Cinta dalam Diam: Cerita Romansa Remaja SMP yang Mengharukan

Posted on

Eh, kamu pernah nggak sih ngerasain suka sama orang, tapi bingung mau bilang apa? Nah, di sini ada cerita tentang Zevanna, cewek SMP yang terjebak dalam dunia puisi dan harapan.

Dengan segala kegalauan dan kegekaran remaja, dia berjuang buat ungkapin perasaannya ke si tampan Navin. Siapa tahu, kisah mereka bisa bikin kamu baper, atau bahkan ngingetin kamu sama cinta-cinta yang pernah ada di masa-masa itu! Yuk, intip perjalanan cinta dalam diam yang penuh harapan ini!

 

Cinta dalam Diam

Bisikan di Sudut Kelas

Senja mulai merayap pelan, memandikan ruang kelas dengan cahaya oranye yang lembut. Langit-langit kelas terasa sedikit lebih rendah setiap kali sore datang, seolah-olah semua yang ada di dalamnya ikut melembut, mereda dari riuhnya siang hari. Di pojok dekat jendela, Zevanna duduk sendirian, matanya setia mengamati buku catatannya. Namun, tangan yang menggenggam pensil tak pernah benar-benar bergerak menulis, malah sibuk mencoret-coret, membuat garis-garis tak berarti. Pikirannya sudah lama mengembara.

Jauh di seberang kelas, tepat di ujung yang paling sunyi, ada sosok yang selalu menarik perhatian Zevanna. Navin, cowok dengan rambut hitam berantakan dan hoodie abu-abu yang sudah jadi ciri khasnya. Selalu ada sepasang earphone terselip di telinganya, seakan-akan dia hidup di dunianya sendiri, terpisah dari hiruk-pikuk kelas.

Zevanna memandangi Navin dari jauh, kali ini lebih lama dari biasanya. Ia selalu mencoba memahami apa yang membuat Navin begitu menarik baginya. Bukan karena dia populer, karena kenyataannya Navin bukanlah tipe cowok yang banyak diomongkan orang. Bukan juga karena dia pintar secara akademis, meskipun nilai-nilainya tidak pernah buruk. Tapi ada sesuatu di mata Navin yang selalu membuat Zevanna merasa ingin tahu lebih jauh.

“Zev, udah selesai belum catatannya?” tiba-tiba suara Shera, sahabatnya, membuyarkan lamunan. Shera duduk di sampingnya, memainkan ujung pulpen dengan tidak sabar.

“Oh… belum,” jawab Zevanna sambil buru-buru menutup bukunya, berharap Shera tidak menyadari coretan-coretan tak berarti itu.

“Udah kebiasa ya ngelihatin Navin dari pojokan,” goda Shera dengan senyum jahilnya. “Ngaku aja deh, Zev. Aku udah tahu kamu suka dia.”

Zevanna tertawa pelan, meskipun ada sedikit ketegangan di sana. “Suka? Ya nggaklah, Sher. Aku cuma penasaran aja sama dia.”

Shera mengerutkan dahi, tapi senyum di wajahnya tidak pudar. “Penasaran? Iya deh, terserah kamu. Tapi udah jelas dari bulan lalu kamu terus-terusan lihat dia, Zev. Kamu pikir aku nggak sadar?”

Zevanna tersipu, pipinya memerah. “Aku… aku cuma… ya, aku cuma pengen tahu aja kenapa dia selalu sendirian. Kayaknya, dia jarang banget ngomong sama orang lain.”

Shera menatap Zevanna dengan mata tajam, seolah bisa menembus kebohongan kecil yang sedang Zevanna coba sembunyikan. “Ya udah, terserah deh. Tapi, menurut aku, kalau kamu emang penasaran, coba aja ngomong langsung sama dia. Siapa tahu, dia bakal cerita kenapa selalu duduk sendirian.”

Zevanna menghela napas pelan, mencoba tersenyum. “Ngomong sama dia? Sher, aku aja nggak yakin dia tahu aku ada di kelas ini.”

Shera tertawa keras, menarik perhatian beberapa siswa di sekitar mereka. “Zeva, kamu berlebihan. Kamu itu nggak kasat mata, kok! Lagian, kalau kamu mau, kamu pasti bisa bikin dia sadar.”

Zevanna menunduk, pura-pura merapikan buku catatannya yang berantakan. Ia tahu Shera hanya mencoba menyemangatinya, tapi masalahnya lebih rumit dari sekadar berani bicara. Ada sesuatu dalam cara Navin membawa dirinya yang membuat Zevanna merasa kecil, seolah-olah dunia mereka terlalu jauh terpisah, meskipun mereka duduk di ruang yang sama setiap hari.

Keheningan senja mulai merambah lebih dalam saat jam pelajaran terakhir hampir selesai. Guru Matematika masih asyik menulis soal di papan tulis, sementara sebagian besar murid sudah kehilangan fokus, menunggu bel berbunyi. Di saat-saat seperti ini, pikiran Zevanna sering kali melayang lebih jauh, seperti sekarang. Pandangannya sekali lagi tertuju ke arah Navin yang masih setia dengan earphone-nya.

Di kepalanya, Zevanna sering kali membayangkan skenario-skenario yang mustahil: bagaimana jika ia memberanikan diri menghampiri Navin? Bagaimana kalau suatu hari mereka berbicara, bahkan mungkin berteman? Tentu saja, semua itu hanya khayalan. Di dunia nyata, ia bahkan tak berani menyapa. Jangankan bicara, sekadar berjalan melewati mejanya saja membuat jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya.

Tapi, ada satu hal yang selalu membuat Zevanna bertahan dalam rasa sukanya yang diam-diam. Meski ia tahu, kemungkinan Navin tak pernah menyadari keberadaannya, ada sedikit harapan yang tumbuh setiap kali mereka berada di kelas yang sama, atau sekadar berbagi ruangan yang sama. Harapan kecil bahwa suatu hari, Navin mungkin akan melihatnya. Bahkan, sekadar menoleh pun, mungkin sudah cukup.

Bel berbunyi keras, membuyarkan semua pikiran Zevanna. Murid-murid mulai berkemas, suasana kelas mendadak riuh oleh suara tas yang diangkat dan kursi yang bergeser. Zevanna beranjak dari kursinya dengan gerakan lamban, seperti biasanya. Dia bukan tipe orang yang suka terburu-buru keluar kelas.

Namun, saat ia melangkah ke pintu, matanya kembali terpaku pada sosok Navin yang berdiri di dekat jendela. Ada sesuatu yang berbeda kali ini. Navin tidak buru-buru pergi seperti biasanya. Dia berdiri di sana, menatap langit yang mulai berubah warna menjadi merah keemasan. Earphone masih terpasang di telinganya, tapi wajahnya terlihat tenang, mungkin lebih tenang dari biasanya.

Zevanna berhenti sejenak, memperhatikan dari jauh. Ada rasa ingin tahu yang kuat, tapi di sisi lain, ketakutan itu masih menggantung di hatinya. Apa yang sedang dipikirkan Navin? Mengapa dia selalu menyendiri?

Dan untuk pertama kalinya, Zevanna merasakan dorongan kuat untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang ia belum pernah lakukan sebelumnya.

Namun, sebelum ia sempat melangkah, Shera tiba-tiba muncul di sampingnya, menarik tangannya keluar kelas. “Ayo, Zev! Kita harus cepetan sebelum kantin penuh!”

Zevanna mengangguk pelan, membiarkan Shera menariknya. Tapi pikirannya masih tertinggal di sana, bersama sosok Navin yang masih berdiri memandangi langit senja. Di dalam hatinya, Zevanna tahu, dia tak bisa terus seperti ini. Cepat atau lambat, ia harus melakukan sesuatu, atau selamanya hanya akan menjadi pengamat dari kejauhan. Namun, keberanian itu masih terasa terlalu jauh.

Mungkin esok, pikirnya. Atau mungkin minggu depan. Tapi entah kapan pun itu, Zevanna berharap, dia akan memiliki kesempatan untuk lebih dari sekadar menyukai Navin dalam diam.

Dan senja, yang menggantung di langit sekolah, menjadi saksi bisu dari perasaan yang belum terungkap.

 

Puisi yang Tersembunyi

Hari-hari berikutnya berlalu dengan ritme yang sama. Zevanna tetap mengamati Navin dari kejauhan, sembari mencoba mengumpulkan keberanian yang entah kapan akan cukup untuk sekadar menyapanya. Di setiap kesempatan, perasaan itu semakin tumbuh—tak hanya sebatas rasa penasaran lagi, tapi ada sesuatu yang lebih dalam, meski Zevanna tak berani menyebutnya cinta.

Pagi itu, Zevanna duduk di meja belajar kamarnya, matanya terfokus pada buku catatan yang terbuka di hadapannya. Namun, bukan catatan pelajaran yang ia tulis, melainkan kumpulan kata-kata yang mengalir begitu saja. Kata-kata yang sejak lama ia pendam dalam hati kini mulai terwujud dalam bentuk puisi—puisi yang tak akan pernah ia tunjukkan pada siapa pun.

“Terkurung dalam ruang yang bisu,
Suara tak pernah sampai di telingamu.
Aku hanyalah bayang di sudut,
Menghitung harap tanpa sebab yang cukup.”

Zevanna berhenti menulis, menatap lembaran itu lama. Perasaannya terhadap Navin terasa terlalu besar untuk ditahan, namun di saat yang sama terlalu kecil untuk diungkapkan. Setiap hari, ia menyimpan kata-kata itu, menumpahkannya dalam bentuk puisi yang semakin lama semakin memenuhi buku catatan kecilnya.

Ponselnya bergetar di ujung meja, membuatnya tersentak. Pesan dari Shera masuk:

“Zev, kamu udah denger soal festival puisi sekolah bulan depan? Kamu ikut, kan?”

Zevanna menatap pesan itu lama. Festival puisi? Ia memang pernah mendengar rencana tersebut, tapi tak pernah berpikir untuk ikut. Lagi pula, siapa yang mau mendengar puisi yang isinya cuma tentang seorang cowok yang bahkan tak tahu dirinya ada?

Dengan ragu, ia mengetik balasan: “Kayaknya nggak, Sher. Aku nggak bisa nulis puisi yang bagus.”

Pesan Shera langsung dibalas cepat, seolah-olah Shera sudah siap dengan jawabannya: “Kamu tuh jago nulis, Zev! Jangan rendah diri gitu. Aku yakin kamu bisa, coba aja kirim satu puisimu!”

Zevanna menggigit bibirnya. Shera selalu tahu bagaimana membuatnya merasa percaya diri, tapi kali ini Zevanna benar-benar merasa ragu. Puisi-puisinya terlalu pribadi. Setiap bait yang ia tulis penuh dengan perasaan yang hanya bisa dimengerti olehnya sendiri.

Namun, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Mungkinkah ini kesempatan yang ia butuhkan? Jika ia tak bisa menyampaikan perasaannya langsung pada Navin, setidaknya ia bisa menumpahkannya dalam bentuk puisi. Tapi… apakah ia benar-benar berani melakukannya?

Di sekolah, suasana mulai terasa berbeda. Papan pengumuman di koridor dipenuhi dengan poster tentang festival puisi. Beberapa siswa bahkan sudah mulai berdiskusi tentang karya-karya mereka, berbagi ide di kantin dan taman. Zevanna hanya bisa memperhatikan dari jauh, merasa tersisih dalam dunia yang tampaknya penuh dengan para penulis berbakat.

Saat jam istirahat tiba, Shera datang menghampirinya di bangku taman, langsung duduk dengan semangat yang khas. “Zev, kamu udah siapin puisimu?”

Zevanna menggeleng pelan. “Aku nggak ikut, Sher.”

Mata Shera melebar. “Kamu serius? Zev, ini kesempatan kamu buat nunjukin bakatmu! Ayolah, kamu selalu nulis puisi di buku catatanmu. Kali ini coba aja satu.”

Zevanna menunduk, memainkan ujung buku catatannya yang sudah usang. “Sher, puisi-puisi yang aku tulis tuh… terlalu pribadi.”

Shera tersenyum lembut, menaruh tangannya di bahu Zevanna. “Kadang, justru hal-hal pribadi itu yang bikin puisi jadi lebih kuat. Jangan takut buat terbuka, Zev. Kalau kamu nggak pernah nyoba, kamu nggak akan pernah tahu apa yang bisa terjadi.”

Kata-kata Shera terngiang di kepala Zevanna sepanjang sisa hari itu. Mungkin Shera benar, tapi Zevanna tetap merasa ragu. Di kepalanya, ia terus membayangkan apa yang akan terjadi jika Navin membaca puisinya. Apakah dia akan mengerti? Atau justru tak peduli?

Malam itu, Zevanna kembali duduk di meja belajarnya, kali ini dengan hati yang sedikit lebih tenang. Ia membuka buku catatannya, menatap puisi-puisi yang sudah ia tulis. Di sana ada perasaan yang begitu besar, namun tersembunyi di balik kata-kata sederhana. Ada rasa cinta yang belum sepenuhnya tumbuh, tapi tetap nyata di hatinya.

Perlahan, ia memilih satu puisi yang menurutnya paling bisa mewakili perasaannya. Puisi itu ditulis dengan sangat hati-hati, setiap katanya terasa seperti bagian dari dirinya yang rapuh. Zevanna mengetikkan puisinya di ponsel, siap mengirimkannya ke panitia festival.

“Bisu tak pernah menyapa,
Mata yang terlalu sering terlewatkan,
Namun, dalam diam, aku ada,
Menunggu satu tatap yang tak pernah datang.”

Jari-jarinya ragu, tapi pada akhirnya ia menekan tombol ‘kirim’. Seketika, napasnya terasa lebih berat. Ia baru saja mengirimkan sebuah bagian dari hatinya ke dunia luar, sesuatu yang selama ini ia jaga rapat-rapat.

Setelah mengirimkan puisi itu, Zevanna tak bisa berhenti memikirkan satu hal—bagaimana jika Navin membaca puisi itu? Meskipun tak ada nama yang disebutkan, apakah ia akan menyadari bahwa puisi itu tentangnya?

Hari-hari berlalu, dan suasana di sekolah semakin ramai menjelang festival puisi. Di antara kebisingan itu, Zevanna semakin gelisah. Setiap kali melihat Navin, perasaan yang semula hanya tumbuh dalam diam kini terasa lebih nyata, lebih dekat, dan lebih menyakitkan. Ia mulai membayangkan apa yang akan terjadi jika Navin mengetahui semua ini.

Shera terus mendesaknya untuk bersiap-siap menghadapi hari festival, tapi Zevanna semakin terjebak dalam pikirannya sendiri. Di satu sisi, ia ingin Navin mengetahui perasaannya, tapi di sisi lain, ia takut apa yang akan terjadi setelahnya. Bagaimana jika Navin tak merespon? Bagaimana jika perasaannya tak terbalas?

Dan di tengah semua keraguan itu, festival puisi semakin dekat. Zevanna tahu, tak ada lagi jalan kembali. Puisinya sudah terkirim, dan semua yang ia bisa lakukan sekarang hanyalah menunggu.

 

Bisik-bisik di Balik Layar

Hari festival puisi akhirnya tiba.

Suasana sekolah tampak berbeda hari ini. Aula besar yang biasanya kosong kini dipenuhi oleh dekorasi sederhana namun elegan—tirai-tirai kain lembut menjuntai dari langit-langit, meja-meja berjajar rapi dengan beberapa kursi di depan panggung. Di satu sudut, para panitia sibuk mempersiapkan peralatan teknis. Semua orang tampak bersemangat, terutama para peserta yang sudah siap membacakan puisi mereka di depan teman-teman dan guru-guru.

Zevanna berdiri di pinggir aula, jantungnya berdegup kencang. Tangannya berkeringat, meski udara di dalam ruangan terasa dingin. Pikirannya penuh dengan skenario terburuk yang bisa saja terjadi. Bagaimana jika puisinya ternyata terlalu biasa? Bagaimana jika orang-orang menertawakannya? Atau yang lebih buruk lagi, bagaimana jika Navin mendengar puisi itu dan… tahu?

Shera yang berdiri di sebelahnya, menepuk pundaknya pelan. “Kamu oke, Zev? Jangan tegang. Ini cuma festival puisi, bukan ujian masuk universitas.”

Zevanna mencoba tersenyum, tapi jelas terlihat canggung. “Aku cuma… nggak yakin bisa tenang. Ini pertama kalinya aku baca puisi di depan banyak orang.”

Shera mengangguk mengerti. “Iya, pasti grogi banget, tapi coba pikirin gini: Kamu udah nulis dari hati. Itu yang penting. Nggak usah khawatir apa yang orang lain pikirin.”

Zevanna menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. “Ya… mungkin kamu benar.”

Nama-nama peserta mulai dipanggil satu per satu. Setiap orang naik ke panggung dengan gaya dan ekspresi mereka masing-masing—ada yang percaya diri, ada yang gugup, ada yang bahkan terlalu santai. Zevanna hanya bisa berdiri di sudut, menyaksikan semua dari jauh. Semakin banyak peserta tampil, semakin cemas ia merasa. Tapi di antara keraguan itu, satu hal tak bisa hilang dari benaknya: Navin.

Ia melihatnya duduk di barisan ketiga, mengenakan kemeja putih polos yang biasa ia pakai. Navin terlihat tenang, seperti biasanya, mendengarkan setiap puisi yang dibacakan tanpa banyak ekspresi. Zevanna terus mencuri pandang ke arahnya, berharap sesuatu—entah itu tatapan sekilas atau senyuman kecil—tapi Navin tampaknya terlalu fokus pada acara.

“Zevanna,” suara pembawa acara terdengar memanggil namanya, membuatnya tersentak dari lamunannya. Ia menelan ludah, merasa seakan seluruh ruangan berputar.

“Zev! Giliran kamu!” Shera berbisik sambil mendorongnya maju.

Dengan langkah ragu, Zevanna menaiki panggung. Cahaya lampu sorot menyilaukan matanya, membuat wajah-wajah di depan panggung tampak samar-samar. Ia berdiri di depan mikrofon, jantungnya berdetak begitu kencang hingga rasanya bisa terdengar oleh seluruh aula.

Selama beberapa detik, Zevanna hanya berdiri diam, mencoba menguasai diri. Tangannya gemetar, tapi ia menggenggam buku puisinya erat-erat, mencoba mengalihkan fokusnya dari tatapan penonton. Ini lebih menakutkan dari yang ia bayangkan. Tapi ketika ia membuka buku itu dan melihat puisinya sendiri, semua ketakutan itu perlahan memudar. Di situ ada sesuatu yang jauh lebih besar dari rasa takutnya—perasaan yang sudah lama ia simpan dan kini hendak ia bagi pada dunia.

Dengan suara sedikit gemetar, Zevanna mulai membaca:

“Bisu tak pernah menyapa,
Mata yang terlalu sering terlewatkan,
Namun, dalam diam, aku ada,
Menunggu satu tatap yang tak pernah datang.

Di antara bayang-bayang yang kau hiraukan,
Aku berdiri tanpa suara.
Aku ada, meski kau tak tahu.
Aku mendengar, meski kau tak peduli.

Sebuah harap yang tanpa nama,
Mencoba bertahan dalam ruang yang tak kau isi.
Namun aku tetap ada,
Di sini, di balik semua kesunyian ini.”

Begitu selesai, ruangan terasa hening. Zevanna menurunkan buku puisinya perlahan, memandang para penonton yang masih terdiam. Di hatinya, perasaan aneh muncul—campuran antara lega dan cemas. Apakah mereka mengerti apa yang ia sampaikan? Apakah mereka menyadari makna di balik kata-kata itu?

Namun, sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, tepuk tangan mulai terdengar. Tidak terlalu keras, tapi cukup untuk membuatnya merasa sedikit lebih baik. Zevanna tersenyum kecil, menundukkan kepala sedikit, lalu turun dari panggung. Di sudut matanya, ia sempat menangkap Navin yang masih duduk di barisannya—diam, tanpa ekspresi, seakan puisinya belum menyentuhnya sama sekali.

“Bagus banget, Zev!” Shera menyambutnya dengan antusias begitu ia sampai di belakang panggung. “Aku bener-bener merinding dengernya.”

Zevanna mengangguk, meski di dalam hatinya, ia merasa masih ada kekosongan yang mengganjal. “Makasih, Sher. Aku cuma… nggak tahu. Rasanya aneh.”

Shera tertawa kecil. “Itu wajar. Tapi kamu udah berhasil. Kamu udah berani baca puisi yang selama ini kamu simpan sendiri. Itu pencapaian besar.”

Zevanna menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. “Iya, mungkin kamu benar.”

Acara festival puisi berakhir sore itu, dan suasana sekolah kembali seperti biasa. Namun, bagi Zevanna, ada yang berbeda. Hari itu, ia merasa seperti telah melewati batas yang sebelumnya tak pernah ia bayangkan. Ia telah mengungkapkan bagian dari dirinya yang selama ini tersembunyi, meski tak ada yang tahu untuk siapa puisi itu sebenarnya.

Sore itu, saat siswa-siswa mulai pulang ke rumah masing-masing, Zevanna memutuskan untuk tinggal sebentar di taman sekolah. Ia butuh waktu sendiri untuk merenungkan semua yang baru saja terjadi. Duduk di bangku yang biasa, ia mengeluarkan buku catatannya, membuka halaman-halaman yang penuh dengan puisi-puisi lama.

Namun, sebelum ia bisa tenggelam dalam pikirannya sendiri, langkah kaki terdengar mendekat. Zevanna menoleh dan melihat sosok yang tak ia sangka akan menghampirinya—Navin.

Hatinya seakan berhenti berdetak. Ia menatap Navin yang berjalan dengan tenang, kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celananya. Ada sesuatu yang berbeda dari caranya mendekat, seolah-olah ada sesuatu yang ingin ia katakan.

“Zevanna, ya?” Navin akhirnya bicara, suaranya terdengar tenang dan jelas. “Puisi tadi… bagus.”

Zevanna merasa lidahnya kelu. Ia hanya bisa mengangguk, tak mampu mengeluarkan satu kata pun.

Navin tersenyum tipis, lalu menunduk sedikit. “Aku suka. Terima kasih udah nulisnya.”

Lalu tanpa menunggu respons, Navin berbalik dan pergi begitu saja, meninggalkan Zevanna yang terdiam di bangku taman. Perasaannya bercampur aduk—bahagia karena Navin akhirnya memperhatikan puisinya, tapi juga bingung. Apakah itu berarti sesuatu? Ataukah itu hanya sekadar pujian?

Dan sekali lagi, ia hanya bisa menatap punggung Navin yang perlahan menghilang di antara kerumunan siswa yang mulai pulang. Perasaannya masih tergantung di udara, tak terjawab. Namun, satu hal yang pasti, hari itu membawa sedikit perubahan. Navin mungkin belum sepenuhnya mengerti, tapi setidaknya, ia sudah tahu bahwa Zevanna ada.

 

Harapan di Ujung Senja

Minggu berlalu setelah festival puisi, tetapi perasaan Zevanna tetap membara. Setiap kali ia melihat Navin, jantungnya berdebar kencang. Senyuman singkatnya, atau bahkan tatapan sekilas dari Navin, bisa membuat harinya terasa lebih cerah. Namun, ada satu hal yang masih menggantung—kejelasan tentang perasaan Navin terhadapnya.

Suatu sore, saat pulang dari sekolah, Zevanna memutuskan untuk mampir ke taman yang biasa mereka kunjungi. Hari itu, suasana langit mulai memerah dengan nuansa senja, menambah keindahan tempat itu. Di tengah perjalanan, ia teringat akan undangan Shera untuk berkumpul di rumahnya. Namun, pikirannya terus melayang pada Navin dan puisi-puisi yang belum ia sampaikan.

Ketika Zevanna duduk di bangku taman, ia mengeluarkan buku catatan lamanya. Menulis selalu menjadi pelampiasan terbaik untuk segala perasaan yang menggelora dalam dirinya. Dengan pena di tangan, ia mulai menulis puisi baru—tentang harapan, tentang cinta yang terpendam, dan tentang ketidakpastian yang mengikutinya.

Tak lama setelah ia mulai menulis, Zevanna mendengar suara langkah kaki. Ia menoleh dan mendapati Navin berjalan menghampirinya, wajahnya tampak lebih cerah di bawah sinar matahari sore.

“Hey, Zev!” Navin menyapa, senyum manis menghiasi wajahnya. “Lagi ngapain di sini?”

Zevanna merasa hatinya melompat. “Aku… hanya menulis sedikit.”

Navin melangkah lebih dekat, memperhatikan buku catatan di pangkuannya. “Boleh lihat?”

Dengan sedikit ragu, Zevanna membuka halaman di mana ia menulis puisi terbarunya. “Ini baru, belum selesai.”

Navin membaca dengan seksama, wajahnya tak tergoyahkan oleh perubahan emosi. Zevanna menahan napas saat Navin sampai di bagian terakhir. Lalu, ia menutup buku catatan itu dan memandang Zevanna.

“Wow, Zev. Ini beneran bagus. Kamu punya bakat yang luar biasa,” puji Navin tulus.

Zevanna merasa hangat di dalam hatinya. “Makasih, Nav. Aku… aku harap bisa lebih baik lagi.”

Navin mengangguk, terlihat serius. “Jadi, apa yang kamu rasakan tentang puisi itu?”

Zevanna terdiam, merasa terjebak dalam pertanyaannya sendiri. Apakah ia harus membuka diri sepenuhnya? Atau biarkan semuanya tetap samar-samar? “Aku… mungkin, ini tentang seseorang. Tentang harapan yang tak terungkap.”

Navin tersenyum, matanya berbinar. “Kadang, harapan itu memang terasa menyakitkan, kan? Tapi, kita harus berani menyatakannya.”

“Ya, benar.” Zevanna merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. “Tapi… kadang aku takut kalau harapanku nggak sejalan dengan kenyataan.”

“Aku mengerti.” Navin mengalihkan pandangannya, tampak merenung sejenak. “Kadang, kita harus mengambil risiko untuk mendapatkan sesuatu yang berharga. Bahkan kalau itu berarti melawan ketakutan kita.”

“Risiko, ya?” Zevanna merasa ada yang berbeda dari nada suara Navin. “Apa kamu punya risiko yang ingin diambil?”

Navin kembali memandang Zevanna, dan dalam tatapannya, Zevanna merasakan ada sesuatu yang lebih dalam. “Mungkin… tentang perasaan yang belum terucapkan.”

Mendengar kata-kata itu, Zevanna merasakan harapan yang meluap di dalam dirinya. “Perasaan? Maksudmu…”

Sebelum Zevanna bisa menyelesaikan kalimatnya, Navin mengambil napas dalam-dalam. “Zevanna, aku sudah memperhatikan kamu sejak lama. Puisi kamu benar-benar menyentuh hati. Dan aku ingin sekali mengenal kamu lebih dekat.”

Hati Zevanna melompat penuh bahagia, senyum tidak bisa dihindari. “Aku juga merasa sama, Nav. Sejak pertama kali kita berbicara.”

Mereka terdiam sejenak, seolah saling menyerap kata-kata itu. Atmosfer di sekitar mereka terasa hangat dan intim, seolah waktu berhenti hanya untuk mereka berdua. Dalam momen itu, Zevanna merasa seluruh harapannya, yang selama ini terpendam, mulai membentuk sebuah kisah baru—kisah yang menunggu untuk dituliskan.

“Jadi, bagaimana kalau kita mulai dari sini?” Navin memecah keheningan, dan matanya bersinar penuh semangat. “Kita bisa berlatih bersama, membaca puisi, atau… apa pun yang kamu mau.”

Zevanna mengangguk, tak percaya dengan keindahan momen ini. “Aku ingin itu. Mari kita mulai dari sini.”

Saat matahari terbenam, mewarnai langit dengan nuansa jingga dan merah, Zevanna merasa seperti hari itu adalah awal baru. Tidak hanya untuk puisi yang ia tulis, tetapi juga untuk kisah yang akan ia jalani dengan Navin. Harapan di ujung senja bukan lagi sekadar mimpi yang terpendam, tetapi sebuah kenyataan yang baru saja dimulai.

Dengan tawa dan obrolan ringan, mereka berdua meninggalkan taman, menapaki langkah yang penuh harapan. Dan di dalam hati Zevanna, ada keyakinan—bahwa cinta dalam diam, yang selama ini ia pendam, akhirnya menemukan jalannya.

 

Jadi, itu dia kisah Zevanna dan Navin—dua remaja yang berani menantang ketidakpastian dan merangkai harapan dalam setiap bait puisi. Cinta dalam diam mungkin terlihat rapuh, tapi siapa sangka, dengan keberanian untuk berbagi perasaan, mereka bisa menemukan jalan menuju kebahagiaan yang sebenarnya.

Ingat, kadang kita perlu mengambil risiko untuk mendapatkan apa yang kita impikan. Semoga kamu juga bisa menemukan cinta yang indah di tempat yang tak terduga, dan berani untuk mengungkapkannya. Sampai jumpa di cerita selanjutnya!

Leave a Reply