Eh, kamu pernah nggak ngerasain cinta yang bikin jantung kamu berdegup kencang, tapi kayaknya semua kata-kata yang ada di kepala itu hilang gitu aja? Nah, inilah kisah Sienna dan Steven—dua orang yang berjuang!
Untuk mengungkapkan perasaan mereka, meski kadang bibir mereka terkatup rapat. Siap-siap baper, karena kisah ini bakal bikin kamu senyum-senyum sendiri, dan mungkin juga nyentuh hati kamu. Yuk, simak perjalanan cinta mereka yang manis dan penuh haru ini!
Cinta Bisu
Bisikan Tak Terucap
Suasana kafe “Buku dan Cinta” selalu memikat hati Sienna. Aroma kopi yang baru diseduh menyatu dengan bau kertas dan tinta, menciptakan kombinasi yang sangat menenangkan. Sienna, seorang gadis berambut cokelat dengan kacamata bulat yang sering terjatuh di hidungnya, adalah pelanggan setia kafe ini. Setiap kali dia melangkah masuk, dering bel kecil di pintu seakan menyambutnya seperti sahabat lama.
Hari itu, Sienna sudah menemukan sudut favoritnya—meja kecil di dekat jendela, dikelilingi buku-buku beraneka warna. Ia mengeluarkan novel kesayangannya, “Cinta dan Musim Semi,” dan membenamkan dirinya ke dalam dunia imajiner yang penuh dengan petualangan dan romansa. Namun, pandangannya tak dapat lepas dari sosok yang duduk di meja sebelah. Steven.
Steven, dengan rambut cokelat gelap yang berantakan dengan sempurna, terlihat seperti pahlawan dari cerita yang baru saja dibacanya. Dia sedang asyik menggambar di buku sketsanya, dan Sienna merasa seolah waktu berhenti sejenak. Setiap goresan pensil yang dibuat Steven seolah menghidupkan imajinasinya.
“Bisa kamu berhenti melihatku seperti itu?” suara Steven tiba-tiba memecah lamunan Sienna. Dia tersenyum, senyum yang bisa membuat jantung siapa pun berdebar lebih kencang.
Sienna langsung menunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya yang merona. “Eh, aku nggak lihat kok,” jawabnya, berusaha terdengar santai meski hati berdebar.
“Jangan bohong, ya. Aku bisa merasakannya.” Steven meletakkan pensilnya dan menatap Sienna dengan tatapan penuh keisengan. “Mungkin kamu juga bisa jadi modelku.”
Sienna ingin tertawa, tapi hanya suara kecil yang keluar. “Model? Untuk apa? Bukannya kamu lebih suka menggambar pemandangan atau hewan?”
“Hmm, itu sih biasa. Tapi aku butuh inspirasi baru. Dan kamu, Sienna, adalah inspirasi yang menarik,” ucap Steven, mengangkat alisnya.
Sienna tidak tahu harus berkata apa. Bibirnya terasa kaku. Kegugupan menguasai dirinya, dan semua kata yang ingin diucapkan terjebak di tenggorokannya. Dia hanya bisa tersenyum malu, dan Steven membalasnya dengan tawa kecil yang menawan.
Di antara suara deru hujan yang jatuh di kaca jendela, Sienna merasakan hatinya bergetar. Ia merasa seolah mereka terhubung meski tidak ada sepatah kata pun yang terlontar. Di sanalah, dalam keheningan itu, dia berusaha menggali keberanian untuk berbicara lebih banyak dengan Steven.
Hari-hari berlalu, dan setiap kunjungan ke kafe selalu berujung pada pertemuan dengan Steven. Mereka berbagi tatapan, senyuman, dan terkadang kalimat-kalimat sederhana. Namun, kata-kata yang lebih dalam tetap terpendam.
Suatu sore, setelah hujan reda, kafe dipenuhi cahaya keemasan dari sinar matahari yang menyelinap melalui jendela. Sienna sudah terbiasa dengan rutinitasnya—datang, duduk di sudut, dan membenamkan diri dalam buku. Tetapi saat itu, hati Sienna tidak tenang. Dia merasa ada yang berbeda. Steven tidak ada di sana.
“Ke mana dia?” gumam Sienna, merasa kehilangan tanpa kehadiran Steven. Ia membuka buku, berusaha memusatkan perhatian, namun pikiran tentang Steven terus mengganggu.
Tak lama kemudian, pintu kafe terbuka dan sosok itu muncul. Steven masuk, basah kuyup, dengan hoodie yang menempel di tubuhnya. Dia mengedarkan pandangan dan ketika matanya bertemu dengan Sienna, wajahnya langsung cerah.
“Maaf aku telat. Hujan lebat di luar,” ucapnya, mengguncang-guncangkan rambutnya yang basah.
“Gak masalah. Aku juga baru saja datang,” balas Sienna, berusaha menampilkan senyum yang menenangkan.
Steven duduk di hadapannya, mengambil napas dalam-dalam. “Aku merindukan suasana kafe ini. Gimana, ada buku baru yang kamu baca?”
“Masih tentang cinta. Kamu tahu, tema yang selalu bikin orang baper,” Sienna menjawab sambil mengedipkan mata, berusaha sedikit bercanda.
“Cinta? Pasti menarik. Kenapa kamu lebih suka membaca daripada berbicara langsung dengan orang-orang?” Steven bertanya, dan Sienna merasa terjebak.
“Aku… ya gitu deh. Kadang lebih mudah menyampaikan perasaan lewat buku,” Sienna menjawab pelan, menghindari tatapan Steven yang tajam.
Steven hanya mengangguk, seolah memahami. Mereka melanjutkan obrolan ringan, tapi Sienna merasakan ada hal yang ingin diungkapkan. Dia ingin menceritakan semua yang dirasakannya, tapi kata-kata itu terjebak.
Hujan mulai kembali turun, lebih lebat dari sebelumnya. Kafe mulai dipenuhi dengan pelanggan lain yang mencari tempat berteduh. Namun, bagi Sienna dan Steven, dunia di sekitar mereka tampak menghilang. Tatapan mereka bertemu lagi, dan dalam momen itu, Sienna merasakan detak jantungnya semakin cepat.
“Aku ingin kamu tahu, Sienna, kamu adalah orang yang spesial bagiku,” ucap Steven tiba-tiba, membuat Sienna terperanjat.
“Spesial? Kenapa?” Sienna merasa darahnya berdesir.
“Karena kamu selalu ada di sini, meski tanpa banyak bicara. Dan aku merasa nyaman di dekatmu,” jawab Steven, membuat hati Sienna berdebar-debar.
Di dalam dirinya, ada sebuah bisikan yang kuat, namun kata-kata itu tetap tidak dapat terucap. Sienna hanya bisa tersenyum. Dalam keheningan, mereka saling memahami, seolah cinta yang terpendam sudah cukup untuk menjembatani perasaan yang ingin diungkapkan.
Malam mulai tiba, dan langit gelap mulai menggelayut di atas kafe. Steven meraih tangan Sienna, menggenggamnya lembut. “Jangan pernah merasa sendiri, ya. Aku akan selalu ada di sini.”
Sienna menatap tangan mereka yang bergandeng, merasakan hangatnya sentuhan itu. Di luar, hujan masih mengguyur, tetapi di dalam kafe, segala sesuatu terasa aman dan penuh harapan. Sienna berharap ini bukan hanya pertemuan biasa. Dia berharap, suatu hari nanti, bisa mengungkapkan semua perasaannya—tanpa ragu, tanpa kata-kata yang terjebak.
Ketika malam semakin larut dan para pelanggan mulai meninggalkan kafe, Sienna dan Steven masih duduk di sana, saling berbagi cerita dan tawa. Sebuah janji tak terucap mengikat mereka, dan Sienna tahu, perjalanan cinta mereka baru saja dimulai.
Dalam Keheningan
Hari-hari setelah pernyataan Steven mengubah segalanya. Sienna merasa seolah-olah berada dalam sebuah cerita romantis yang terjalin lembut dan penuh harapan. Namun, meski ada perasaan itu, mereka tetap terjebak dalam keheningan yang aneh. Setiap kali Sienna berusaha membuka hati dan berbagi, kata-kata itu seakan tersangkut di kerongkongannya.
Kafe “Buku dan Cinta” kembali menjadi tempat rutinnya, tapi sekarang Sienna selalu menanti kehadiran Steven dengan hati yang berdebar. Hari itu, sinar matahari memancarkan kehangatan di luar, mengundang banyak orang untuk bersantai. Namun, bagi Sienna, tempat itu lebih dari sekadar kafe; itu adalah panggung di mana kisah cinta mereka sedang ditulis—meski tanpa kalimat-kalimat yang jelas.
Ketika Steven datang, Sienna sudah duduk di meja kecilnya, dengan buku di pangkuan. Dia melihat ke arah pintu, dan hatinya melompat saat Steven muncul. Dengan langkah santai, dia mendekat, membawa aroma kopi yang menggugah selera.
“Hai, senyummu sudah siap untuk hari ini?” Steven menyapa, menaruh cangkir kopi di hadapan Sienna.
“Siap, hanya menunggu kamu,” jawab Sienna dengan berusaha mempertahankan wajah tenangnya.
Steven tertawa kecil, menatap Sienna seolah ingin menggali lebih dalam. “Kamu tahu, kadang aku merasa seperti aku terlalu berisik di dekatmu. Suara hatiku bisa saja menggantikan semua kata yang tak terucap.”
Sienna mengalihkan pandangan, merasakan pipinya memanas. “Mungkin itu bukan hal yang buruk, kan?”
Mereka tertawa bersama, tetapi Sienna merasa ada yang belum terungkap. Dia ingin berbagi kisah hidupnya, bagaimana dia bisa sampai di titik ini, di mana dia merasakan cinta yang begitu mendalam untuk Steven. Tapi saat kata-kata itu berada di bibirnya, rasa takut kembali menghantuinya.
Saat itu, suara riuh kafe mengisi ruang di sekitar mereka. Sienna melihat ke arah jendela, di mana para pengunjung lain terlihat asyik bercengkerama. Di luar, anak-anak berlarian di bawah sinar matahari, tawa mereka terdengar ceria. Dia bertanya-tanya, bagaimana rasanya menjadi seseorang yang bisa mengungkapkan perasaan dengan mudah, tanpa rasa takut ditolak.
“Mau tahu rahasiaku?” Steven tiba-tiba berkata, mengalihkan perhatiannya. “Aku juga suka menggambar, tapi tidak semua orang tahu.”
“Serius? Kamu seorang seniman?” Sienna menatap Steven dengan penasaran.
“Lebih seperti hobi. Ini semua tentang menemukan cara untuk mengekspresikan perasaan,” kata Steven sambil menggambar beberapa coretan di atas kertas.
Sienna tertarik, melihat bagaimana Steven menghidupkan garis-garis dengan imajinasinya. “Apa kamu punya karya yang ingin ditunjukkan?”
Steven tersenyum, “Mungkin aku bisa menunjukkan beberapa sketsa di lain waktu. Tapi, kamu harus berjanji tidak tertawa, ya.”
“Janji! Aku malah akan terpesona,” Sienna menjawab, semakin bersemangat.
Mereka melanjutkan obrolan, beralih ke topik-topik lain. Namun, setiap kali Sienna melihat Steven, dia merasa ada banyak hal yang ingin dia katakan—tentang masa lalunya, tentang ketidakpastian yang dia rasakan, tentang bagaimana cinta membuatnya merasa kuat sekaligus rentan.
Saat menjelang sore, Steven mengeluarkan ponselnya. “Bagaimana kalau kita berfoto bersama? Untuk mengingat momen ini,” tawarnya, mengedipkan mata.
Sienna terkejut, namun hatinya berdebar. “Oke, tapi kalau fotonya jelek, kamu yang harus tanggung jawab!” jawabnya sambil tersenyum.
Mereka berpose, dan saat lensa kamera menangkap momen itu, Sienna merasa seolah dunia di sekitar mereka menghilang. Senyuman Steven yang tulus memancarkan kebahagiaan yang membuatnya merasa nyaman.
Setelah berfoto, mereka melanjutkan berbincang sambil menyeruput kopi. Namun, saat Steven bercerita tentang impian dan harapannya, Sienna mendapati dirinya hanya bisa mendengarkan. Dia ingin berbagi impian dan ketakutannya, tetapi rasa takut akan penolakan membuatnya terdiam.
“Apa kamu pernah merasa takut untuk mengungkapkan perasaanmu?” Steven bertanya, menatapnya dengan serius.
Sienna terkejut. “Sering. Kadang aku merasa kata-kata bisa menghancurkan segalanya.”
“Bisa jadi. Tapi tidak mengungkapkan perasaan itu juga bisa menghancurkan,” jawab Steven, membuat Sienna berpikir lebih dalam. “Kamu tahu, aku sering kali menggambar tanpa tujuan. Tapi, tanpa berani mengambil langkah, semua itu hanya tinggal sketsa kosong.”
Hati Sienna bergetar. Dia ingin sekali mengungkapkan semua yang terpendam di hatinya, namun kata-kata itu masih terbungkus rapat. Dalam keheningan, dia hanya bisa menatap Steven yang sedang berbicara, menantikan saat yang tepat untuk mengeluarkan isi hatinya.
Sore itu, mereka menghabiskan waktu berjam-jam di kafe, hingga kafe mulai sepi. Setelah memesan makanan penutup, Steven mengambil napas dalam-dalam. “Sienna, jika aku berani mengambil langkah, apakah kamu juga mau?” tanyanya dengan suara pelan, seolah berusaha menjangkau hati Sienna.
Sienna merasakan getaran dalam dadanya. “Maksudmu?”
“Aku ingin kita bisa lebih dari sekadar teman,” Steven berkata, tatapannya serius. “Tapi, aku ingin kamu tahu, aku tidak ingin terburu-buru. Aku ingin kita bisa berbagi segalanya, tanpa ada rahasia.”
Sienna terdiam, merasakan perasaan campur aduk dalam dirinya. Bagaimana jika dia mengatakan yang sebenarnya? Apakah Steven akan memahami? Namun, sebelum dia bisa menjawab, Steven melanjutkan.
“Cinta itu mungkin seperti sketsa yang belum selesai. Kadang kita butuh waktu untuk merampungkannya. Tapi, aku ingin melakukannya bersamamu,” jelas Steven, seolah mengerti perasaannya.
Sekali lagi, Sienna terjebak dalam keheningan. “Aku… aku tidak tahu,” jawabnya, suara pelan dan getar.
Steven tersenyum lembut, mengertikan ragu di matanya. “Tidak apa-apa. Kita bisa mengambil waktu. Aku hanya ingin kamu tahu, aku di sini, selalu siap.”
Malam mulai merayap, dan Sienna merasakan hangatnya perasaan yang mendalam. Dia berharap ada keberanian dalam dirinya untuk membagikan semua yang dia simpan. Namun saat itu, satu hal yang pasti—perjalanan cinta mereka baru dimulai, dan Sienna tahu bahwa setiap langkah yang diambil akan menjadikan kisah mereka lebih berwarna.
Saat mereka melangkah keluar dari kafe, langit gelap dipenuhi bintang-bintang. Sienna memandangi Steven, dan di dalam hatinya, dia merasakan semangat untuk berani melangkah maju—meski tanpa kata-kata yang sempurna.
Meluk Cahaya
Hari-hari berlalu setelah perbincangan penuh makna di kafe “Buku dan Cinta.” Sienna merasakan semangat baru yang menyala dalam dirinya. Steven, dengan sikapnya yang penuh pengertian, menjadi alasan utama mengapa harinya selalu lebih cerah. Meski mereka belum sepenuhnya berbagi perasaan, Sienna merasa ada kehangatan di antara mereka yang tak bisa dia ungkapkan dengan kata-kata.
Suatu sore, Sienna memutuskan untuk mengunjungi taman dekat sekolah. Taman itu dipenuhi oleh pohon-pohon yang meranggas, dedaunan kuning yang berjatuhan menambah keindahan musim gugur. Dia duduk di bangku taman, memandang sekeliling, dan merasakan betapa hidupnya suasana di sekitarnya.
Di tengah ketenangan itu, Sienna membuka buku catatannya. Dia mulai menulis puisi, mencoba mengungkapkan perasaan yang tak bisa dia sampaikan kepada Steven. Kata-kata mengalir seperti air, mengekspresikan kerinduan dan kebingungan dalam hatinya. Namun, saat dia menulis, bayangan Steven selalu menghantui pikirannya.
Tiba-tiba, suara tawa mengganggu konsentrasinya. Sienna menoleh dan melihat sekelompok anak muda sedang bermain frisbee. Di antara mereka, seorang gadis dengan rambut panjang dan ceria, tampak sangat akrab dengan Steven. Jantung Sienna berdebar, dan rasa cemburu mulai merayapi pikirannya.
Melihat senyum Steven yang lebar, Sienna merasa seolah ada jarak yang tak terjembatani di antara mereka. Dia berusaha mengabaikan perasaan itu, tetapi semakin dia memperhatikan, semakin jelas bahwa ada sesuatu yang membuatnya ragu. Apakah Steven hanya bersikap baik padanya karena kasihan, atau mungkin dia lebih tertarik pada gadis lain?
Di saat yang sama, Sienna merasa seolah terjebak dalam labirin perasaannya sendiri. Dia mencintai Steven, tetapi cemburu menggerogoti kepercayaan dirinya. Namun, dia tahu bahwa dia harus melawan rasa itu dan berbicara dengan Steven, meski dia takut akan jawabannya.
Dengan tekad, Sienna mengambil ponselnya dan mengirim pesan kepada Steven: “Mau nggak ketemu di taman? Ada yang mau aku bicarakan.”
Beberapa menit kemudian, pesan balasan dari Steven datang. “Tentu! Aku segera ke sana.”
Saat menunggu, Sienna merasakan campuran antara harapan dan kecemasan. Dia melihat langit yang mulai menggelap, dan suara angin sepoi-sepoi menambah kesan magis pada suasana. Ketika akhirnya Steven muncul, Sienna merasa napasnya terhenti sejenak.
“Hai, Sienna! Kamu sudah menunggu lama?” Steven menghampiri, menatapnya dengan mata penuh perhatian.
“Enggak kok, baru aja sampai,” jawab Sienna, berusaha menyembunyikan kegugupannya.
Mereka duduk di bangku taman, dan Sienna bisa merasakan ketegangan di udara. “Jadi, ada yang ingin kamu bicarakan?” Steven bertanya, wajahnya serius namun hangat.
“Steven,” Sienna mulai, suaranya bergetar sedikit. “Aku… aku ingin kita bisa berbicara lebih terbuka. Tentang kita.”
Steven mengangguk, matanya tidak pernah lepas dari wajah Sienna. “Ya, aku juga merasa perlu berbicara tentang itu.”
Sienna menarik napas dalam-dalam. “Kadang aku merasa kita terjebak dalam keheningan. Aku suka kamu, Steven, tapi aku bingung tentang perasaan ini. Dan… ada hal yang bikin aku cemburu.”
“Apa itu?” Steven bertanya, nada suaranya lembut.
Sienna menggigit bibirnya, mencoba merangkai kata. “Tadi aku lihat kamu dengan teman-temanmu. Dan… ada seorang gadis di antara mereka. Sepertinya kalian dekat.”
Steven tampak terkejut sejenak, lalu tersenyum. “Oh, kamu maksud Maya, kan? Dia teman baikku. Kami sering hangout, tapi itu tidak lebih dari sekadar teman.”
Sienna menatap Steven, berusaha mencerna jawabannya. “Tapi, kamu sangat dekat dengannya. Aku khawatir kamu lebih suka dia.”
“Tidak, Sienna,” Steven berkata tegas, mengulurkan tangannya dan meraih tangan Sienna. “Maya sudah seperti saudara bagiku. Aku lebih suka menghabiskan waktu bersamamu.”
Mendengar itu, Sienna merasa beban di dadanya sedikit terangkat. “Tapi kenapa kamu tidak memberitahuku lebih awal? Aku merasa terasing.”
“Aku tidak mau kamu merasa cemburu,” jawab Steven, wajahnya terlihat tulus. “Aku hanya ingin kamu tahu betapa istimewanya kamu bagiku.”
Sienna merasa jantungnya berdebar. “Aku hanya… tidak tahu bagaimana menyampaikan semua ini.”
“Setiap perasaan itu penting, Sienna,” Steven berkata, seraya menggenggam tangan Sienna lebih erat. “Aku ingin kita bisa saling berbagi, tanpa ada rahasia.”
Kata-kata Steven membuat Sienna merasakan harapan baru. Dia tahu bahwa kejujuran adalah kunci untuk membuka pintu antara mereka. “Baiklah, aku akan berusaha lebih terbuka. Aku hanya butuh waktu untuk beradaptasi.”
Mereka saling tersenyum, dan Sienna merasa seolah-olah ada cahaya baru yang memancarkan harapan di dalam dirinya. Steven adalah orang yang tepat untuk berbagi perasaan dan impian. “Bisa jadi kita berdua akan belajar satu sama lain, kan?” Sienna mengajukan pertanyaan, suara penuh harapan.
“Ya, kita akan menjalani ini bersama-sama. Cinta itu tentang menemukan cara untuk berkomunikasi,” Steven menjawab, penuh keyakinan.
Saat malam semakin larut, Sienna merasakan kedamaian dalam hatinya. Dia berjanji pada dirinya sendiri untuk lebih berani dalam mengungkapkan perasaannya. Mungkin, cinta itu memang sebuah perjalanan—dan mereka baru saja memulai petualangan indah ini.
Ketika mereka beranjak dari bangku taman, Sienna merasa lebih ringan. Hari-harinya ke depan akan dipenuhi dengan lebih banyak kesempatan untuk berbagi, untuk mencintai, dan untuk menerima cinta. Dan saat mereka berjalan berdampingan di bawah sinar bulan, Sienna menyadari bahwa setiap langkah yang diambil adalah langkah menuju cinta yang lebih dalam.
Suara Hati
Malam itu, Sienna pulang dengan perasaan penuh harapan dan rasa cinta yang baru ditemukan. Setiap langkah di trotoar menuju rumahnya terasa ringan, seolah-olah angin malam membawa semua beban dari pikirannya. Steven bukan hanya sekadar teman baginya; dia adalah cahaya yang menerangi jalannya, menggiringnya untuk lebih memahami perasaannya sendiri.
Hari-hari setelah perbincangan itu dipenuhi dengan momen-momen kecil yang berarti. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, berjalan-jalan di taman, atau sekadar duduk di kafe sambil bercengkerama. Sienna merasa semakin nyaman membuka diri kepada Steven. Mereka berbagi impian, harapan, dan ketakutan yang selama ini terpendam.
Suatu sore, saat mereka duduk di bawah pohon besar di taman, Sienna memandang Steven yang sedang membaca buku. Dia terpesona dengan cara Steven menyerap informasi, senyum tipis di wajahnya menambah pesona. “Kamu tahu, aku suka sekali melihatmu saat kamu membaca,” katanya, mengeluarkan perasaan yang sudah lama ingin dia ungkapkan.
Steven menatapnya, lalu menutup bukunya. “Kenapa? Apakah itu membuatku terlihat lebih pintar?”
“Bukan hanya itu. Kamu terlihat begitu fokus dan tenang. Seolah-olah dunia di sekitarmu tidak ada, hanya kamu dan cerita yang kamu baca,” Sienna menjelaskan, dengan hati-hati memilih kata-katanya. “Aku ingin bisa melihat dunia melalui cara pandangmu.”
“Dan aku ingin bisa melihat dunia melalui matamu, Sienna,” jawab Steven, mengalihkan pandangannya ke arah Sienna. “Setiap kali kita bersama, aku merasa seperti aku menemukan bagian diriku yang hilang.”
Sienna merasa hatinya bergetar. “Aku merasakannya juga. Kita saling melengkapi, bukan?”
Steven mengangguk, lalu meraih tangan Sienna, menggenggamnya erat. “Sienna, aku tahu kita belum berbicara banyak tentang perasaan kita, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku sudah jatuh cinta padamu. Selama ini, aku hanya bingung bagaimana mengatakannya.”
Kata-kata itu bagaikan kilatan petir di langit malam. Sienna terdiam sejenak, mencoba menyerap semua yang baru saja Steven ungkapkan. “Benarkah? Aku tidak tahu harus berkata apa,” ujarnya, suaranya bergetar penuh emosi.
“Kamu tidak perlu menjawab sekarang. Yang aku inginkan hanya kejujuran dari hatimu. Apa pun yang kamu rasakan, aku akan menghormatinya,” Steven melanjutkan, wajahnya serius, tetapi matanya bersinar penuh harapan.
Sienna merasakan air mata menggenang di pelupuk matanya. “Steven, aku… aku juga mencintaimu. Tapi aku takut akan segala sesuatu yang tidak pasti. Aku tidak ingin kehilanganmu.”
“Tidak akan ada kehilangan, Sienna. Kita akan melalui ini bersama,” Steven berkata lembut, mengusap punggung tangannya di pipi Sienna. “Cinta bukan hanya tentang kata-kata, tapi juga tentang tindakan. Aku akan selalu ada untukmu, apapun yang terjadi.”
Sienna merasa seolah dunia di sekelilingnya berhenti. Dia ingin mengungkapkan semua yang ada di dalam hatinya, tetapi terkadang, kata-kata terasa tidak cukup. “Jadi, apa langkah kita selanjutnya?” tanyanya, suara lembutnya menggetarkan keheningan malam.
“Kita mulai dengan menjelajahi satu sama lain, mengenal lebih dalam lagi. Aku ingin tahu semua tentang kamu, Sienna—apa yang kamu suka, apa yang kamu impikan. Dan kita akan merencanakan masa depan bersama,” jawab Steven dengan keyakinan.
Sienna mengangguk, merasakan jantungnya berdegup kencang. “Aku ingin itu, Steven. Aku ingin kita menciptakan kenangan-kenangan indah bersama.”
Malam itu, mereka duduk berjam-jam di bawah sinar bulan, berbagi tawa dan cerita. Sienna merasa seolah-olah mereka sedang membangun jembatan yang kokoh, menghubungkan dua hati yang saling mencintai.
Saat mereka beranjak untuk pulang, Steven menggenggam tangan Sienna erat. “Sienna, terima kasih sudah membagikan semua ini. Aku merasa beruntung bisa memulai perjalanan ini bersamamu.”
Dengan senyum cerah, Sienna menjawab, “Dan aku merasa beruntung memiliki kamu di sampingku, Steven.”
Malam semakin larut, dan langkah mereka berdua menuntun ke arah masa depan yang penuh dengan harapan dan cinta. Dengan penuh keyakinan, Sienna tahu bahwa tidak ada lagi kata bisu antara mereka. Setiap detik yang dihabiskan bersama Steven adalah sebuah pelajaran tentang cinta yang tulus dan tanpa syarat.
Dan di dalam hatinya, Sienna merasa yakin bahwa cinta mereka akan terus tumbuh, seiring waktu yang berlalu, menjadi sesuatu yang lebih indah daripada yang pernah mereka bayangkan.
Jadi, gimana? Cinta itu memang kadang bikin kita bingung dan baper, ya. Tapi lihat deh Sienna dan Steven—dari kata-kata yang terpendam, akhirnya mereka bisa merangkai kisah yang indah.
Cinta bukan hanya tentang ungkapan, tapi juga tentang perasaan yang tulus dan keberanian untuk menghadapi rasa takut. Semoga kisah ini bisa jadi pengingat buat kita semua, bahwa cinta sejati itu selalu layak diperjuangkan. Sampai jumpa di cerita cinta selanjutnya, ya!