolah bisa merasakan kecemasan di wajahku.

“Siap!” jawabku, berusaha meyakinkan diri sendiri.

Kami mulai bermain, dan meskipun aku tidak mahir, aku berusaha sebaik mungkin. Naka membantu dan memberikan semangat, membuatku merasa lebih percaya diri. Dia menjelaskan aturan dengan sabar, dan setiap kali aku berhasil mencetak poin, senyumnya membuatku merasa seperti bintang.

Saat permainan berlangsung, aku mulai menyadari bahwa aku tidak hanya menyukainya karena penampilannya. Cara dia bersikap, cara dia menghargai semua orang di sekelilingnya, semuanya membuatku semakin tertarik. Ada sesuatu yang dalam diri Naka yang membuatku merasa nyaman, seolah kami sudah mengenal satu sama lain lebih dari sekadar kakak kelas dan adik kelas.

Di tengah permainan, aku mendapati Naka menatapku lebih lama dari biasanya, seolah ada sesuatu yang ingin dia katakan. Jantungku berdebar kencang saat dia mendekat, menjauhkan diri dari kerumunan.

“Yuna,” dia memanggilku, suaranya terdengar lebih serius. “Gue senang lo bisa dateng hari ini. Lo benar-benar hebat.”

Aku merasakan warna merah menjalar ke pipiku, terkejut dengan pujian itu. “Gue… masih belajar, kok.”

Dia tertawa, suaranya terdengar hangat. “Tapi lo punya semangat yang bagus. Itu yang penting.”

Kami berdiri di sana, berdua di tepi lapangan, jauh dari keramaian. Rasa gugupku kembali muncul. Apakah ini saatnya aku menyatakan perasaanku? Sebuah keberanian muncul di dalam diriku. “Kak Naka, aku mau bilang sesuatu.”

“Ya?” Dia menatapku dengan penuh perhatian, seolah siap mendengar.

“Iya, aku… suka sama kamu,” kataku, tanpa bisa mengendalikan diri. “Sejak lama.”

Tapi alih-alih kaku, senyum lebar merekah di wajahnya. “Gue juga, Yuna. Selama ini, gue selalu senang setiap kali liat lo. Dan sekarang, bisa deket sama lo, rasanya luar biasa.”

Rasa lega mengalir dalam diriku. Ternyata, semua rasa canggung dan keraguan itu tidak sia-sia. Kami berdiri di sana, berbagi senyum dan tawa, merasakan hal-hal baru yang tumbuh di antara kami. Saat itu, aku tahu cinta dalam diam tidak lagi ada, digantikan oleh kehadiran yang semakin nyata.

Kami tidak perlu lagi bersembunyi. Di sinilah kami, di tengah lapangan basket, menemukan keberanian untuk saling mengungkapkan perasaan. Dengan senyum dan tawanya, Naka mengubah pandanganku tentang cinta—bukan sekadar rasa yang tersimpan dalam hati, tetapi juga keberanian untuk mengungkapkan. Dan mulai saat itu, semua yang tak terucap menjadi sebuah cerita baru yang dimulai.

 

Jadi, cerita ini bukan cuma tentang Yuna dan Naka, tapi juga tentang kita semua yang pernah ngerasain cinta dalam diam. Kadang, keberanian untuk mengungkapkan perasaan bisa membuka jalan menuju hal-hal indah yang nggak pernah kita bayangkan.

Siapa tahu, setelah membaca ini, kamu juga jadi berani untuk menyampaikan perasaanmu. Jadi, jangan takut, ya! Siapa tahu, cinta yang kamu simpan di dalam hati ternyata juga nunggu untuk diungkapkan. See you guyss!!

Leave a Reply